Share

6. LOWKEY

"...Dalam keadaan yang rumit itulah kita akhirnya belajar menumbuhkan sikap dewasa kita... "

~ Ara ~

Akhirnya, aku dan Tasya pergi keluar juga. Dia mengajakku makan malam diluar, katanya agar aku tidak terlalu begah hanya berdiam murung di Condo saja. Akupun akhirnya mengikuti saran sahabatku itu. Setelah berjalan sekitar 10 menitan, sampailah kami disalah satu food court tujuan kami. Aku memesan ayam geprek satu level dibawahnya yang terpedas di kedai Papi Chicken. Yang merupakan makanan Indonesia yang tengah digandrungi disini, saat ini. Sementara Tasya memilih memesan Tom Yum Pasta, level cetek. 

Entah kenapa aku tiba-tiba saja ingin makan sesuatu yang pedas, mungkin itu juga masih karena Aru. Karena aku melihat postingannya dikomen oleh Quin, sementara dia sudah tidak lagi membalas text ku, jadi aku ingin punya alasan lain untuk menangis tanpa perlu dianggap cengeng.

Meskipun ramai, tapi kami tidak harus menunggu lama, pesanan kami akhirnya tiba juga.

Baru satu suapan saja air mataku sudah bocor. Bukan hanya karena rasa pedasnya yang membara dan menggila dimulutku. Tapi juga karena aku tidak bisa menghentikan pikiran-pikiran negatifku tentang Aru dan Quin.

Mungkin kini mereka sedang mengobrol asyik, video callan, atau chatingan. Membuatku merasa iri, sekaligus berpikiran jika ini tidak bisa dibenarkan. Dan pikiran itu sangat mengganggu konsentrasiku kini.

Apa aku diam-diam mencemburui mereka? Dan kini berpikir yang tidak-tidak tentang mereka? Saat Aru tidak berada didekatku seperti ini. 

"Ra, you alright Baby? Kau nangis?"

'Apa yang kira-kira mereka bicarakan dibelakangku seperti ini?'

"Ra, are you ok? Rara...? Ara!"

Seseorang menyentuh lenganku.

"Mmm?" aku tersadarkan, "Ohh ini pedes banget. Sungguh" jawabku mengelak, meskipun tidak begitu jelas apa yang sebenarnya Tasya tanyakan tadi.

"Apa yang sedang kau pikirkan? Aru? Atau Arnold? Pasti diantara mereka berdua,  bukan?"

Aku diam sejenak tak menjawab, hanya tersenyum masam menutupi sedihku. Tapi tatapan Tasya seperti memaksa untukku berkata jujur padanya.

"Ah, itu Arβˆ’"

Belum sempurna aku menjawab tanya Tasya, ponselku sudah memberikan jarak pemisah, bergetar diatas meja karena ku pasang dengan mode silent. 

"O-Oh NO, speak of the devil" ujar Tasya saat melihat sebuah nama dan foto Arnold terpampang jelas dilayar ponselku.

Aku melirik Tasya karena merasa tak sedang ingin bicara dengannya. 

"Angkatlah. Aku tidak apa-apa" tapi Tasya tidak paham maksudku. 

"Hai" aku mengangkatnya juga.

"Hai. Kau sedang apa, Dek? Tidak sedang sibuk, kan?"

"Tidak. Aku hanya sedang makan sama Tasya, Mas"

"Aku alihkan video call, yah?" katanya, sesaat. Aku menatap Tasya meminta bantuan jawaban karena kikuk, tak tahu harus menjawab apa. Namun akhirnya aku menyetujuinya juga. 

Tasya meminjamkan kacamatanya yang selalu ada dalam tasnya untukku pakai. Untuk menutupi bekas bengkak di mataku. Dan aku balik memberikan ponselku pada Tasya agar mengobrol dengan Arnold lebih dahulu, sementara aku membereskan air mataku dengan tisu dan menambalnya dengan bedak.

