"Lintang! Lintang!"
Suara lantang dan keras membuat Lintang melonjak. Seketika dia melepaskan pisau yang ada dalam genggamannya. Untung saja tidak menggores jemarinya saat dia sedang mengupas bawang merah.Lintang memandang Mak Imah. Mereka sedang menyiapkan makan siang di dapur. Pak Lurah dan ibu tidak ada di rumah karena ada urusan di kelurahan."Sana cepat, nanti dia marah," kata Mak Imah.Wanita tua yang seluruh rambutnya hampir memutih itu menatap Lintang dengan sedikit cemas. Lintang pun memandang Mak Imah sementara jantungnya sudah berdetak begitu cepat."Lintang!!" Pekikan lantang terdengar lagi dari arah kamar depan.Lintang bergegas meninggalkan dapur, menuju kamar Mito. Dengan hati berdebar Lintang berdiri di depan pintu kamar, tanpa berani memandang pemuda berbadan tegap itu. Pandangan Lintang tertuju ke lantai di bawahnya. Dua bola mata Mito menghujam ke arah Lintang. Gadis itu tidak terlalu tinggi, kulitnya bersih, dan cukup cantik. Rambutnya yang hitam tebal, panjang sepunggungnya, tampak bagus sekali."Aku memanggilmu! Kenapa kamu lama sekali datang?!" ketus Mito. Kedua matanya menatap tajam menandakan amarah yang memuncak. “Buatkan aku teh!”"Baik, Mas." Lintang segera menuju dapur untuk membuatkan teh. Dia membuatnya cukup cepat. Tak lama, dia balik menuju kamar Mito membawa minuman hangat yang sudah berada di cangkir. Perlahan tangannya meletakkan cangkir itu di atas meja. Dia menarik napas panjang, untuk meredakan ketakutan dalam hatinya. Tubuhnya segera berbalik saat tugasnya telah selesai."Tunggu!" ujar Mito.Lintang kembali ke tempatnya. Mito mengangkat teh di cangkir itu. Dia meneguknya dan ...."Ah ...!!!" Mito melepaskan cangkir di tangannya. Tentu saja cangkir itu jatuh dan pecah. Lintang tersentak kaget."Apa ini?! Panas sekali. Kamu mau membakar lidahku?!!” bentak Mito. “Dasar bodoh! Buat teh saja tidak becus! Otak kamu di mana, Risa?! Buat lagi!!”"Iya, Mas." Dengan gemetaran Lintang menjawab. Segera dia ke dapur mengambil lap dan air, mengumpulkan pecahan cangkir dan membersihkan lantai.Sementara membuat teh untuk kedua kalinya Lintang berpikir, mengapa Mito memanggilnya Risa? Jelas-jelas namanya Lintang, bukan Risa. Apa Mito salah panggil? Aneh. Teh yang baru telah siap, Lintang kembali ke kamar Mito.Mito mengangkat cangkir di depannya, mencicipinya."Terlalu manis." Sigap, Mito menyiramkan teh hangat itu ke wajah Lintang. Sontak, Lintang gelagapan. Rasa takut bercampur ingin menangis membuat Lintang hampir tak bisa menjawab lagi.Mito meminta Lintang membuat teh untuk ketiga kalinya. Dengan masih gemetar Lintang kembali ke dapur, membuat minuman sekali lagi. Hati Lintang tidak karuan rasanya, ingin sekali dia pergi sejauh mungkin agar tidak perlu melihat Mito. Rasanya takut muncul membayangkan apa yang akan dilakukan pria itu. Cacian, makian, atau tindakan kasar yang sangat mungkin akan dia terima."Lintang, apa yang dia lakukan padamu?" tanya Mak Imah dengan iba. Dia mengamati wajah Lintang. Basah, begitu juga bajunya. Mito benar-benar tega pada gadis itu. Apa dia tidak punya hati sedikitpun?Sungguh di luar pikiran Mak Imah. Mito dulu pemuda yang ramah dan periang. Tidak dingin dan kaku seperti yang dia lihat. Mengapa setelah beberapa tahun sekolah di kota, malah karakternya menjadi seburuk itu? Jangan-jangan Mito salah pergaulan di sana."Tidak apa-apa, Mak. Memang aku salah, buat teh saja ga bener," kata Lintang lirih, sambil melangkah kembali ke kamar Mito dengan