Lintang menggeliat. Tangannya menyentuh meja di sebelah tempat tidur dan dia terbangun. Dia melihat jam di meja. Hampir setengah empat pagi. Dia harus cepat bangun, jangan sampai keduluan Mak Imah. Bisa ketahuan nanti.
"Lan ... Ulan ... Ayo, bangun." Lintang mengguncang tubuh Wulan. Wulan membuka mata."Ayo, cepat. Nanti Mak Imah melihat kita," bisik Lintang.Wulan turun dari ranjang memakai sandal dan jaket. Lintang mengangkat ranselnya lalu membuka jendela lebar-lebar. Dia meloncat keluar, kemudian menolong Wulan. Dia mengajak adiknya ke sumur untuk mencuci muka. Selesai itu Lintang mengajak Wulan melangkah meninggalkan rumah. Di depan halaman, masih sempat Lintang memandang rumah itu sebentar, kemudian melangkah lagi."Ke rumah Bimo dulu. Lalu, kita ikut mobil yang mengantar pedagang ke pasar. Sampai terminal dekat pasar, kita pindah kendaraan lagi," kata Lintang.Mereka cepat-cepat melangkah ke rumah Bimo. Angin dingin terasa menerpa, tapi tak mereka rasakan. Mereka terus saja berjalan. Di depan rumah Bimo, Lintang menaruh amplop suratnya di bawah pintu, lalu menuntun Wulan ke pangkalan kendaraan di ujung jalan.Tak lama menunggu, kendaraan datang. Lintang dan Wulan naik ke dalam, duduk di pojok. Hanya beberapa menit saja kendaraan segera penuh dan melaju meninggalkan desa menuju terminal di dekat pasar besar. Lintang meletakkan tas ransel di pangkuannya. Tangan kirinya merangkul Wulan yang duduk mendekap tas sekolah.Lintang tidak tahu kehidupan seperti apa yang dia dan Wulan akan hadapi. Yang jelas dia dan Wulan harus terus bersama. Dia harus melindungi Wulan. Hanya Wulan yang dia miliki sekarang. Ibu tidak ada lagi, ayah entah ada di mana.Kendaraan semakin jauh meninggalkan desa. Desa tempat Lintang dan Wulan lahir. Tempat mereka tinggal dan tumbuh dengan kehidupan yang sangat berat. Akhirnya, dengan terpaksa, mengumpulkan keberanian, Lintang meninggalkan semuanya.“Tuhan, tolong aku … tolong aku …” Berulang kali hati Lintang berdoa. Tidak tahu harus mengucapkan apa, hanya permohonan singkat yang terus keluar dari hatinya.Perjalanan dengan bis cukup lama, lebih kurang empat jam. Menanti hingga ke tujuan akhir, rasa kantuk mulai mendera. Wulan malah sudah tidur bersandar pada bahu Lintang. Lintang memaksakan matanya agar tetap terjaga. Dipandanginya jalanan, yang masih gelap. Langit mulai merah. Matahari perlahan menunjukkan dirinya memberi tanda bumi akan kembali terang, segala yang ada di atasnya akan nampak jelas, terlihat indah.Karena lelah, tak bisa menahan kantuk akibat kurang tidur semalam, Lintang pun terlelap.*****Jam delapan lewat mereka sampai di kota. Kendaraan banyak sekali. Gedung di mana-mana. Rumah, bangunan, apa saja. Hanya sedikit pepohonan yang terlihat di sana sini. Ramai sekali suara kendaraan lalu lalang. Turun dari bis, Lintang bingung, mau ke mana. Dia menuntun Wulan berjalan meninggalkan terminal."Kak, aku lapar," kata Wulan. Dia pegangi perutnya sambil meringis."Iya, kita beli makan dulu." Pasti Wulan lapar. Tadi mereka makan roti kecil dan minum air sedikit waktu di bis.Sambil berjalan Lintang melihat ke sekeliling, mencari tempat makan yang murah. Di pojok jalan itu ada 'Warung Murah Bu Ali'. Lintang menuntun Wulan ke sana. Lumayan ramai warungnya. Mereka harus antre. Tidak lama ibu penjual melihat Lintang dan Wulan. Mungkin karena iba, ibu itu mendekati mereka."Mau makan? Sini, duduk dekat ibu. Sebentar, ya?" katanya ramah. Ada senyum manis di bibir wanita setengah baya itu.Lintang dan Wulan masuk, duduk di belakang ibu itu yang sibuk melayani pembeli. Beberapa menit berikutnya ibu itu memberikan piring nasi lengkap isinya, untuk Lintang dan