Share

Hello City World

  "Bu, izinkan aku pergi ya," rengek Ananditha dengan mata berkaca-kaca.

   Ranty melihat Ananditha dengan tatapan dingin menusuk, membuat nyali Ananditha ciut, tak berani melanjutkan aksinya.

   "Ambu tidak mungkin memberikan pekerjaan yang buruk pada Anan, Bi." seru Hasto meyakinkan Ranty kembali.

   Masih dengan wajah yang di tekuk tidak suka, Ranty kini memandang Hasto dengan tatapan tidak suka.

   "Apa yang dapat menjamin keselamatan Ananditha di sana?" tanya Ranty dingin. "Siapa yang akan bertanggung jawab pada keselamatan putriku, yang hanya satu-satunya ini?" lagi dengan ketus Ranty melontarkan tanya yang masih di tanggapi hening oleh kedua lawan bicaranya itu.

  Hanya suara jangkrik, dan belaian angin malam yang kini membersamai keheningan tiga anak manusia beda generasi itu. Sebelum akhirnya sesaat kemudian, Anan bersimpuh di hadapan sang ibu, memohon dengan amat sangat untuk meluluskan keinginannya bekerja di kota, menggantikan sang bibi.   

  "Bu ... sekali ini saja, sebentar saja ..." ujar Anan dengan penuh permohonan. "Anan ingin melanjutkan kuliah di kemudian hari, izinkan Anan mencari kerja di kota ... hingga kelak, Anan bisa kuliah, dengan biaya yang Anan kumpulkan dari bekerja." terangnya lagi.

   Ranty memang tak menginginkan Ananditha melanjutkan pendidikannya hingga perguruan tinggi, selain karena biayanya yang sudah pasti besar, mereka yang ingin kuliah di universitas, haruslah ke kota, meninggalkan kampung halaman dan keluarganya.

   Ranty juga masih memiliki pemikiran yang kolot, dimana wanita rak harus punya pendidikan tinggi untuk menjadi wanita yang baik, karena pada akhirnya mereka hanya akan menjadi ratu dalam sebuah rumah tangga.

   "Kamu tega ninggalin ibu ... An?" Ranty terdengar begitu lirih menanyakan keyakinan anak gadisnya.

   Ananditha kembali hening, pikirannya kembali goyah ... sejak ayahnya wafat empat belas tahun lalu, ibunya tak pernah sekalipun meninggalkannya, bahkan meski banyak pria di kampungnya ini, ingin mempersunting sang ibu ... tetap di tolaknya, demi dapat membesarkan Ananditha, tanpa berbagi kasih dan perhatian pada yang lain.

   Padahal ayah dan ibunya menikah karena perjodohan bukan cinta yang dipilih sendiri seperti di rasakan para gadis lainnya pada masa itu.

   Tak dapat menjawab pertanyaan sang ibu, Ananditha memutuskan untuk beranjak, berlari masuk ke dalam kamar, menenangkan diri. Kembali berdamai dengan angan dan ambisinya menaklukkan ibukota.

*****

   Langit malam nan gelap telah beganti terang benderang berteman sang surya yang dengan garang menunjukkan cerahnya cahaya.

   Ananditha masih bergeliat malas beranjak dari tempat tidurnya, tubuhnya terasa tak begitu baik hari ini, seperti gejala akan terserang demam. Mata sembab sebab menangis semalam, juga membuatnya semakin terlihat kacau.

   Dari sudut kamarnya, Anandita mampu mengetahui bahwa kini ... hari telah menunjukkan pukul sebelas siang, tak seperti biasanya, Anandita selalu bangun pagi sebelum ayam berkokok.

    Tok ... tok ... tok ...

   Suara ketukan pintu terdengar mengusik indera pendengarannya, dengan malas Ananditha beranjak dari kasur yang terbuat dari kumpulan kapas yang di buat sendiri oleh Ranty, ibunya.

  "Aaann ...," panggil sang ibu dari balik pintu.

   Ananditha tak menjawab, hanya langkahnya yang di seret paksa untuk terus melangkah, mendekat, agar dapat segera mencapai daun pintu, dan membukanya.

   "Ceklek ...."

   Suara pintu di buka. Terlihat sosok sang ibu dengan nampan berisi beberapa makanan, dan segelas teh manis panas yang masih menyisakan kepulan asap di atasnya.

   "Kamu sakit?" tanya sang ibu, nadanya terdengar khawatir, begitu juga dengan binar mata yang memperlihatkan kecemasan.

   Ananditha menggeleng, antara malas dan lemah, seraya mengambil nampan yang sedari tadi di pegang Ranty.

   "Kenapa belum keluar kamar? Kue-kuenya sudah ibu antarkan."

    "Lagi malas aja Bu," jawab Anandita seraya berbalik badan, menuju meja belajarnya.