teh hangat yang baru.Mito meneguknya dengan pandangan tetap tajam pada Lintang. Sekali lagi siraman dari cangkir itu menyapu wajah Lintang, membasahi hingga bajunya. Alasannya, kali ini minuman buatan Lintang tidak manis. Belum puas, Mito minta sekali lagi Lintang membuatkannya teh.Lintang ingin pingsan rasanya dengan perlakuan Mito. Semua yang dia buat tetap saja salah. Sekuat tenaga Lintang menahan diri agar tidak menangis di depan pria jahat itu."Kamu bodoh, Risa. Kau tahu itu? Kamu sangat bodoh. Gadis sombong, tahu rasa kamu sekarang!" sinis Mito. Dia seolah-olah puas menyiksa gadis itu hingga ketakutan. Lintang hanya bisa tertunduk dalam-dalam sementara butiran bening akhirnya perlahan jatuh di pipinya.Lintang berjalan gontai kembali ke dapur. Pertanyaan yang sama muncul, mengapa Mito memanggilnya Risa. Cangkir teh yang terakhir Lintang suguhkan, berharap kali ini Mito tidak akan protes. Dia menaruhnya di depan Mito. Pria itu menatap Lintang yang terus menunduk. Tangan gadis itu menyatu dengan gemetar, sedang pakaiannya basah kuyup."Sudahlah, bawa balik. Aku ga pingin minum," ucap Mito, menunduk, sibuk dengan HP yang ada di tangannya. Tetapi aura kesal masih tampak di wajahnya.Lintang bergegas ke belakang rumah, bersimpuh sambil terisak-isak. Dia elus wajahnya, terasa lengket. Kulitnya memerah karena beberapa kali disiram teh hangat. Dia dekap dadanya yang terasa sesak. Selesai, untuk hari ini. Ya, hari ini. Setelah puas menangis, Lintang pergi mandi dan mengganti bajunya.Di kamar, Wulan sedang menyelesaikan tugas sekolah. Dari tadi dia mendengar Mito berteriak dan marah memanggil kakaknya. Wulan tak berani keluar kamar."Kak, Mas Mito mau apa? Kenapa Kakak lama sekali?" tanya Wulan."Tidak ada, Lan. Cuma minta teh," jawab Lintang tanpa menoleh. Dia tidak mau Wulan melihat dia baru saja menangis.*****Sore itu, seperti biasa Wulan melakukan tugasnya membersihkan lantai. Setelah dia sapu bersih, mulai Wulan mengepel. Pekerjaan itu sudah hampir selesai, saat Mito datang dari luar rumah. Begitu santai dia melangkah menerobos lantai yang masih basah. Dengan kaki masih mengenakan sepatu yang tentu saja berdebu, lantai basah itu kembali kotor. Wulan hanya menatap pasrah tanpa melakukan protes saat dirinya mendapat perintah untuk membersihkannya lagi.Mito menyeringai, tersenyum sinis bercampur senang melihat gadis kecil itu kalang kabut merangkak ke sana kemari membersihkan lantai yang kotor. Pria berpostur tinggi gagah itu dengan sengaja berulang kali lewat lalu menyuruh Wulan kembali mengepel lantai.Dari jauh Lintang yang memperhatikan kejadian itu menahan gejolak di dadanya. Tidak tega rasanya melihat Wulan diperlakukan seperti itu. Karena tidak sanggup melihat itu lebih lama, Lintang mendekati adiknya. Lebih baik dia yang mendapat perlakuan kejam dan bukan Wulan. Adiknya itu hampir tiap malam tidur tidak tenang karena perbuatan Mito terbawa dalam alam bawah sadarnya. Lintang tidak mau Wulan mengalami trauma dengan semua ini."Lan, pergilah ke dapur. Biar Kakak yang bereskan," bisik Lintang. Wulan mengangguk dan beranjak pergi."Hei! Kamu mau ke mana?!" bentak Mito yang sekarang duduk di ruang tamu. "Aku mau kamu yang selesaikan. Bukan kakakmu!""Biar aku saja, Mas," potong Lintang dengan takut-takut."Aku ga ngomong sama kamu!" Mito mendekati Lintang. Dengan cepat tangannya menjambak rambut panjang Lintang sampai gadis itu terpaksa mendongak."Auh ... Mas, sakit." Lintang kesakitan."Kak!" jerit