"Hai, Nold" kata Tasya menyapa, yang disapa menjawab balik dengan ramah,

"Hai, Sya. Apa kabar?"

"Emh, ya baik. Lebih baik dari Tiara malah" celoteh Tasya pada Arnold yang membuatku melempar tatapan protes pada sahabatku itu.

"Haha, kau bisa aja. Memang dia sedang sakit atau bagaimana?"

"No.. No.. No. Itu karena aku selalu lebih prima darinya. Habis dia jarang olahraga sih" Tasya melempar candaan, 

"Tapi kau tak perlu khawatir ataupun cemas dia selalu aman bersamaku. Tenang saja" imbuh sahabat ku. 

"Yah, aku percaya itu"

"Hi" aku bergabung dalam video call itu.

"Hai. Kenapa kau pakai kacamata hitam malam-malam begini?"

"Tidak apa-apa. Tasya hanya sedang mengajariku gaya fashionnya"

"Ohh, begitu. Tapi klo boleh jujur" suara Arnold menjadi setengah berbisik, "Kau tidak begitu cocok dengan kacamatanya. Tapi jangan bilang Tasya, nanti dia tersinggung lagi dibilang begitu" dia ganti mebcandai Tasya.

"Jadi maksudmu kacamataku tidak bagus begitu? Atau fashionku yang tidak bagus?" nada Tasya jadi sinis.

Dan herannya aku malah tertawa geli melihat mereka bertengkar seperti anak kucing. 

"Tidak... Tidak, bukan begitu.. Kau jangan mudah marah nanti cepat tua!"

Seketika wajah senyumku pudar mendengar Arnold berujar begitu.

Ucapan itu mengingatkanku pada Aru. Arulah yang biasanya berkata begitu padaku saat aku sedang tidak mood. Saat aku protes padanya, atau saat aku sedang marah dan pasang wajah murung. Lalu Aru selalu datang dengan kalimat-kalimat candaannya.

"Jangan mudah tersinggung nanti kau cepat jadi nenek-nenek. Aku tidak mau punya pacar yang berwajah nenek-nenek. Itu serem tauk! Aku bisa dibuli sama fans-fans aku nati"

Jika kata itu sudah keluar aku biasanya seketika langsung tertawa dan terhibur. Aru selalu bisa menghiburku dengan banyak caranya. 

Dan tanpa kusadari mataku meleleh begitu saja mengingat hal itu terulang dengan sendirinya dalam ingatanku. Aku mengusapnya cepat, saat mereka masih beradu argumen kecil-kecilan. 

"Dek, kau lepas saja kacamatanya. Kembalikan pada Tasya. Itu tidak cocok untukmu!" Suruh Arnold dengan nada sinis tapi bergurau.

"Klo kau sampai melepasnya, aku akan marah padamu seminggu!" tegas Tasya. 

Aku tersenyum. Memaksakan diri tersenyum menanggapi mereka berdua. 

"Aku tidak ingin dia mendiamkan ku seminggu. Itu akan merepotkanku, Mas" kataku pada Arnold.

"Yeah, I won" Tasya menjulurkan lidahnya, mengejek Arnold.

"Oke. Baiklah. Tapi ngomong-ngomong wajahmu terlihat sedikit pucat, Dek. Apa kau sedang sakit?"

"Ah masak sih, Mas?" aku mencari cara untuk meloloskan diri, agar dia tak bertanya lebih banyak dan lebih dalam lagi akan kenapanya.

"Enggak ah, ini karena cahaya lampunya saja mungkin" elakku mencari alasan. 

"Bohong!" ceteluk Tasya spontan.

Aku langsung menyenggol sikunya. 

"Ah, ika itu karena cahayanya wajahku juga akan ikut pucat dong harusnya, benarkan?"

Aku mendengus kesal dalam hati. Kenapa Tasya sulit diajak kompromi sih. Kenapa dengannya saat ini? Apa dia ingin hubunganku dnegan Arnold juga kacau sama dengan hubunganku dengan Aru?

