Home / Romansa / The Hero of My Life / 2. Aku Ga Kuat Lagi, Kak

Share

2. Aku Ga Kuat Lagi, Kak

last update Last Updated: 2021-07-30 22:17:44

Lintang melihat Bimo dari jendela dapur dan bergegas menghampirinya. Bimo adalah satu-satunya teman akrab Lintang di sekolah. Dia baru pindah ke desa ini saat mereka masuk SMA. Bimo pemuda yang ramah dan baik. Dia cukup perhatian pada Lintang dan Wulan. Lintang tidak pernah tahu kalau Bimo sebenarnya menaruh hati padanya.

"Bim, ayo ikut aku. Kita cari tempat untuk bicara," ajak Lintang.

Bimo heran melihat Lintang seperti ketakutan. Bimo mengikuti Lintang yang berjalan cepat menuju pemakaman. Di sana Lintang menangis di atas makam ibunya.

"Lin, ada apa?" tanya Bimo yang bingung dengan sikap Lintang. Dia sedari tadi menunggui gadis itu menangis sampai puas.

"Aku ga tahan, Bim. Semua berubah, sejak anak Pak Lurah datang. Dia benci padaku dan Wulan. Dia berbuat semau sendiri pada kami,” tutur Lintang.

"Mas Mito? Jadi karena Mas Mito?" Bimo terkejut mendengar cerita Lintang.

Lintang tak bisa menutup mulutnya. Akhirnya dia mencurahkan kepedihannya karena perbuatan Mito. Walaupun Lintang tidak bisa mengatakan segala sesuatu, dia hanya ingin melepas rasa sakit dan lelah yang memenuhi hatinya sampai sesak.

Bimo tidak habis pikir, Pak dan Bu Lurah yang dikenal baik itu punya anak jahat begini? Bimo sangat kesal dan geram mendengar cerita Lintang. Ini tidak bisa dibiarkan. Lintang tidak boleh diam saja. Dia harus mengatakan apa yang dia dan Wulan alami gara-gara anak Pak Lurah itu.

"Lin, kamu harus kasih tahu Pak Lurah. Ga bisa dia seenaknya begitu sama kamu dan Wulan. Ini macam KDRT, Lin," ucap Bimo kesal.

"Mana bisa, Bim. Aku takut masalah nanti melebar. Kalau ujung-ujungnya dia makin jahat, aku ga tega Wulan harus menerima akibatnya.” Lintang menggeleng. Tidak mungkin dia mengadu.

Bimo tidak tahu harus bilang apa. Seandainya dia bisa melakukan sesuatu buat Lintang, gadis cantik yang beberapa kali hadir dalam mimpi Bimo. Dia pandangi Lintang yang terlihat gelisah. Gadis itu berusaha tegar dengan hidup makin berat yang dia jalani.

Tidak lama setelah itu Lintang dan Bimo meninggalkan makam, pulang. Sebelum berpisah, Bimo memberikan bungkusan kepada Lintang. Oleh-oleh dari Jogja. Liburan kenaikan kelas ini Bimo dan keluarganya memang pergi ke sana. Lintang mengucapkan terima kasih, lalu mereka mengambil jalan masing-masing.

*****

"Wulan, aku ga lihat kakakmu. Di mana dia!?" tanya Mito pada Wulan. Gadis kecil itu sedang menyapu halaman depan rumah.

"Dia pergi," jawab Wulan takut-takut.

"Dasar anak sialan. Keluyuran saja kerjanya," geram Mito.

Mito beranjak duduk di teras. Sengaja dia duduk di situ menunggu Lintang pulang. Ingin rasanya dia jambak rambut panjangnya, sekalian menampar pipinya, biar tahu rasa. Tidak lama Lintang datang. Dia tidak menuju teras karena melihat Mito ada di sana. Lintang lewat samping rumah, menuju pintu belakang. Tapi ....

"Hei!! Mau ke mana kamu?!" teriak Mito lantang. Lintang menghentikan langkahnya seketika.

"Sini! Cepat!!" bentak Mito kesal.

Lintang segera mendekati Mito. Seperti biasa, tak berani menatap mata pemuda itu. Dia menundukkan kepalanya.

"Dari mana saja kamu?" tanya Mito, ketus.