Wulan."Ayo, bersihkan! Atau rambut kakakmu akan aku jambak sampai rontok?!" Mito melotot ke arah Wulan dengan geram.Wulan segera kembali mengepel lantai dengan tangan gemetar. Air mata sudah hampir tumpah di ujung mata. Sementara Mito tidak melepas rambut Lintang. Lintang menggigit bibirnya menahan sakit di kepala dan rambutnya karena tarikan kuat tangan Mito.Tepat saat itu Bu Lurah yang baru pulang dari pasar, masuk ke ruang tamu. Dia kaget bukan kepalang melihat adegan yang terpampang di depan matanya."Mito, apa yang kamu lakukan?!" Bu Lurah menatap dengan mata melotot, berjalan ke arah Mito dan Lintang.Dengan kasar Mito melepaskan Lintang, hingga gadis itu terjerembab. "Dia melawanku. Ga mau nurut omonganku. Anak ga tahu diri.""Lintang?" Bu Lurah memandang Lintang sekarang. Dia bingung dengan kejadian itu. Selama ini Lintang anak penurut. Apa mungkin dia tidak suka Mito pulang? Aneh sekali."Maafkan saya, Bu. Saya salah." Lintang masih bersimpuh, mengusap matanya yang basah. Dengan napas tak beraturan karena rasa takut, dia membantu Wulan membersihkan lantai. Mito mendengus kesal dan masuk ke kamarnya.Kedua gadis malang itu bekerja secepat mungkin agar bisa segera meninggalkan ruang tamu. Ingin mencari tempat agar bisa menangis dengan puas. Lintang berharap, Bu Lurah yang melihat langsung perbuatan Mito akan membela dia dan Wulan, sehingga Mito tidak akan lagi jahat pada mereka."Sekali lagi, jangan buat Mito marah, ya? Kalian ingat baik-baik," kata Bu Lurah dengan tatapan bingung. Dia membawa belanjaannya menuju ke dapur.Rasanya masih tidak percaya menyaksikan yang terjadi barusan. Mito bersikap begitu kasar pada Lintang dan Wulan? Tapi, jika dua anak asuhnya itu tidak macam-macam, mana mungkin putranya akan bertindak seperti itu?Selesai membersihkan lantai Lintang dan Wulan menuju ke sumur membantu Mak Imah mencuci pakaian di sana."Kenapa kamu ndak bilang saja sama Bu Lurah kalau Mas Mito sing ngganggu kalian?" tanya Mak Imah. Hatinya pilu mengingat nasib kakak beradik itu."Nggak Mak. Kami ga mau mengadu domba Mas Mito dan orang tuanya. Kami sudah dibantu banyak sama Pak Lurah. Kami gak apa-apa. Masih bisa tinggal di sini, kami sangat berterima kasih," tutur Lintang dengan hati terasa perih."Oala, Nduk ... Nasibmu kok malang banget ... sing sabar, yo ..." Mata Imah berkaca-kaca melihat kedua anak itu."Kak, Mas Mito jahat, aku takut," bisik Wulan. Matanya merah, berusaha tidak menangis."Tidak apa-apa. Ada Kakak." Lintang memeluk adiknya dengan hati makin pilu.Lintang melihat Bimo dari jendela dapur dan bergegas menghampirinya. Bimo adalah satu-satunya teman akrab Lintang di sekolah. Dia baru pindah ke desa ini saat mereka masuk SMA. Bimo pemuda yang ramah dan baik. Dia cukup perhatian pada Lintang dan Wulan. Lintang tidak pernah tahu kalau Bimo sebenarnya menaruh hati padanya. "Bim, ayo ikut aku. Kita cari tempat untuk bicara," ajak Lintang. Bimo heran melihat Lintang seperti ketakutan. Bimo mengikuti Lintang yang berjalan cepat menuju pemakaman. Di sana Lintang menangis di atas makam ibunya. "Lin, ada apa?" tanya Bimo yang bingung dengan sikap Lintang. Dia sedari tadi menunggui gadis itu menangis sampai puas. "Aku ga tahan, Bim. Semua berubah, sejak anak Pak Lurah datang. Dia benci padaku dan Wulan. Dia berbuat semau sendiri pada kami,” tutur Lintang. "Mas Mito? Jadi karena Mas Mito?" Bimo terkejut mendengar cerita Lintang. Lintang tak bisa menutup mulutnya. Akhirnya dia mencurahkan kepedihannya karena perbuatan Mito. Walaupun Lintan