"Jadi itu karena apa dong?"

"Mungkin itu karena..."

"Aku cuma laper" jawabku memotong kalimat Tasya, "Dari siang tadi belum sempat makan, Tasya lagi malas diajak keluar nyari makan dari tadi sih"

Tasya melihatku seakan dia tidak setuju dengan pernyataanku itu. Tapi dengan cepat dia bisa mengejar, menyambung dengan alasannya yang lain. 

"Hehe... Ya maaf yah, lagi mager banget soalnya tadi. Maaf klo Tiara jadi sedikit terlihat mengenaskan hari ini" balasnya menyerang balik padaku. Sekali lagi.

Aku beralih menyenggol kakinya. Memberi kode tidak lucu. Jangan mengurauinya begitu. 

"Ahh, Tasya agak 'lebay' hari ini. Aku masih baik. Tidak makan sekali tidak akan membunuhku, Sya" gurauku pada mereka, 

"Tapi kau terlihat sekarat" 

Oh Tuhan. Ini bocah maunya apa sih? 

"Ya, kau harus makan tepat waktu. Aku tidak ingin melihatmu sekarat, Dek"

"Ya, oke!" jawabku malas mendebat.

"Oh oke deh klo gitu. Dek, aku ada panggilan masuk nih.  Kalian bisa melanjutkan makan malam kalian lebih dulu. Kita sambung Chattingan aja klo gitu, Dek. Jadi kau bisa makan dengan nyaman bersama Tasya, sementara aku jawab panggilan ini dulu"

Aku mengangguk.

"Bye guys"

Tasya membalas bye Arnold dan aku mengangguk menjawabnya, lalu menutup panggilannya, serta melepas kacamata milik Tasya segera. 

"Oh Sya... Jangan bercanda dengannya seperti itu. Dia bisa curiga!" 

"Oh my Lord... Apa kamu tidak lelah menjalani hubungan kucing-kucingan seperti ini? Aku hanya membantu mengirimkan sinyal kejujuran yang kau tidak bisa. Mungkin dengan begitu aku bisa sedikit mengurangi kalimat berat dan rumitmu"

"Kau pikir ini tidak Melelahkan? Tentu saja itu sangat meletihkan! Tapi kau tidak perlu ikut campur seperti itu. Kau bisa mengacaukan semuanya.  Aku bisa menyelesaikannya sendiri" jawabku bercampur emosi.

"Sorry!" Tasya merenungi komplainku.

"Ku harap kau tak akan pernah menjalani hal semacam ini, Sya. Ini teramat melelahkan" kataku seketika saat lebih tenang. 

Tasya mengangguk, "Semoga"

"Jadi yang kau maksud Ar ..., tadi yang mana? Ar yang barusan telp atau Ar yang masih marah?" tanya Tasya selanjutnya,

"Aru.  Itu Aru"

"Ya, tentu saja itu dia. Seperti dugaanku! Tapi Ngomong-ngomong, bener apa kata Aru. Harusnya kau putuskan dia lebih dulu sebelum menjalin hubungan baru, Ra. Kasian juga lho Aru, Arnold juga" tutur Tasyaasih sambil menikmati makan malamnya,

"Untuk Aru. Sakit pastinya menerima ini semua. Dalam sekejam mata segalanya mendadak berubah. Apalagi saat tahu nyatanya pacarnya kini telah menjadi tunangan orang lain. Sungguh ngak kebayang aku betapa sulitnya Aru menerima semua kenyataan pahit ini. Apa dia sudah menghubungimu?"

Aku hanya mengangkat alis. 

Dia memintaku menjauhinya sementara waktu. Itulah kenapa aku masih terus saja bersedih. Aku tidak tenang memikirkannya. 

"Dan bagi Arnold, bagaimana jika dia sampai tahu wanita tunangannya ternyata punya pria lain ditempat lain?"

"Itulah kenapa kau harus hati-hati jangan sampai salah ucap" peringatiku padanya.