"Dari makam ibu," jawab Lintang pelan. Dada Lintang bergemuruh karena takut mulai mendera.

"Ibumu sudah mati, gak akan bisa mendengar kamu. Tahu?" Mito menonjok dahi Lintang dengan telunjuknya. Lalu dia duduk lagi.

"Duduk!" ujar Mito.

Lintang mengangkat wajahnya, memberanikan diri memandang Mito.

"Duduk!" Mito menunjuk ke lantai.

Tidak berani menolak, Lintang bersimpuh di lantai.

"Bersihkan sepatuku." Mito mengangkat kakinya ke depan wajah Lintang.

Lintang cepat mengambil lap dan kembali lagi ke tempatnya. Perlahan mulai membersihkan sepatu Mito. Dari dekat tembok di sisi rumah, Wulan melihat kakaknya. Takut mulai membuat dadanya meletup. Gadis kecil itu hampir menangis.

Setelah Lintang rasa selesai, dia menghentikan tangannya dan meletakkan lap yang dia pegang. Merasa pekerjaan Lintang belum betul, Mito mengumpat kesal. Dengan keras kaki Mito menendang Lintang. Tentu saja gadis itu terjungkal.

"Kak!" Wulan berlari ke arah kakaknya. "Jangan tendang kakakku." Dia memeluk Lintang yang baru duduk lagi di lantai, menghalangi Mito agar tidak menyentuh kakaknya.

"Mau apa kamu?! Pergi sana!" Tangan Mito menampar pipi kecil Wulan. Gadis itu menjerit. Dia langsung menangis karena takut dan kesakitan.

"Ulan!!" Lintang berusaha melindungi Wulan. Tapi Mito menarik tangannya kuat sekali, agar menjauh dari Wulan.

"Tugasmu belum selesai. Biarkan saja dia!" sentak Mito kasar.

Lintang tak tahan lagi. Dia pun menangis. Sambil tangannya kembali membersihkan sepatu Mito.

"Anak tolol! Pegang kakiku, capek aku mengangkatnya terus. Cepat!!" tukas Mito pada Wulan.

Wulan mendekat dan memegangi kaki Mito sementara Lintang mengelap sepatu. Tangannya sedikit gemetar. Dari dalam rumah, Mak Imah menatap kedua gadis malang itu. Air matanya menitik tak tertahankan. Tapi apa yang bisa dia lakukan untuk mereka?

*****

"Kak, aku ga kuat lagi ... aku takut …." Wulan menangis di dalam kamar setelah keduanya selesai dikerjain Mito. Masih terasa panas di kedua pipinya karena gamparan yang dia terima. Lintang memeluk Wulan erat. Dia ikut menangis.

"Kakak juga ga tahan lagi, Lan. Kakak juga takut," kata Lintang sedih.

Sakit, sedih, marah, semua campur aduk di dalam hatinya. Lalu dia harus bagaimana? Mito bahkan sudah menampar Wulan sekeras itu. Pipinya memar. Lintang tidak sanggup melihat adiknya akan mendapat perlakuan yang lebih kejam lagi. Beberapa kali Wulan sempat mengigau saat tidur, seperti ketakutan. Jika dibiarkan terus begini, Lintang kuatir Wulan makin tertekan dan bisa mengalami trauma berkepanjangan.

"Lan, kita pergi dari sini. Kakak tidak mau kamu dipukul lagi." Lintang memandang Wulan.

"Pergi? Pasti bapak sama ibu ga kasih ijin kita pergi." Wulan balas menatap kakaknya.

"Kita pergi diam-diam. Kita punya tabungan, kan? Kita bisa pakai uang itu," putus Lintang.

Lintang memandang adiknya. Tidak ada pilihan lain, mereka harus pergi, atau akan jadi bulan-bulanan Mito. Lintang harus melindungi Wulan agar tidak semakin menderita karena diperlakukan dengan kejam oleh orang lain. Tekat Lintang sudah bulat, dia akan membawa Wulan pergi dari rumah itu.

“Kita ke mana, Kak?” Wulan bertanya dengan wajah bingung dan tatapan nanar pada kakaknya.

Lintang memandang Wulan, dia juga tidak tahu akan ke mana. Tapi pergi adalah pilihan paling baik tampaknya. Yang penting dia dan Wulan tetap bersama, seperti pesan ibu.

