Olivia Finley
Si bocah nyatanya menjerit-jerit minta dilepaskan sembari meronta. Aku memang tidak bisa melihatnya, tapi telingaku mendengar dengan jelas bagaimana berisiknya si bocah coba melepaskan diri.
Mansion ini sepi tanpa penjaga. Membuatku curiga bahwa memungkinkan sekali jika ini hanyalah jebakan. Tapi untuk apa? Siapa yang ingin dijebak?
Perlahan sembari melihat ke kiri dan kanan, aku berjalan cepat dengan kedua ujung kaki berjinjit.
Sekarang aku sudah masuk melalui sebuah jendela besar rendah tanpa jeruji atau penghalang apa pun. Seolah jendela ini bisa digunakan sebagai pintu untuk masuk ke mansion ini. Menggunakan jalur lain, selain pintu depan.
Daripada mansion, tempat ini lebih mirip seperti rumah tua yang ukurannya cukup besar dengan halaman yang tidak kalah luasnya.
Aku berjalan hati-hati. Melihat sekeliling dan kuyakin ruangan ini pasti digunakan untuk acara pertemuan atau rapat bahkan mungkin hal lainnya.
Terlihat dari adanya deretan kursi yang mengelilingi sebuah meja panjang. Kudengar jelas suara si bocah yang menangis meraung di dinding sebelahku.
Cepat, aku berlari keluar tapi wajahku menubruk sesuatu yang tidak empuk, tapi juga tidak keras.
Tubuhku limbung, mundur dengan sendirinya. Kepalaku rasanya berputar karena tubrukan tadi cukup kuat dan membuat hidungku menjadi perih sekaligus gatal.
“Oh, kau tidak apa-apa?”
Mendongak dengan sebuah tangan yang memegangi satu lenganku agar tidak terjatuh, aku nyaris marah besar saat menyadari siapa yang kulihat.
Si sialan waktu itu!
Pria yang membuat penatuku masuk ke berbagai berita yang tersebar cepat di Halbur. Pria yang bekerjasama dengan Siren untuk menyebarkan fitnah ke mana-mana.
“Hai, kita bertemu lagi.”
Sapaannya mengejutkanku. Cepat-cepat kutepis tangannya yang masih di lenganku.
“Kau pemilik tempat ini?”
“Yap.” Dia mengangguk. Tampilannya berubah. Sedikit berantakan dengan gaya santai. Ini jam malam, wajar saja.
“Lalu, siapa bocah yang tadi dibawa masuk oleh beberapa orang?” tanyaku cepat. Semoga mereka saling kenal agar aku tidak perlu berurusan lagi dengannya andai dia berprofesi sebagai penculik atau melakukan praktik jual beli manusia di bawah umur.
“Dia keponakanku.”
Jawaban yang melegakan hatiku. Sekarang aku harus minta maaf dan—
“Terima kasih sudah membawanya kembali.” Dia tersenyum. Senyum yang lebar dan tidak terlihat tulus bagiku.
“Ya tidak apa. Kebetulan aku bertemu dengannya dipinggir jalan. Melihatnya duduk beralaskan tanah dan kupikir dia tersesat.”
Wajah pria menyebalkan ini semakin menyebalkan saja saat aku berkata seperti itu.
Aku muak melihatnya!
“Jika benar dia keponakanmu, kurasa aku harus pergi sekarang karena tugasku sudah selesai.” Aku berbalik, tapi merasakan lenganku ditarik kuat.
Oh, dasar berengsek!
“Sudah lewat jam makan malam. Setidaknya kau menemaniku makan sebagai ucapan terima kasihku padamu.”
Apa katanya? Dia ini bicara apa? Menjengkelkan sekali.
Kutarik lenganku, tapi terjadi tarik menarik di antara kami.
Wow, apa haknya memperlakukanku seperti ini?
“Lepas atau kutendang anggota tubuh yang berharga jangka panjang milikmu.” Aku mengancam tanpa melihat ke arah dua pangkal pahanya.
Dia tertawa. Tidak melepasku, tapi mendekatkan wajahnya tepat di depan wajahku.
Bisa kulihat wajahnya lebih teliti sekarang. Ketampanan yang setara dengan Rhys. Rambut lurus yang tebal, hidung mancung yang sedikit lebih besar dari Rhys, dan sepasang mata yang kelabu.
Aku sungguh tidak berniat untuk memperhatikan yang lain.
Jujur saja, aku akan selalu membandingkan siapa pun pria dewasa yang mendekat di sekitarku dengan Rhys. Pria tercintaku.
“Lakukanlah. Jika kau berhasil, aku akan meminta ganti rugi padamu.” Dia bicara di depan bibirku.