"Ohh my Lord! Tidak kusangka temanku yang terlihat polos dan baik bisa jadi sadis dan penuh rahasia juga ternyata"

Aku makin pening, air mata itu menetes lagi sedikit lebih banyak dari yang tadi.

"Ups, sorry. Apa ucapanku menyinggung mu? Aku sungguh tidak bermaksud, Ra"

"Yah aku tahu. Ini bukan salah mu. Aku yang salah. Aku hanya tidak menyangka... kenapa ini bisa sepedas ini" keluhku menyalahkan makananku.

"Ucapanku?" Tasya merasa sensitif. Aku menggeleng, menunjuk makananku.

"Yah kamu sih, pakai sok-sokan pesan yang level tinggi segala. Aku ngak bisa bantuin ngabisin lho yah. Kamu kan tahu aku ngak suka pedas" timpalnya. 

Yah aku tahu itu. Tasya punya selera yang mirip dengan Aru, soal makanan.

Lalu kami hening sesaat. 

"Aku tahu ini pasti tidak mudah. Mengingat kau dan Aru sudah bertahun-tahun bersama...," entah dia akan mulai menghiburku atau mengutukku,

"Dan tidak mungkin ini sesimpel seperti yang ada dipikiranku. Tapi akan ku sarankan satu hal padamu. Kau mau dengar?"

Aku mengangguk. "Katakan"

"Mantapkan pilihmu pada satu pilihan saja dan jalani sisanya dengan bahagia, Ara! Lalu tegarkan dirimu dengan satu pilihan itu"

Aku mengangguk. Menyambut saran Tasya untukku yang tedengar mudah.

"Kau dan Aru ..., kalian pasti punya ratusan kenangan indah bersama, bukan? Jika dibandingkan dengan hubunganmu bersama Arnold yang masih seusia bibit jagung. Kau mau berbagi cerita denganku? Mungkin kau bisa terhibur sejenak dengan mengingatnya?"

"Yah. Kurasa itu bukan ide yang buruk"

Aku mulai menceritakan pada Tasya bagaimana usaha Aru waktu mulai mendekatiku, dulu.

Aku bercerita padanya tentang liburan pertamaku bersama teman-teman kuliah dulu, beserta Aru dan juga Zein. Kami backpackeran ke Thailand, Kamboja, dan Laos. Dimana ada satu malam yang spesial bagiku, dengan pengorbanan simpel yang Aru lakukan untukku tapi terasa mahal maknanya bagiku. 

Bagaimana Aru waktu itu rela menahan kantuknya hanya untuk mengipasiku yang kegerahan karena waktu itu listrik tiba-tiba padam dan kami tersesat dipemukiman hening, pelosok perdesaan yang minim dengan fasilitas keren. Itu bahkan terlihat seperti hutan daripada sebuah desa. Seram. 

Beruntungnya ada seorang  penduduk setempat yang mau menampung kami malam itu. Mengijinkan kami sejenak untuk singgah ditempatnya. 

Malam larut dan hening itu, aku awalnya merasa bingung saat Aru mondar-mandir tidak jelas dalam kegelapan malam yang tanpa cahaya, sementara yang lain sudah tertidur dengan mudahnya karena rasa lelah mereka selama perjalanan ini. 

Hanya aku dan dia yang masih terjaga dan sukar tidur. Aku susah tidur karena terlalu gerah dan tidak nyaman dengan posisi tidur ku yang manapun. Berbaring tidak nyaman. Tengkurap tidak enak. Semua posisis yang kucoba, semuanya tidak nyaman, terutama karena rasa gerah itu. 

"Kamu tahukan? Aku tidak bisa tidur klo panas" tanyaku retorik pada Tasya, dan sahabatku hanya mengangguk.

Akhirnya aku tahu maksud dari mondar-mandirnya itu. Dia mencari sesuatu benda. Apapun itu, untuk dijadikan kipas, karena bahkan kipas portablekupun mati, batrenya habis. 