“Ke kota, kita akan ke kota.” Entah bagaimana itu yang keluar dari mulut Lintang.

Wulan diam saja. Perasaannya campur aduk antara takut dan bingung. Dia tidak ingat kota seperti apa. Dulu ibu pernah mengajak pergi waktu dia masih kecil. Kalau Lintang masih bisa ingat, meski itu kira-kira empat tahun lalu.

Kota, sepertinya tempat yang tepat untuk dituju. Di desa ini, semua orang tahu Pak Lurah. Jika dia bersembunyi di sekitar desa, pasti akan ketemu. Pasti akan menimbulkan masalah baru. Jika dia pergi jauh, keluarga Pak Lurah akan baik kembali. Mito akan nyaman di rumahnya sendiri.

Sore itu, Lintang dan Wulan bersikap seperti biasa. Wulan bahkan hampir tidak keluar kamar. Lintang menemani Wulan hanya untuk ke kamar mandi saja. Dia tidak mau ada yang melihat muka Wulan yang memar. Pasti akan ditanya kenapa, ada apa. Sebelum jam delapan malam mereka sudah masuk kamar dan tidak keluar lagi.

Di dalam kamar, Lintang dan Wulan membereskan barang mereka. Tidak banyak yang dibawa. Secukupnya yang bisa masuk dalam tas sekolah mereka. Yang penting Lintang membawa raport dan ijazah, surat penting lainnya, juga dompet. Tidak ketinggalan kaos oleh-oleh dari Bimo. Setelah itu, Lintang menulis dua surat. Satu untuk Pak Lurah dan Bu Lurah. Yang satu untuk Bimo. Setelah itu dia naik di sisi Wulan yang berusaha tidur meskipun sulit karena rasa takut yang terus membayang.

Malam makin larut. Rumah itu sudah gelap sejak tadi. Orang-orang yang tinggal dalam rumah sudah naik ke peraduan. Kecuali di kamar belakang. Ada lampu kecil yang menyala. Lintang masih terjaga. Dia tak mau benar-benar terlelap. Dia takut ketiduran, lalu kesiangan, dan rencananya berantakan.

Lintang merasa lelah. Badannya, juga pikirannya. Apa yang akan dilakukannya di kota? Dia tak kenal siapapun. Apa dia dapat bertahan? Tapi di sini, dia juga tak sanggup lagi menjalani hidupnya. Mito makin jadi menyiksa dia dan Wulan. Mereka seperti budak yang hina dan tak punya harga. Di sini seperti penjara. Dia diperlakukan bagai tahanan. Lintang tak bisa lagi melihat Wulan diperlakukan begitu kejam. Dia masih terlalu kecil untuk menerima itu semua.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Little Casper
benar. pergi lebih baik nyesek rasanya jadi lintang dan wulan
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • The Hero of My Life   Home Sweet Home

    'Family is the best thing you could ever wish for. They are there for you, during the ups and downs and love you, no matter what' - Anynomous.Membaca kalimat singkat di atas, tentang sebuah keluarga, sangatlah tepat. Setiap kita berasal dari sebuah keluarga. Apapun dan bagaimanapun, mereka bagian hidup kita yang tidak akan pernah hilang. Banyak hal kita belajar pertama kali dari keluarga, dari orang tua kita dan saudara-saudara kita.Memang, tidak sedikit waktu kita kecewa, marah, dan tidak puas dengan mereka yang Tuhan ijinkan menjadi keluarga kita. Kita merasa yang terjadi sangat melukai dan tidak seharusnya. Namun, keluarga adalah keluarga. Mereka orang-orang yang berarti untuk kita bertumbuh, menjadi kuat dan tangguh, justru melalui banyak konflik yang kita hadapi bersama keluarga.'No family is perfect. We argue, we fight, we even stop talking to each other at times, but in the end, family is family' - Anonymous.Jika masih ada keluarga yang kita mi