Wulan. Segera keudanya makan nasi pecel di tangan mereka dengan lahap. Enak sekali walau cuma lauk tempe dan peyek. Ibu itu juga mengambil dua gelas teh hangat untuk mereka.Tidak berapa lama, mereka sudah selesai makan. Teh juga sudah habis diminum."Bu, kami sudah selesai. Berapa ya, Bu?" tanya Lintang."Semuanya duapuluh lima ribu," kata ibu itu dengan senyum yang kembali muncul di bibirnya.Lintang menatap ibu itu. Jadi warung murah ternyata tidak murah? Kalau di desanya, sepiring nasi pecel dan teh hanya enam ribu saja. Kalau di sini dua kali harganya. Lintang mengeluarkan uang dan membayarnya.Lalu Lintang mengajak Wulan pergi dari warung itu, sambil dia berpikir. Uang tabungannya ada empat ratus dua puluh ribu. Itu uang saku dari bapak dan ibu Lurah, yang dia kumpulkan. Juga dapat hadiah karena rangking di sekolah. Kadang Mak Imah memberi uang padanya dan Wulan. Dengan uang itu dia hanya bisa beli makan untuk beberapa hari. Berarti dia harus cepat mendapat pekerjaan. Apa saja, asal bisa menghasilkan uang. Atau dia dan Wulan tidak akan bertahan di kota ini.Tapi apa yang bisa Lintang lakukan? Pekerjaan apa yang mungkin bisa dia dapat? Dia baru naik kelas 12. Belum punya ijazah. Hanya Ijazah SMP yang ada. Sedang Wulan baru naik kelas 4. Dan tempat tinggal, mereka juga harus dapat tempat untuk menginap. Di mana?Pikiran Lintang terus berputar dan terbawa ke rumah Pak Lurah. Pasti orang rumah sudah tahu dia dan Wulan pergi. Apa yang akan mereka lakukan? Lintang bisa membayangkan, Mak Imah pasti akan menangis. Pak Lurah dan Bu Lurah mungkin cemas. Tapi Mito akan senang. Pengganggu hidupnya sudah tidak ada lagi. Anak-anak tak tahu diri itu kini lenyap dari rumahnya.Lalu Bimo? Bimo pasti akan panik. Apa yang akan dikatakannya? Bimo sangat baik selama ini. Entah kapan mereka akan bisa bertemu lagi. Dalam hati Lintang berjanji akan berjuang sampai berhasil. Satu kali jika bisa bertemu Bimo, dia sudah hidup dengan baik. Dan pilihannya pergi dari rumah Pak Lurah, bukan pilihan yang salah."Kak, lihat! Tamannya bagus. Aku mau ke situ," kata Wulan. Dia menunjuk di seberang jalan ada taman kota yang cantik.Lintang melihat taman yang ditunjuk Wulan. “Ya, kita ke sana.”Lintang menuntun Wulan hendak menuju ke taman itu. Karena ingin bergegas, Lintang tidak begitu memperhatikan jalan. Saat dia dan Wulan menyeberang, tepat sebuah mobil melintas! Lintang sangat terkejut dan refleks dia berhenti sambil memeluk Wulan yang ada di sisinya.Ciitttt!!!Mobil berwarna silver itu berhenti tepat di depan Lintang dan Wulan, kira-kira hanya tiga puluh senti jaraknya. Jantung Lintang berdetak begitu cepat. Ah, dia teledor! Bagaimana bisa dia tidak memperhatikan jalan? Hampir saja mereka berdua celaka.Untung pengendara mobil itu cukup sigap dan bisa mengerem tepat waktu. Seorang pria muda membuka kaca mobil, melongok keluar memandang dua gadis yang ketakutan itu.“Hei, mau nyeberang!? Hati-hati!” ujarnya.Lintang mengangkat kepala melihat pada laki-laki di dalam mobil itu. Mata Lintang melebar. Dia tampan sekali. Dengan kacamata hitam, keren. Seperti orang di film-film yang ada di TV. Jadi beneran ada orang seperti artis?Dengan masih gemetaran Lintang mengatur napas. “Iya, maaf, Pak. Maaf …” Lintang membungkuk, lalu cepat-cepat dia menyeberang, sedikit menyeret Wulan. Wulan pun tampak panik dan sedikit pucat karena terkejut dengan kejadian tiba-tiba itu. Sampai di pinggir jalan, Lintang masih sempat menoleh pada pemilik mobil itu yang sudah masuk lagi dalam mobilnya. Pria itu, si dokter muda tampan, kembali fokus dengan kemudi. Tapi dia tidak segera pergi. Dia meminggirkan mobil dan memperhatikan dua gadis itu. Seorang kira-kira berusia tujuh belas tahun, satu lagi sepuluh tahun. Masing-masing membawa tas di punggung. Terlihat lusuh. Mereka jelas tergesa-gesa, sampai tidak begitu memperhatikan jalan. "Hm, mau ke mana mereka? Seperti buru-buru," gumam David. Dia terus memperhatikan keduanya. Gadis yang lebih besar menuntun yang kecil. Rasa iba muncul di hatinya. Melihat kedua gadis itu membuat terenyuh saja. "Banyak sekali orang yang hidup sulit, kalau saja aku bisa berbuat sesuatu," bisik hati Davi
