Share

8. Malang Bagiku

Olivia Finley

Si bocah nyatanya menjerit-jerit minta dilepaskan sembari meronta. Aku memang tidak bisa melihatnya, tapi telingaku mendengar dengan jelas bagaimana berisiknya si bocah coba melepaskan diri.

Mansion ini sepi tanpa penjaga. Membuatku curiga bahwa memungkinkan sekali jika ini hanyalah jebakan. Tapi untuk apa? Siapa yang ingin dijebak?

Perlahan sembari melihat ke kiri dan kanan, aku berjalan cepat dengan kedua ujung kaki berjinjit.

Sekarang aku sudah masuk melalui sebuah jendela besar rendah tanpa jeruji atau penghalang apa pun. Seolah jendela ini bisa digunakan sebagai pintu untuk masuk ke mansion ini. Menggunakan jalur lain, selain pintu depan.

Daripada mansion, tempat ini lebih mirip seperti rumah tua yang ukurannya cukup besar dengan halaman yang tidak kalah luasnya.

Aku berjalan hati-hati. Melihat sekeliling dan kuyakin ruangan ini pasti digunakan untuk acara pertemuan atau rapat bahkan mungkin hal lainnya.

Terlihat dari adanya deretan kursi yang mengelilingi sebuah meja panjang. Kudengar jelas suara si bocah yang menangis meraung di dinding sebelahku.

Cepat, aku berlari keluar tapi wajahku menubruk sesuatu yang tidak empuk, tapi juga tidak keras.

Tubuhku limbung, mundur dengan sendirinya. Kepalaku rasanya berputar karena tubrukan tadi cukup kuat dan membuat hidungku menjadi perih sekaligus gatal.

“Oh, kau tidak apa-apa?”

Mendongak dengan sebuah tangan yang memegangi satu lenganku agar tidak terjatuh, aku nyaris marah besar saat menyadari siapa yang kulihat.

Si sialan waktu itu!

Pria yang membuat penatuku masuk ke berbagai berita yang tersebar cepat di Halbur. Pria yang bekerjasama dengan Siren untuk menyebarkan fitnah ke mana-mana.

“Hai, kita bertemu lagi.”

Sapaannya mengejutkanku. Cepat-cepat kutepis tangannya yang masih di lenganku.

“Kau pemilik tempat ini?”

“Yap.” Dia mengangguk. Tampilannya berubah. Sedikit berantakan dengan gaya santai. Ini jam malam, wajar saja.

“Lalu, siapa bocah yang tadi dibawa masuk oleh beberapa orang?” tanyaku cepat. Semoga mereka saling kenal agar aku tidak perlu berurusan lagi dengannya andai dia berprofesi sebagai penculik atau melakukan praktik jual beli manusia di bawah umur.

“Dia keponakanku.”

Jawaban yang melegakan hatiku. Sekarang aku harus minta maaf dan—

“Terima kasih sudah membawanya kembali.” Dia tersenyum. Senyum yang lebar dan tidak terlihat tulus bagiku.

“Ya tidak apa. Kebetulan aku bertemu dengannya dipinggir jalan. Melihatnya duduk beralaskan tanah dan kupikir dia tersesat.”

Wajah pria menyebalkan ini semakin menyebalkan saja saat aku berkata seperti itu.

Aku muak melihatnya!

“Jika benar dia keponakanmu, kurasa aku harus pergi sekarang karena tugasku sudah selesai.” Aku berbalik, tapi merasakan lenganku ditarik kuat.

Oh, dasar berengsek!

“Sudah lewat jam makan malam. Setidaknya kau menemaniku makan sebagai ucapan terima kasihku padamu.”

Apa katanya? Dia ini bicara apa? Menjengkelkan sekali.

Kutarik lenganku, tapi terjadi tarik menarik di antara kami.

Wow, apa haknya memperlakukanku seperti ini?

“Lepas atau kutendang anggota tubuh yang berharga jangka panjang milikmu.” Aku mengancam tanpa melihat ke arah dua pangkal pahanya.

Dia tertawa. Tidak melepasku, tapi mendekatkan wajahnya tepat di depan wajahku.

Bisa kulihat wajahnya lebih teliti sekarang. Ketampanan yang setara dengan Rhys. Rambut lurus yang tebal, hidung mancung yang sedikit lebih besar dari Rhys, dan sepasang mata yang kelabu.

Aku sungguh tidak berniat untuk memperhatikan yang lain.

Jujur saja, aku akan selalu membandingkan siapa pun pria dewasa yang mendekat di sekitarku dengan Rhys. Pria tercintaku.

“Lakukanlah. Jika kau berhasil, aku akan meminta ganti rugi padamu.” Dia bicara di depan bibirku.

Menjijikkan!

Aku mendorong kepalaku ke belakang dan meronta sekali lagi. “Menjauh dariku. Aku serius akan menendang alat kelaminmu, berengsek!”