  • The Hero of My Life   137. You Are Really My Hero

    Lintang menidurkan Kendra di ranjangnya. Masih dia usap-usap lembut rambutnya, memastikan putranya memang telah terlelap. Lintang mengecup keningnya, lalu dia selimuti hingga di bagian dada. Lintang tersenyum, melihat anak lelakinya yang lucu, bertumbuh penuh semangat, dan tampan menggemaskan. "Tidur nyenyak, Sayang. Mama dan papa akan selalu menjagamu. Bertumbuhlah sehat, kuat, dan jadi laki-laki tangguh dan baik hati," bisik Lintang. Dia tinggalkan Kendra dan berpindah ke kamar sebelah. Kamar Kinanti. Gadis cantik itu berbaring sambil memejamkan mata. Saat Lintang mendekat, dia tahu Kinanti belum benar-benar tidur. Bola matanya masih bergerak-gerak. Lintang mengusap keningnya lembut. Kinanti justru membuka matanya. "Tidurlah, Sayang ..." ucap Lintang lirih. Dia duduk di sisi ranjang. "Cerita dulu, Ma." Dengan mata sayu karena mengantuk Kinanti berkata. "Hm? Mau dibacain? Cerita yang mana, Sayang?" tanya Lintang. "Queen Esther," jawab

  • The Hero of My Life   136. Teringat Lagi Dua Gadis Kecil Itu

    Acara ultah selesai. Senyum dan tawa ceria terdengar lagi dari anak-anak itu. Beberapa saat berikutnya, Kinanti dengan riang berlari kecil menghampiri mama dan papanya. Dia membawa bingkisan besar, bukan satu, tapi tiga. "Lihat, Ma, Pa!" Dia tunjukkan apa yang dia bawa. Dia letakkan di meja di depan Lintang dan David. "Wah, dapat tiga?" David tersenyum lebar. Dia pandangi putrinya yang terlihat begitu gembira. "Ini buat aku, ini buat adik Ken. Yang ini ..." Kinanti menunjukkan bungkusan dengan kertas kado biru yang cantik. "... aku dapat hadiah ini, karena gaun aku paling unik." Mata gadis itu tertuju pada Lintang. "Ma ... maaf, aku tadi marah-marah sama Mama. Ternyata gaun pilihan Mama paling oke." Lintang dan David tersenyum mendengar kata-kata putri mereka. Kinanti mendekat pada Lintang dan memeluk mamanya kuat. Rasa hangat menjalar di hatinya. Dia menyesal sebelum pergi harus ribut dulu dengan sang ibu. "Aku sayang Mama. Aku ga mau

  • The Hero of My Life   135. Buah Jatuh Dekat Pohonnya

    "Ga mau! Aku mau yang merah! Masa pakai biru lagi?!" Gadis kecil dengan mata bulat bening itu cemberut. Bibirnya manyun, sementara kepalanya menggeleng keras membuat rambut ekor kudanya bergerak bebas dan lucu."Sayang ... mana bisa pakai yang merah? Dress code-nya warna biru," ucap wanita cantik dengan rambut hitam tebal di depannya. Dia berusaha sabar menghadapi gadis kecil yang ngotot dengan gaun pilihannya."Tapi, birunya itu lagi. Bosan aku, Ma." Gadis kecil itu masih saja kesal pada mamanya. Dia cemberut dengan alis berkerut hampir menyatu.Mamanya sudah tidak sabar, karena tidak berapa lama mereka harus segera berangkat atau akan terlambat."Terserah, Kinan mau pakai atau Mama ga akan mengantar pergi." Hilang akal, ancaman pun muncul."Ah, jangan! Iya, aku mau pakai." Dengan wajah masih cemberut, akhirnya gadis kecil itu mengalah.Dari arah pintu muncul seorang pria tampan, memandang pada kedua makhluk cantik yang bersiteg

  • The Hero of My Life   134. Ternyata Bukan Cuma Lintang

    Mito tersenyum. "Masuk bulan keempat. Dikerjain beneran aku. Harus ekstra sabar.""Hee ... hee..." David terkekeh."Kenapa?" Mito mengerutkan keningnya. Kok David ngakak gitu?"Nasib kita sama. Ternyata bukan cuma Lintang yang aneh-aneh." David menggeleng-geleng."Lintang juga hamil?" Mito memastikan."Masuk bulan kedua. Manja banget. Suka ngambek," jawab David."Listy ngambek nggak, dikit-dikit nangis. Ga enak di hatinya dikit, nangis. Minta apa ga cepat dapat, nangis," kata Mito.Lintang yang sudah balik dari toko mendengar percakapan dua calon bapak muda itu. Dia senyum sendiri, tapi merasa kasihan juga pada mereka.