Sudah lewat jam enam pagi. Lintang dan Wulan belum keluar kamar. Mak Imah jadi heran. Biasanya setengah enam paling siang mereka bangun. Mak Imah pergi ke kamar kedua anak itu. Tidak terdengar suara apa-apa dari dalam kamar. Mak Imah memanggil keduanya beberapa kali, tetap tak terdengar apa-apa. Sepi. “Lintang! Wulan!” panggil Mak Imah lagi. Mak Imah membuka pintu kamar. Kamar masih gelap. Tapi bisa terlihat tidak ada siapa-siapa di ranjang. Tempat tidur rapi. Lalu ke mana mereka? Mak Imah membuka pintu lemari pakaian. Masih ada, tapi ... tas mereka tidak ada. Buku-buku ada di meja. Ini masih libur sekolah, tidak mungkin mereka ke sekolah. Mak Imah memastikan lagi lemari pakaian. Coba dia ingat pakaian anak-anak itu. Ya ... berkurang. Beberapa pakaian mereka tidak ada. Mak Imah menoleh lagi ke kasur. Boneka beruang besar Wulan tergeletak di sana. Tapi Mak Imah sudah menangis. Dia tahu dua anak manis itu pergi. Mak Imah lari keluar kamar, menemui majikannya. Pak dan Bu Lurah sedang
Bu Lurah menunggu suaminya di teras, waktu Pak Lurah datang. Wanita setengah baya itu tahu, suaminya tak menemukan kedua putri asuh mereka. Dia pulang sendirian dengan wajah lesu. Pak Lurah duduk di ruang tamu. Dia selonjorkan kakinya. Rasanya pegal berkeliling sepanjang hari mencari Lintang dan Wulan. Dia bahkan meminta beberapa orang untuk membantu mencari mereka. Tidak ada hasil. Bu Lurah makin galau. Hari sudah sore, sebentar lagi gelap. Lintang dan Wulan akan menginap di mana? Mereka tidak punya saudara. "Mito mana?" tanya Pak Lurah. "Dia belum pulang. Entah ke mana saja dia mencari. Kuharap dia berhasil." Bu Lurah menghela nafas. Berat sekali rasanya semua ini. Hari makin gelap waktu Mito datang. Dia juga tak berhasil menemukan Lintang dan Wulan. Wajahnya tampak kusut. Dia kelelahan. "Ndak ada?" tanya Bu Lurah, ikut lesu. Mito menggeleng. Dia pergi ke sekolah Lintang, menanyakan alamat semua temannya. Mito mendatangi setiap rumah teman Lintang satu per satu. Tak ada yang ta
Jam enam pagi. David meninggalkan rumah sakit setelah berjaga malam. Dia merasa lelah dan mengantuk. Secepatnya dia ingin segera tiba di rumah, mandi dan merebahkan badan. Jalanan mulai ramai. Orang-orang memulai aktivitas pagi. Ada yang pergi ke sekolah, kuliah, ke kantor, mungkin ke pasar, dan macam-macam urusan lainnya. Sekian banyak manusia, semua memenuhi jalanan. Ada saja keperluannya, dan tak ada habisnya. Baru sepuluh menit meninggalkan rumah sakit, saat baru melewati lampulalu lintas, David melihat seorang bapak tua di pinggir jalan. Dia kelihatan gemetar. Pucat pula wajahnya. Apa dia sakit? David berbelok, mendekati bapak itu. Dia menghentikan mobilnya dan menghampiri bapak tua yang sedang duduk di pinggir jalan itu. "Selamat pagi, Pak," sapanya. Lelaki tua itu mengangkat kepalanya. Dia terlihat heran ada seorang anak muda tampan di depannya. "Bapak baik-baik saja?" tanya David. "Aku lupa pulang," jawab bapak itu, tampak matanya berk
