Share

Bab 3

 Ingatan itu selalu muncul dengan cara yang sama. Dia bersama sang adik meringkuk di ruang bawah tanah sebuah rumah kayu kecil, di satu desa dekat Neuilly, usai membunuh si penjaga gerbang utama desa. 

 “Kita harus pergi jauh dari desa ini kalau tidak ingin mampus!” ujar sang kakak. 

 “Seharusnya kita tidak membunuhnya,” sesal sang adik. 

 “Bangsat itu memang seharusnya dikirim ke neraka,” sela sang kakak. 

                “Tapi     apa         yang harus    kita        lakukan sekarang? Mereka akan menemukan kita, cepat atau lambat.” 

 “Jangan tolol! Kita akan berakhir di tiang gantungan kalau tidak segera meninggalkan tempat terkutuk ini. Aku punya ide. Dengarkan baik-baik.” Sang kakak membisikan rencananya.

  “Apa ini akan berhasil?” ujar sang adik skeptis. 

     “Jika kau melakukan perintahku sampai hal-hal yang terkecil, kita akan hidup.” 

                “Baiklah, ayo.” 

        Sang kakak mengangguk. “Kita orang 

Sisilia, kita manusia bebas.” 

 Ketika matahari terbit dan gerbang desa dibuka, dua anak laki-laki yang kumal itu keluar dari tempat persembunyiannya. Mereka segera membaur dengan para petani anggur mencari truk pengangkut barang yang menuju Italia. Sepuluh tahun kemudian nasib telah mengubah segalanya. 

 Senja itu, melalui dinding kaca anti peluru mereka berdua bisa melihat hasil kerja kerasnya. Sebuah pemandangan di kolam renang besar yang airnya tampak berwarna jingga cerah di bawah matahari Italia. Wanita-wanita muda dan anak-anak bermain di taman yang luas dan indah bagai boneka warna-warni di padang rumput. Sementara para lelaki bermain tenis dan golf dengan penuh semangat seolah-olah dalam sebuah perlombaan. 

                Melihat semuanya kini, si kakak beradik itu merasakan desir kebahagiaan bercampur kebanggaan. Karena semua ini adalah hasil kreasi dan kerja keras mereka selama bertahun-tahun. Dan dari tempat mereka berdiri, kulit putih Sisilia mereka dapat merasakan sengatan matahari yang tajam melalui dinding kaca. Dan lapangan-lapangan tenis, padang golf, kolam renang, taman dan ketujuh vila mereka dikejauhan, tampak berkilauan seperti Istana Versailles yang semuanya mengibarkan bendera Moriephy Hotel bergambar lapangan hijau tua dengan merpati-merpati putih. Tapi begitu, mereka berdua sama-sama tahu jika hidup mereka akan berubah drastis karena ini. Kekuasaan dan kekayaan yang makin besar pasti akan diwarnai dengan bahaya yang lebih besar pula. 

 “Lebih baik hidup sehari sebagai singa, dari pada seratus hari sebagai domba,” ujar sang kakak, setengah bergurau. 

Sang adik tidak menyahut. Hanya mengangguk pelan.

“Kita telah hidup dalam ketidakadilan. Tapi penderitaan ini membuat kita berpikir semakin bijaksana. Untuk bertahan hidup,” sambungnya. 

“Hah! Omong kosong itu tidak merubah apa pun. Hanya kerja yang bisa mengubah segalanya,” sahut adiknya sinis.  

“Kau terlalu keras pada dirimu sendiri, Sons.” 

“Zaman yang menuntut.” 

“Benar juga.” 

“Kapan aku pernah salah?” Mereka tertawa. 

 Pelan-pelan matahari mengundurkan diri dari langit coklat lumpur, dan kembali alam menyuguhkan maha karyanya. Titik-titik bintang mulai menyala. Membentuk suatu rasi kehidupan, dan bulan yang penuh mengambang dengan cahaya kuning keperakan.  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status