Share

5. TENTANG RINDU

"...Benang tipis diantara bodoh dan gila ialah cinta... "

~ Aru ~

Berbulan-bulan berlalu dan kita hanya menikmati rasa rindu ini dalam ruang kita yang berbeda. Mengumpulkan setiap hitungan demi hitungan, hingga menjadi deret hitung selanjutnya. Menyilang saat lima dan menulis lagi jadi satu. Menyilang lagi saat lima dan menghitung ulang mulai dari satu.

Begitu terus dan berlanjut hingga hitungan itu genap terkumpul sampai hari ini. Hari dimana aku akan membawakan oleh-oleh rindu yang Ara minta dan ku janjikan, iya. 

"Landing safe in SG"

Telah menjadi status di f******k dan juga sosial media ku yang lainnya. Lalu Ara dengan cepat bereaksi meminta temu disiang hari itu juga, segera sesaat setelah aku mendarat.

Tapi aku berencana menemuinya sore hari, karena merasa masih letih dan perlu mengumpulkan energi agar bisa menemuinya dalam kondisi mood terbaik.

Sore itu, tidak bisa dipungkiri lagi. Rasanya bahagia bisa kembali menyatu dalam temu. Jika bisa diumpamakan, mungkin aku bagaikan medan magnet terkuatnya dan dia seperti kumpulan dari tabungan rindu-rinduku yang akhirnya bisa kupecahkan. 

Tabungan rindu yang bisa dipecah untuk melepas lega rindu yang sempat menyesaki, menjaraki antara aku dan Ara yang hanya bisa digantikan oleh ruang bayang-bayang virtual selama ini. 

Rindu yang hanya terhitung bulanan itupun bahkan telah meradangkan perasaan fatamorgana, hingga jumlah hitungannya seperti tahunan berlalu tanpa sua temu. Meletihkan dalam penantian. Ara bahkan terus mengeluh, jika nyatanya sebulan pertama terasa seperti setahun. 

"Lama deh!" keluhnya kala itu. 

Dan kini seakan ingin membalas dendam pada waktu yang sempat mengurung dan memberikan jarak batasan antara Singapura dan Manila. Sekembalinya aku, dia seolah ingin menegaskan jika kita tak lagi boleh terpisahkan oleh apapun lagi.  Dan itu membuat kami mengobrol hingga lupa waktu, jika ternyata malam semakin larut dan hening mulai menyelimuti segenap penjuru kota ini, yang artinya waktu harus mengembalikanku kembali ke tempatku. Namun, Ara masih saja ingin ditemani dan seolah tak sudi lagi ditinggal pergi.

Akhirnya akupun mengalah, mengulur waktu untuk kembali, memperpanjang waktu mengobrol bersama lagi. Lantas obrolan kami dimulai lagi dengan membandingkan tentang catatan rindu siapakah yang paling banyak. Lalu pembicaraan berkembang kearah rencana-rencana yang mungkin bisa dilewati bersama esok harinya, esok harinya dan esok harinya. Dan begitu seterusnya. Setiap hari kesibukan kami hanya mencari waktu luang yang pas agar bisa bertemu lagi disela-sela waktu sibuk kami masing-masing.

Ini sudah hari ke-empat kami. Dan berulang kembali, setiap kali waktu mengisyaratkan perpisahan dan aku berusaha pamit pulang, Ara jadi terlihat murung dan sedih. Wajah cantiknya jadi keruh. Muka cerianya jadi manyun. Dia seperti jadi berat lagi melepasku. 

Dan tabiat itu yang akhirnya selalu berhasil membujukku untuk tinggal sedikit lebih lama disisinya. Hingga ujung-ujungnya, tak jarang aku harus mengalah ego, dan akhirnya tertidur lelah di kursi panjang ruang tamunya. Lantas paginya buru-buru berpacu dengan waktu, kembali ketempatku agar bisa bekerja tepat waktu.

Begitu berkali-kali, berulang kali, siklus yang ku jalani akhir-akhir ini. Hingga akupun juga harus menggadaikan rasa maluku pada teman-temannya, hanya karena rasa rindu kami yang masih menggelora dan seperti tak ingin dipisahkan barang sebentar saja. 

'Benar ternyata. Aku baru menyadari permintaan sulitnya kini. Oleh-oleh yang dia minta dariku ternyata berat'

Aku mulai merasa lelah karena harus bolak-balik kesana-kemari. Akhirnya aku meminta jeda sejenak untuk tidak menemuinya beberapa hari ini. Jadi kita bisa menikmati waktu terpisah kita sendiri-sendiri dan berfokus kembali dengan kesibukan masing-masing dari kita. Dia dengan kuliahnya dan aku dengan pekerjaanku. 

Aku berbaring nyaman di ranjangku. Berharap dengan begitu bisa mengurangi rasa pegal pada sekujur tubuhku, karena terlalu sering tidur di kursi belakangan ini.

Aku juga tidak ingin diganggu, karena itu aku bahkan sudah mewanti-wanti Zein agar tidak membangunkanku, karena aku hanya ingin memanjakan diriku dengan bersantai. Tidur yang nyenyak, istirahat yang cukup, dan juga mimpi yang indah sepanjang hari ini. Hingga ternyata esok paginya aku sampai bangun kesiangan.

Mungkin jika bukan karena rasa laparku, aku pasti belum terbangun juga. Aku meraih ponselku, berusaha mengecek jam lewat ponselku, namun justru mendapati pesan yang baru saja Ara kirimkan untukku.

"Lunch with me. Okey kah?" 