Menjijikkan!
Aku mendorong kepalaku ke belakang dan meronta sekali lagi. “Menjauh dariku. Aku serius akan menendang alat kelaminmu, berengsek!”
Satu kakiku siap menendang, tapi pria ini menahannya dengan menjepit kakiku menggunakan dua kakinya. Membuatku merasa semakin muak dengan sikapnya.
“Ayo, bicara baik-baik. Kau harus menurutiku atau kutelanjangi kau di sini.”
Mendengar ancamannya membuatku merinding. Dasar berengsek!
Tanpa sadar, aku sudah diseret ke sebuah ruangan yang tampaknya sebuah ruang tamu dengan ukuran yang luas dan serba cokelat kayu manis.
Dia sudah melepasku sekarang, jadi aku punya kesempatan untuk lari menjauh darinya. Kita coba saja—
“Kau benar-benar memintaku menelanjangimu ya? Dasar keras kepala!” Dia sudah memelukku. Kali ini membuatku seperti tahanan. Kedua tanganku berada dibalik punggungku.
“Jangan coba-coba menyentuhku, sialan! Aku bisa mematahkan kelaminmu jika berani menyentuhku lebih dari ini!” Aku berteriak sekarang. Berharap ada orang waras lain di rumah ini. Mungkin seorang wanita. Ibunya, istrinya, adik atau kakak perempuannya, dan siapa pun itu yang bisa membuatnya berhenti melakukan ini padaku.
“Wah, wah Olive. Kau benar-benar luar biasa. Baru ada wanita yang berani menolakku dengan cara kasar sepertimu.” Dia sudah mendorongku ke sofa, menjatuhkan tubuh kami bersama dan menindihku.
Lagi-lagi aku gagal saat ingin menendang warisan masa depannya. Dia menjepit dan menindihku secara bersamaan.
Melihat dari tubuhnya yang nyaris mirip dengan tubuh kekasihku, kupikir dia tidak sekuat ini. Kecuali Rhys. Dia memang kuat. Dia bukan pria biasa. Rhys Dimitri Oxley yang akan kucintai seumur hidupku.
Kurasakan tubuhnya begitu menekan tubuhku. Ke mana kekuatan ZeeZee dua tahun yang lalu? Apa ikut pergi bersama hilangnya ancaman dari kehidupan sebelumnya?
“Dengar, Nona Olive. Aku bisa melakukan apa pun sekarang padamu.”
Geram. Aku tahu dia entah sengaja atau tidak, tapi bagian bawah di antara dua pangkal pahanya itu menggesek bagian luar jeans-ku.
Aku meludahi wajahnya. Rasakan!
“Lepas atau—”
Bunyi robekan kemejaku menjadi balasan atas sikapku yang meludahi wajahnya.
“Atau apa?” Dia menyeringai. “Aku akan melakukan apa pun yang bisa membuatmu berhenti melawan dan meludahiku.”
Saat dia berkata seperti itu, aku benar-benar bersiap meludahinya lagi—
Bibirnya menahan bibirku. Dia menggigit bibirku pada bagian atas dan bawah secara bergantian.
“Berhenti meludahiku, Olive! Mau kucium—akh!”
Aku membenturkan kepalaku ke wajahnya. Jelas tahu perbuatanku mengenai batang hidungnya yang lurus. Bagus! Rasakan itu, bajingan!
Jelas kondisinya tidak lagi sesiaga tadi. Jadi aku mendorong kuat tubuhnya menjauh dariku. Sempat terjatuh dari sofa, aku merasakan salah satu kakiku ditangkap olehnya.
“Jinaklah sedikit, Olive.” Dia menggeram. Sekarang menarik kedua kakiku dan menyeretku di sepanjang ambal berbulu yang ikut kutarik. Sungguh berharap—
“Oh!” Aku nyaris memekik ketika kedua tangannya mengangkat tubuhku. Dia menggendongku layaknya sekarung beras.
“Tenang, Olive. Aku sudah memperingatkanmu. Hanya akan ada dua hingga lima pertanyaan. Kenapa tidak patuh saja daripada kupaksa tubuhmu berada di bawah tubuhku di atas ranjang malam ini?”
Aku mulai berpikir. Apa ada yang bisa kupercaya selain Rhys? Bahkan Rhys juga tidak mendapat seratus persen dari kepercayaanku.
“Turunkan aku.” Aku memelankan suaraku. Dia harus tahu bahwa aku serius. Kulihat kami melewati sebuah lorong yang kiri kanannya terdapat pintu, pintu kamar.
Kacau jika sampai aku dibawa masuk ke salah satunya.
