Share

Bab 5

Kebringasan klan Crucchfix Curiezio sudah terkenal sejak lebih dari seratus tahun yang lalu di Sisilia. Di kepulauan itu, mereka telah mengobarkan perang selama tiga puluh lima tahun terhadap rival mereka, klan Pietero Santandio, untuk memperebutkan kepemilikan atas sebuah wilayah hutan, dan beberapa ekar ladang gandum.  

 Ketika Mussolini dan partai fasisnya merebut kekuasaan penuh di Italia, mereka memberantas seluruh jaringan mafia di negeri itu. Dengan menerapkan proses hukum serta mengerahkan kekuatan bersenjata yang tangguh, beberapa jaringan mafia berhasil dilumpuhkan. Tapi akhirnya ribuan orang tak bersalah pun ikut masuk penjara atau ikut diasingkan tanpa tahu sebab-musababnya.  

                Hanya klan Crucchfix Curiezio yang berani menentang peraturan-peraturan      kaum fasis dengan kekerasan. Mereka membunuh pemimpin lokal fasis di daerah mereka, dan menyerang garnisun-garnisunnya. Yang paling membangkitkan amarah kaum fasis, yaitu ketika pimpinan mereka Benito Mussolini berpidato di Palermo, seseorang dari klan Crucchfix Curiezio menurunkan bendera kaum fasis sampai setengah tiang. Hal ini membuat kaum fasis kehilangan muka di pentas perpartaian dunia. Bahkan Hitler pun sampai mentertawakan Mussolini di muka umum. Karena dianggap tidak becus membasmi tikus-tikus liar Sisilia itu. Hal inilah yang membuat Mussolini memberi perintah sapu bersih. Provinsi klan Crucchfix Curiezio didatangi oleh sepasukan besar tentara. Lima ratus orang dari klan Crucchfix Curiezio dibunuh sekaligus. Lima ratus orang lagi diasingkan ke penjara di pulau gersang di Mediteranea.  

 Hanya beberapa orang Crucchfix Curiezio yang berhasil selamat. Yaitu mereka yang berhasil lari ke Serbia atau negara-negara Eropa lainnya, lalu mengubah identitas mereka. 

 “Profesor,” kata seorang pelayan. "Kopinya mulai dingin.” 

 Profesor Michael Afonsii menarik napas dalam-dalam berusaha kembali ke dunia nyata, lalu tersenyum malu. “Ah, ya. Saya lupa.” Dia menjangkau cangkirny, menyeruput seteguk dan meletakannya kembali. Lalu mendongak menatap fajar yang merekah. Cahayanya mengaburkan sinar neon yang menggantung seperti tirai sebuah panggung raksasa. 

*** 

                “Dokter    Georges   Stand,”                   suara         serak nspektur Philips mengiris udara. “Menurut Anda sebagai seorang dokter, sudah berapa lama kirakira korban tewas?” 

 “Sudah sekitar setengah jam—mungkin lebih,” sahut Georges, “ketika saya mau pulang, kira-kira pukul sembilan kurang sepuluh menit. Beliau mengatakan padaku, bahwa dia tidak mau diganggu. Dan saya meneruskan perintahnya pada Horsham.” 

                “Benar, Sir.” Horsham menyahut segera.             “Waktu aku kembali untuk mengambil stetoskopku,       kira-kira sekitar pukul    sepuluh kurang seperempatan,” imbuh Georges.  

 “Ya, Sir. Karena waktu itu saya sudah hendak tidur.” Horsham membenarkan lagi. 

 “Jadi, kemungkinan pembunuhan itu berlangsung antara pukul sembilan sampai sembilan lewat seperempat,” ujar Inspektur Philips. 

“Saya rasa itu tidak mungkin, Sir. Pada pukul sembilan lebih seperempat saya dan anak Mrs. Helena, masih mendengar Tuan menggerutu,” potong Horsham. 

 “Anak Mrs. Helena membenarkan itu,” sahut Detektif Simon. 