Aku membacanya dengan senyum terang. Bukan hanya karena aku jadi bisa mengira-ngira jam berapa ini, tapi juga karena merasa lucu, bahkan pada pesan yang tidak mengandung kalimat humor seperti ini, aku merasa lucu. 

'Mengapa timingnya begitu tepat?' 

'Apa radar kita sedang memancar bersamaan?' gumamku dalam hati. 

"Yakin?" balasku. 

"YEEPP!" jawabnya cepat dan sigap, 

"Why? Jangan bilang kau tak punya waktu"

"😕" balasnya merasa lesu, 

"Hanya saja... " aku beralasan. Sok jual mahal, "Kita sudah menghabiskan waktu sepekan ini bersama-sama, terus-menerus tanpa jeda, Ara. Aku bahkan menginap ditempatmu berhari-hari, selama hampir seminggu ini"

"Kau yakin belum cukup bosan denganku?" tanyaku meneliti. 

"😣 Apa kau yang sudah bosan denganku?"

"Tidak. Bukan begitu maksudku. Aku memisah darimu karna aku takut kalau kau akan bosan denganku malah. Bukan sebaliknya!"

"No, I'm not" balasnya, "Cz literally we skip it yesterday"

"Dan itu rasanya seperti aku belum melihatmu bertahun-tahun" katanya membuatku lebih bersemangat. 

"Uwwuuhhhh... Sweet hyperbole! 😄"

"I bet you miss me so much, don't you?" balasku mencandainya ganti. 

"Maybe"

"Maybe? Na.. Nah. It must be obviously!"

"Tidak mungkin itu hanya mungkin. Itu sangat jelas jika kau merindukan ku sebanyak itu!"

"Oke, baiklah."

"Bagiku itu sudah cukup untuk dijadikan alasan mengapa aku harus datang menemui undangamu" Balasku, dan sebelum dia berhasil membalas, aku susul dengan pesan selanjutnya,

"Lunch aja yah tapi. Lalu aku pulang?" 

"Na..na.. na.. Nah!" dia menolak, 

"And also dinner too! 😉"

"I still have a part time job... So.. "

"I'm not sure about dinner"

"😑"

"Oh c'mon, I feel like... Waktu jadi seperti siput geraknya"

"And it's kinda bored, you know"

"Masih ada yang kurang aja tanpamu, jadi pliz yah!"

"🙏"

"😑"

"Kau jadi manja yah sekarang"

"Kenapa?"

"Kau tidak suka?" Balasnya.

Aku tidak ingin ini berujung dengan pertengkaran. Jadi aku mengetikkan beberapa kalimat balasan yang bisa membuatnya senang juga tenang. 

'Tidak apa, asal manjanya sama−'

Namun sebelum aku selesai dan berhasil mengirimnya, dia sudah mengirimiku pesan lebih dulu.

"Itu salahmu"

"Lagipula kau sudah berjanji untuk membawakanku lebih banyak cintakan saat kembali?"

"Kau tidak lupa akan hal itukan?! Jadi jangan salahkan aku jika aku mengganggu mu seperti ini, setiap harinya"

"😜  you trap into trouble"

" 😨 "

"Oh REALLY?"

"Mengapa juga dulu aku menyetujui syarat konyol yang akhirnya menyulitkanku begini yah?"

"Mungkin kau lupa untuk..."

"Think twice!"

" 😄 "

"DAMN, YESS!"

"That the problem is!"

"Kau pasti menghipnotisku waktu itu. Sampai aku lupa untuk pikir ulang"

"Itu masalah mu. 😋"

"Siapa suruh kau tidak bisa menghindar dari pesonaku"

"😝" Ara masih saja mencandaiku. 

Aku tersenyum. Lalu, sekejap beralih ke twitter, lantas mencuitkan apa yang kupikirkan untuk menggodanya.

"Oh shoot! Someone trap me. I really am in trouble now!"

Sekejap, diapun merespon cuitanku itu lewat text pribadi.

"Kenapa? Apa itu sesuatu yang sulit?" Nada pesannya tidak lagi bercanda. 

"Yah tentu saja itu sesuatu yang amat sangat sulit bagiku. Karna aku tidak tahu bagaimana cara menolak permintaan mu itu. 😆"

"Jadi, sebenarnya kau tidak mau?" nada Ara seperti tidak senang, 

"Nope"

"Tidak Mau?!" tegasnya lagi

"Bukan itu. Maksudku..."

"Apa?"

"Kenapa kau jadi begitu manja belakangan ini?"

"Apa itu dilarang? Atau kau tidak suka?"

"No.. No.. No... I'm okay with that. Selama kamu manjanya sama aku, bukan yang lain. Aku tidak pernah keberatan dengan itu.  Jadi silahkan bermanja-manja sepuasmu, selama itu bisa membuat mu happy" balasku.

Kini ganti dia yang menuliskan cuitannya. 

"Are you trying to be a sweet guy?"

Aku membalas cuitannya, juga sama bukan di kolom komentarnya. Ini secara pribadi. 

"Mungkin itu karena kau penghasil madunya. Coz you are my honeybee"

"🙀 What's wrong with you Aru?" 

"Apa kau makan banyak gula hari ini? 😉 "

"TIDAK!"

"I just drink too much honey from you honey"

"🍯 => 😍"

Godaku sekali lagi padanya.

"💗 Brrr" Ara menjawab, "Kau membuatku merinding. Stop it Aru!"

"To be honest.... Itu karena kaulah sumber inspirasiku untuk menjadi manis dan bersikap manis. Honey"

"Whatever you want to say..."

