Share

The Essence of Love
The Essence of Love
Penulis: Kinantitha

Izinkan Aku Pergi

   Hamparan sawah hijau membentang luas dengan begitu indah, kicauan burung pengganggu serupa musik penenang jiwa yang tengah di rundung gelisah. Seorang gadis berkulit kuning langsat dengan rambut ekor kuda yang masing-masing di jalin menyerupai kepang. Khas gaya anak desa.

    Wajahnya menekuk, padahal hari begitu cerah ... udara juga terasa begitu menyenangkan, tak begitu terik, namun tak juga hujan ... seperti mendung dengan angin sejuk yang bertiup sepoi-sepoi memanjakan kulit.

   Ananditha, gadis desa berusia sembilan belas tahun, yang baru saja menyelesaikan pendidikannya di tingkat sekolah menengah atas beberapa hari lalu. Lulus dengan predikat sebagai siswi terbaik, tak lantas membuat jalan menuju kesuksesannya mudah seperti membalikkan telapak tangan.

   Ayahnya telah tiada sejak usianya masih duduk di bangku taman kanak-kanak ... sebuah kecelakaan kerja merenggut paksa nyawa pria yang menjadi tulang punggung keluarganya kala itu. Tanpa ada pesangon atau sumbangan duka cita, sang ayah tak meninggalkan warisan apapun, selain hutang yang harus menjadi beban sang ibu di kemudian hari setelah kepergiannya yang mendadak dan tanpa pertanda apapun jua.

   Ananditha, si gadis manis bermata coklat ... adalah gadis baik hati nan penurut. Tutur katanya yang lembut, dan keramahan yang dimilikinya, membuat seorang Ananditha si gadis yatim ... cukup menjadi salah satu gadis yang di idolakan oleh para perjaka, dan calon menantu idaman bagi para orang tua di kampungnya.

   "Itu kenapa wajah kamu kusut banget?" seru Atika, salah seorang teman dekat Ananditha.


  "Sebenarnya aku ingin pergi kerja, tapi ibu tidak mengizinkan ...." keluh Ananditha.

  "Kemana?"

  "Kota, ingin mencari pengalaman ... mencari kehidupan baru," Ananditha menerangkan harapannya.

   "Mau kerja apa?"

   "Apa saja, asal halal ...."

   "Sepupuku bilang, kota itu jahat ... dia dulu pernah kerja di kota, bukannya pulang bawa harta, malah bawa anak," papar Atika.

   "Anak kan juga harta ...." balas Ananditha polos.

   "Tssk, bukan harta yang begitu juga yang dia inginkan An ... tapi uang yang banyak," jelas Atika, seolah Ananditha benar-benar tak memahami maksudnya.

   Ananditha mengangguk, baginya setiap orang punya takdirnya masing-masing. Apa yang di dapatkan Atika belum tentu juga ia dapatkan, sebaliknya pun begitu apa yang Ananditha miliki, belum tentu Atika memilikinya.


   "Aku beneran ingin coba merubah nasib di kota," cicitnya lirih. Sebagian keyakinannya kembali pupus melihat pertentangan sang ibu yang begitu keras, tak mengizinkannya keluar dari desa tempat tinggal mereka.

  "Kalau kamu pergi, lantas simbok sama siapa?" tanya Atika menyadarkan keegoisan Anandita.

  "Bi Rasmi, Kang Hasto ... mereka kan ada, tinggal tidak jauh dari rumahku,"

  "Tapi kan mereka punya kehidupannya sendiri, punya keluarga ...," protes Atika mengingatkan

  "Simbok kan tetehnya," Ananditha masih terus bersikeras.

  "Terserah lah, ada-ada saja ...," pasrah Atika.

   Bagi Atika kehidupan di desa adalah kehidupan paling ideal dan nyaman, namun tidak dengan pikiran bebas Anandita yang ingin mencicipi dunia luar, selain zona aman di sisi sang ibu.

  *****

   Ketika malam telah bergayut mesra di atas awan, berteman pendar cahaya bulan dan kerlip bintang-bintang. Ananditha tengah berpikir keras merangkai kata rayu, untuk di utarakan pada sang ibu. Sekali lagi dengan tekad kuat, Ananditha ingin pergi meninggalkan desa, menemukan kesuksesan di kota, tempat yang di bayangkan begitu menggoda, begitu indah di televisi yang selalu ia lihat dalam sinetron-sinetron yang di tontonnya.

  "Bu ...," panggil Anan pelan. Masih ada ragu, takut dan bingung ... dirinya harus mulai dari mana?

  "Hmm ...,"

  "Anan ... Anan ... hmmm."

  "Kalau kamu mau minta pergi ke kota, ibu melarang Nan," ucap sang ibu menyela ucapan Ananditha. "Kota itu kejam, kamu anak perempuan ibu satu-satunya."

