Share

2. Aku Ga Kuat Lagi, Kak

Lintang melihat Bimo dari jendela dapur dan bergegas menghampirinya. Bimo adalah satu-satunya teman akrab Lintang di sekolah. Dia baru pindah ke desa ini saat mereka masuk SMA. Bimo pemuda yang ramah dan baik. Dia cukup perhatian pada Lintang dan Wulan. Lintang tidak pernah tahu kalau Bimo sebenarnya menaruh hati padanya.

"Bim, ayo ikut aku. Kita cari tempat untuk bicara," ajak Lintang.

Bimo heran melihat Lintang seperti ketakutan. Bimo mengikuti Lintang yang berjalan cepat menuju pemakaman. Di sana Lintang menangis di atas makam ibunya.

"Lin, ada apa?" tanya Bimo yang bingung dengan sikap Lintang. Dia sedari tadi menunggui gadis itu menangis sampai puas.

"Aku ga tahan, Bim. Semua berubah, sejak anak Pak Lurah datang. Dia benci padaku dan Wulan. Dia berbuat semau sendiri pada kami,” tutur Lintang.

"Mas Mito? Jadi karena Mas Mito?" Bimo terkejut mendengar cerita Lintang.

Lintang tak bisa menutup mulutnya. Akhirnya dia mencurahkan kepedihannya karena perbuatan Mito. Walaupun Lintang tidak bisa mengatakan segala sesuatu, dia hanya ingin melepas rasa sakit dan lelah yang memenuhi hatinya sampai sesak.

Bimo tidak habis pikir, Pak dan Bu Lurah yang dikenal baik itu punya anak jahat begini? Bimo sangat kesal dan geram mendengar cerita Lintang. Ini tidak bisa dibiarkan. Lintang tidak boleh diam saja. Dia harus mengatakan apa yang dia dan Wulan alami gara-gara anak Pak Lurah itu.

"Lin, kamu harus kasih tahu Pak Lurah. Ga bisa dia seenaknya begitu sama kamu dan Wulan. Ini macam KDRT, Lin," ucap Bimo kesal.

"Mana bisa, Bim. Aku takut masalah nanti melebar. Kalau ujung-ujungnya dia makin jahat, aku ga tega Wulan harus menerima akibatnya.” Lintang menggeleng. Tidak mungkin dia mengadu.

Bimo tidak tahu harus bilang apa. Seandainya dia bisa melakukan sesuatu buat Lintang, gadis cantik yang beberapa kali hadir dalam mimpi Bimo. Dia pandangi Lintang yang terlihat gelisah. Gadis itu berusaha tegar dengan hidup makin berat yang dia jalani.

Tidak lama setelah itu Lintang dan Bimo meninggalkan makam, pulang. Sebelum berpisah, Bimo memberikan bungkusan kepada Lintang. Oleh-oleh dari Jogja. Liburan kenaikan kelas ini Bimo dan keluarganya memang pergi ke sana. Lintang mengucapkan terima kasih, lalu mereka mengambil jalan masing-masing.

*****

"Wulan, aku ga lihat kakakmu. Di mana dia!?" tanya Mito pada Wulan. Gadis kecil itu sedang menyapu halaman depan rumah.

"Dia pergi," jawab Wulan takut-takut.

"Dasar anak sialan. Keluyuran saja kerjanya," geram Mito.

Mito beranjak duduk di teras. Sengaja dia duduk di situ menunggu Lintang pulang. Ingin rasanya dia jambak rambut panjangnya, sekalian menampar pipinya, biar tahu rasa. Tidak lama Lintang datang. Dia tidak menuju teras karena melihat Mito ada di sana. Lintang lewat samping rumah, menuju pintu belakang. Tapi ....

"Hei!! Mau ke mana kamu?!" teriak Mito lantang. Lintang menghentikan langkahnya seketika.

"Sini! Cepat!!" bentak Mito kesal.

Lintang segera mendekati Mito. Seperti biasa, tak berani menatap mata pemuda itu. Dia menundukkan kepalanya.

"Dari mana saja kamu?" tanya Mito, ketus.

"Dari makam ibu," jawab Lintang pelan. Dada Lintang bergemuruh karena takut mulai mendera.

"Ibumu sudah mati, gak akan bisa mendengar kamu. Tahu?" Mito menonjok dahi Lintang dengan telunjuknya. Lalu dia duduk lagi.

"Duduk!" ujar Mito.

Lintang mengangkat wajahnya, memberanikan diri memandang Mito.

"Duduk!" Mito menunjuk ke lantai.

Tidak berani menolak, Lintang bersimpuh di lantai.

"Bersihkan sepatuku." Mito mengangkat kakinya ke depan wajah Lintang.

Lintang cepat mengambil lap dan kembali lagi ke tempatnya. Perlahan mulai membersihkan sepatu Mito. Dari dekat tembok di sisi rumah, Wulan melihat kakaknya. Takut mulai membuat dadanya meletup. Gadis kecil itu hampir menangis.

Setelah Lintang rasa selesai, dia menghentikan tangannya dan meletakkan lap yang dia pegang. Merasa pekerjaan Lintang belum betul, Mito mengumpat kesal. Dengan keras kaki Mito menendang Lintang. Tentu saja gadis itu terjungkal.

"Kak!" Wulan berlari ke arah kakaknya. "Jangan tendang kakakku." Dia memeluk Lintang yang baru duduk lagi di lantai, menghalangi Mito agar tidak menyentuh kakaknya.

"Mau apa kamu?! Pergi sana!" Tangan Mito menampar pipi kecil Wulan. Gadis itu menjerit. Dia langsung menangis karena takut dan kesakitan.

