"... Putus, tidak membuat keadaan kita lebih baik ..."
~ Ara ~
Aku membeku didepan pintu, melihat orang yang kurindukan berdiri tegak didepanku. Bagaimana bisa dia datang diwaktu yang sangat tepat begini? Apa kini aku juga punya pemancar radar seperti milik ...? Jadi dia bisa merasakannya? Atau ini hanya sebuah kebetulan belaka. Padahal aku kira dia masih disana bersama ....
Tunggu! Tunggu sebentar. Ini bukan hanya halusinasi atau ilusi dari perasaan rinduku yang terlalu kuat semata, bukan?
Nyata atau tidak. Yang jelas semua perasaan berat dan lesu dan sunyi itu lenyap dalam sekejap hanya dengan melihatnya kembali. Aru memang obat mujarab untuk semua gundahku.
Ah, ini hari apa? Malam minggu kelabu?! Kenapa imaginasi ini terasa begitu nyata? Karena aku merasa amat kosong, kurasa. Jadi bayangan Aru jadi senyata ini.
"Hai..."
Dia bahkan mengucapkan hai yang ter
"... Putus tetap saja menyekat perasaan kita tak bisa normal seperti biasanya ..."~ Ara ~Aku langsung menuju dapur dan membuka lemari paling atas, dimana mie instan biasanya ku simpan."Spageti, pasta atau mie instan?""Yang paling simpel dan cepat""Indomi? Ramen? Bihun? Laksa?""Indomi dong. Tapi apapun buatanmu pasti ku makan""Bagaimana klo ditambah cabe?""Tetap akan ku makan mie-nya bukan cabenya""Klo aku menyuruhmu makan cabenya juga. Kau tetap akan makan?""Ya, meskipun sedikit. Karena itu permintaan mu""Okay. Kau bisa duduk dan menunggu"Aku menyalakan kompor dan Aru melepas tas slempangnya, menuruti perintah ku. Tapi kemudian aku mengingat sesuatu. Aku memintanya untuk mengambilkan ponselku agar aku bisa memastikan satu hal darinya."Kau bisa mengambilkan ponselku?""Dimana?""Balkoni"
"... Hati manusia tidak di desain untuk selamanya kuat ..." ~ Aru ~ Aku mencuci mangkok ku saat Ara sedang ke kamar mandi, katanya mau sekalian gosok gigi. Lalu aku membaca pesan balasan dari Zein yang datangnya sangat terlambat. "Mate, ARE YOU F***KING KIDDING ME?" balasan pertamanya, "Kendalikan dirimu foolish. Kau sudah putus dengannya!" tambanya Zein. "Don't get mad dude" balasku, "Kau kemana saja tadi? Baru sekarang membalasku. TOO LATE NOW! Aku sudah terlanjur memperbaikinya" "WTF?" makkinya kesal, "Kau lupa time difference? Ini tengah malam di Sydney" "Yah, kurasa aku lupa tentang itu. Siapa juga yang tahu klo kau sedang di Sydney? Aku kira kemarin Shanghai bukan Sydney" "Panjang ceritanya. Lagian ini bukan ceritaku, ini tentang ceritamu. Jadi kembali kemas
"... Hubungan ini bukan tentang tanggal ataupun angka, tapi ini tentang rasa ... " ~ Ara ~ Aku menghubungi Aru, segera setelah semua urusan pekerjaan ku ditempat ini selesai. Berharap, semoga aku tidak terlambat menghubunginya atau setidaknya, aku berharap Jika dia belum pergi terlalu jauh dari tempatnya mengajar gitar. "Haloo. Aru, kau masih di Pungol?" "Yah, baru akan pulang. Kenapa?" "Bisa kita bertemu? Aku ingin mengajak mu untuk makan bersama. Kau punya waktukan?" "Ara aa... aku..." Mendengarnya ragu, aku jadi tahu dia pasti berusaha mencari alasan untuk menolak ajakanku karena isi dalam dompetnya, atau mungkin karena akal sehatnya sudah kembali waras lagi. Jadi dia mulai mengatur jaraknya kembali denganku. Walau bagaimanapun, status putus masih memberikan jarak kuat dalam rasional kami masing-masing agar tidak terlalu dekat.Itu sepe
"... Aku tidak bisa mengatasi perasaanku karena itu, terbukalah jalan keluarnya ... "~ Masih Ara ~Aru tersenyum bahagia.Aku tetap suka semua perbincangan kita di meja makan yang selalu hangat seperti ini.Aku bahkan masih bisa merasakan Aru menatapku dengan mesra. Keceriaannya kembali lagi seperti biasanya.Kurasa kata putus sudah mulai mengabur dan tak menjadi beban lagi bagi kita berdua.Pembicaraan diatara kami mulai hidup lagi hanya karena kami menepis semua jarak dari pahitnya kata putus itu."Apa menurutmu begitu? Aku menularan pikiran tuaku padamu?" tanyanya dengan dahi berkerut."Tentu tidak bukan?! Pikiran kita hanya berkembang menjadi lebih dewasa. Kita membijak bersama karena banyak peristiwa dalam hidup kita Ara, bukan karena aku menularkan pikiran tuaku padamu ...." sangkalnya."Kita belum setua orang tua kita, Ra!"