"Jadi Aru mencari apa saja untuk dijadikan kipas. Namun sayangnya, dia tidak menemukan apapun. Bahkan kertaspun tidak. Mungkin itu karena gelap dan itu jug bukan rumahnya" tuturku bercerita pada Tasya.

Yang membuatku terkesan ialah dia tetap berusaha mencari dan tidak menyerah, serta dia tak kehilangan akal dalam mencarikan solusi untukku. Aru akhirnya menemukan tutup kaleng biskuit, yang lantas dia gunakan untuk mengipasiku sampai aku benar-benar tertidur lelap. 

"Dia rela menahan kantuknya hanya agar aku bisa tidur dengan nyaman dan pulas"

"Uhhgg... It's such a sweet story" pujinya

"Tapi ada cerita lucu setelah itu" 

"Apa?" tanya Tasya penasaran.

"Disepanjang kita menaiki 'tuk-tuk' dia tidur dengan mulut terbuka, bahkan malah dia terdengar sedikit mengorok. Semua penumpang terlihat hampir menahan tawa saat melihatnya"

"Oh God, itu sih aib banget!" kata Tasya yang terhibur.

"Jangan bilang klo aku menceritakan ini padamu. Dia masih kesal klo aku mengungkitnya" aku memberinya dealing, dan Tasya tidak keberatan dengan itu. 

Dari situ, gelak kekehan pertamaku malam ini tercipta juga akhirnya. Hanya dengan mengingat kisah lama kami, aku bisa tertawa tanpa beban. Begitu ringan dan lepas. Tapi tawa kecil itu kemudian berubah jadi getir, ketika aku kembali pada realita saat ini.

Mengingat jika nyatanya orang yang dia cintailah yang juga menyakitinya.

Aku memasukkan sesuap lagi nasi geprek pedas itu untuk menyamarkan perasaan getir yang kini jadi lebih sensitif kurasakan karena cintanya.

Aku berair mata lagi. Dan menarik nafas secara kasar dari rongga hidungku agar udara bisa lancar keluar-masuk. 

"Ra...? Hai...!" Tasya merasa risau.

"Ah, ini pedes banget sumpah. Kau mau coba?" aku berdalih, menutupi gundah. 

"Tidak, terima kasih. Kau pesan yang lain saja ya, klo itu terlalu pedas. Jangan memaksa untuk menghabiskannya"

Aku menolaknya dengan senyuman. 

"Kau mau tahu fakta menarik lainnya tentang Aru?" hiburku pada diri sendiri. Ingin lebih banyak mengingatnya. 

"Apa?"

"Dia juga takut sama Texxi. Aku sudah pernah cerita ini belum yah ke kamu?"

"Texxi? Anjing kecilmu yang lucu itu? Yah, sepertinya kau pernah bercerita itu padaku"

Aku meng ohh, "Jadi sebenarnya dia takut sama semua jenis anjing sih, tak terkecuali Texxi, yang kecil dan lucu itu"

"Ceritakan lagi yang lainnya"

Aku lantas membeberkan tentang rasa takutnya yang lain, pada Tasya.

Itu saat kami melewati malam Halloween bersama, berkunjung ke Universal Studios Horror Nights.

Aku tidak tahu jika ternyata Aru sangat payah. Aku tidak tahu kalau ternyata dia tidak sepemberani seperti yang terlihat dari luarnya. Aku mengajaknya berkunjung kesana bersama teman yang lain juga, tapi dia ragu-ragu untuk ikut awalnya. Tapi karena aku terus memohon,  akhirnya dia ikut juga.

Aku tidak tahu klo ternyata dia sangat penakut akan hal-hal horor seperti ini. Aku kira dia hanya tidak suka hal-hal horor seperti di festival halloween ini. Ternyata dia sangat penakut akan dunia perhantuan.