Lintang menggeliat. Tangannya menyentuh meja di sebelah tempat tidur dan dia terbangun. Dia melihat jam di meja. Hampir setengah empat pagi. Dia harus cepat bangun, jangan sampai keduluan Mak Imah. Bisa ketahuan nanti. "Lan ... Ulan ... Ayo, bangun." Lintang mengguncang tubuh Wulan. Wulan membuka mata. "Ayo, cepat. Nanti Mak Imah melihat kita," bisik Lintang. Wulan turun dari ranjang memakai sandal dan jaket. Lintang mengangkat ranselnya lalu membuka jendela lebar-lebar. Dia meloncat keluar, kemudian menolong Wulan. Dia mengajak adiknya ke sumur untuk mencuci muka. Selesai itu Lintang mengajak Wulan melangkah meninggalkan rumah. Di depan halaman, masih sempat Lintang memandang rumah itu sebentar, kemudian melangkah lagi. "Ke rumah Bimo dulu. Lalu, kita ikut mobil yang mengantar pedagang ke pasar. Sampai terminal dekat pasar, kita pindah kendaraan lagi," kata Lintang. Mereka cepat-cepat melangkah ke rumah Bimo. Angin dingin terasa menerpa, tapi tak mereka rasakan. Mereka terus saja
Dengan masih gemetaran Lintang mengatur napas. “Iya, maaf, Pak. Maaf …” Lintang membungkuk, lalu cepat-cepat dia menyeberang, sedikit menyeret Wulan. Wulan pun tampak panik dan sedikit pucat karena terkejut dengan kejadian tiba-tiba itu. Sampai di pinggir jalan, Lintang masih sempat menoleh pada pemilik mobil itu yang sudah masuk lagi dalam mobilnya. Pria itu, si dokter muda tampan, kembali fokus dengan kemudi. Tapi dia tidak segera pergi. Dia meminggirkan mobil dan memperhatikan dua gadis itu. Seorang kira-kira berusia tujuh belas tahun, satu lagi sepuluh tahun. Masing-masing membawa tas di punggung. Terlihat lusuh. Mereka jelas tergesa-gesa, sampai tidak begitu memperhatikan jalan. "Hm, mau ke mana mereka? Seperti buru-buru," gumam David. Dia terus memperhatikan keduanya. Gadis yang lebih besar menuntun yang kecil. Rasa iba muncul di hatinya. Melihat kedua gadis itu membuat terenyuh saja. "Banyak sekali orang yang hidup sulit, kalau saja aku bisa berbuat sesuatu," bisik hati Davi
Sudah lewat jam enam pagi. Lintang dan Wulan belum keluar kamar. Mak Imah jadi heran. Biasanya setengah enam paling siang mereka bangun. Mak Imah pergi ke kamar kedua anak itu. Tidak terdengar suara apa-apa dari dalam kamar. Mak Imah memanggil keduanya beberapa kali, tetap tak terdengar apa-apa. Sepi. “Lintang! Wulan!” panggil Mak Imah lagi. Mak Imah membuka pintu kamar. Kamar masih gelap. Tapi bisa terlihat tidak ada siapa-siapa di ranjang. Tempat tidur rapi. Lalu ke mana mereka? Mak Imah membuka pintu lemari pakaian. Masih ada, tapi ... tas mereka tidak ada. Buku-buku ada di meja. Ini masih libur sekolah, tidak mungkin mereka ke sekolah. Mak Imah memastikan lagi lemari pakaian. Coba dia ingat pakaian anak-anak itu. Ya ... berkurang. Beberapa pakaian mereka tidak ada. Mak Imah menoleh lagi ke kasur. Boneka beruang besar Wulan tergeletak di sana. Tapi Mak Imah sudah menangis. Dia tahu dua anak manis itu pergi. Mak Imah lari keluar kamar, menemui majikannya. Pak dan Bu Lurah sedang
