Share

3. Pergi Ke Kota

Lintang menggeliat. Tangannya menyentuh meja di sebelah tempat tidur dan dia terbangun. Dia melihat jam di meja. Hampir setengah empat pagi. Dia harus cepat bangun, jangan sampai keduluan Mak Imah. Bisa ketahuan nanti.

"Lan ... Ulan ... Ayo, bangun." Lintang mengguncang tubuh Wulan. Wulan membuka mata.

"Ayo, cepat. Nanti Mak Imah melihat kita," bisik Lintang.

Wulan turun dari ranjang memakai sandal dan jaket. Lintang mengangkat ranselnya lalu membuka jendela lebar-lebar. Dia meloncat keluar, kemudian menolong Wulan. Dia mengajak adiknya ke sumur untuk mencuci muka. Selesai itu Lintang mengajak Wulan melangkah meninggalkan rumah. Di depan halaman, masih sempat Lintang memandang rumah itu sebentar, kemudian melangkah lagi.

"Ke rumah Bimo dulu. Lalu, kita ikut mobil yang mengantar pedagang ke pasar. Sampai terminal dekat pasar, kita pindah kendaraan lagi," kata Lintang.

Mereka cepat-cepat melangkah ke rumah Bimo. Angin dingin terasa menerpa, tapi tak mereka rasakan. Mereka terus saja berjalan. Di depan rumah Bimo, Lintang menaruh amplop suratnya di bawah pintu, lalu menuntun Wulan ke pangkalan kendaraan di ujung jalan.

Tak lama menunggu, kendaraan datang. Lintang dan Wulan naik ke dalam, duduk di pojok. Hanya beberapa menit saja kendaraan segera penuh dan melaju meninggalkan desa menuju terminal di dekat pasar besar. Lintang meletakkan tas ransel di pangkuannya. Tangan kirinya merangkul Wulan yang duduk mendekap tas sekolah.

Lintang tidak tahu kehidupan seperti apa yang dia dan Wulan akan hadapi. Yang jelas dia dan Wulan harus terus bersama. Dia harus melindungi Wulan. Hanya Wulan yang dia miliki sekarang. Ibu tidak ada lagi, ayah entah ada di mana.

Kendaraan semakin jauh meninggalkan desa. Desa tempat Lintang dan Wulan lahir. Tempat mereka tinggal dan tumbuh dengan kehidupan yang sangat berat. Akhirnya, dengan terpaksa, mengumpulkan keberanian, Lintang meninggalkan semuanya.

“Tuhan, tolong aku … tolong aku …” Berulang kali hati Lintang berdoa. Tidak tahu harus mengucapkan apa, hanya permohonan singkat yang terus keluar dari hatinya.

Perjalanan dengan bis cukup lama, lebih kurang empat jam. Menanti hingga ke tujuan akhir, rasa kantuk mulai mendera. Wulan malah sudah tidur bersandar pada bahu Lintang. Lintang memaksakan matanya agar tetap terjaga. Dipandanginya jalanan, yang masih gelap. Langit mulai merah. Matahari perlahan menunjukkan dirinya memberi tanda bumi akan kembali terang, segala yang ada di atasnya akan nampak jelas, terlihat indah.

Karena lelah, tak bisa menahan kantuk akibat kurang tidur semalam, Lintang pun terlelap.

*****

Jam delapan lewat mereka sampai di kota. Kendaraan banyak sekali. Gedung di mana-mana. Rumah, bangunan, apa saja. Hanya sedikit pepohonan yang terlihat di sana sini. Ramai sekali suara kendaraan lalu lalang. Turun dari bis, Lintang bingung, mau ke mana. Dia menuntun Wulan berjalan meninggalkan terminal.

"Kak, aku lapar," kata Wulan. Dia pegangi perutnya sambil meringis.

"Iya, kita beli makan dulu." Pasti Wulan lapar. Tadi mereka makan roti kecil dan minum air sedikit waktu di bis.

Sambil berjalan Lintang melihat ke sekeliling, mencari tempat makan yang murah. Di pojok jalan itu ada 'Warung Murah Bu Ali'. Lintang menuntun Wulan ke sana. Lumayan ramai warungnya. Mereka harus antre. Tidak lama ibu penjual melihat Lintang dan Wulan. Mungkin karena iba, ibu itu mendekati mereka.

