Share

6. Bocah Tersesat

Olivia Finley

Hugo tampak cukup menikmati makan siangnya bersamaku. Setelah memperkenalkan pria tampan sejagat raya ini pada Hyra Lewis, aku dan Hugo pergi mengelilingi taman bunga tidak jauh dari tengah kota Halbur.

Dia banyak bertanya tentang Halbur dan aku menjawab apa yang kutahu.

“Hubungan kalian tampak tidak akur.”

Saat itu juga aku menoleh untuk menatap tajam padanya. “Kenapa itu harus jadi urusanmu?”

Hugo terbahak. Lalu menusuk pipi kananku menggunakan telunjuknya dengan perlahan. “Aku hanya berkomentar. Sama sekali tidak bertujuan untuk mencampuri urusanmu.”

Dengan wajah masam, aku hanya tersenyum kecut. Untuk itu dia memperhatikanku melalui sepasang mata teduhnya.

“Aku mencemaskanmu, ZeeZee.” Nadanya serius, tapi aku tidak tahu itu benar-benar serius atau hanya ucapan di bibir saja.

“Karena pria itu Rhys?”

Hugo mengangguk. “Ya, karena pria itu kakakku. Aku sungguh berharap kau tidak lagi terlibat dengan keluarga Oxley.”

Ini sudah kupikirkan. Mencintai Rhys, siap menanggung semua risiko bersamaan dengan semua kecemasan yang harus kuterima.

Kecemasan? Yap, kecemasan akan kematian diujung nyawa itu sendiri. Kecemasan karena jarak tidak mampu membuatku melihat apa yang dikerjakan Rhys di sana.

Walau sejujurnya saja, meski di Yellowrin pun aku tidak pernah tahu apa yang dikerjakan Rhys dibelakangku.

Ini dua, ah tiga kali lipat lebih menyulitkanku. Kondisi ini membuat diriku merasa tidak berguna dalam hal apa pun yang bisa kuberikan untuk Rhys.

“Kehidupan keluarga Oxley jauh lebih berat sekarang karena Ayah dan Ibu sudah tidak ada. Rhys menjadi pengganti mereka berdua sekaligus. Dia tidak memberi kami kesempatan memikul peran salah satunya. Bukan karena dia tidak mempercayai kami, tapi karena tidak ingin beban berat itu jatuh ke pundak kami.”

Ya, ampun. Ini Hugo Dimitri Oxley? Atau dia sedang memainkan sandiwara dengan maksud tertentu di depanku?

“Kau banyak berubah, Hugo. Apa kau menyadarinya?”

Dia tidak tertawa, tapi hanya menatapku dalam-dalam. “Bukankah itu artinya bagus?”

“Yap. Sungguh sangat luar biasa. Seseorang seperti kalian kini bisa bertingkah seolah kalian peduli satu sama lain.”

“Apa itu bisa jadi bahan pertimbangan?”

Aku berhenti melangkah di antara tanaman perdu yang aku tidak tahu namanya. Meneliti wajah Hugo yang tidak kutemukan satu titik pun bintik hitam. Luar biasa tampan. “Maksudmu?”

“Pertimbangan untuk menjadi pendamping hidupmu, ZeeZee.”

Karena ucapan yang kutunggu bukanlah semacam rayuan penggoda seperti itu keluar dari mulutnya, aku melayangkan tinju candaan ke pundak kirinya sambil menggeram.

“Jangan bercanda. Aku tidak sudi menikahi pria terlalu tampan sepertimu.”

Hugo terbahak-bahak. Dia memegangi perutnya dan kurasa itu tawa yang alami. Aku senang melihatnya tertawa karena sering kali, pria ini tertawa beringas dari pada tawa tergelak seperti saat ini.

Apa kota Halbur memberinya banyak kenyamanan di waktu singkatnya ini?

“Ah, rahangku sakit karena terlalu keras tertawa.” Dia berhenti sekarang. Kembali tegak berdiri di sisiku. “Olive atau ZeeZee atau siapa pun itu, kau tetap seseorang yang kuanggap istimewa.”

Karena dia tersenyum dengan sangat manis dan lembut, aku membalasnya dan berharap ini juga jadi senyum terbaikku.

“Aku masih Adikmu?”

“Hmm ... entahlah.” Dia menaikkan satu bahunya sekilas. “Aku akan pergi sekarang. Rhys bisa membunuhku jika tidak kembali bersama rombongan anak buahku yang lain.”

Begitulah akhir pertemuan singkatku dengan Hugo. Kami berpisah di depan gerbang taman dan saling membalas pelukan.

Tidak apa. Aku masih menganggapnya sebagai kakakku.

Enam menit setelahnya, sebuah mobil hitam mengkilap membawa Hugo pergi. Sekarang aku ingin kembali ke kafe Astrid karena Hyra masih di sana, tapi gadis itu sudah menghubungiku lebih dulu.