Bu Lurah menunggu suaminya di teras, waktu Pak Lurah datang. Wanita setengah baya itu tahu, suaminya tak menemukan kedua putri asuh mereka. Dia pulang sendirian dengan wajah lesu. Pak Lurah duduk di ruang tamu. Dia selonjorkan kakinya. Rasanya pegal berkeliling sepanjang hari mencari Lintang dan Wulan. Dia bahkan meminta beberapa orang untuk membantu mencari mereka. Tidak ada hasil. Bu Lurah makin galau. Hari sudah sore, sebentar lagi gelap. Lintang dan Wulan akan menginap di mana? Mereka tidak punya saudara. "Mito mana?" tanya Pak Lurah. "Dia belum pulang. Entah ke mana saja dia mencari. Kuharap dia berhasil." Bu Lurah menghela nafas. Berat sekali rasanya semua ini. Hari makin gelap waktu Mito datang. Dia juga tak berhasil menemukan Lintang dan Wulan. Wajahnya tampak kusut. Dia kelelahan. "Ndak ada?" tanya Bu Lurah, ikut lesu. Mito menggeleng. Dia pergi ke sekolah Lintang, menanyakan alamat semua temannya. Mito mendatangi setiap rumah teman Lintang satu per satu. Tak ada yang ta
Jam enam pagi. David meninggalkan rumah sakit setelah berjaga malam. Dia merasa lelah dan mengantuk. Secepatnya dia ingin segera tiba di rumah, mandi dan merebahkan badan. Jalanan mulai ramai. Orang-orang memulai aktivitas pagi. Ada yang pergi ke sekolah, kuliah, ke kantor, mungkin ke pasar, dan macam-macam urusan lainnya. Sekian banyak manusia, semua memenuhi jalanan. Ada saja keperluannya, dan tak ada habisnya. Baru sepuluh menit meninggalkan rumah sakit, saat baru melewati lampulalu lintas, David melihat seorang bapak tua di pinggir jalan. Dia kelihatan gemetar. Pucat pula wajahnya. Apa dia sakit? David berbelok, mendekati bapak itu. Dia menghentikan mobilnya dan menghampiri bapak tua yang sedang duduk di pinggir jalan itu. "Selamat pagi, Pak," sapanya. Lelaki tua itu mengangkat kepalanya. Dia terlihat heran ada seorang anak muda tampan di depannya. "Bapak baik-baik saja?" tanya David. "Aku lupa pulang," jawab bapak itu, tampak matanya berk
Jam enam pagi. Lintang terbangun. Dia menoleh ke arah Wulan yang masih tidur. Lintang duduk. Dia tidak melihat Praja dan Rasti. Ke mana mereka?Saat itu pintu terbuka. Praja masuk, menyapa Lintang sambil tersenyum."Dari mana?" tanya Lintang."Dari mandi di kali," jawab Praja. Dia menyimpan ember kecil peralatan mandinya."Bu Rasti?" Lintang menanyakan Rasti."Di belakang, memasak. Buat sarapan." Praja mengambil sepatu dan memakainya.Dia bersiap akan berjualan. Mumpung liburan sekolah, dia punya waktu bekerja lebih banyak, menyisihkan uang untuk keperluan sekolah nanti. Jika sudah kembali sekolah, waktu bekerja akan terbatas. Rasti masuk membawa masakan yang baru selesai dia masak."Ini sarapan sudah siap." Diletakkannya makanan itu di tengah ruangan."Tapi saya belum mandi, Bu. Wulan malah belum bangun," kata Lintang."Ga apa-apa, mandi nanti saja. Cuci muka situ di belakang. Baru ke kali mandi," sahut Praja.Li
Dua minggu sudah Lintang dan Wulan berada di kota. Meski tidak mudah, mereka mulai membiasakan diri. Tidur tanpa kasur, hanya di atas tikar. Makan makanan sangat sederhana. Untuk mandi, Lintang pergi ke kamar mandi umum, meski harus membayar. Daripada di sungai, dia tidak bisa. Kasihan Wulan juga. Hanya mencuci pakaian yang dia lakukan di sungai. Bu Fani, sangat baik pada mereka. Di rumahnya, saat sedang bekerja, mereka diberi makanan yang enak. Lintang dan Wulan bekerja serajin mungkin. Mereka sangat berterima kasih karena sudah diberi pekerjaan. Seminggu mereka dibayar tiga ratus ribu. Buat Lintang itu besar sekali. Yang membuat Lintang dan Wulan betah di rumah Bu Fani, Bu Fani punya anak balita yang lucu. Fenna Namanya. Cantik, berumur empat tahun. Lincah dan suka menyanyi. Sesekali Lintang dan Wulan ikut menjaga Fenna. Sedang suami Bu Fani baru dua kali Lintang dan Wulan melihatnya, karena dia selalu bekerja di siang hari. Di rumah itu juga ada ayah mertu