Share

7. Si Bocah Diculik

Olivia Finley

Bocah ini benar-benar mengacau. Dia berguling-guling di tanah yang berkerikil hingga tubuhnya yang tidak terlindung kaus juga celana usangnya, tergores di sana sini.

“Hei, berhenti berguling!” Aku sudah membentak karena tidak tahan melihat ulahnya yang disengaja. Semua mata mengawasiku seolah aku bukan ibu yang becus menjaga seorang bocah.

Dia bukan anakku! Aku terlalu muda untuk anak seusia bocah ini.

Ingin sekali aku berteriak marah pada setiap orang yang melirik tajam ke arahku.

Dia bukan bocah enam tahun, tapi sepuluh tahun! Dia cukup pintar untuk sekedar mengingat jalan menuju rumahnya. Terutama bersandiwara seperti sekarang ini.

“Bawa aku ke tempat pamanku!” Teriakan dan tangisnya semakin menjadi-jadi.

Aku kehilangan kesabaran walau dua puluh lima menit belum berlalu dan aku masih bertahan. Hebat!

Setelah menghembuskan napas kasar, aku sengaja berbalik meninggalkannya dengan langkah pelan dan hanya bermaksud untuk memprovokasi bocah sepuluh tahun itu bicara atau apa pun selain meraung seperti ini.

Langkah kakiku semakin berat walau kutahu—oh, sial! Bocah ini benar-benar mengujiku.

Lihat dia!

Masih dalam posisi berbaring di tanah, dia memeluk satu kakiku dan membiarkan tubuh kecilnya itu ikut terseret setiap kali aku melangkah.

Aku berhenti dengan rencana bodohku. Sekarang aku termagu dengan tatapan menunduk ke tanah, ke tubuhnya.

“Berhenti menangis dan berguling di tanah, Anak baik. Jika kau menurutiku, maka aku akan membantumu. Aku berjanji.”

Dia masih menangis, walau kutahu sekarang volumenya sudah semakin turun dan akhirnya benar-benar menghilang dalam sepersekian detik. Yah, setidaknya telingaku selamat. Terlebih harga diriku. Walau aku tahu, dia sengaja melakukannya.

Aku tidak yakin dia pengemis atau anak jalanan. Karena di Halbur, meski tempat ini hanyalah kota  kecil di sebuah negara bagian, angka pencuri dan gelandangan bahkan penduduk yang kekurangan sangatlah kecil.

Jadi aku mulai berpikir, dia mungkin memang benar-benar kehilangan orang tuanya saat sedang pergi bersama mereka atau justru hal lain yang aku tidak tahu.

Sekarang aku berjongkok menyetarakan tinggi kami. Dia sedang menyerut ingus saat aku mulai bertanya tentang hal paling mendasar menurutku.

“Apa kau bersedia kubawa ke kantor polisi?”

“Untuk apa? Aku bukan penjahat!” Suaranya melengking. Benar-benar menyakitkan telinga.

“Polisi akan membantu kita menemukan pamanmu.” Walau sejujurnya aku sama sekali tidak yakin. Yang benar saja. Aku enggan berurusan dengan Polisi. Terlebih di Halbur, aku sengaja menghindari masalah.

Ingat, aku hidup dengan identitas orang lain. Jati diri palsu!

“Aku tidak mau!”

Jujur saja. Aku setuju denganmu, bocah.

“Lalu bagaimana aku bisa mengantarkan kau ke tempat pamanmu?” Setelah kulihat lebih lama, bocah ini tampan rupawan yang tertutup dengan rambut berantakan dan pakaian usang. Dan hebat, dia tidak mengenakan alas kaki.

“Akan kupikirkan nanti. Sekarang belikan aku makanan.” Dia bicara dengan ciri khas orang dewasa awal tiga puluhan.

Benar-benar!

“Apa yang ingin kau makan, Tuan muda?” Kusengajakan merendahkan suaraku, tapi tidak harga diriku. Meski dia seorang anak kecil, aku enggan tampak lemah di depannya.

“Kenapa kau memanggilku seperti itu? Memangnya kau tahu siapa aku?” Dia tampak panik. Melihat ke kiri dan kanan kami yang mulai sepi, nyaris malam akan segera tiba.

“Tidak, bocah. Aku sungguh tidak tahu siapa kau dan aku juga tidak peduli tentang hal itu. Cepat katakan, apa yang ingin kau makan?” Sekarang sepertinya aku tidak perlu cemas untuk menunjukkan karakter asliku pada bocah sok dewasa ini. Lagipula, jangan berbohong di depan anak-anak. Mereka akan meniru perbuatanmu. Baik atau buruk.

“Cokelat dan susu.” Dia memegangi lengan kemeja panjangku alih-alih menggenggam tanganku.

“Ini sudah hampir tiba jam makan malam. Memangnya kau cukup hanya dengan itu saja?”