"CU right here in 20 minutes. And don't be late if  you don't want me to punish you! 🙋 "

"😱 Don't be rude! 20 minutes isn't enough tho" protesku,

"Aku perlu mandi, siap-siap, belum juga perjalanannya" aku meminta tambahan waktu padanya. 

"So just make it quick. 20 menit. No additional time"

"Quick quick!" suruhnya. Tak mau mengalah dariku. 

"Sepertinya kau memang berencana menghukumku. Aku pasyrah klo begitu" aku menyerah dalam membujuknya, 

"But I'll try to get there ASAP" 

~ Flashback End ~

*****

Ponselku bergetar. Aku tersadar dari masa tahunan yang sudah berlalu itu.

'Yah, kau mencintaiku sebanyak itu dulu. Sebanyak itu. Ara!' Kata batinku. 

Aku mengambil ponselku, memeriksa pesan yang masuk. Itu dari Ara.

"Still" sepertinya dia menjawab tanyaku tentang warna itu.

Aku merasa senang dia menjawab begitu.

"Tapi kenapa aku ngerasanya beda?" balasku.

Setelah aku mengabaikan pesan-pesan yang dia kirim sejauh ini padaku, baru kali ini aku membalasnya. Aku merasa ragu jika meninjau dari sikapnya padaku hari ini, karena itu aku menjawab begitu. 

"Maafka, Ru" balasnya singkat, 

"Itu tidak mengobatiku sama sekali"

"Ru...  Jika ada cara yang bisa ku pilih untuk tidak menyakitimu, aku pasti akan melakukannya. Jangan seperti ini, kumohon"

"Maaf. Aku tidak bisa memahami cara berpikir mu kali ini. Aku butuh waktu untuk sendiri lebih dulu, Ra. Sebaiknya kau tinggalkan aku sementara waktu dan jangan mengusikku!"

Disitu aku berhenti. Sebanyak apapun pesan yang masuk, aku cuek dan tidak menghiraukannya lagi. Dan lebih memilih untuk kembali berkelana dalam masa-masa indah itu dulu. Masa dimana hanya ada cinta kita tanpa ragu, tanpa pengganggu.

*****

~ KEMBALI  KERUANG  WAKTU ~

"Boleh aku bertanya sesuatu?" aku memulai obrolan sembari menikmati makan siang yang dibeli Ara, 

"Ngak boleh. Pertanyaan mu pasti sulit"

"Oh ayolah, kau bahkan belum mendengar pertanyaannya, masa sudah menyerah duluan!"

"Justru aku lebih suka menyerah sebelum mendengarnya"

"Kenapa? Karna kau merasa itu sulit?"

"Karna itu bisa membutmu lebih tergila-gila padaku!" jawab Ara sambil pamer lidah. Aku terkekeh mendengarnya.

"Kau punya percaya diri yang bagus hah, hari ini?"

"Yah, sepertinya begitu!"

"Okey...  Aku menyukainya. Klo begitu bukan masalah dong klo aku bertanya?"

Diapun akhirnya menyetujui,

"Katakan"

"Pernahkah kau merasa frustrasi dalam merindukan ku?"

Ara ganti terkekeh sepertiku tadi. 

"Emh..." dia jadi berpikir dan menimbang dengan bimbang.

"Jawab jujur!" tuntutku

"Perrr-nah" katanya datar, seperti ragu menjawabnya karena malu mengakui.

"Kapankah itu?"

"Saat kau jauh dariku"

"Sooo...soo... standar. Beri aku jawaban yang lebih berbobotlah"

"Ya klo aku ngegombal itu gak jujur dong" Balasnya, melawanku. 

"Oke-deh-oke. Lanjutkan" selaku agak kesal.

"Yah mau gimana lagi? Betah ngak betah, ya aku betah-betahin. Toh, itukan mau kamu. Jauh dariku!" jawabnya sarkatis dan memilih abai dari tanyaku tadi.

Aku mengheran dalam hati. Kurasa Ara tersesat dengan tanyaku. Kenapa juga dia jadi nyalahin aku? Kapan aku menginginkan hidup jauh darinya?Kenapa jawabnya tidak nyambung? Atau dia sengaja menghindar karna malu? Atau jangan-jangan memang pertanyaanku yang terlalu sulit untuknya?

Entah kenapa aku seringnya merasa dia tak sepintar saat menjawab soal fisika, akutansi atau bahkan matematika ketika menjawab tanya-tanya ku. Kenapa begitu sih? 

"Kau kenapa?" dia mengamatiku.

"Tidak apa-apa. Hanya sedikit .... Ah sudahlah. Apa rindu itu, berat untuk kau tangani?"

Dia meng-mmhh menjawabku.

"Itulah kenapa aku memintamu kesini sekarang"

Aku tersenyum senang mendengarnya,

"Kau sadar sekarang? Betapa jahatnya kau menyiksaku dengan rindu ini!" keluhnya manja.

"Ohhh, aku paham sekarang. Jadi, manjamu ini dipicu dari rasa rindu itu?" 

"TIDAK!" elaknya cepat, "Siapa bilang begitu? Aku tidak bilang begitu!" Ara berdalih, Mungkin karena malu. 

"Kau tidak pandai berbohong padaku, Ra. Ingat itu baik-baik"

"Itu karna aku tidak berbohong" dia menjulurkan lidahnya lagi. Mengejek ku. 

"Apa kau berteman dengan pinokio, hah? Padahal aku kira kau berteman dengan putri Jasmine" sergahku menyudutkannya. 

"Apa itu artinya, kaulah pinokionya?"