   Ananditha hening, kembali mencoba berpikir cara apa yang dapat membuat sang ibu luluh hati, hingga memberikan izin untuk pergi.

    Belum usai pikirannya melanglang buana, sebuah deru suara motor menghampiri halaman pekarangan rumahnya. Membuat rencana Ananditha buyar seketika. 

   "Siapa itu? Coba kamu lihat," perintah sang ibu yang masih sibuk dengan kedelai di nampannya.

   Ananditha beranjak dari duduknya, melaksanakan perintah sang ibu, guna mengetahui siapa gerangan tamu yang datang di malam hari seperti ini.

   Dari balik tirai jendela, Ananditha memindai pria bertubuh tambun dengan jaket hitam yang tak asing baginya, "Kang Hasto," gumam Ananditha.


  "Assalamu'alaikum ... punten," seru Kang Hasto yang tak menyadari kehadirannya telah di ketahui oleh pemilik rumah.


   "Waalaikum salam," balas Ananditha seraya membukakan pintu untuk sepupunya itu. "Kang Hasto ternyata ... ada apa malam-malam begini?" tanya Ananditha langsung, tak mampu menahan rasa penasarannya.

    "Aku ya di suruh masuk dulu, duduk, di buatin teh anget dong Nan," protes Hasto dengan mimik wajahanya yang di buat se nelangsa mungkin.


    "Hehe ... penasaran aku Kang," kikuk Ananditha. "Sebentar ya, duduk Kang,"

    Ananditha berbalik, berjalan ke dapur kembali menemui sang ibu ... memberitahu kehadiran Hasto sekaligus menyiapkan teh dan kudapan yang kebetulan masih ada, sisa jualan hari sore tadi.

   "Siapa?" tanya sang ibu, tanpa memalingkan pandangannya ke Anan, yang mulai sibuk memasak air panas, untuk menyeduh tehnya.

  "Kang Hasto."

 

   Sontak sang ibu menghentikan pekerjaannya menyortir kedelai untuk dibuatnya menjadi tempe atau tepung dan di jual kembali esok atau lusa.

   "Ada apa katanya?" tanya ibu cemas. Ada gurat ketakutan di sana.

   Ananditha mengedikkan bahunya, sembari memindai ekspresi wajah ibu yang semakin bingung, "Anan gak tahu bu."

   Ibu beranjak dari duduknya, berjalan dengan sedikit tergesa untuk dapat segera tiba dan mendapar informasi apa yang Harso bawa, menuntaskan rasa penasarannya segera.

  "Has ...," panggil ibu.

   "Bi ...," balas Kang Hasto, sembari menggamit tangan ibu lalu menciumnya.

   "Abdi di suruh ambu ke sini,"

   "Ada apa?" Jawab ibu lagi. Belum melepaskan wajah penasarannya.

   "Ambu jatuh di kamar mandi karena darah rendahnya kambuh ...."


    "Dimana?" Kecemasan semakin terpancar di wajah tuanya.

    "Di rumah majikannya, di kota." Terang Hasto tertunduk. Wajahnya seketika muram.

    "Lalu, mengapa dia tidak pulang saja?" kembali dengan kebingungan ibu terus bertanya, mencecar jawaban atas kabar berita yang di bawa Hasto.

    "Belum ada yang menggantikan tugas ibu di sana ...."

    "Lalu?"


   "Abdi ke sini, berniat menanyakan apakah Ananditha bersedia menggantikan ibu di sana?" ungkap Hasto ragu, melihat mimik wajah sang bibi yang mendadak berubah tak suka.

    Ibu tak bergeming, tatapan mata tuanya memindai Hasto dengan rasa campur aduk, ia khawatir pada adiknya di sana, namun juga tak mungkin merelakan Ananditha pergi meninggalkannya.

   "Anan, tidak akan kemana-mana. Sawahku cukup untuk makan kami, dan bertahan hidup di sini, tak perlu bekerja jauh ke kota," terang ibu tegas.


    Hasto mengangguk, dirinya tahu ini tidak akan mudah ... dia mengenal betul watak keras Bi Ranty, adik dari ambunya ini.

   "Apa majikan Teh Ratna tak mengizinkannya kembali, tanpa pengganti? tanya ibu tak suka.

    Hasto menggeleng, "Ambu bilang majikannya begitu baik, sehingga ia tak tega meninggalkannya tanpa pengganti yang di rasa pantas dan mampu menggantikannya," tutur Hasto menerangkan seperti apa yang ibunya jelaskan.

    Ananditha datang menghidangkan teh dan kudapan berupa kue-kue basah yang biasa ia jual dan titipkan di beberapa warung sekitar dusunnya, sebagai mata pencaharian tambahan, selain hasil sawah milik ibunya.


    "Bu, izinkan aku pergi ya ...."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status