  • The Hero of My Life   133. Bawaan Bayi Atau Mama yang Manja?

    Melihat ekspresi Lintang David ingin tertawa, tapi dia tahan. Takut saja kalau Lintang makin ngambek. "Jangan sensi, becanda ini." David mengambil sendok. "Mau suap? Doa dulu." Lintang menundukkan kepala, mengucapkan doa sebelum dia mulai makan. "Udah? Ayo, makan." Dan mulai David menyuap Lintang. Ternyata cuma telor ceplok dia lahap sekali. "Pintar ... dikit lagi abis." David tersenyum. "Tapi Kak Dave ga makan. Sini, aku yang suap." Lintang mengambil sendok di tangan David, menyuapi David gantian. "Hm, aku enak juga masak telor ini," ucap David dengan mulut penuh. "Abisin deh, aku minum aja. Udah makannya." Lintang minum seteng

  • The Hero of My Life   132. Strategi yang Tepat

    "Tidak.Tapi, kamu tenang saja, Lin. Posisi kamu sangat kuat. Bayu tak akan bisa melakukan apa-apa padamu," sahut Ridwan. "Ya, Pak. Aku paham," ucap Lintang, berusaha menenangkan dirinya. "Jika ada apa-apa, jangan sungkan hubungi aku, kapan saja," sambung Ridwan. "Tentu, Pak." kata Lintang. "Trimakasih, sudah mau saya repotkan." "It is okay." ujar Ridwan. Dan telpon selesai. Lintang menutup telpon. Dia menggigit bibirnya. Dia berharap Bayu akan mengurungkan niatnya datang. Atau dia begitu sibuk dan ga sempat mampir ke rumah ini. ***** "Terima kasih banyak, Mbak. Pesanannya kami antar besok langsung ke alamat ini." Senyum ramah Lintang mengembang. Dua pelanggan yang datang tersenyum pu

  • The Hero of My Life   131. Senyum Makin Lebar

    "Ayah ..." Lintang melongok di depan kantor ayahnya. "Kalian, masuklah." Farid meletakkan pena yang dipegangnya. Dia memandang anak dan menantunya yang berjalan masuk ke ruang kerjanya. "Ayah ..." Lintang memandang ayahnya. Farid sudah bisa menduga sebenarnya yang Lintang akan katakan. "Aku ... eh ... ayah akan jadi kakek." Lintang tersenyum. Farid pun melebarkan bibirnya. Dia tersenyum senang. "Ayah benar kan, Dave?" "Ya. Ayah benar." David tersenyum. "Ayah sudah tahu?" ujar Lintang, menatap ayahnya yang masih tersenyum senang. "Melihat kamu jadi aneh-aneh. Mirip ibumu saat mengandung kamu," kata Farid.

  • The Hero of My Life   130. Selamat, Sayangku

    David mengambil sepiring nasi goreng dan telur, lalu dia bawa ke depan. Lintang balik duduk di ruang tengah, di sofa yang sama. Lintang duduk bersandar pada punggung sofa. "Sayang, sarapan dulu," ujar David. Dia sodorkan piring di depan Lintang. "Ga mau. Eneg, Kak." Lagi-lagi jawaban ketus. "Alin, ini kamu sendiri yang masak," bujuk David. "Ga mau," sahut Lintang, dia bersedekap sambil mengerutkan kedua keningnya karena kesal. "Terus mau sarapan apa?" Agak gusar, David mencoba sabar. "Bubur sumsum," kata Lintang. Dia melirik pada David yang bingung dengan sikap Lintang. "Bubur sumsum?" David menjawab heran. "Iya, beliin." Lintang cemberut. "Jangan pakai ngambek, Alin. Aku ga enak sama ayah. Dipikir aku jahat sama kamu," sahut David. Lintang berdiri dan naik ke kamar. "Emang." David makin bingung. Dia bawa balik piring ke dapur. Ada Wulan juga sekarang di sana. "Dia ga mau?" tanya Farid. "Pingin bubur sumsum katanya," jawab David. Dia letakkan piring di tengah meja. "Sini

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status