Home / Romansa / The Essence of Love / Perjalanan Pertama

Share

Perjalanan Pertama

Author: Kinantitha
last update Last Updated: 2021-05-03 17:44:45

     Flashback on

  Malam itu setelah Ananditha masuk ke dalam kamarnya, Ranty meminta Hasto menelpon Ratna, adiknya.

  Ranty meminta Ratna menjelaskan segalanya, demi jaminan keselamatan Ananditha, putri semata wayangnya.

  "Aman Ty, Anan akan baik-baik saja di sini ... majikanku baik banget, dan jarang di rumah, pekerjaannya juga gak berat," terang Ratna dari sebrang sambungan telepon itu.

  "Kamu tahu Teh, Anan belum pernah pergi jauh dariku, siapa di sana yang akan menjaganya?" tanya Ranty masih ragu.

  "Anan tidak bekerja sendiri Ty, di sini ada banyak pekerja ... dan mereka semua adalah teman yang baik untuk Anan,"

  "Majikanmu, laki-laki, atau perempuan? Sudah berkeluarga atau belum?"

  "Laki-laki muda Ty, dia pengusaha sukses, bisnisnya di mana-mana ... sering keluar negeri, jarang ada di rumah."

  "Baiklah, aku percaya ... akan aku bicarakan dangan Hasto lagi," pungkas Ranty memutuskan sambungan teleponnya.

   "Aku akan menjaga bibi, bila Anandita pergi," tutur Hasto, turut meyakinkan Ranty agar mengizinkan Ananditha.

  Flashback off

  *****

  Sepanjang malam, Ananditha tak dapat memejamkan matanya ... pikirannya melayang jauh pada rencana masa depan yang akan dimulai esok hari.

  Bayangan kota yang indah, seolah dekat dengan pelupuk matanya, menjanjikan keberhasilan sempurna seperti apa yang di dambanya selama ini.

  Ananditha yang polos, menganggap kota adalah surga dunia yang harus ia dapatkan, yang harus ia taklukkan. Pikiran naifnya membuat segala kemungkinan buruk yang mungkin saja menghampirinya tidak masuk dalam daftar antisipasinya ... seperti menyiapkan kantung kecewa dalam jumlah yang besar misalnya.

   Ketika malam beranjak pagi, entah baru beberapa jam saja rasanya Ananditha tertidur dengan penuh rasa bahagia yang membucah, hingga terdengar suara sang ibu yang sudah duduk di samping tempat tidurnya, memanggil namanya dengan suara yang begitu lembut.

  "Nan ... bangun Nan, udah siang ..." ujar Ranty sembari mengguncang pelan tubuh Ananditha.

   "Hooaaam ...," Ananditha menguap, badannya mulai terlihat menggeliat. Namun matanya tak kunjung terbuka.

  "Nan ... Anan ... Ananditha, ayoo bangun," sekali lagi Ranty mengguncang-guncang tubuh Anandita.

  "Lima menit lagi ya Bu ...," rengek Anandita seraya kembali menutup wajahnya dengan bantal.

  "Gimana mau kerja di kota?"

   Ananditha bergegas bangkit dari tidurnya, duduk di depan ibunya, dengan berusaha keras membuka matanya selebar mungkin, meski terlihat jelas mata itu masih menahan kantuk yang sangat, namun sepertinya kata kota membuatnya melupakan segala hal lain. Hanya kota yang ada dalam angannya kini.

   "Mandi, biar segar ... dan segeralah bersiap, sebentar lagi Kang Hasto datang," ujar Ranty mengingatkan.

   Ananditha menganggung kencang, sebagai tanda bahwa ia paham atas apa yang menjadi perintah sang ibu, sekaligus mengusir rasa kantuk, berharap dengan mengangguk kencang aliran darah di kepalanya, akan ikut berjalan sempurna mengusir kantuknya.

*****

   Tepat pukul delapan pagi waktu Indonesia bagian barat, Ananditha sudah siap dengan segala barang bawaannya, menanti kehadiran sang sepupu yang akan mengantarkannya ke kota, tempat di mana Ananditha akan bekerja menggantikan sang bibi yang sakit.