Dia ketakutan parah sampai mengumpat sepanjang jalan saat terkagetkan oleh para pemain yang tiba-tiba muncul dari depan, belakang, ataupun samping dengan kostum-kostum mereka yang menyerupai hantu, dan teriakan-teriakan yang menambah rasa takut. 

"Tapi,  satu hal ang paling membuatku geli ialah..."

Tasya menyimak ceritaku dengan antusias.

"Dia hanya mengekor dibelakang ku. Dia memeluk ku begitu erat seperti anak kecil yang takut ditinggal pergi. Dia benar-bernar seperti bayi besar yang membuatku susah berjalan"

"OMG ARU TAKUT HAL-HAL HOROR?  Ini sih baru berita update namanya"

"Jangan menjailinya dengan hal-hal berbau hantu, atau aku sungguh akan membuat perhitungan dengan mu"

"Uhgg... Takut!" celoteh Tasya, "Lanjutkan cerita mu"

"Kurasa diapun pasti berjalan dengan mata tertutup, dan hanya mengikuti kemanapun langkahku bergerak. Habis dia sudah tak berteriak-teriak lagi setelah itu. Tingkahnya itu membuat ku hanya mampu menahan tawa sepanjang jalan dengan...," aku menjeda, karena tawaku tak bisa kutahan. 

Tawa itu keluar begitu saja menghalangiku untuk kembali bercerita dengan tuntas. Dan itu membuat Tasya juga tertawa geli melihatku.

Aku masih menahan pingkalan tawaku.

"Parahnya lagi. Setelah kami keluar dari sana, tiba-tiba dia bilang. Udah nih, cuman segini doang? Ah, ngak serem sama-sekali ...," aku menjeda karena masih terpingkal parah. 

"Dia bisa bilang begitu?"

"MMmh"

"Kurasa dia pasti merasa malu dengan yang lain. Makanya dia bilang begitu setelahnya. Untuk mengembalikan imagenya lagi, kurasa" Tasya menduga. 

Aku menggeleng, "Tapi dia... Tapi dia..."

"Tapi dia kenapa?"

"Tapi dia kehilangan satu sepatunya, dan saat seorang petugas mendekat untuk mengembalikannya. Dia malah lari terbirit-birit..."

"Kenapa dia lari?"

"Karena petugasnya juga pakai kostum hantu"

"Dasar Aru. Tak mau terlihat lemah, tapi malah terlihat payah!" keluh sahabatku menanggapi ceritaku.

Kami saling diam sejenak. Memberi waktu untuk kembali menikmati makanan kami. 

Malam ini bersama Tasya, aku kembali mengenang sosok Aru yang selalu ramah, ceria, dan jauh dari perasaan gundah. Aku mengenangnya, yang memiliki hati baik dan pertahanan yang kuat. Tapi akulah yang akhirnya memberikan riasan kesedihan di wajahnya. Akulah yang memercikan rasa getir dan gundah dalam rasa cintanya. Akulah yang menaburkan kelemahan dalam kuatnya perasaan kasihnya padaku. 

Aku menjadi rapuh lagi dalam merenungi semua kisah perjalanan kami bersama. Merasa bersalah karena banyak menyemaikan luka dalam hatinya yang sebenarnya sangat lembut. 

Namun, setidaknya semua kenangan indah itu terjadi sebelum banyak alur tambahan yang tak terduga yang datang silih berganti untuk menguji keteguhan cinta ini. Lantas mewarnainya dengan banyak tinta kesedihan dan nelangsa yang akhirnya semakin membukakan banyak jalan rumit untuk dihadapi.

Namun dari kerumitan itu pulalah yang akhirnya menumbuhkan banyak perenungan dan pemikiran yang membuat kami lebih dewasa dan matang nantinya. 

"Lantas...?" Tasya memecah es diantara kami, "Apa kau bisa menghapus memori tentang Aru begitu saja? Lalu menggantinya dengan Arβˆ’ yang lain?" ujarnya yang berhasil mengubah suasana jadi lebih realita.