“Ada apa?”

“Bisa tolong belikan popok lansia untuk nenekku?” Hyra bertanya dengan setengah berbisik.

“Kenapa kita tidak pergi bersama saja?” Aku bersandar di gerbang. Menunggunya di sini jauh lebih baik daripada harus kembali ke Oase Cafe. Lagipula perutku sudah kenyang.

“Osen Murald baru saja mencegahku pergi. Dia memintaku menyuguhkan kopi susu hasil kreasiku minggu lalu untuk para tamu pentingnya yang akan tiba tujuh menit lagi.”

Hah, baiklah. Aku akan menggantikannya membeli popok lansia.

“Baiklah.”

“Terima kasih, Olive. Akan kuambil ke penatumu. Sebaiknya kau tidak kembali ke sini. Astrid dan Osen baru saja bertengkar hebat di dapur.”

Aku ingin bertanya apa hubungannya mereka yang bertengkar dengan aku yang sebaiknya tidak kembali ke sana?

Tapi Hyra Lewis yang senang menggantung ucapannya itu sudah menutup teleponnya secara sepihak.

Baiklah. Aku juga tidak peduli selama itu tidak menggangguku.

Sepertinya butuh enam menit berjalan kaki untuk sampai ke minimarket terbesar yang paling lengkap di tengah kota Halbur.

Jadi selama berjalan, aku terus memperhatikan senja yang mulai tampak di atas langit.

Jika tidak mengembalikan sepasang mataku ke jalanan yang kupijaki, mungkin aku sudah menendang seorang bocah delapan tahun dipinggir jalan.

“Hei, sedang apa kau di sini?” Aku berhenti tepat di depannya yang duduk bersila di tanah. Pakaiannya lusuh. Kupikir aku bisa berjongkok di sisinya dan mengajaknya bicara.

Dia menatapku dengan tatapan sendu. Hatiku berdebar nyeri melihatnya. “Ada apa? Kenapa kau di sini?”

Dia tidak menjawabku. Aku bingung karena jarang berinteraksi dengan anak kecil. Di lingkunganku, aku yang hidup sebagai bungsu. Tidak memiliki adik dan tidak bisa memperlakukan anak kecil di sekitarku, karena kelima kakakku selain Rhys belum ada yang menikah. Dan tentu saja Rhys juga belum menikah!

Atau bisa saja mereka tidak pernah membawa anak mereka yang dirahasiakan dariku, ke kediaman Oxley.

Dan selama dua tahun aku di sini, tidak ada tetangga sekitarku yang memiliki putra atau putri kecil di rumah mereka. Kecuali beberapa remaja usil dan ramah yang saat melewatiku dipekarangan, mereka akan menyapaku seadanya.

“Kau butuh bantuan?” Pertanyaan ini seperti magnet untuknya. Aku merasa begitu karena dia langsung tertarik, mengangguk dan menatapku dengan serius. “Katakan padaku apa yang bisa kubantu, Adik kecil?”

Dia menatapku dengan raut wajah kesal, sepertinya.

“Aku bukan Adik kecil. Umurku sudah sepuluh tahun!” Dia membentakku.

Oh, tebakanku salah! Dia memiliki usia yang dua tahun lebih tua dari tubuhnya yang terbilang kecil.

Meski jarang melihat anak seusianya, aku cukup tahu bahwa perbedaan usia anak delapan dan sepuluh tahun itu pasti terletak di tinggi badannya.

Dia memiliki—

“Katamu kau akan membantuku. Kenapa diam saja?”

Ah, ya. Bocah pintar. Suaranya ketus. Apa anak jalanan selalu punya bakat untuk menjadi mafia seperti keenam kakakku itu? Beruntungnya, para Oxley kecil itu pasti memiliki masa kecil yang menyenangkan dan terjamin.

“Oke. Katakan apa yang bisa kubantu?” Sikap ramahku muncul. Walau ini hanya perkataan setengah hati yang sering kuucapkan saat bertemu para pelanggan tuaku ketika mereka singgah ke penatu milikku.

Dia melirikku sekilas. Seolah ada yang sedang dipastikan olehnya. Anak ini kenapa? Aku sedikit bingung menghadapinya.

“Antarkan aku ke rumah pamanku.”

“Oke. Kau ingat alamatnya?”

Dia menggeleng. “Jika aku mengingatnya aku tidak akan duduk di sini.”

Ah, ya benar. Bocah pintar. Jadi bagaimana aku akan mengantarkan anak ini ke rumah pamannya jika dia sendiri tidak mengingat alamatnya?

“Jadi kau tersesat ya?” Aku berbasi-basi karena sudah tidak tahu lagi apa yang harus kukatakan padanya di situasi seperti ini.

Dia menatapku sambil berdecak. Tiba-tiba berbaring, lalu berguling di tanah dan mulai menangis dengan keras.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status