  "Mengapa Kang Hasto, lama sekali ya Bu?" tanya Anan jenuh sekaligus khawatir.

  "Bersabarlah Nan ... mungkin Hasto kesiangan bangun," Ranty mencoba menenangkan Ananditha yang mulai mengeluh tidak sabar.

   Anan masih terus bergelayut manja dangan sang ibu yang sebentar lagi akan di tinggalkannya dalam waktu yang lama ... tidak kurang dari satu tahun atau bahkan lebih. Tergantung bagaimana nanti majikannya akan membuat peraturan.

   Sebuah mobil berjenis mini bus berwarna hitam dengan kapasitas penumpang dewasa kurang lebih enam belas orang masuk ke halaman rumah Ananditha, yang sontak mengundang binar bahagia di bola mata coklat nan indah miliknya itu.

   "Bu ... Kang Hasto!" seru Ananditha bangkit dan melonjak-lonjak kegirangan.

    "Ibu pikir, kamu sudah dewasa seutuhnya ... tapi melihat tingkahmu yang masih seperti ini, ibu kembali ragu melepaskan kepergianmu ...." ujar Ranty memindai Ananditha dengan sendu.

    Mendengar ibunya bertutur seolah ingin membatalkan niatnya untuk pergi, Ananditha mendadak hening tak bergeming. Mimik wajahnya serta merta berubah pias.

   Hasto yang melihat interaksi ibu dan anak sejak tadi dari kejauhan, hanya tersenyum. Sungguh, bibinya begitu menjaga gadis cantik nan lugu seperti Ananditha itu layaknya emas.

  "Maafkan abdi, Bi." ujar Hasto menghampiri kedua wanita itu memecah keheningan diantaranya. "Tadi kesiangan supir travelnya ... bannya sempat bocor," terangnya lagi.     

   Ranty mengangguk, "Gak apa-apa Has, ini loh adikmu yang sudah takut kamu batal mengantarkannya ke kota ... merengek terus," cibir Ranty seraya melirik sang putri yang sudah menyembunyikan wajahnya di balik pilar rumah kayu mereka itu.

    Hasto kembali tersenyum, melihat Ananditha muncul kembali dari balik pilar dengan pipi bersemburat merah muda, tanda menahan malu.

   "Sudah, nanti keburu siang ... dan ibu berubah pikiran, berangkat sana." Ranty memerintahkan Anan dan Hasto untuk segera beranjak. 

   Hasto membantu membawakan tas bawaan Anan yang tak cukup besar untuk ukuran orang yang akan bekerja di kota. Sepertinya Anan hanya mempersiapkan barang-barang sekadarnya saja.

   Ananditha berpamitan menyalami, memeluk, dan mencium sang ibu dengan penuh sayang, dan kerinduan. Meski belum benar-benar pergi, Ananditha merasa hatinya sudah merindukan sang ibu.

   "Anan pergi ya Bu," pamit Anan dengan pelupuk maa yang sudah di genangi buliran hangat penuh yang sudah mendesak keluar. "Anan mohon, jaga diri Ibu baik-baik, selama Anan tidak ada, jangan bekerja terlalu keras, Anan akan mengirimkan biaya hidup Ibu nanti." Cicitnya lagi.

   Ranty mengulas senyum tipis, anak semata wayang yang selama ini ia besarkan dengan kasih utuh yang dimilikinya, kini harus ia relakan pergi, seperti kehendaknya. "Anan sudah besar, dan dia memiliki mimpinya sendiri," batin Ranty.

   "Kamu juga berhati-hatilah di sana, ibu akan selalu mendoakan kebaikan untukmu ya ...." ujar Ranty, seraya membelai sayang wajah Ananditha, serta menghapus jejak airmatanya.

   "Kami berangkat ya Bi. Assalamu'alaikum ...." pamit Hasto, mengakhiri adegan berpamitan antara ibu dan anak gadis itu.

    Ranty mengangguk, air mata yang sedari tadi coba di tahannya kini merembes membersamai langkah Anan yang semakin menjauh.