"Aku?" aku bertanya balik ragu, lalu menyadari maksud Ara dengan cepat,

"Wah... Wah.. Wah. Kau keras kepala juga yah. Kenapa kau pintar sekali heh, hari ini? Selain manja, nge-gemesin dan sassy"

"Itu artinya kau beruntung memiliki ku, kan? Kau mendapatkan paket lengkap dariku" balasnya.

Aku membatin dalam diri. Tumben banget dia jadi seperti ini.

'Apa ini efek dari lama tak bertemu?'

"Tapi kau bukan orang yang baru mengenalku, Aru! Kenapa kau begitu lambat melihatnya?"

"Huh....?" aku tidak mengerti dengan maksud ucapannya kali ini. Masih samar-samar ku gapai. 

"Aku memang pintar sudah sejak lahir. Akui saja itu!" kini barulah jelas maksud dari kalimat nyombongnya.

"Uh SAVAGE! BUT Noh! Kau tidak sepintar itu, beb" aku mencubit pipinya pelan. 

"Lalu katakan kenapa kau menyukaiku?"

Aku terdiam, lantas tersenyum. Karna aku sendiri juga tidak yakin kenapa aku menyukainya. Jadi alih-alih aku memilih untuk menjawabnya langsung, aku justru bertele-tele menanggapinya.

"Aku jadi mendapatkan satu lagi fakta baru tentangmu" 

"Apa itu?"

"Kau tidak sepenurut dan sepolos yang kuduga ternyata. Karena kau juga sangat keras kepala ternyata"

"Apa kau menyesal baru mengetahuinya?"

Aku menggeleng dan menyendok sesuap nasi rendang yang Ara beli, sementara Ara masih menatapku lekat.

"Hanya saja ..." aku menelan makananku lebih dulu,

"Mengapa kau begitu keras kepala dan sulit sekali mengakui beberapa hal secara terbuka padaku?"  

Aku meminum seteguk air untuk mendorong makananku yang menyangkut di tenggorokan, "Mengapa sulit sekali bagimu mengakuinya secara terus terang?"

Aku menatapnya dengan tanya.

"Ya, aku merindukanmu. Atau tinggal bilang saja I love you, Ru. I love you and I miss you" tuntunku memberinya teladan percontohan. 

"Aku melakukannya"

"Kau hanya berani mengatakannya di text. Tidak dengan ucapan nyata"

"Apa itu penting?"

"Tidak!" jawabku kesal. 

"Baiklah"

"Hei, setidaknya ucapkan sesekali padaku. Aku juga ingin mendengarnya"

"Oh NO! Tidak. Itu bukan caraku" jawabnya cepat, 

"Mengatakan rindu dan I love you, itu bukan caraku, Bi. Asal kau tahu itu!"

"Kenapa?"

"Karena itu caramu" balasnya dengan wajah super jenaka menanggapiku.

"Memang kenapa? Apa berkata jujur itu salah? Apa caraku salah?"

Aku menekankan sekali lagi. Sebab bukan jawaban itu yang ingin aku dengar. Walau aku juga suka mendengar jawaban itu keluar dari mulutnya secara langsung, tapi bukan itu yang ingin kudengar saat ini.  

Ara menggeleng. 

"Apa dengan berkata begitu nama besarmu jadi jatuh? Dan tercoreng? Apa dengan begitu kepintaran mu terus berkurang atau gimana? Sampai-sampai sulit sekali bagimu hanya berkata I miss you and I love you padaku"

Ara lantas tersenyum menanggapi tingkah keluhku akan dirinya.

"Kau tidak salah berkata jujur. Dan akupun tidak salah jika aku tidak memilih cara sepertimu, Bi!" belanya, 

"Jadi apa saja fakta-fakta tentangku yang sudah berhasil kau kumpulkan?"

Lihat? Betapa keras kepalanya dia. Dia sangat kurang terbuka dengan perasaannya padaku. Padahal aku kan juga ingin mendengar kata rindunya. Mungkin dia hanya malu berterus terang padaku, bukan karena dia tidak cinta. 

"Faktanya jika kau itu... stubborn, nerd, dan ini..." ku tunjuk nasi rendang yang dia beli, "Pelajar Internasional dengan selera lokal... dan lain-lainnya" 

Ara makin terkekeh mendengarku berceloteh dan mengeluh.

"Oh jadi kau tidak mau nasi yang ku beli? Kau tahukan nasi rendang disini lebih mahal dari nasi-nasi lainnya?" katanya sambil merubah raut wajahnya jadi serius, menekanku. 

"See? Stubborn! I'm just kidding okey!" 

"Aku juga bercanda kok" katanya lalu terkekeh lagi memandangiku. 

"Huhh, harusnya aku minta nasi biryani tadi atau nasi lemak"

"Klo kau masih saja mengeluh, aku belikan Bak-kut-teh untukmu besok-besok!"

"Ohh AMPUN! Iya, ini juga aku makan. Kau Lihatkan? Aku suka nasi rendang, nasi padang, nasi campur juga kok. Jangan salah paham" aku menyerah, 

"Good boy"

Aku kembali memakannya dengan lahap dan fokus. Hingga tanpa sadar orang yang tengah duduk didepanku hanya tersenyum memandangiku saja sedari tadi, tanpa memiliki selera yang sepadan dengan selera makanku. 

Aku lantas meminta kejelasan dari gerak-geriknya yang tidak seperti biasanya itu.

"You want me to feed you up or what?" tanyaku merasa tidak nyaman dengan tatapan mengaguminya yang seperti itu. 

Tapi dia menggeleng, lalu malah mendorong makanannya kehadapanku.