Aku sangat terpengaruh dengan kalimat temanku itu. Dan entah kenapa, suaranya juga terdengar sedikit tidak ramah ditelingaku.

"Dia tak akan bisa dihapus, Sya. Dan aku tidak mau menghapusnya"

"Lalu Arnold? Kau akan meninggalkanya?" nadanya meninggi. 

"Aku tidak tahu. Yang kutahu, ini belum sepenuhnya berakhir. Tapi sayangnya aku tidak punya jawaban atas tanyamu itu dengan jelas dan pasti. Karena aku sendiri juga tidak tahu, kepastian seperti apa yang ada didepanku nanti" balasku setengah bimbang. 

"Kau tahukan, pada akhirnya kau harus merelakan salah satu diantaranya pergi dengan membawa luka darimu?"

Aku tidak bisa menahan kebenaran dari kalimat menyedihkan itu. Aku rapuh, terlalu sensitif dan mudah terluka meski perkataan temanku itu benar adanya.

"Kau siap dengan situasi seperti itu?"

Mengapa dia mencecarku dengan banyak tanya daripada membuatku lebih tenang?

Tentu saja aku tak akan pernah siap dengan semua situasi itu. Meskipun aku sudah mempersiapkannya dari beberapa bulan yang lalu untuk menghadapi konsekuensi dari ini semua. Tapi aku tak pernah merasa siap. 

Aku hanya menundukkan pandanganku. Merenungi kalimat badai itu, yang sudah berhasil melelehkan hidungku seperti es krim yang terkena udara panas. Lumer begitu cepat. 

"Ra...?"

"Aku tidak apa-apa. Ini hanya karena sambalnya" aku mengelak jujur, "Aku akan kebelakang sebentar"

Memisah sejenak dari Tasya, sepertinya itu yang ku butuhkan saat ini. 

Aku mencuci mukaku yang kuyu. Mencoba menenangkan diriku yang gundah. Tapi itu tidak cukup berhasil.

Aku lalu mengalihkannya pada hal lain. Aku merogoh saku celanaku, memegang kendali pada ponselku. Melihat barang kali saja Aru mengirimiku pesan. Tapi tidak ada. Satupun tidak ada. 

Sebegitu marahnyakah dia padaku? Sampai mengabaikanku berjam-jam begini. Atau jangan-jangan, sekarang dia sedang asyik mengobrol dengan Quin jadi lupa denganku. Sedang,  aku terbenam dalam ingatan-ingatan kita akan masa lalu kita dulu. 

Aku mulai merasa begitu kesepian dan sendirian, kini. Tak berkawan dengan siapapun. Nyatanya, kini aku menyadari satu hal yang pasti. Aku merasa hampa tanpanya. Aku merasa perlu pundaknya untuk bersandar dari semua rasa lelah ini. Aku menginginkan dia disisiku saat ini juga. Aku ingin Aru tetap disampingku. Memelukku juga menghiburku. 

Apa diam-diam aku sudah merindukannya secepat ini?  Ini hanya perasaan cemas ku saja bukan?

Aku ingin sekali menghubunginya, dan memintanya untuk tetap ada disampingku. Tapi tetap saja ragu, karena permintaannya untuk tidak mengusiknya beberapa waktu ini. 

Tidak bisakah kau menghubungiku lebih dulu, saat ini? Melepaskan sejenak rasa kesalmu padaku. Aku benar-benar merasa sangat membutuhkanmu saat ini. Aku ingin kau benar-benar ada disini, menenangkanku dari tekanan tanya Tasya, dari rasa cemburuku juga. 

Lantas sebuah pesan masuk tiba-tiba. Merubah sedikit perasaanku menjadi senang.

"Kita bicara semuanya lain waktu saja. Setelah aku kembali kesana" 

Aku terluka lagi, meski hanya se-inci goresannya. 

"Kau sungguh tidak menemuiku? Dan memilih bersembunyi ditempat Zein?" balasku.