   Bohong bila dirinya tak sedih ... bohong bila ia tak kehilangan, Anan adalah buah hati satu-satunya yang suaminya tinggalkan. Itu pula yang menjadi sebab mengapa selama ini Ranty tak pernah membiarkan Anan pergi jauh dari sisinya. Rasa sayang dan memiliki yang begitu besar, membuat Ranty, tak ingin Anan meninggalkannya walau sekejap saja.

    Hamparan luas kebun teh nan hijau menyejukkan mata adalah pemandangan yang kelak akan Anan rindukan, bersama semilir angin lembut yang mengalun menyapa indera perabanya, Anan dengan hati yang penuh kebahagian menikmati perjalanannya kali ini dengan tidak sabar.

   "Berapa lama perjalanan kita Kang?" tanya Anan tanpa mengalihkan pandangan dari luar jendela.

   "Kalau tidak macet, kurang lebih empat jam."

     "Empat jam, waktu yang tidak begitu lama ...," gumam Anan penuh harap.

   "Tidurlah, bila kamu lelah ... nanti Akang bangunkan bila sudah tiba."

   "Hehe ... aku tak mungkin bisa tidur Kang, ini perjalanan pertamaku keluar kampung," ujar Anan bersemangat.

   Hasto hanya tersenyum melihat tingkah Anan, "Hmm ... baiklah, kalau begitu ... biar akang saja yang tidur," tutur Hasto, menyandarkan kepalanya dan terpejam, meninggalkan Ananditha dan kekagumannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • The Essence of Love   Aurora Bella

    Flashblack on Aurora Bella adalah putri tunggal dari Tommy Hans, seorang pengusaha tambang, yang berasal dari Inggris. Kenyataan yang selalu membuat Bella menjadi seorang antagonis, adalah ia terlahir dari seorang wanita Tionghoa, asli Pontianak, yang sempat menjadi sekretaris pribadi ayahnya tiga puluh tahun lalu. Hubungan percintaan keduanya berjalan begitu serius, masa-masa percintaan muda Tommy, dan Eunly, ibu kandung Bella, terbilang sangat romantis. Kisah cinta indah, khas remaja pada umumnya. Hingga suatu hari, sebuah berita yang tiba-tiba datang dari keluarga Tommy, di benua biru. Mengharuskan Tommy, kembali ke Negaranya dalam waktu singkat. Saat itu Eulyn, sedang mengandung anak, dari buah cintanya dan Tommy. Meski mereka secara agama, dan negara belum terikat dalam ikatan pernikahan. Tommy kembali ke Inggris, seorang diri ... memenuhi panggilan keluarga besarnya, yangvterny

  • The Essence of Love   Terpesona

    Rossa sang pemilik butik, yang juga merupakan anggota sosialita dalam grup kumpulan wanita-wanita kaya raya ibukota itu datang menghampiri Ellena. "Long time no see," seru Rossa, seraya memeluk Ellena. "So miss you," balas Ellena, dalam pelukan. Untuk beberapa saat mereka saling melepas kerinduan, dan bertukar kabar. Hingga beberapa saat setelahnya, suara Bella kembali menginterupsinya. "Tante Rossa," sapa Bella ramah, dan anggun. "Hallo, Cantik ... senang bertemu kembali," balas Rossa tidak kalah hangat. "Sepertinya, kau membawa pasukan hari ini Ellen," ucap Rossa berseloroh. Di sambut tawa-tawa kecil Ellena dan Bella. Xavier sedang memindai seluruh sudut ruangan butik tersebut, mencari model yang pas dengan tubuh kecil Anan, saat pandangan Rossa tertuju padanya. "Xavier, aku rasa tadi malam, aku tidak bermimpi kejatuhan bintang, lantas apa yang membu

  • The Essence of Love   Shopping Together (2)