“Biasanya aku malah tidak makan.” Dia memperlihatkan senyum dengan barisan gigi yang rapi untuk anak seusianya. Aku yakin dia tidak memiliki tampang pengemis, ini wajah bintang. Tapi apa maksudnya dengan biasanya dia tidak makan? Apa dia sebegitu sulit menjalani hidup bersama keluarganya hingga makan tiga kali sehari pun tidak mampu diberikan oleh ayah dan ibunya?

Kutatap dia yang kini justru mengayun-ayunkan lenganku maju mundur tanpa meminta izin terlebih dulu padaku. Bocah ini selain malang, dia juga menyebalkan!

“Apa pekerjaan ayah dan ibumu?”

“Lihat. Itu minimarketnya, bukan?” Dia menunjuk minimarket diseberang kami. “Ayo, cepat!”

Entah dia benar-benar pintar mengalihkan atau benar-benar kelaparan, jika dia adik atau keponakanku sudah pasti kupukul kepalanya.

Kami menyeberangi jalan dan masuk ke minimarket, lalu terpisah. Bocah itu memang tidak mau mendengarkanku. Dia sudah melesat ke bagian rak cokelat dan lemari pendingin, sementara aku harus membeli popok lansia untuk neneknya Hyra.

Kedua mataku masih memantaunya dalam jarak sepuluh meter. Kulihat dia begitu bersemangat memilih cokelat dan mengamatinya. Jadi kutinggalkan pemandangan itu dan coba mencari popok lansia yang biasa dipakai oleh para orang tua nyaris pikun.

Hei, mana aku tahu popok lansia dengan merk apa yang biasa digunakan oleh neneknya Hyra. Menoleh sekilas untuk melihat si bocah, dia sudah tidak ada di sana.

Dasar bocah nakal! Ke mana perginya dia sekarang?

Tanpa pilihan, aku menarik satu popok lansia dalam kemasan besar. Mulai mengelilingi setiap rak makanan dan tidak menemukannya di mana pun.

Apa dia sudah keluar lebih dulu? Mana mungkin, tapi bisa jadi.

Setelah membayar untuk popok lansia, aku bergegas mendorong pintu. Mengamati seluruh sudut mencari—

“Kakak!”

Aku terkejut dan mulai melihat ke sana kemari. Bocah itu memang bertujuan menguji kesabaranku.

“Kakak! Tolong aku!”

Kulihat dia berada di dalam mini van dengan pintu yang akan segera ditutup oleh seseorang yang tidak kukenal, wajahnya tidak terlihat karena dia mengenakan topi dan berpaling dari arah aku memandangnya.

“Hei, berhenti!” Tanpa sadar kedua kakiku bergerak untuk berlari mengejar mini van yang sudah melaju menjauhiku.

Mustahil mengejar!

Tubuhku gemetar hebat. Sudah sejak dua tahun aku tidak lagi merasakan sensasi seperti ini.

Jantungku nyaris meledak dengan telinga yang berdengung. Terengah, aku berusaha tetap memandang ke arah mana mobil itu bergerak.

Taksi melintas dan kuanggap itu sebagai keberuntunganku.

“Pak, tolong kejar mini van putih di depan! Cepat!” Aku sudah meneriaki sopir taksi yang kuyakini kebingungan mendapat penumpang sepertiku di malam sial ini.

Taksi melaju kencang sesuai keinginanku. Beruntung entah kebetulan, taksi ini berhasil mengejar hingga jarak kami kini hanya terpisah sekitar sepuluh meter dari mini van.

“Lalu bagaimana, Nona?” Sopir taksi bertanya setelah sejak tadi fokus mengejar mobil si penculik.

“Tolong ikuti saja, Pak.”

Mini van berbelok ke salah satu jalanan kecil yang kurasa, aku tidak pernah memasuki area ini saat mengantar pakaian pelanggan. Paling jauh, pelangganku berada dipinggiran pusat kota Halbur. Sepertinya, ini masih berada di tengah-tengah kota.

“Jangan terlalu dekat, Pak.” Kuberitahu dia saat rasanya jarak kami terlihat mencurigakan.

Mini van berhenti. Aku segera meminta sopir menghentikan taksi dipinggir semak. Bisa kulihat pintu mini van terbuka. Si bocah meronta dalam gendongan seorang pria besar. Mereka berjumlah empat orang termasuk dengan yang menggendong si bocah.

Mereka sudah berjalan memasuki sebuah gerbang, meninggalkan mini van dipinggir jalan.

Di depanku ada sebuah mansion klasik yang megah dan mewah. Serba keemasan. Mereka masuk ke sana.

Aku membayar ongkos taksi dan melebihkannya untuk si sopir. Memintanya untuk segera pergi. Aku lupa mengatakan padanya untuk jangan melaporkan hal ini ke Polisi.

Mengusap kedua tangan yang basah oleh keringat, aku menarik napas dan menghembuskannya, perlahan. Sekarang saatnya mengucapkan selamat tinggal pada hidup tenang yang kujalani selama dua tahun terakhir ini.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status