 “Oh, begitu. Jadi pembunuhan itu pasti berlangsung antara pukul sembilan lewat dua puluh. Karena menurut Dokter, kemungkinan korban sudah dibunuh kurang lebih tiga puluh menitan sebelum ditemukan.” Inspektur Philips berkata dengan penuh kepastian. Semuanya mengangguk setuju. 

 “Syam, kau tahu ayahku menggerutu soal apa? Apa kau dengar?” kata Mariene. 

 “Entahlah, tapi terdengar seperti, ‘kota besi tidak akan pernah bisa diruntuhkan,’ ya, kira-kira seperti itu, Mademoiselle,” jawab Horsham dengan agak skeptis. 

             “Kota besi?” ulang Mariene. 

 “Oui, Mademoiselle. Saya tidak pasti, tapi memang kedengarannya itu.” 

 “Mungkin, maksud korban mitra bisnisnya di real estate itu,” sela Inspektur Philips. 

 Georges mengangguk. “Saya sependapat dengan Anda, Inspektur. Karena korban tampak marah sekali ketika itu.” 

Mariene mengerutkan bibir, berpikir serius. Nalurinya mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak diketahuinya. Dan itu tidak beres tentunya. Dia memutar bola matanya, mengamati setiap inci sudut ruangan itu. Salah satu dinding ruangan itu digunakan khusus untuk menyimpan kaset video. Ada beberapa rak yang berisi siaran berita yang membahas peristiwa-peristiwa bersejarah, dan semua news magazine show. Kaset-kaset itu disusun sesuai abjad subjeknya. Dan di sudut dekat perapian, di atas sebuah meja kecil terdapat sebuah gramofon. Lalu jendela ruangan sempit itu terletak agak sedikit lebih tinggi dari kebanyakan. Kusennya dari kayu ek yang kokoh, dan engselengsel jendelanya, walau sudah agak berkarat tapi masih kuat. 

 “Siapapun pelakunya jelas sudah menyusun perencanaan matang ini. Dia bukan sekadar pembunuh yang ceroboh, tapi seorang ahli yang cakap. Dia berpegang pada strategi psikologis untuk mendukung pelaksanaan tugasnya. Saya juga sudah menanyai semua pelayan kalau barangkali ada orang yang datang lewat pintu belakang. Mereka semua mengatakan tidak ada orang yang datang ke pintu belakang malam ini. Jadi, satu-satunya cara pelaku masuk adalah lewat jendela itu.” Detektif Simon memecah keheningan. 

Mariene mengangguk, matanya membelalak dengan ngeri. “Y—ya. Hanya itu satu-satunya kemungkinan yang ada.” 

 “Seharusnya senjata yang dipakai untuk membunuh dapat memberikan kita petunjuk,” ujar Inspektur Philips dengan nada misterius. 

 Georges batuk-batuk kecil sebagai tanda ingin mengatakan sesuatu, lalu meminta maaf.  

“Ada apa, Sir?” tanya Inspektur Philips marah. 

                “Mungkin            ada                yang      ingin      Horsham katakan,” jawabnya. 

 Semua orang berpaling kepada kepala pelayan bertubuh kurus dan pendek yang gemetaran. 

         Mariene menatap mata kepala pelayan itu lekat-lekat. “Syam?”  

 Horsham mengelap keringat di pangkal hidungnya dengan jari telunjuk. “S—saya, saya yakin pisau itu belati Italia. Saya pasti karena belati itu memiliki ukiran unik yang khusus, dan hanya dibuat di Italia.” Horsham menjelaskan dengan tergagap. Kedua tangannya gemetar. “S— saya, saya, juga punya belati Italia seperti itu.” 

 Georges berdehem lagi, lalu berkata, “Maaf, kakak saya sudah menelepon beberapa kali,” katanya. "Sbenarnya saya—tapi pasien saya sudah menunggu dan ....” 

 “Saya mengerti,” ujar Inspektur Philips. “Anda boleh pulang, Dokter. Nanti kami akan menghubungi Anda kalau kami butuh bantuan Anda.” 

 “Dengan segala hormat, Inspektur. Anda bisa menghubungi saya kapanpun. Dan kalau ada yang bisa saya bantu, pasti akan saya lakukan.” Setelah mengucapkan kata-kata itu Georges minta diri. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status