Rhys Dimitri OxleyKata Lucas, kudanya mengamuk karena Stellon meminta Diana menungganginya menuju sungai.Kandang belakang tidak kekurangan air, seharusnya.Menurutku, Stellon tak suka pekerjaannya dicampuri. Padahal jelas kuminta Lucas untuk berbagi tugas. Mereka bisa membagi rata atau Stellon tetap memegang peran terbanyak.Mereka baru saja pergi. William meminta Lucas menemaninya menebus obat. Diana keras kepala dengan memaksa keluar dari rumah sakit, padahal belum juga seharian dia dirawat.“Kepalamu seperti batu.”Diana meringis. Kurasa bukan karena mengharap perhatian dariku, sebab kulihat setelahnya dia bisa mengambil gelas dengan tangannya sendiri tanpa minta bantuan padaku yang cuma ada dihadapannya.“Tapi Anda datang. Itu bentuk kepedulian bagiku.”Tidak ada yang bisa kukatakan untuk menjawab, apalagi menyangkal ucapannya.Benarkah?Kenapa aku tiba-tiba datang ke sini? Setelah tadi Lucas berkata bahwa Diana mengalami patah tulang serius.“Kulipatgandakan hutangmu jika menet
Rhys Dimitri OxleySecara jelas kulihat bahwa kakinya tidak berubah bentuk. Maksudku, tidak bengkok atau jadi lebih parah dari sebelum dia terjatuh.Setengah bugil ke bawahlah yang terlambat kusadari, bahwa aku melihatnya walau tidak berlama-lama. Terpaksa kuangkat tubuhnya sambil membiarkannya menutupi kemaluannya dengan menarik ujung kaus longgarnya. Celana dalamnya tergeletak basah di lantai.“Maaf, maafkan aku, Tuan.” Permintaan maafnya tidak terdengar sungguh-sungguh. Aku tidak bodoh untuk urusan tipu menipu.Setelah membaringkannya kembali ke tempat tidur, dia mencengkeram lenganku dengan usaha yang kunilai bagus. Soal kekuatan fisik, Diana lebih baik dari ZeeZee.“Mau apa?” tanyaku setengah membentak.“Masukkan jarimu ke dalam diriku, Tuan.”“Tidak.” Kupalingkan wajah dan menghempas tanganku dari cengkeramannya, tapi dia berhasil menarik kembali untuk dituntun ke bagian tersensitif dari dirinya.“Hei, jangan paksa aku,” geramku sambil menatapnya tajam. Bisa saja dia kudorong at
Olivia FinleyRasa ingin tahuku lenyap begitu saja, ketika kulihat Rhys tengah berjalan memasuki rumah.“Jika kau berlari menyambutnya, aku akan mencegahmu dengan memelukmu dari belakang.” Suara Brady spontan membuat langkah kakiku terhenti.Sejak kapan si bajingan ini ada di belakangku?“Sekarang kau mengancamku terang-terangan setelah selesai bermain-main dengan kami?” tanyaku dengan tatapan melewati bahu.Benar-benar tidak bisa menahan diri, aku hampir saja melayangkan tinju yang kutahu tidak akan berarti apa-apa bagi seorang Brady.“Sayang, ada masalah?” Rhys menghampiri dengan langkah cepatnya. Dia berada di sisiku sebagai penenangku dari Brady.Tangan terkepalku terlepas seketika. Kutahan diriku sekuat tenaga sampai rasanya aku ingin berteriak pada Rhys dengan ucapan. “Ya. Masalah besar! Kau membiarkan bajingan ini tetap tinggal di rumahmu, sementara dia akan mengkhianatimu kapan saja dia mau!”Meski akhirnya aku cuma menjawab. “Tanyakan saja padanya.” Lalu pergi dari sana dan b
Olivia FinleyEri masih mau bercerita panjang lebar, tapi calon suaminya yang bajingan itu, tiba-tiba sekali menelepon. Seolah tahu kalau kami sedang membicarakannya. “Ya, Brad? Ah, aku di kamar ZeeZee. Oh, tidak usah. Tidak perlu ke sini. Aku akan segera ke sana sekarang. Ya? Hmm ...” Eri menatapku dengan malu-malu, “aku mengerti. Pasti kukenakan.”Haih, demi apa? Kurasa Eri bisa mati sanking senangnya.“Kenapa?” Sungguh, aku cuma basa-basi. Tidak sepenasaran itu, kecuali tentang bagaimana Eri akhirnya tertangkap hidup-hidup oleh Brady.Masih seperti tadi, malu-malu yang tidak ada gunanya, Eri menggigit bibirnya. Entah kapan terakhir kali aku pernah melihat tingkahnya seperti ini.“Brady memberikan gaun padaku, dia memintaku untuk mengenakannya saat kami bertemu.”“Sekarang?”Eri mengangguk. Buru-buru pergi dari kamarku seperti dikejar sesuatu. Tidak akan kususul. Biarkan saja. Aku perlu tidur sebentar. Paling nanti dia datang kembali sambil merengek memintaku menilai dirinya dalam