    Perut kosongnya mendadak bertalu minta diisi melihat apa yang rerpampang nyata di hadapan netranya.

   "Makanlah, setelah itu ... ibu ingin bicara," ujar Ranty sembari beranjak meninggalkan kamar anak gadisnya.

   Anandita terhenyak sejenak mendengar ucapan sang ibu, tidak seperti biasanya. Ibu akan bicara kapan saja, tanpa harus Ananditha menyelesaikan makannya, atau bahkan mandinya sekalipun, biasanya ibu akan berteriak-teriak, bila memang ingin bicara.

   Dua puluh menit berlalu, Ananditha telah menyelesaikan ritual sarapan sekaligus makan siangnya, namun dirinya tak mendapati sang ibu di sudut rumah manapun.

   Hingga pada menit berikutnya, terdengar suara derap langkah dan deritan pintu dapur yang terbuka dan menampilkan sosok wanita berusia hampir enam puluh tahun itu dengan dua keranjang sayur di tangan kanan dan kirinya.

   "Ibu dari mana saja?"

"P***r, membeli beberapa bahan makanan,"

"Mengapa tak mengajakku?" Ananditha mengernyitkan dahinya. Tidak seperti biasa, ibu kali ini ke p***r sendiri, padahal biasanya dia akan menyuruh Ananditha untuk berbelanja sendiri atau bersama.

   Ranty memandang wajah manis sang putri yang akan segera dilepasnya pergi seperti apa yang dia mau dengan senyum yang sedikit menampilkan gurat kesedihan.

   "Aku harus terbiasa, sebelum anak perempuanku, benar-benar pergi meninggalkan wanita tua ini sendiri," sindir Ranty tanpa memandang wajah Anan.

    Ananditha bergeming, merasa bersalah dengan sikapnya tadi malam.

Perlahan Ananditha melangkah mendekat, mengangsurkan tangannya, membantu sang ibu menyusun sayur-mayur yang di belinya di p***r beserta dengan beberapa bahan pokok kebutuhan sehari-hari mereka seperti biasa.

    "Nan ... pergilah," suara Ranty terdengar lirih dan bergetar. "Ibu sudah bicara dengan uwak Ratna tadi malam," terangnya lagi.

    Ananditha terpaku, tangannya yang sedari tadi lincah bergerak merapikan barang-barang di dapur mendadak kaku.

    Bola mata coklat nan indah itu juga menghasilkan butiran bening hangat yang mengumpul di sudut matanya, hingga tanpa sadar mengalir begitu saja tanpa aba-aba.

    Ananditha memindai Ranty dengan begitu intens, kabut di matanya menambah syahdu pemandangan yang menjadi objek netranya kali ini, wajah dengan garis-garis tanda usia Ranty yang sudah tak muda lagi. Tubuh kurus dengan kulit berwarna sawo matang itu, adalah wanita cantik pada masanya yang telah melahirkan dan merawat seorang Ananditha dengan penuh perjuangan dan kasih sayang.

    Di peluknya wanita yang menjadi tempatnya berkeluh selama sembilan belas tahun itu. "Bu ... ibu," lirih isak tangis Anandita memanggil sang ibu.

    Ranty membalas peluk Anandita hangat, di belainya surai hitam Anan yang begitu lembut. Wanita tua berhijab coklat itu meluahkan segenap gejolak di dadanya dalam peluk yang kini juga mematik tangis dalam tanpa suara.

   "Pergilah ... ibu ikhlas, jaga dirimu dengan baik, jaga kepercayaan wanita tua ini ...," pesan Ranty dalam isaknya.

   Anandita masih belum bisa mengeluarkan suaranya, lidahnya masih kelu ... perasaan bahagia, haru, dan ragu menyaru menjadi satu dalam tangis dan peluk yang semakin erat.

   "Gapailah cita-cita mu, dari sini ibu akan terus mendoakan kebaikanmu, dimana pun putriku ini berada," ucap Ranty lagi.

    Ananditha mengurai pelukannya, kali ini dengam mata yang masih berkabut karena airmata yang masih terus berproduksi, Ananditha menghujani sang ibu dengan ciuman sayang bertubi-tubi di seluruh bagian wajah Ranty.

   "Terima kasih bu ...," ucap Anandita penuh syukur. Akhirnya sang ibu, mengizinkannya pergi sjeenak menggapai asa. Berharap kehidupannya menjadi lebih baik di kemudian hari. Membahagiakan sang ibu yang kini semakin menua.

   Hello city world ... i am coming, aku akan menyaksikan sendiri betapa indahnya dunia ... lewat kerlap-kerlip lampu kota dan semilir angin kota yang pasti terasa berbeda." batin Anandita penuh semangat.

   "Besok pagi, Kang Hasto akan menjemputmu ... hari ini, ibu akan memasak banyak makanan kesukaanmu, bantuin ya ...." ungkap Ranty lagi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status