"Ulan!!" Lintang berusaha melindungi Wulan. Tapi Mito menarik tangannya kuat sekali, agar menjauh dari Wulan.

"Tugasmu belum selesai. Biarkan saja dia!" sentak Mito kasar.

Lintang tak tahan lagi. Dia pun menangis. Sambil tangannya kembali membersihkan sepatu Mito.

"Anak tolol! Pegang kakiku, capek aku mengangkatnya terus. Cepat!!" tukas Mito pada Wulan.

Wulan mendekat dan memegangi kaki Mito sementara Lintang mengelap sepatu. Tangannya sedikit gemetar. Dari dalam rumah, Mak Imah menatap kedua gadis malang itu. Air matanya menitik tak tertahankan. Tapi apa yang bisa dia lakukan untuk mereka?

*****

"Kak, aku ga kuat lagi ... aku takut …." Wulan menangis di dalam kamar setelah keduanya selesai dikerjain Mito. Masih terasa panas di kedua pipinya karena gamparan yang dia terima. Lintang memeluk Wulan erat. Dia ikut menangis.

"Kakak juga ga tahan lagi, Lan. Kakak juga takut," kata Lintang sedih.

Sakit, sedih, marah, semua campur aduk di dalam hatinya. Lalu dia harus bagaimana? Mito bahkan sudah menampar Wulan sekeras itu. Pipinya memar. Lintang tidak sanggup melihat adiknya akan mendapat perlakuan yang lebih kejam lagi. Beberapa kali Wulan sempat mengigau saat tidur, seperti ketakutan. Jika dibiarkan terus begini, Lintang kuatir Wulan makin tertekan dan bisa mengalami trauma berkepanjangan.

"Lan, kita pergi dari sini. Kakak tidak mau kamu dipukul lagi." Lintang memandang Wulan.

"Pergi? Pasti bapak sama ibu ga kasih ijin kita pergi." Wulan balas menatap kakaknya.

"Kita pergi diam-diam. Kita punya tabungan, kan? Kita bisa pakai uang itu," putus Lintang.

Lintang memandang adiknya. Tidak ada pilihan lain, mereka harus pergi, atau akan jadi bulan-bulanan Mito. Lintang harus melindungi Wulan agar tidak semakin menderita karena diperlakukan dengan kejam oleh orang lain. Tekat Lintang sudah bulat, dia akan membawa Wulan pergi dari rumah itu.

“Kita ke mana, Kak?” Wulan bertanya dengan wajah bingung dan tatapan nanar pada kakaknya.

Lintang memandang Wulan, dia juga tidak tahu akan ke mana. Tapi pergi adalah pilihan paling baik tampaknya. Yang penting dia dan Wulan tetap bersama, seperti pesan ibu.

“Ke kota, kita akan ke kota.” Entah bagaimana itu yang keluar dari mulut Lintang.

Wulan diam saja. Perasaannya campur aduk antara takut dan bingung. Dia tidak ingat kota seperti apa. Dulu ibu pernah mengajak pergi waktu dia masih kecil. Kalau Lintang masih bisa ingat, meski itu kira-kira empat tahun lalu.

Kota, sepertinya tempat yang tepat untuk dituju. Di desa ini, semua orang tahu Pak Lurah. Jika dia bersembunyi di sekitar desa, pasti akan ketemu. Pasti akan menimbulkan masalah baru. Jika dia pergi jauh, keluarga Pak Lurah akan baik kembali. Mito akan nyaman di rumahnya sendiri.

Sore itu, Lintang dan Wulan bersikap seperti biasa. Wulan bahkan hampir tidak keluar kamar. Lintang menemani Wulan hanya untuk ke kamar mandi saja. Dia tidak mau ada yang melihat muka Wulan yang memar. Pasti akan ditanya kenapa, ada apa. Sebelum jam delapan malam mereka sudah masuk kamar dan tidak keluar lagi.

Di dalam kamar, Lintang dan Wulan membereskan barang mereka. Tidak banyak yang dibawa. Secukupnya yang bisa masuk dalam tas sekolah mereka. Yang penting Lintang membawa raport dan ijazah, surat penting lainnya, juga dompet. Tidak ketinggalan kaos oleh-oleh dari Bimo. Setelah itu, Lintang menulis dua surat. Satu untuk Pak Lurah dan Bu Lurah. Yang satu untuk Bimo. Setelah itu dia naik di sisi Wulan yang berusaha tidur meskipun sulit karena rasa takut yang terus membayang.

Malam makin larut. Rumah itu sudah gelap sejak tadi. Orang-orang yang tinggal dalam rumah sudah naik ke peraduan. Kecuali di kamar belakang. Ada lampu kecil yang menyala. Lintang masih terjaga. Dia tak mau benar-benar terlelap. Dia takut ketiduran, lalu kesiangan, dan rencananya berantakan.

Lintang merasa lelah. Badannya, juga pikirannya. Apa yang akan dilakukannya di kota? Dia tak kenal siapapun. Apa dia dapat bertahan? Tapi di sini, dia juga tak sanggup lagi menjalani hidupnya. Mito makin jadi menyiksa dia dan Wulan. Mereka seperti budak yang hina dan tak punya harga. Di sini seperti penjara. Dia diperlakukan bagai tahanan. Lintang tak bisa lagi melihat Wulan diperlakukan begitu kejam. Dia masih terlalu kecil untuk menerima itu semua.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Little Casper
benar. pergi lebih baik nyesek rasanya jadi lintang dan wulan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status