Jam enam pagi. Lintang terbangun. Dia menoleh ke arah Wulan yang masih tidur. Lintang duduk. Dia tidak melihat Praja dan Rasti. Ke mana mereka?Saat itu pintu terbuka. Praja masuk, menyapa Lintang sambil tersenyum."Dari mana?" tanya Lintang."Dari mandi di kali," jawab Praja. Dia menyimpan ember kecil peralatan mandinya."Bu Rasti?" Lintang menanyakan Rasti."Di belakang, memasak. Buat sarapan." Praja mengambil sepatu dan memakainya.Dia bersiap akan berjualan. Mumpung liburan sekolah, dia punya waktu bekerja lebih banyak, menyisihkan uang untuk keperluan sekolah nanti. Jika sudah kembali sekolah, waktu bekerja akan terbatas. Rasti masuk membawa masakan yang baru selesai dia masak."Ini sarapan sudah siap." Diletakkannya makanan itu di tengah ruangan."Tapi saya belum mandi, Bu. Wulan malah belum bangun," kata Lintang."Ga apa-apa, mandi nanti saja. Cuci muka situ di belakang. Baru ke kali mandi," sahut Praja.Li
Dua minggu sudah Lintang dan Wulan berada di kota. Meski tidak mudah, mereka mulai membiasakan diri. Tidur tanpa kasur, hanya di atas tikar. Makan makanan sangat sederhana. Untuk mandi, Lintang pergi ke kamar mandi umum, meski harus membayar. Daripada di sungai, dia tidak bisa. Kasihan Wulan juga. Hanya mencuci pakaian yang dia lakukan di sungai. Bu Fani, sangat baik pada mereka. Di rumahnya, saat sedang bekerja, mereka diberi makanan yang enak. Lintang dan Wulan bekerja serajin mungkin. Mereka sangat berterima kasih karena sudah diberi pekerjaan. Seminggu mereka dibayar tiga ratus ribu. Buat Lintang itu besar sekali. Yang membuat Lintang dan Wulan betah di rumah Bu Fani, Bu Fani punya anak balita yang lucu. Fenna Namanya. Cantik, berumur empat tahun. Lincah dan suka menyanyi. Sesekali Lintang dan Wulan ikut menjaga Fenna. Sedang suami Bu Fani baru dua kali Lintang dan Wulan melihatnya, karena dia selalu bekerja di siang hari. Di rumah itu juga ada ayah mertu
Malam itu Praja dan Rasti berusaha membujuk Lintang dan Wulan agar mau memaafkan Mito dan bersedia pulang. Tapi tetap saja tidak berhasil. Kedua gadis itu kekeh, tidak akan pulang. Mereka terlanjur luka dan sakit dengan perlakuan Mito selama ini.Pagi-pagi sekali Lintang dan Wulan bangun. Mereka berniat akan pergi dari gubuk itu. Uang yang Lintang punya sekarang mungkin cukup untuk mencari kamar kos yang kecil saja. Kalau makan mereka pasti bisa berhemat. Dengan tas di pundak, mereka cepat-cepat pergi."Kak, kita mau ke mana?" tanya Wulan."Kita lihat saja nanti. Yang penting kita pergi. Mas Mito pasti akan kembali mencari kita," jawab Lintang.Mereka pergi ke mana saja kaki membawa, pergi beli mie ayam untuk sarapan, lalu berjalan lagi menyusuri jalanan yang mulai ramai.*****Pagi jam tujuh jalanan memang padat. Orang-orang berjejalan di atas aspal ingin segera tiba di tempat tujuan masing-masing. Hari ini cerah, matahari tid
Lintang dan Wulan terus saja berjalan masuk gang demi gang. Sejauh mungkin dari rumah Fani. Entah sudah belok berapa kali, sudah berapa gang mereka lewati. Sampai mereka tiba di sebuah rumah kosong. Terlihat rumah itu sudah lama ditinggalkan. Banyak bagian rumah yang rusak. Atapnya bolong-bolong, temboknya beberapa bagian retak, dan terlihat rapuh. Mereka bersembunyi di sana. Mereka takut jika mereka ada di jalan, sangat mungkin Mito akan menemukan mereka. "Kak, kita mau ke mana lagi? Kita gak ada tempat," kata Wulan. Dia hampir menangis. "Lan, maafkan Kakak." Lintang memegang tangan adiknya. Hatinya sedih sekali Wulan harus menderita seperti ini. "Kenapa ibu harus mati, Kak? Sekarang kita jadi gelandangan. Kita ga punya rumah. Ga bisa sekolah. Kenapa kita ga seperti Mas Bimo? Punya ibu dan ayah yang baik dan sehat yang sayang sama dia. Kenapa, Kak?" Wulan tak tahan lagi. Dia benar-benar menangis. Bahunya sampai berguncang-guncang karena rasa pedih yang begitu dalam. Lintang seketi