"Mau makan? Sini, duduk dekat ibu. Sebentar, ya?" katanya ramah. Ada senyum manis di bibir wanita setengah baya itu.

Lintang dan Wulan masuk, duduk di belakang ibu itu yang sibuk melayani pembeli. Beberapa menit berikutnya ibu itu memberikan piring nasi lengkap isinya, untuk Lintang dan Wulan. Segera keudanya makan nasi pecel di tangan mereka dengan lahap. Enak sekali walau cuma lauk tempe dan peyek. Ibu itu juga mengambil dua gelas teh hangat untuk mereka.

Tidak berapa lama, mereka sudah selesai makan. Teh juga sudah habis diminum.

"Bu, kami sudah selesai. Berapa ya, Bu?" tanya Lintang.

"Semuanya duapuluh lima ribu," kata ibu itu dengan senyum yang kembali muncul di bibirnya.

Lintang menatap ibu itu. Jadi warung murah ternyata tidak murah? Kalau di desanya, sepiring nasi pecel dan teh hanya enam ribu saja. Kalau di sini dua kali harganya. Lintang mengeluarkan uang dan membayarnya.

Lalu Lintang mengajak Wulan pergi dari warung itu, sambil dia berpikir. Uang tabungannya ada empat ratus dua puluh ribu. Itu uang saku dari bapak dan ibu Lurah, yang dia kumpulkan. Juga dapat hadiah karena rangking di sekolah. Kadang Mak Imah memberi uang padanya dan Wulan. Dengan uang itu dia hanya bisa beli makan untuk beberapa hari. Berarti dia harus cepat mendapat pekerjaan. Apa saja, asal bisa menghasilkan uang. Atau dia dan Wulan tidak akan bertahan di kota ini.

Tapi apa yang bisa Lintang lakukan? Pekerjaan apa yang mungkin bisa dia dapat? Dia baru naik kelas 12. Belum punya ijazah. Hanya Ijazah SMP yang ada. Sedang Wulan baru naik kelas 4. Dan tempat tinggal, mereka juga harus dapat tempat untuk menginap. Di mana?

Pikiran Lintang terus berputar dan terbawa ke rumah Pak Lurah. Pasti orang rumah sudah tahu dia dan Wulan pergi. Apa yang akan mereka lakukan? Lintang bisa membayangkan, Mak Imah pasti akan menangis. Pak Lurah dan Bu Lurah mungkin cemas. Tapi Mito akan senang. Pengganggu hidupnya sudah tidak ada lagi. Anak-anak tak tahu diri itu kini lenyap dari rumahnya.

Lalu Bimo? Bimo pasti akan panik. Apa yang akan dikatakannya? Bimo sangat baik selama ini. Entah kapan mereka akan bisa bertemu lagi. Dalam hati Lintang berjanji akan berjuang sampai berhasil. Satu kali jika bisa bertemu Bimo, dia sudah hidup dengan baik. Dan pilihannya pergi dari rumah Pak Lurah, bukan pilihan yang salah.

"Kak, lihat! Tamannya bagus. Aku mau ke situ," kata Wulan. Dia menunjuk di seberang jalan ada taman kota yang cantik.

Lintang melihat taman yang ditunjuk Wulan. “Ya, kita ke sana.”

Lintang menuntun Wulan hendak menuju ke taman itu. Karena ingin bergegas, Lintang tidak begitu memperhatikan jalan. Saat dia dan Wulan menyeberang, tepat sebuah mobil melintas! Lintang sangat terkejut dan refleks dia berhenti sambil memeluk Wulan yang ada di sisinya.

Ciitttt!!!

Mobil berwarna silver itu berhenti tepat di depan Lintang dan Wulan, kira-kira hanya tiga puluh senti jaraknya. Jantung Lintang berdetak begitu cepat. Ah, dia teledor! Bagaimana bisa dia tidak memperhatikan jalan? Hampir saja mereka berdua celaka.

Untung pengendara mobil itu cukup sigap dan bisa mengerem tepat waktu. Seorang pria muda membuka kaca mobil, melongok keluar memandang dua gadis yang ketakutan itu.

“Hei, mau nyeberang!? Hati-hati!” ujarnya.

Lintang mengangkat kepala melihat pada laki-laki di dalam mobil itu. Mata Lintang melebar. Dia tampan sekali. Dengan kacamata hitam, keren. Seperti orang di film-film yang ada di TV. Jadi beneran ada orang seperti artis?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status