"Habiskan juga yah"

"Kenapa? Kau yang ngajakin lunch bareng tadi. Kenapa sekarang ngak selera?"

Aku mengambil sesendok dan menyuapinya tapi dia menggeleng. Tidak mau. 

"Apa ucapanku tadi menyinggung mu?"

Ara menggeleng.

"Aku hanya sudah kenyang"

"Bohon! Kau takkan kenyang hanya dengan memandangiku sedang makan, beb" ujarku.

Tapi Ara justru mengambil sendok dari tanganku dan menyuapkannya padaku. 

"Kau mengundangku kemari untuk makan bersama. Tapi kau sendiri tidak mau makan, malah ngeliatin aku terus dari tadi. Dan apa kau juga akan mengelak jika ini bukan rindu?"

"Katakan saja jika kau memang merindukanku sebanyak itu. Mungkin aku bisa membantumu meredakannya"

"Itu karena aku suka melihatmu makan"

"Jadi ini bukan rindu?" tanyaku lagi. Sedikit kecewa dengan jawab Ara. 

Ara hanya tersenyum ringan.

"Itu karena aku suka selera makanmu. Mau lauknya enak, kurang enak, atau yang ngak enak sekalipun menurutku, tapi kau selalu memakannya dengan lahap dan habis" Ara menjelaskan, 

"Apapun makanannya jadi terlihat enak banget saat kamu yang menyantapnya. Itulah kenapa aku suka makan bersama mu, Bi" lanjutnya.

"Oke. Baiklah"

"Jadi habiskan juga ini, semuanya. Aku sudah makan di kampus tadi bareng teman-teman yang lain"

"Klo begitu kenapa kau mau aku kesini, klo ini bukan karena kangen?" aku menggodanya sekali lagi, 

"Tidak! Itu karena ..., uhh, itu karena .... Sudah kubilang tadi, aku suka melihatmu makan dengan lahap!" Ara mengelak untuk kesekian kalinya.

Aku terkekeh lagi. Tapi Ara malah bingung. 

"Still. Stubborn!" 

"Aku hanya suka dengan selera makan mu, Bi" tambahnya membela diri.

"Cuma karena itu? Tidak mungkinkan?! Ngomong-omong yang lain pada kemana?"

Dia mengangkat bahu, "Masih belum pulang. Mungkin masih di kampus atau hang out. Entahlah"

Hening beberapa saat. Dan Ara tetap saja melihatku dengan kilau mata berlian kekagumannya. Aku bahkan tak mengerti entah apa yang dia kagumi. 

"Ru..."

"What?"

"Nothing"  

"Then, why you called me? Apa ada yang mengganggu pikiran mu?" 

"Mmhh, I think so" 

"Tell me, beb!" 

"Mengapaaa..."

"Mengapa?" ulangku.

"Mengapa cinta bisa membuat orang jadi serakah? Bahkan dalam hal perhatian dan semuanya?" 

Aku ganti menatapnya heran. Lalu tersenyum senang, memberikan kehangatan menyambut tanyanya.

"Tumben banget kau mau membicarakkan hal semacam ini? Biasanya kau hanya sibuk dengan angka-angka, mempercantik diri..." sindirku. 

"Entahlah. Mungkin karena tertular olehmu. Jadi menurutmu. Kenapa?"

"Kenapa yah?"

Aku mencoba mencari jawabnya sesingkat waktu yang mungkin bisa ku berikan padanya. Tapi sayangnya pikiranku seperti buntu seketika.

Aku tidak bisa menghimpun jawaban apapun. Jadi aku mencoba memanjangkan waktu, sembari terus berpikir tentang jawabannya.

"Kau pasti sedang mengalami frase demam rindu"

"Demam rindu? Maksudmu?"

"Iya. Jadi kau merasa harus selalu berada didekatnya. Ingin selalu mendapatkan perhatiannya. Ingin menjadi orang yang selalu dia pikirkan. Kau juga jadi ingin selalu bersamanya, selalu ingin melihatnya, dan kau menjadi terobsesi akannya? Apa begitu?"

"Apa begitu? Mungkin. Jadi katakan kenapa cinta bisa memanipulasi seseorang dengan sedemikian kompleksnya? Dan katakan juga jika ini bukan masalah besar untukku, bukan?"

Aku menggeleng. Tidak sepakat. 

"Ini jelas masalah besar untukmu" aku mencandai.

"Apa ini juga masalah besar untukmu?"

"Tidak!"

"Jangan bilang kau tidak merasakan hal yang serupa, seperti ini?!"

Aku menggeleng dan tersenyum. Mencoba memanipulasi jawabku. 

"Jadi, perasaan ini hanya sepihak?"

"Mmhh, perasaan yang mana?"

"Yang kurasakan ini"

"Padaku?" godaku lagi. 

Ara mengangkat sendok ditangannya lebih tinggi. Berlagak seakan ingin memukulkan sendok itu padaku. 

"Ya, ya... ya... maaf aku tidak tahu perasaanmu secara pasti" kataku seraya melindungi kepalaku,

"Kurasa kau perlu pergi ke psikiater deh. Aku takut ini akan semakin mengganggu konsentrasimu dan menjadikan mu makin tidak baik-baik saja" candaku. 

Ara menatapku dengan wajah serius.  Seakan membenarkan semua ucapanku. Ekspresi seriusnya membuatku goyah dan tertawa. 

"Ahhgg... Aru. Aku lagi serius nih! Aku pikir kau betulan serius dengan saranmu itu" keluhnya.