“Berjanjilah jika kau akan mendengarkanku atau aku juga tidak akan mendengarkanmu, Olivia Finley.”
“Oke.” Detik itu juga aku setuju. Harus. Daripada dibawa masuk ke kamarnya.
Tubuhku diturunkan. Karena pusing berada pada posisi kepala di bawah, aku limbung. Segera bersandar ke pintu yang tertutup dibelakangku.
Aku dan dia masih di lorong.
Bersambung.
Rhys Dimitri Oxley“Apa ini?” Aku tegak berdiri saat Audrey Mika Dawson menghadangku di loby hotel tempat aku akan menghadiri pertemuan dengan salah satu rekan bisnis legalku.“Kenangan terakhir kakakku untukmu.” Dia tersenyum manis, menyodorkan sebuah kotak berukuran sedang padaku.“Siapa yang memintamu melakukan ini?” Kutatap tajam dia dengan tujuan agar mulai detik ini, berhenti mengikutiku di setiap dia memiliki kesempatan sekecil apa pun itu.Audrey Mika yang sangat tidak mirip dengan mantan kekasih lamaku yang sudah tiada itu, tersenyum sinis.“Tentu saja aku melakukan apa yang tidak pernah sempat dia lakukan untukmu, Rhys. Untuk semua rasa sakit yang dia terima darimu.”“Kau ingin balas dendam?”“Itu rahasia.”“Bagus. Coba saja.” Aku berjalan melewatinya. Sudah ada Lucas yang akan mengatasi Audrey untukku.
Olivia FinleyAku selamat? Tidak juga.Dia hanya mendorongku masuk ke kamar dan membiarkan aku sendirian di sini. Tanpa bisa melawan. Bodohnya kau, ZeeZee!Kamar yang benar-benar sempit. Ini jelas kamar pelayan! Tidak ada celah untukku kabur. Sekarang apa? Tidur? Tidak, aku tidak bisa tidur di saat seperti ini. Walau aku justru merasa lelah dan mengantuk.Sial sekali memang. Ponselku kehabisan daya baterai saat kucoba memeriksanya sedetik lalu.Benar-benar sialan! Kutendang pintu berulang kali. Aku hanya cemas akan—“Ada apa, Olive?” Pintu terbuka sedikit. Hanya menampilkan setengah tubuh pria berengsek itu.“Katamu, kita akan bicara. Ayo, bicara sekarang. Aku tidak bisa menunggu sampai pagi. Aku harus pulang. Pekerjaanku banyak.” Aku melotot padanya. Kupegangi pundakku yang jadi pusat perhatiannya. Kemeja yang kukenakan dirobek olehnya di bagian pundak kananku.“O
Olivia FinleyEntah dari mana aku menyimpulkan itu sebagai namanya, yang jelas aku bisa berlari keluar ruangan ini sekarang. Si pelayan yang berdiri di ambang pintu, tercengang menatapku tanpa bisa melakukan apa pun selain menerima jari tengahku yang teracung untuknya.Sembari tertawa puas dalam hati, aku coba mengingat di mana ruangan mirip tempat rapat itu dan berhasil menemukannya dengan cepat. Aku sudah melompat keluar jendela ketika suara bocah itu memanggilku.“Kakak? Kenapa Kakak ada di sini?” Dia berdiri didekat jendela, sementara aku sudah di luar.Aku tersenyum sekilas padanya. “Aku mencemaskanmu. Kupikir tadi kau diculik, ternyata dia pamanmu kan?”Si bocah mengangguk, tapi wajahnya menyiratkan sesuatu. “Sebenarnya, aku tidak menyukai paman Brady. Aku memintamu mengantarkanku ke tempat paman Jonathan.” Dia beralasan.Aku melihat melewati kepala mungilnya. Belum ada tanda-tand
Olivia Finley “Jika kau sudah selesai, sebaiknya segera antarkan aku pulang. Aku juga tidak keberatan andai kau meminjamiku ponselmu agar aku bisa memesan taksi.” Mengalihkan haus dan lapar, sebaiknya aku mendesaknya untuk membiarkanku pergi. “Aku belum selesai.” Dia mendorong piring kosongnya ke kanan, dan menarik piring berisi hidangan penutup. “Tidak perlu memanggil taksi. Aku yang akan mengantarkanmu pulang.” “Oke. Kutunggu lima menit lagi. Jika kau inggar, aku akan pulang sendiri tanpa perlu bantuanmu lagi.” Aku mengancam dengan rasa cemas yang bersarang di dalam diriku. Bagaimana jika dia benar-benar tidak akan mengantarkanku pulang? Aku hanya cemas karena ini terlalu larut untuk seorang wanita berada di rumah pria. Sekuatnya diriku, tetap akan kalah dari seorang pria. Kecuali aku itu seorang pahlawan wanita super. Ah, tidak tidak. Berpikirlah positif, ZeeZee! “Ayo, pulang.” Di
Rhys Dimitri OxleySelesai. Masalahnya selesai tidak dengan mudah. Aku harus menggertak dengan mengacungkan pistol ke wajah satu persatu orang yang kulihat di ruangan itu, karena ternyata mereka lebih gigih dari yang kukira. Segigih Audrey Mika Dawson. Mereka cocok menjalin kerjasama.“Rhys!”Si jalang ini muncul dari mana? Apa salah satu dari mereka menghubungi dia dan memberitahu bahwa aku sudah berhasil membatalkan rencana mereka?“Rhys, tunggu.” Audrey menyentuh lenganku, aku menepisnya.“Bicara dari situ.” Aku memperingatkan, mundur, dan membuat jarak nyata.“Kau sungguh egois. Kenapa membatalkan apa yang akan kami kerjakan?”“Kau kesulitan keuangan?” Kuhina dia dengan tatapan mengasihani. “Jika kau membutuhkannya, beritahu pada Lucas. Orang yang setiap hari mengusirmu kala kau mengusikku itu, sudah bersedia menanganimu lebih jauh lagi mulai sekarang.
