Share

Bab 4

Sang Capo Italia tersadar dari lamunannya. Sejenak dia terkesiap, namun segera mampu menguasai emosinya. Dia menegakan duduknya, lalu menatap wajah-wajah yang duduk mengelilingi meja besar itu. Mereka semua adalah orang-orang berpengaruh di Perancis dan beberapa negara di Eropa lainnya. Pertemuan rahasia yang tengah berlangsung itu, diadakan dalam sebuah rumah kuno terpencil yang terletak di tepi sungai Saine.  

 “Dua hal penting telah terjadi,” kata Sang Capo Italia. “Yang pertama adalah kabar baik. Sang Capo Perancis sudah dibereskan vice-ku.”

  “Itu kabar yang sangat baik!” seorang pria bermata kelabu berseru. Dia Sang Capo Rumania. “Apa kabar buruknya?” sambungnya.

      “Seorang agen DCPJ sepertinya sudah mencium keberadaan        kelompok kita.       Dia mengendus-endus seperti anjing buldog sampai Paris.” 

        “Kita bereskan dia,” sahut Sang Capo Rumania cepat-cepat. 

                “Aku      dan        anak                buahku                 yang                akan membereskannya,” sela Vice Rumania.  

                “Bawa beberapa prajurit ufficio juga,” imbuh Sang Capo Rumania. 

 Lima belas menit kemudian tempat itu sudah dikosongkan. 

*** 

 “Para pembantu dan saksi mata sedang diintrograsi detektif polisi di ruang sebelah,” ujar Inspektur Philips. "Begitu saya tahu Anda dalam perjalanan pulang dari Zurich, saya langsung menelepon Anda.” 

Mariene menggosok-gosok tangannya lalu mengangguk lemah.   “Bagaimana        persisnya kronologi             itu,         Inspektur?” Mariene  berusaha menahan kesedihannya. 

Inspektur Philips sudah membuka mulut untuk bicara. Namun tiba-tiba, seseorang berseru, “Biar saksi mata yang menceritakannya sendiri, Inspektur,” ujar suara berat dari arah ambang pintu. "Selamat malam, Mademoiselle. Saya Detektif Simon Riegrat. Dari kepolisian Paris.” 

 Tinggi tegap dengan rambut ikal pirang dan sebuah dagu yang terbelah dalam. Detektif Simon Riegrat adalah seorang pria berwajah keras dan berotot seperti baja. Rahangnya kokoh dan selalu dandan berlebihan untuk seorang detektif polisi. Matanya yang besar dan menakutan tampak melihat ke sekeliling ruangan, mempelajari setiap benda di dalam ruangan itu dengan pandangan sekilas yang terlatih. 

 “Silahkan ceritakan kronologinya, Dokter. kau juga Syam.” Perintahnya pada dua orang yang baru saja masuk. 

 “Oui, Sir.” Pria itu maju selangkah dari samping detektif polisi itu sehingga Mariene dapat melihat wajahnya dengan jelas. 

        “Georges!” seru Mariene kaget. 

                Georges mengusahakan senyuman terbaik, “Aku turut bersedih atas musibah ini, Meriene. Sir Pierre, yah, kau tahu? Beliau sudah seperti ayahku.” Pria berambut kecoklatan itu tampak sedih dan menyesal. 

 “Jadi, Anda saling mengenal sebelumnya?” tanya Detektif Simon. 

 “Ya, Sir. Kami bertemu di Yugoslavia saat saya masih menjadi dokter koresponden asing untuk salah satu stasiun tv Paris.” Georges menjelaskan. 

                “Georges,             katakan padaku,                bagaimana mungkin mimipi buruk ini bisa terjadi?” suara Mariene terdengar parau. 