"Kenapa hidupmu selalu dipenuhi dengan keseriusan sih? Santai aja kali!" aku memberinya saran. Tapi Ara malah menatapku dengan sinis. 

"Jawab!"

"Mungkin itu terjadi karena kau sedang jatuh cinta. Jadi kau bisa merasakan hal-hal ajaib yang tidak bisa dipahami oleh orang yang tidak merasakannya. Yang orang lain anggap diluar nalar dan logika dari biasanya, kadang"

"Apa ini hal yang wajar?"

"Apa menurutmu cinta itu tidak wajar?"

Aku memasang wajah tak mengerti, jadi dia mencoba menjabarkan lebih detail tentang kasus perasaannya itu.  

"Maksudku. Aku pernah jatuh cinta, punya pacar juga, tapi belum pernah merasakan hal yang sebingung seperti ini. Maksudku sekompleks ini rasanya. Kau tahu maksudkukan?"

"Iya, aku tahu. Dan itu masalah besarmu, bukan masalah besarku!" aku melihatnya yang merasa tidak terbantu dengan tanggapanku, 

"Kau yakin pernah jatuh cinta? Bukan sekedar hanya mencintai saja?"

"Memang apa bedanya?"

"Yah jelas beda dong. Yahh, seperti yang kau rasakan saat ini dan yang kau rasakan sebelumnya. Beda bukan?" 

Ara memicing, masih sangsi dengan maksud perkataan ku. 

"Yang membuatmu jadi terobsesi dengan orang itu. Yang membuatmu jadi bimbang seperti ini" saat dia lebih memahami, aku tanyakan lagi pertanyaan susulan, 

"Katakan siapa dia? Siapa orang yang membuatmu jadi sebegini bimbang?"

"You're such a big-big dummy!" gerutunya padaku. 

"That's it... That is it..." aku menemukan jawaban tambahan yang kubutihkan,

"Bodoh. Cinta. Gila! Ketiga hal itu tipis sekali jarak pembedanya. Seperti sehelai benang. Tipis sekali..."

Aku menatapnya lekat, mencari tahu apa dia bisa memahami penjelasanku dengan baik atau butuh penjelasan tambahan lainnya. 

"Jadi kau harus pandai-pandai membedakannya. Jangan sampai benang tipis itu jadi kusut dan rumit dan menali kemana-mana, nanti kau bisa dibuat gila karenanya" aku menggoda dia dengan jawaban ku sekali lagi, 

"Sekarang cermati posisimu saat ini. Kau berada diposisi bodah, sangat mencintainya, atau sudah hampir gila?"

"Ahh, Aru. Don't worry I'm still okey. Not that crazy"

"That's good for you, Beb. Jadi... Apa aku membuatmu merasakan semua ini?" 

Dia mengangkat alis dan mengangguk.

"Kenapa begitu? Kau tidak pernah merasakan yang seperti ini dengan mantan-mantanmu sebelumnya?" aku ingin tahu lebih dalam.

"Entahlah. Karena mungkin waktu itu aku masih kecil, mungkin"

Aku menggeleng tajam. Tidak membenarkan aturan semacam itu.

"Puppy love? Kurasa bukan itu!"

"Pappy love?" Ara merasa bingung.

Aku mengangguk. 

"Anyway pappy love, apaan sih? Ayah cinta? Apa sih? Ngak jelas banget!"

Aku tersenyum melihatnya bingung. Karena dia salah tangkap ternyata.  

"Itu bukan papi, ayah. Puppy, anak anjing. Puppy love. Cinta monyet!"

Ara meng-oh-kan jawabanku.

"Klo menurutmu bukan karena puppy love maka itu pasti karena aku tidak fokus dengan dunia percintaan pada waktu itu, mungkin!" Ara mengganti jawab, yang makin membuatku bertanya lebih.

"Kenapa?"

"Karena fokusku waktu itu hanya untuk sekolah dan belajar. Prestasi dan masa depan. Dan bukan untuk menjalin hubungan percintaan yang serius"

"Ahh, jadi hubungan kita ini serius?" aku kembali punya bahan untuk menggodanya.

"Emm, entahlah. Kau yang sepertinya tidak serius denganku" keluhnya memutar dan menyerangku balik,

"Aku serius. Serius cinta sama kamu"

Ara tak bisa menyembunyikan diri dari ucapanku yang mengefek padanya. Walaupun sempat dia tahan, tapi senyum malunya itu terlihat juga.

"Kau malu?"

"Tidak. Ini hanya... hanya... " dia kehilangan kata. 

Tapi aku malah tertawa bahagia. 

"Kau membuatku merasa seperti hidup dalam fiksi, tapi fiksi inipun terasa begitu sangat realita" Ara memberikan penjelasannya.

"Kenapa begitu?" 

"Karenaa...  saat aku bersamamu semua cerita tentang kita seindah alam fiksi. Tak ada yangvtak bisa diwujudkan dalam fiksi. Namun, saat aku mencoba kembali dalam kenyataan hidup ini, bayangmu bahkan tidak memburam sedikitpun, perasaan ini semakin kuat tapi pikiranku menjadi buram dan rumit saat aku terus memikirkan tentang kita" tuturnya dengan raut sedikit sedih, 

"Jadi kurasa aku bahkan tidak benar-benar tahu, aku hidup dalam dunia fiksi atau realita. Jadi jangan terus mendesakku dengan pertanyaan-pertanyaan rumitmu seperti ini. Itu membuatku pusing"

"Kau yang mulai. Tapi baiklah... Aku akan mencoba. Tapi katakan satu hal saja" aku masih belum ingin berpindah topik pembahasan,

"Apa sekarang kau tidak fokus belajar? Hingga kau bisa jatuh cinta dan sangat tergila-gila dengan orang itu? Dan membuatmu jadi sebingung ini juga?"