"... Aku hanya bisa menyukainya tanpa bisa memilikinya ... "~ Aru ~Ara memintaku bertahan sedikit lebih lama disini dan seperti biasa magnetnya tidak bisa semudah itu bisa ku lepas walau semua ikatan cinta diantara kami sudah kami lepas. Aku luluh dan menerima tawarannya untuk bertahan sedikit lebih lama didekatnya."So, kau mau menonton frojen?""Itu lagi?" aku menggeleng."Lalu apa yang harus kita lakukan?""Entahlah. Aku juga tidak tahu. Mungkin kau bisa membuat sebuah permainan""Kau lebih pintar soal itu Aru. Kau tahu aku tidak suka game. Aku ke kamar dulu untuk ganti baju okay?""Boleh aku ikut?""HECK NAH ARU" pelototkuu tajam."Aku hanya bercanda"Ara tersenyum dan meninggalkanku.Aku berjalan menuju dapur. Membuka kulkas untuk mengambil minum, tapi aku berubah pikiran karena perasaanku masih saja meras
"... Cinta menali kita dalam bentuk dan ikatan yang unik ... "~ Masih Aru ~"💔""Kau tahu rasanya patah hati?""Hug me plz! Aku perlu zona nyamanku"Aku mengetikkan kalimat balasanku."I would love to hug you but we're in distance. Virtual hug okay? 🏇 ""Mmm, rasanya patah hati itu... tidak nyaman. Sukar tidur. Dan masih saja memikirkannya""Lalu apa bedanya dengan jatuh cinta?""Oopss, aku lupa menekan satu hal. 😁 Bedanya? Yang satu memikirkannya karena merasa sedih dan yang satunya karena merasa berbunga-bunga" aku menyambung penjelasan yang kurang lengkap."Kau...? 👉👈 ""And YESS. Aku putus darinya"" 😱 I'm sorry Quin. Hatiku juga patah mendengarnya""Nohh. Don't, Aru! You should be happy to hear it.&nb
"... Kau akan membayar bantuan ini ... " ~ Ara ~ "Mbak, kau masih lama pulangnya?" aku membaca pesan yang baru saja Andre kirim. Adik ku sudah berada di kota ini sejak dua hari yang lalu, Arnold yang mengantar dan langsung pulang esok harinya. Aru tidak tahu soal itu. Aku sengaja menyembunyikan berita ini darinya, karena tidak ingin kami saling bermusuhan lagi. Bahkan aku juga belum memberitahukan padanya jika adikku sudah berada di Condo. Aku hanya takut jika saja mereka bertemu, lalu akan ada banyak rahasia yang terbuka. Jadi untuk cari amannya aku tidak memberitahu Aru. "Iya masih. Ini masih jam 10 woe!" balsku pada Andre. "Aku pulangnya nanti sore. Kenapa?" "Oh, tidak apa-apa" Memang kedekatan ku dengan Aru terbangun kembali, meski kami tidak lagi bertemu setiap hari karena kesibukan masing-masing dan terlebih karena setiap kali aku meminta agar di
"... Satu-satunya yang tidak bisa ku curi adalah takdir ... " ~ Aru ~ Aku bisa saja masuk tanpa menekan bell seharusnya, tapi aku tidak melakukan itu karena aku menghargai privasi tamu. "Oh man, aku sudah tidak tinggal lagi disini. Kenapa juga aku masih terus saja menganggap jika ini tempat tinggalku. SIAL! Perasaan itu masih tak mudah pergi dariku rupanya" Andre membuka pintu, melihat ku dengan wajah senang. "Mas Aru" "Hai bro" aku memperlihatkan kantong karton yang berisi makanan, "Pesan antar makanan datang" aku melucu, Andre senang. "Kok tahu aku disini, Mas?" "Kakak mu mengirimiku kesini. Katanya kau bertingkah seperti bayi, dan aku harus menjewermu dengan keras" "Dasar Tia kurang ajar" gerutunya. "Jadi kau tidak mau aku disini? Oke, aku pulang" "Ehh, engak Mas... bukan begitu" "Klo begitu jaga ucapanmu. Walau b