 Bahu pria berusia empat puluhan itu merosot. “Yah, seperti yang sering ayahmu bilang, Meriene, hidup itu singkat tapi kemanusiaan lama. Dan satu hal yang pasti dalam hidup yaitu mati.” Georges berusaha memilih kata-kata berikutnya. “Sekitar pukul delapan kurang seperempat aku ditelepon oleh ayahmu. Aku dimintanya datang ke rumah untuk makan malam sekaligus memeriksa beliau. Rasa sakitnya akhir-akhir ini sering kambuh lagi, kata beliau. Aku tiba di rumahmu antara pukul delapan lewat beberapa menitan. Horsham yang membukakan pintu.” 

 “Benar, Mademoiselle.” Si ketua pelayan yang bertubuh jangkung dan kurus membenarkan. "Tepatnya pukul delapan lewat lima menit karena saya baru selesai menyiapkan makan malam.” 

                Georges mengangguk. "Setelah makan malam selesai beliau menggandeng lenganku dan menuntunku ke kamar kerjanya,” sahut Georges. "Beliau ingin diperiksa di sana.” 

 “Lalu, saya disuruh Tuan mengambil tas Dokter Georges yang tertinggal di ruang tamu,” sela Horsham. 

 “Aku meninggalkannya waktu numpang buang air kecil, dan karena ayahmu memanggilku aku buru-buru sampai lupa membawa tasku.” Georges mengakui dengan malu. 

 “Seharian ini Tuan tampak tegang dan gelisah. Beliau menghabiskan waktu berjam-jam di ruang kerjanya sambil terus menggerutu.” Horsham menambahkan. 

      “Dia pasti sedang ada masalah,” sahut Mariene. 

 Georges mengangguk. “Sebenarnya,” kata Georges dengan ragu, “ayahmu sedang ada masalah dengan mitra bisnisnya. Dia tidak menjelaskan padaku secara terperinci. Tapi dia mengatakan kalau mitra bisnisnya itu, ternyata bangsat.” 

 “Apakah Anda tahu bisnis apa ayah Anda, Mademoiselle?” tanya Detektif Simon. 

 “Real estate. Hanya saham kecil-kecilan,” jawab Mariene. 

 “Orang-orang real estate memang bajingan semua,” sela Inspektur Philips yang geram. 

 Georges mengangguk lagi. “Kira-kira pukul sembilan kurang sepuluh menit, aku meninggalkan ayahmu. Yah, itu dapat aku pastikan karena tak lama berselang lonceng gereja berbunyi. Waktu aku keluar ayahmu masih duduk persis seperti ...” Georges melirik jasad korban. “Seperti itu.” Georges berhenti sebentar, Mariene mendesah. “Seketika itu aku langsung pulang karena ada pasien menunggu di rumah. Waktu aku hendak memeriksa pasienku, barulah aku sadar stetoskopku tertinggal di meja ruang kerja ayahmu. Aku kembali segera untuk mengambilnya.” 

 “Tuan Georges tergesa-gesa sekali waktu itu,” sahut Horsham. 

"Pasienku sudah menunggu di rumah dan keadaannya cukup mencemaskan Syam.” Georges berpaling pada si ketua pelayan itu sambil mengangguk, lalu berpaling lagi pada Mariene. "Seperti kataku tadi, aku sangat buru-buru. Bagi seorang dokter, ketika sedang bertugas setiap detik berarti taruhannya nyawa seseorang. Nah, sampai di mana kita tadi? Oh iya, aku langsung saja mengetuk pintu kerja ayahmu begitu aku sampai. Tapi tak ada jawaban dari dalam pintunya pun dikunci. Lalu aku memanggil Horsham tentunya. Dia mengatakan kalau sejak aku pulang ayahmu belum keluar sama sekali.”

  “Dari siang Tuan tidak ingin diganggu,” potong Horsham,. "Karena itu, ketika Dokter Georges pulang dan Tuan tidak keluar juga, saya tidak curiga apa-apa. Begitu juga saat saya tahu kalau pintu ruang kerja Tuan dikunci dari dalam.” 

 “Tapi karena khawatir, akhirnya kami mendobrak pintu dan kami menemukan ayahmu sudah ....” Georges tidak melanjutkan kata-katanya lagi. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status