"Aku tidak berkata begitu! Aku tidak tergila-gila dengan mu, okey!" bantahnya.

"Aku hanya menyimpulkan. Sepertinya, begitu yang ku tangkap"

Dia tersenyum sebal melihatku yang juga tidak mau mengalah.

"Aku masih fokus, kok!"

Lihatlah betapa keras kepalanya dia. Mengaku saja masih tak mau, dan terus berbelit-belit memberi jawab. 

"Fokus kedua-duanya?!" sahutku cepat, mengakhiri perdebatan,

Ara tersenyum, "Mungkin!"

Akhirnya dia melemah juga.

"Jadi kenapa kau sangat terobsesi akanku?" dia merasa tidak sepakat dengan tanyaku tapi hanya diam, "Sebaiknya berikan aku jawaban terbaikmu, Ara. Atau aku akan menggelitiki mu!"

Ara malah cepat mengangkat bahunya. Dia masih bingung dan tidak tahu. 

"Apa karena aku istimewa?" bantuku.

"Tentu bukan! Kau biasa saja! Sama seperti yang lainnya" jawabnya. Masih tidak ingin membuatku menang.

"So I'm not special for you?" 

"Absolutely yes. You just so ordinary" 

"Ahh, Ara!" aku mengeluh, "You ruin my wish just in second"

Protesku terang-terangan. Tapi dia malah tertawa bahagia. Seperti ini adalah humor terbaik seharian ini. 

"I think, I just ruined your narsistict not your wish" belanya.

"Whatever!" jawabku singkat,  "Tetap saja, kaulah satu-satunya yang meruntuhkan harapanku"

"Ohh sorry" katanya dalam nada bercanda.

"Heal me then" manjaku ganti.

Dia menatapku tenang. Dengan senyum sumringah yang masih menghiasi wajahnya. Perlahan dia menempelkan satu tangannya pada rahang pipiku, lalu menautkan pandangan mata kami dalam satu naungan. Dia membuka kata,

"I love you" 

Aku menerimanya dengan sangat bahagia karena akhirnya Ara luluh juga,  tapi aku berlagak tidak mengerti agar dia mengulangnya sekali lagi. 

"What?" 

Lalu dia mengulang sekali lagi.

"Lebih keras, plis!" mintaku sekali lagi.

"No repeatation! Kau mempermainkanku, kan?" 

"I'm begging, please!" 

"Nope. I think that you're fine now!"

"Beb, aku belum denger" kataku seraya menahan tawa,

"Kau tak harus mendengarnya jika memang tak ingin mendengarnya"

"Satu kali lagi"

"NO! Kau sudah meminum obatku dan sembuh. Aku sudah bisa melihat wajah ceriamu. Kau sudah sembuh!" 

"Huh.... STUBBORN!" jengahku berusaha,

"Okey, kalau kau tidak mau menyatakannya dengan lantang biar aku saja yang mengatakannya dengan terus terang" tantangku mengalah lelah, 

"I love you.. Ara"

"I love you... "

"I looove you..."

"I love love love you... I love yuuuu...mmmhh" 

Ara menutup mulutku dengan tangannya, mungkin karena aku jadi berisik baginya.

"Aku rasa kau benar dengan jawaban mu tadi" potong Ara, entah membenarkan dari ucapanku yang mana,

"Jika benang tipis antara bodoh dan gila itu cinta. Aku percaya dan setuju dengan pendapatmu itu, jika kau harus pergi konseling secepatnya!"

Ara melepas tangannya dari mulutku, karena aku sudah lebih tenang dan karena dia tak lagi bisa menahan tawanya. 

Aku masih tercengang, karena dia bisa mengembalikan kalimat ku dengan sempurna untuk balas mencandaiku. 

"Seriusan, kayaknya kamu deh yang lebih perlu ngecek ke psikiater daripada aku. Apa ini cinta, kebodohan, atau kegilaan?!" godanya ganti, 

Aku tertawa makin lantang.

"Ohh, si pemutar balik keadaan telah kembali" geerutuku.

"What?" dia mau aku memperbaiki kalimatku. Kurasa. 

"Stubborn!" 

Kataku menolak untuk memperbaiki, dan malah menantang dengan kalimat lanjutanku. Tapi Ara tidak tersinggung, dia justru masih menatapku dengan senyum gemainya yang lucu, melihat tingkahku seperti anak kecil yang sedang  jengkel karena merasa kalah. 

"Deflector!" 

Aku masih melanjutkan kekesalanku. Ara juga sama,  masih tersenyum jenaka menanggapiku. 

"Nerd!" 

"Sadis!" tambahku belum mau berhenti. 

"Aru seriously. You should go check the doctor" balasnya enteng, 

"Klo gitu kita datang ke konseling bareng aja yuk. Buktikan siapa yang lebih tergila-gila dengan siapa, sebenarnya"

Lantas kami sama-sama tertawa bersamaan.

"Aku tidak segila sepertimu"

Indah sekali bukan jika dunia kecil tentang kita tidak terisi halaman orang ketiga. 

~ Flashback End ~

*****

Aku terbangun saat mendengar suara pintu terbuka. Dan aku sudah bisa menduga jika itu pasti Zein. 

"Oh sorry bro" katanya saat muncul, "kenapa ngak tidur didalem aja?"