Olivia FinleyBeruntung sekali Rhys tidak menyadari ketakutanku. Ketakutan saat melarikan diri dari rumah sakit dan membuat Brady White terlempar dari ranjang.Aku begitu takut kemarin. Brady nyaris melepas pakaianku, memaksaku bercinta dengannya—tidak, bukan. Kupikir itu gertakan, karena dia jelas tahu aku begitu benci disentuh olehnya.Kemarin, lebih mengerikan dari yang pernah Luigi lakukan padaku. Begitu takut, perasaan yang belum pernah hadir sejak pertama kali aku mengenal Brady, seketika muncul.Aku lupa bagaimana detailnya karena terlalu panik. Yang jelas kuingat, aku menendang dan meninjunya begitu kuat hingga selang infus terlepas dan aku melompat dari ranjang.Melarikan diri dan beruntung tidak dikejar. Aku bersembunyi di rumah seharian, menutup penatu dengan pemberitahuan pada para pelanggan melalui telepon mengenai alasan aku libur satu hari.Rhys datang dan aku masih dalam mode panik.
Rhys Dimitri Oxley Aku mengikuti ZeeZee keluar kamar tanpa sepengetahuan wanitaku itu. Dia terburu menggeser pintu berbingkai kaca penatunya. Tempat ini sedikit tua. Jujur saja, aku benci melihatnya harus tinggal di rumah seperti ini. Bukan karena ‘tua’-nya, tapi sistem keamanannya yang rentan kejahatan untuk seorang wanita yang tinggal sendirian di rumah seluas ini. Bisa kudengar ZeeZee meminta maaf berulang kali pada seorang pria yang mungkin seusia denganku atau sedikit lebih tua jika menilai dari rambut dan jambangnya yang memutih. Pria itu datang bersama seorang bocah—pasti anaknya—yang terus memandangku tanpa berkedip. Aku yakin bukan karena ketampananku, tapi itu tatapan penasaran. Wajah premanku terlihat jelas, ya? Aku tergelak di dalam hati. Semenit setelah ZeeZee menyerahkan pakaian yang menyebar harum lembut ke mana-mana pada pria itu, dia berbalik untuk merasa canggung padaku. “Kenapa?” Aku menyambutn
Olivia Finley Bukan mimpi. Sekejap saja, Rhys mewujudkan perkataannya padaku. Menikah. Hal itu akan segera terlaksana pagi ini, jam sembilan dua puluh satu menit. Berarti tersisa waktu lima belas menit lagi bagiku untuk berbincang mengenai banyak hal mendadak terjadi dalam hidupku, bersama Eri dan Hyra. Mereka berdua hadir. Entah bagaimana, Rhys melakukannya. Aku tidak sempat bertanya karena terlalu antusias dan merasa sangat terkejut. Kupikir, ini akan terjadi pekan depan paling cepat dan bulan depan paling lambat. Nyatanya, hanya berselang dua hari saja dari niat yang dibicarakan, semua telah siap di depan mata. Aku hanya perlu memilih gaun tanpa kerumitan sesuai keinginanku dan beberapa aksesoris pelengkap lainnya. Rhys, kau benar-benar luar biasa! Eri yang terbang dari Yellowrin, Hyra yang tiba-tiba muncul dengan tiga gaun dihadapanku, dan Luigi bersama tunangannya—Kimmy—turut hadir me