    "Bruuk! oops ... Maaf ...," seru Anan panik. Rasa kagumnya ternyata membawanya pada masalah baru kini. "Aaasssh ...," desah suara geram sesorang yang Anan tabrak. Anan masih belum berani mengangkat wajahnya, berulang kali kepalanya menunduk, memohon maaf, atas kecerobohannya. Baju Anan juga sebagian menjadi basah, karena tumpahan soda milik korban yang ditabraknya. "Hai! ... kalau jalan pake mata dong," bentak wanita yang Anan tabrak. Anan gugup, ketakutan ... hingga sesaat kemudian suara Xavier datang, "Bella?" tegur Xavier. Bella tertegun, tidak menyangka Xavier ada di pusat perbelanjaan terbuka seperti ini. "Vier?" Bella kembali menyapa Xavier, ragu. "Sedang apa di sini?" tanya Bella, menuntaskan rasa penasarannya. "Menurutmu?" bukannya menjawab, Xavier justru balik bertanya pada Bella. Bella mengedikkan bahunya, selama mengenal Xavier 22 t

  • The Essence of Love   Shopping Together

    Ellena terus saja memperhatikan cara Anan melayani setiap permintaan Xavier, mulai dari mengeringkan rambut, memilih pakaian santai yang akan digunakan hari ini, hingga meminta membuatkannya nasi goreng kambing spesial khas buatan Anan. "Apa Mommy tidak punya kerjaan lain, selain menungguiku di sini?" tanya Xavier, sinis. "Aku hanya merindukan anakku," balas Ellena, tak kalah datar. "Hugh ... terima kasih," Xavier mendengus. "Anan, pergilah mandi sebelum kau menyiapkan sarapan untuk anakku," perintah Ellena yang kembali mematung, di samping putranya. Anan seketika melemparkan pandangannya bergantian ke arah Ellena dan Xavier. Pasalnya Xavier mengatakan padanya berulang kali bahwa hanya perintah Xavier saja yang harus didengar, bukan yang lain. "Pergilah An ..., segera bersihkan tubuhmu, dan siapkan sarapan yang ku minta, aku akan menunggu di ruang makan," kali ini suara Xavier yang mem

  • The Essence of Love   Sidak Ellena

    Pagi menyongsong, menggantikan pekat malam berhias bulan dan bintang yang tidak akan pernah Anan lupakan, dengan cahaya matahari yang samar mulai mengintip dari balik jendela bertirai hitam tersebut. Anan mengerjap beberapa kali, sebelum akhirnya benar-benar sadar dari mimpi indahnya yang singgah dalam tidur lelapnya tadi malam. Aroma mint segar bercampur dengan hangatnya hembusan napas seseorang yang sangat Anan kenal, menjadi alarm pertama yang membuat Anan segera tersadar dari kantuknya. Seketika Anan memalingkan wajahnya yang kini menghangat, dan pasti bersemu merah menahan kegugupan. Hingga detik selanjutnya sepasang netra berwarna gelap itu bersirobok dengan netranya. Bersua dalam tatapan yang entah mengapa membuat keduanya merasa begitu mendamba satu sama lain. Perlahan Xavier menyentuh bibir merah delima milik Anan, tanpa aba-aba dan membiarkan Anan sadar dari kekagumannya pada sosok pria tampan y

  • The Essence of Love   Dinner

    Pada akhirnya hari ini Xavier tidak kembali ke kantornya setelah sedikit ketegangan yang terjadi anatara sirinya dan sang ibu. Xavier memutuskan untuk mengerjakan tugasnya dari kamarnya ditemani Anan sepanjang hari. "Tuan, malam ini Anda ingin makan apa?" suara Anan, lembut bertanya. "Menurutmu, makanan apa yang layak untuk aku makan?" Xavier kembali memberi pertanyaan, bukan malah menjawab. "Haiss ... manalah aku tahu, kalau aku tahu ... justru aku tidak akan bertanya? Apa kubuatkan saja sup batu, agar sesegera mungkin kau berubah menjadi batu," runtuk Anan dalam hati. "Jangan berusaha memberiku makanan yang aneh-aneh Ananditha," tegur Xavier. Anan kembali di buat tertegun, pasalnya bukan sekali dua kali Xavier bisa tahu isi pikirannya. "Apa dia benar memiliki indera keenam?" "Buatkan aku kopi, dan beef toast seperti tadi siang," perintah Xavier, lagi. "Tapi ..

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status