"Aku ketiduran"

"Makan bro, kau pasti belum makan seharian inikan? Aku sudah makan tadi. Sekarang aku mau mandi dulu" katanya sambil menaruh makanan di meja. 

Aku mengecek ponsel. Jam 6. Aku tertidur cukup lama rupanya. Aku ganti mengecek update terakhir dibeberapa akun sosmedku. Dimulai dari story I*******m,

"Who's lost in this way?"  dengan gambar jalan yang memiliki banyak papan penunjuk arah. 

Lantas menskrol komentar teman-temanku. Dan yang membuatku berhenti sejenak lebih lama adalah komentar dari Quin, yang membuat jantungku meloncat lebih tinggi. 

"Me. I guess we both lost in a same page but in a different way. MMS U, my Aru"

Aku sudah mengetikkan beberapa kata balasan tapi menghapusnya ulang. Aku tidak bisa membalasnya dikomentar, bisa jadi perangku dengan Ara semakin berkepanjangan. Jadi ku putuskan untuk membalasnya secara lebih private.

Saat aku membuka applikasi chatting, ternyata Quin bahkan sudah lebih dulu mengirimkan pesan lain keinbox ku.

"Are you okay?"

Pesan Quin memang simpel, tapi hampir membuat ku menangis hanya dengan sekali membacanya saja. Itu karena dia seakan mengerti betul keadaanku, posisiku yang tengah terluka, dan tidak sedang baik-baik saja.

"A bit harder" balasku akan tanyanya, 

"How are you?" balasku selanjutnya, "Me misS you too,  my Queen" tapi dia belum membalas balik walau terlihat aktif dan aku hanya membiarkannya saja. 

Zein kembali menemuiku dengan wangi dan muka lebih segar.

"Kau belum makan juga?"

"Aku mau mandi dulu" jawabku sembari bangkit dari dudukku dan melangkah menuju kamar mandi, namun sebelum itu aku berbalik lagi.

"Kau mau pinjam baju?" Zein menebak, "Ambillah. Tapi ingat jangan kaos yang warna putih"

"Ya, aku paham!" jawabku agak kesal, karena dia selalu memperingatkan hal-hal yang sama. Aku berhenti sejenak untuk menimbang dua kali apa yang ingin ku tanyakan pada Zein ini. Dan akhirnya mantap bertanya, 

"Kau tahu kabar Quin?"

"Quin? Diaaa...? Entahlah, sudah agak lama kami tidak bertukar kabar. Tapi kurasa dia baik, masih aktif juga di sosmedkan?"

Aku membenarkan dalam hati.

"Eeeiit tunggu. Kenapa kau tiba-tiba bertanya tentang dia? Karena kau sedang punya masalah dengan pacarmu dan kau mau berlari padanya?"

"Kenapa kau malah bertanya kabar orang lain? Untuk menghibur diri, huh?" sindirnya curiga. 

"Dia bukan orang lain Zein. Dia..."

"Soulmate mu?" celetup Zein cepat menyerobot kalimatku dengan jenaka.

"Shut up yo! I'm serious! Aku ngerasa dia sedang tidak baik" 

"Sama seperti mu, begitu?"

"Mungkin"

"Kau menyimpulkan begitu karena melihat komennya di I* mu, bukan? MMS U. Me miss you, my Aru. Aku berani bertaruh, jika sampai pacarmu tahu arti MMS U dari Quin itu, pasti perang akan semakin lama"

Aku terdiam. Hanya berkata mungkin dalam hati.

"Kau tanyakan saja langsung padanya jangan padaku. Kau kan juga tahu, aku sudah lama menyerah mengejarnya. Tapi sepertinya kau tidak!" sinisnya menyindirku.

"Oh ayolah jangan tersinggung. Aku dan Quin hanya teman"

"Ya, temen tapi TTM. Temen tapi manja"

"Yang pentingkan teman. We're not a lover, bro. Trust me!" belaku jujur.

"Kalian mungkin saja bukan pasangan, but still look like more than friend, you know!" potongnya lagi pada penjelasanku. 

"We're still friend, bro!" belaku sekali lagi.

"Friend? With benefits maksudnya? Heck yeah!" tapi Zein masih saja terkekeh dengan pendapat jailnya sendiri.

"Ahhggg... whatever! Kau membuat kepalaku makin pusing" kataku begah mendengarnya tak bisa dikalahkan. 

Jadi sebaiknya aku memisah diri.  Pergi. 

"Apa pacarmu baik-baik saja, saat ada wanita lain yang mengakuisisi kekasihnya? Kalian tidak marahan karena inikan?"

"Entahlah. Aku mau mandi!" jawabku tak berselera. 

Tapi pikiranku terus berlari kesana. 

Jika itu aku, aku akan sakit hati melihatnya. Tapi ini Ara, manusia dengan sedikit ekspresi dan sedikit kepekaan rasa.

Lagi pula jika dia bisa merasa sakit mendapati pesan yang berbunyi 'my Aru' itu, maka harusnya dia juga tahu betapa sakitnya hatiku saat kekasihnya tiba-tiba bertunangan dengan pria lain secara sepihak. 

Harusnya dia tahu, ini lebih menyakitkan dari semua itu. 

"RU, QUIN TELPON!"

Aku berbalik cepat kearah Zein, yang tengah memegangi ponselku. Lantas dia tersenyum dengan lebarnya mencandaiku.

"See? Kau masih mencintainyakan, kan?"

"Tidak lucu, Zein!"

"Ayolah, aku ini sahabatmu. Aku tahu lau masih punya rasa padanya, kan?"

"Kau mandilah dulu. Ceritakan padaku setelah kau merasa oke!"

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status