"Ya" balasnya terasa dingin.

"Apa kabar Quin? Kau sedang asyik mengobrol dengannya kah? Itulah kenapa kau tidak butuh aku lagi?!"

"Shoot! Jangan pikirkan apapun tentang aku dan dia!"

Tapi nyatanya aku tetap terluka hanya dengan memikirkan hal semacam itu. 

"AKU DAN DIA ITU TEMAN!!! AKU TIDAK LUPA STATUSMU UNTUKKU. Meski kau mungkin LUPA! Tapi aku tidak lupa KAULAUβˆ’ KAULAH  PACARKUβˆ’ YANG BERPACARAN DENGAN ORANG LAIN JUGA!"

Aku membacanya dengan tetesan air mata. Entah mengapa, itupun juga menyakitiku. Kebenaran itu juga menyakitiku.

"POKOKNYA AKU MAU KAU PULANG!"

"YA" Jawabnya membuatku senang, 

"BESOK!" tambahnya lagi.

Itu meruntuhkan rasa senangku yang mulai terbangun.

"Kau ingin aku sakit? Dan tidur dengan tidak tenang?" aku masih berusaha membujuk, 

"Aku ada rapat penting besok. Aku tidak bisa telat. Kau tahukan, kau alarm terhebatku" bujukku sekali lagi.

"Minta Tasya melakukannya. Dia bersamamu bukan?"

"Ra, kau baik-baik saja?" Tasya bahkan menyusulku. Kurasa aku terlalu lama disini. 

"Mhh, I'm okay. Hanya...," aku memperlihatkan ponselku padanya.

"Aru? Oh, okey. Aku tunggu diluar klo begitu" dia pergi.

Aku kembali kelayar ponselku lagi, 

"Itu tak akan sama. MENGERTILAH!" ku kirim padanya, "Pulang! Atau aku akan benar-benar marah padamu. SERIUS!" aku sedikit memberikan ancaman untuknya.

Dia berhenti mengetik. Aku menunggu sedikit lagi, tapi dia tidak membalas juga. Dia meninggalkanku begitu saja tanpa balas, setelah membacanya. Membuatku kesal. 

Haruskah aku mengirim pesan pada Quin? Tapi untuk apa?

Apa hanya untuk menanyakan apa yang dia bicarakan dengan pacarku? Ahhggg itu tidak mungkin! 

Aku memutuskan kembali ke meja bersama Tasya lagi. 

"Sya..." dia sedang memainkan ponselnya.

"Mhh?" 

"Temani aku ke klub setelah ini"

Tasya melirikku curiga. Dia seperti tidak yakin dengan ucapanku, bukan terlihat seperti sedang menimbang jawab. 

"Noh! Are you really that stress? Tidak Ra, TIDAK! Yang kau perlukan hanya istirahat di rumah. Bukan hura-hura. Minum tidak akan membantu menyelesaikan masalahmu. Kau juga tahu itu! Itu justru bisa jadi memperburuk semuanya. Lagi pula aku ada kerjaan besok. Aku tidak bisa!" 

"But I need it"

"NO! Kita jalan-jalan ke Orchard? Paragon? Shopping? Kemanapun. Tapi tidak kesana, okay! Kau hanya perlu udara segar, bukan malah membuat diri tidak sadar"

Aku berpikir sejenak, berdamai dengan emosiku sendiri, "Baiklah"

Tasya tersenyum menyambut jawaban menurutku. 

Diam-diam aku merasa bersyukur berteman dengannya. Meski kadang Tasya juga mengesalkan. Tapi dialah teman terbaikku setelah Aru. Aku bersyukur memiliki mereka dalam hidupku. 

Semoga setelah malam gelap dan remang ini, akan ada cahaya terang untuk kami bisa kembali berjalan dan menguatkan diri melanjutkan hidup yang terlihat sukar dan tidak mudah ini.

Semoga Zein tidak meracuni pikiran Aru agar meninggalkanku. 

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status