Satu kakiku siap menendang, tapi pria ini menahannya dengan menjepit kakiku menggunakan dua kakinya. Membuatku merasa semakin muak dengan sikapnya.

“Ayo, bicara baik-baik. Kau harus menurutiku atau kutelanjangi kau di sini.”

Mendengar ancamannya membuatku merinding. Dasar berengsek!

Tanpa sadar, aku sudah diseret ke sebuah ruangan yang tampaknya sebuah ruang tamu dengan ukuran yang luas dan serba cokelat kayu manis.

Dia sudah melepasku sekarang, jadi aku punya kesempatan untuk lari menjauh darinya. Kita coba saja—

“Kau benar-benar memintaku menelanjangimu ya? Dasar keras kepala!” Dia sudah memelukku. Kali ini membuatku seperti tahanan. Kedua tanganku berada dibalik punggungku.

“Jangan coba-coba menyentuhku, sialan! Aku bisa mematahkan kelaminmu jika berani menyentuhku lebih dari ini!” Aku berteriak sekarang. Berharap ada orang waras lain di rumah ini. Mungkin seorang wanita. Ibunya, istrinya, adik atau kakak perempuannya, dan siapa pun itu yang bisa membuatnya berhenti melakukan ini padaku.

“Wah, wah Olive. Kau benar-benar luar biasa. Baru ada wanita yang berani menolakku dengan cara kasar sepertimu.” Dia sudah mendorongku ke sofa, menjatuhkan tubuh kami bersama dan menindihku.

Lagi-lagi aku gagal saat ingin menendang warisan masa depannya. Dia menjepit dan menindihku secara bersamaan.

Melihat dari tubuhnya yang nyaris mirip dengan tubuh kekasihku, kupikir dia tidak sekuat ini. Kecuali Rhys. Dia memang kuat. Dia bukan pria biasa. Rhys Dimitri Oxley yang akan kucintai seumur hidupku.

Kurasakan tubuhnya begitu menekan tubuhku. Ke mana kekuatan ZeeZee dua tahun yang lalu? Apa ikut pergi bersama hilangnya ancaman dari kehidupan sebelumnya?

“Dengar, Nona Olive. Aku bisa melakukan apa pun sekarang padamu.”

Geram. Aku tahu dia entah sengaja atau tidak, tapi bagian bawah di antara dua pangkal pahanya itu menggesek bagian luar jeans-ku.

Aku meludahi wajahnya. Rasakan!

“Lepas atau—”

Bunyi robekan kemejaku menjadi balasan atas sikapku yang meludahi wajahnya.

“Atau apa?” Dia menyeringai. “Aku akan melakukan apa pun yang bisa membuatmu berhenti melawan dan meludahiku.”

Saat dia berkata seperti itu, aku benar-benar bersiap meludahinya lagi—

Bibirnya menahan bibirku. Dia menggigit bibirku pada bagian atas dan bawah secara bergantian.

“Berhenti meludahiku, Olive! Mau kucium—akh!”

Aku membenturkan kepalaku ke wajahnya. Jelas tahu perbuatanku mengenai batang hidungnya yang lurus. Bagus! Rasakan itu, bajingan!

Jelas kondisinya tidak lagi sesiaga tadi. Jadi aku mendorong kuat tubuhnya menjauh dariku. Sempat terjatuh dari sofa, aku merasakan salah satu kakiku ditangkap olehnya.

“Jinaklah sedikit, Olive.” Dia menggeram. Sekarang menarik kedua kakiku dan menyeretku di sepanjang ambal berbulu yang ikut kutarik. Sungguh berharap—

“Oh!” Aku nyaris memekik ketika kedua tangannya mengangkat tubuhku. Dia menggendongku layaknya sekarung beras.

“Tenang, Olive. Aku sudah memperingatkanmu. Hanya akan ada dua hingga lima pertanyaan. Kenapa tidak patuh saja daripada kupaksa tubuhmu berada di bawah tubuhku di atas ranjang malam ini?”

Aku mulai berpikir. Apa ada yang bisa kupercaya selain Rhys? Bahkan Rhys juga tidak mendapat seratus persen dari kepercayaanku.

“Turunkan aku.” Aku memelankan suaraku. Dia harus tahu bahwa aku serius. Kulihat kami melewati sebuah lorong yang kiri kanannya terdapat pintu, pintu kamar.

Kacau jika sampai aku dibawa masuk ke salah satunya.

“Berjanjilah jika kau akan mendengarkanku atau aku juga tidak akan mendengarkanmu, Olivia Finley.”

“Oke.” Detik itu juga aku setuju. Harus. Daripada dibawa masuk ke kamarnya.

Tubuhku diturunkan. Karena pusing berada pada posisi kepala di bawah, aku limbung. Segera bersandar ke pintu yang tertutup dibelakangku.

Aku dan dia masih di lorong.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status