Olivia FinleyOh, si paling tampan di keluarga Oxley. Hugo.“Apa kabarmu, ZeeZee terkasih?” Dekat-dekat hanya untuk mengecup puncak kepalaku.Hei, hei. Dia satu tingkat lebih berani dari saat terakhir kali kami bertemu. Kudorong wajahnya yang ingin merapat padaku.“Hugo, hentikan.”“Rhys sedang memberi kata sambutan. Jadi dia tidak akan melihat kita,” bisik Hugo.Tinju seriusku mendarat di perutnya. “Berhenti bercanda, Hugo. Aku sungguh-sungguh saat memperingatimu.”Hugo tampak jelas berpura-pura tuli karena dia langsung beralih pada Eri yang sedang cekikikan melihat interaksi kami berdua.“Nona Eri yang cantik jelita, langsung pergi ke sisi calon tunanganmu sekarang. Rhys itu tidak pernah memberi sambutan panjang lebar.” Hugo dengan gaya pria sejati, membungkuk mempersilakan Eri seolah dia pengawal sang tuan putri.Terkikik geli, Eri menurutinya daripada aku yang sudah melotot dan tidak bisa menggapai tangannya sebab dia berlari pergi meninggalkan kami.“Wajahmu tampak tidak rela,” tu
Olivia Finley“Aku tidur di sini, ya?” Eri menggulung gaunnya menjadi buntalan, setengah telanjang di atas ranjangku. Hanya bra dan celana dalam. “Lakukan sesukamu, Nona cengeng.” Beranjak untuk berganti pakaian, pintu kamarku diketuk.Rhys!Pasti dia!Aku berlari ke arah ranjang, menarik selimut dan mengancam Eri dengan suara pelan. “Itu Rhys, jadi tutupi tubuhmu, Nona!”Eri terkikik, menutupi tubuh bahkan bersembunyi dibalik selimut.Pintu terbuka, bukan Rhys yang berdiri dihadapanku, tapi Brady.“Olive, a—”“Eri, calon suamimu datang!” Aku menyela dengan menyeru. Tujuanku tentu saja agar Brady tidak bertindak seperti saat sebelumnya dia datang ke kamarku.“Hah? Brady!” Suara Eri terdengar riang, bahkan lompatannya dari atas ranjang ke lantai bisa terdengar. Oh—“Hei, Eri! Pakai selimutmu!” Panik, aku melotot padanya, tapi wanita itu santai saja berlarian kecil menghampiri kami di pintu.“Meski tampilannya begitu, aku tidak tertarik.” Brady menatapku.“Apa?” Eri menyela. Langsung b
Rhys Dimitri OxleyYang kutemukan adalah kepanikan. Para pelayan rumah masih di sini, karena membantu menyelesaikan semua sisa dari acara pertunangan Brady dan Eri.Merekalah yang panik dan ketakutan.“Ada apa ini?”Bukan aku yang bertanya, tapi Hugo. Bahkan Leon dan Adorjan juga ada di sana.“Tu-tuan tamu, oh maksudku, tuan Brady dan tunangannya terjatuh dari lantai tiga.”“Kalian melihat langsung saat mereka terjatuh?” tanyaku sambil mendekat. Semua mata mendadak mengarah padaku. “Tidak, Tuan Rhys. Kami sedang di dapur saat kejadian berlangsung. Jeritan nona Eri mengejutkan kami. Saat kami keluar rumah, keduanya sudah ada di atas mobil tuan Leon dalam keadaan tidak sadarkan diri dan berdarah-darah.” Salah satu dari keempat pelayan memberi keterangan.“Bagaimana sekarang?” Leon bertanya padaku.Kenapa bertanya? Harusnya mereka bergerak untuk mengatasi hal ini atau setidaknya memastikan keadaan kedua orang itu.Karena memang sudah jadi kesepakatan antara kami dan para pekerja di rumah
Olivia FinleyBrady membawa Eri pergi, entah ke mana, setelah satu kali dua puluh empat jam berada di rumah sakit yang ada di Yellowrin.“Brady lebih berhak karena kini Eri adalah calon istrinya,” kata Rhys, ketika aku protes kenapa dia membiarkan Brady melakukan itu pada sahabatku. Seolah memisahkan kami. Dengan sengaja pula.“Karena aku cuma teman, aku tidak cukup berhak, ya?” Rhys mengecup pelan bibirku selagi mengelus kulit lenganku.“Eri baik-baik saja. Percayalah, Sayang.”Kuembuskan napas tepat di dadanya yang kini menjadi sandaranku. “Katanya, kau ingin membicarakan hal serius denganku. Soal apa itu? Eri?”“Bukan, ZeeZee. Ini soal kita.”Spontan aku mendongak dan menatapnya dari bawah sini, namun rasanya kurang tepat. Keluar dari sandaran dekapannya setengah tidak rela, kutatap dia lekat-lekat.Sepertinya sudah sangat lama aku tidak diajak bicara seserius ini dengan pria terkasihku.“Kita? Kita kenapa?”Helaan napas Rhys membuatku tegang. Seperti ada sesuatu yang malah membuat