“Ibu...” Suara Emma sejak sore sangat berisik di rumah itu. Ester sampai kebingungan menghadapi putri sulungnya ini. Ia senantiasa bertanya lipstik mana yang cocok, blush on mana yang bagus, sampai meminta di ajarkan cara menggambar alis. Ester saja sampai bingung dengan putri sulungnya, sudah dua puluh lima tahun namun belum bisa berdandan.
Sudah pukul lima sore dan Emma baru saja mulai mandi. Ia segera berdandan. Berbekal tutorial di YouTube, Emma mulai mengikuti step step cara make up untuk berpesta. Ia memilih untuk make up natural. Karena menggambar alis merupakan hal yang rumit, Emma memutuskan untuk tidak menggambar alisnya.
Empat puluh menit berlalu. Emma akhirnya tersenyum puas dengan dandanannya. Ternyata dandanan pertamanya terlihat liar biasa. Emma membuka lemarinya dan mengambil gaun yang diberikan atasannya.
“Wow...” Emma terpana ketika melihat dirinya yang jarang mengenakan gaun terlihat sangat cantik ketika mengenakannya.
Akan ada suatu masa seorang wanita menutup pintu dari segala rasa cemas dan memberikan jaraknya dengan dunia disekitarnya. Terdiam, enggan menanggapi saat semua orang disekelilingnya tertawa bahkan mencemoohnya. Saat dia berusaha memulihkan diri dari rasa sakit yang terjangkit dan pelik yang seakan mengiris relung hati, kini harus dihadapkan pada kenyataan yang seharusnya tak ia hadiri.“Emma Liandra...” Suara Orlando menggema di ruangan itu. Emma tidak bisa berbuat apa-apa. Ia seperti seorang pencuri yang tertangkap basah. Pada saat itu juga ia teringat pertanyaan atasannya. Jadi inikah maksudnya?“Apa yang kamu lakukan di sini? Siapa yang mengundangmu?” Orlando dengan tatapan mencemooh. Begitu pula istrinya yang mengenakan gaun pengantin berwarna putih tersebut. “Hay semua...” Orlando mengeraskan suaranya sehingga seisi ruangan melihat ke arahnya. “Lihatlah seorang mantan yang putus denganku beberapa waktu lalu kini dengan ti
Ethand dan Emma langsung mengerut mendengar perkataan Ryan. Eves The Hill Vunia adalah rumah Ethand dan Emma belum mengetahuinya.“Itu kan rumah orang kaya.” Batin Emma dengan dahi masih berkerut. Sedangkan Ethand hanya terdiam.“Bagaimana?” tanya Ryan lagi dan memastikan ke dua orang yang saling terdiam tersebut.Ethand langsung menjawabnya dengan instruksi tangan. Sedangkan Emma hanya menuruti saja.Sepanjang perjalanan, Ethand dan Emma saling diam. Ryan sesekali menengok ke arah spion sekedar memastikan ke dua insan itu masih bernapas. Sunyi dan senyap di dalam mobil tersebut hanya suara deru mobil yang memecah keheningan jalanan kota Vunia.Ryan ingin sekali memutar musik namun Ethand tidak menyukainya. “Bagaimana pekerjaanmu Emma? Apakah lancar?” Ryan memutuskan untuk mencari bahan pembicaraan.“Kalau back-end sudah selesai, Pak. Front-end masih dikerjakan oleh Sobig,” jelas Emma.&
Tentang perasaan seorang wanita, ia akan percaya bahwa tak ada cinta yang tak mulia. Kelemahan wanita adalah sulit membedakan cinta yang mulia dan cinta yang melenceng. Emma masih terluka karena patah hati akibat dari lelaki yang dikiranya memiliki cinta yang tulus untuk dirinya. Ternyata lelaki itu membalas perasaanya dengan cara yang perih dan pedih. Memberikan hati pada seorang lelaki namun berujung pilu. Namun dalam hati, Emma meyakini dan masih percaya bahwa cinta yang baik akan datang di waktu yang tepat dan terbaik. Emma sudah terlanjur kecewa pada lelaki yang menyepelekan komitmen dan membuat komitmen seakan tidak ada arti dan nilainya. Lalu mengapa tatapan dari pria dingin dihadapannya seakan tulus dan menenangkan?Hodeed eyes wanita jelita di hadapannya membuat Ethand enggan berkedip. Bagaikan mutiara yang bersinar terang dan kemilaunya mampu membuat netra siapa saja enggan berpaling. “Selama matahari masih bersinar dan orang sekitar masih mendukung dan menyay
Memang benar perkataan Ryan, jika atasan Alves Corp sungguh berbeda ketika berada di rumah. Raut wajah dingin dan kejam seakan hilang ketika ia dengan telaten membersihkan daun kering dari bunga-bunga yang ditanamnya.“Apakah di bajuku ada sesuatu?” tanya Ethand menyadarkan Emma dari lamunannya.“Ti-tidak ada, Pak.” Emma langsung membuang tatapannya ke langit malam. Ia salah tingkah karena ketahuan oleh Ethand jika dirinya sedang mengamati lelaki itu.“Apakah kamu menyukainya?” Ethand berbalik dan membuka sarung tangan yang dipakainya.“Suka, Pak.” Emma memberanikan diri untuk mendekat ke arah Ethand. Dengan tangan kosong tanpa sarung tangan, mulai membersihkan daun kering tomat ceri. Tiba-tiba tangannya di pegang oleh Ethand. Emma pun terkejut dan langsung berbalik. Namun ia tidak tahu jika lelaki itu berdiri tepat di belakangnya. Ke dua netra mereka kembali beradu. Bahkan masing-masing dapat mendengarkan h
Adakah seseorang yang terluka sebelum memulai cinta? Ethand pernah mengalaminya pada masa yang silam. Pada saat Alves Corp jatuh bangkrut membuatnya juga ikut terpuruk. Pada masa-masa sulitnya, seorang wanita hadir menemani hari-harinya. Menguatkan dan selalu memotivasinya. Wanita itu sangat disayangi oleh Ethand. Menurutnya wanita itu adalah jodohnya. Namun tidak disangkanya jika manisnya kisah itu berlangsung singkat. Membuat Ethand tidak lagi percaya cinta dan bahkan berubah dingin dan datar. Melihat semua wanita sama saja. Datang dengan rasa manis dan pergi meninggalkan pahit yang begitu dalam.Sudah tiga tahun lamanya. Kini kerasnya hati akan cinta perlahan meleleh. Hodeed eyes dan senyum manis Emma mampu membuat Ethand tergugah. Bahkan mampu membuatnya nyaman. Rasa marah dan benci kini berubah menjadi juang bagi Ethand untuk mendapatkan hati wanita itu. Ia menunggu waktu yang tepat untuk mengutarakannya. Yang menjadi pikirannya sekarang adalah apakah wanita itu bisa men
Emma merasa heran karena Ethand yang terdiam dan tidak bersuara lagi semenjak dirinya meminta pulang dengan taksi. Ia kembali mencerna tiap kalimat yang diucapkannya. Namun Emma tidak menemukan kesalahan di dalamnya. Lelaki itu juga bahkan lebih dingin dari sebelumnya. Apakah ada sesuatu yang telah membuatnya terdiam dan enggan berbicara?Ryan juga terdiam kala melihat raut wajah Ethand yang sudah tidak selembut sebelumnya. Ia tahu jika Ethand merasa kesal dengan Emma yang bersikeras untuk pulang dengan orang lain selain dirinya.“Sudah pukul sepuluh lewat dua puluh menit, Ethand,” ucap Ryan. Emma menatap heran ke arahnya karena mendengar Ryan begitu santai memanggil atasan mereka.“Baiklah.” Ethand bangkit berdiri kemudian berjalan turun dari roof garden tanpa memanggil Emma.“Apakah pak Ethand sedang marah?” tanya Emma pada Ryan selepas Ethand meninggalkan mereka.“Aku tidak tahu, Emma.” Ryan sengaj
Ada yang pandai menyembunyikan rasa selepas pedih menggerogoti. Ada yang trauma bahkan depresi akibat cinta dan harapan yang gagal. Selepas dari pedih dan kecewa tentu, ada rasa lega dan juga syukur kala ada hati yang mampu menerima segala kekurangan dan kelebihan. Bukan keberuntungan tapi itulah hidup, harus ada pahit dan manis agar dapat membentuk pribadi yang baik dan tangguh.Wajah polos dan manis yang kini di tatap Ethand mampu membuat hati yang telah lama beku kini mulai berbunga. Ethand kembali duduk di kursi kemudi. Sejenak ia kembali menengok pada Emma yang masih terlelap. Dihembuskannya napas perlahan lalu kembali berbalik ke arah Emma.“Emma… Emma,” panggil Ethand pelan. Tidak ada reaksi dari wanita itu. Ethand tersenyum lucu melihat Emma yang hanya terdiam dalam tidur pulasnya.“Emma..,” panggilnya sekali lagi. Lagi-lagi tidak ada reaksi dari Emma. Ethand dengan tangannya memegang lengan wanita itu lalu diguncangnya per
Seorang wanita dengan long dress dipadukan dengan long coat berdiri di samping Rolls Royce. Tangannya dilipat di dada dan menatap lekat wajah Ethand. Raut wajahnya terlihat kesal namun berusaha tersenyum. Sangat jelas di mata Ethand jika wanita itu sedang kesal.Ethand enggan mendekat dan berdiri mematung dengan mata menyipit. Dari senyum wanita itu sepertinya ia mengenalinya. Melihat Ethand yang terus mematung dan enggan menanggapinya, wanita itu menghampiri Ethand.“Apakah kamu sudah melupakanku?” tanya wanita itu.Melihat wanita itu dari dekat Ethand baru menyadari siapa wanita itu. Mata yang semula menyipit kini kembali normal dan senyum ketus terukir di bibirnya. “Saya tidak memiliki waktu untuk sekedar berbincang dengan orang asing,” ucap Ethand dengan nada dingin. Untuk menatap wanita itu saja dia sudah jengah. Tidak ingin membuang waktunya, Ethand berjalan menuju lift. Wanita itu ditinggalkannya begitu saja.Sampai di