Share

Bab 2

Seorang pria berbahu bidang, dengan postur tubuh tinggi berotot berjalan ke arah Mariene dengan tungkai-tungkai kuatnya yang terlatih. Dia terlihat sedang berbicara lewat ponsel genggamnya. Namun menyelesaikan pembicaraan ketika tiba di depan Mariene.  

“Saya Inspektur Philips Adler,” kata pria itu. Suaranya serak dan dalam. Namun nada suaranya pas, bergumam parau seperti badai yang hendak tiba. 

“Ikuti saya, Mademoiselle!” sambungnya.  

Inspektur Philips membimbing Mariene ke kamar kerja ayahnya. Pria tinggi besar dengan mata hitam yang menyembunyikan keketatan dalam tuntutan akan kesempurnaan, juga menyiratkan percaya diri dan kewaspadaan yang tinggi, tampak sangat gelisah malam itu. Di belakang, Mariena merasa kabut yang mengambang di sekitarnya menjadi lebih tebal. 

Begitu mereka sampai di depan sebuah pintu, tampak dua orang polisi berdiri di kedua sisi pintu dengan senapan laras panjangnya. Sementara seisi rumah yang lain terdengar sedang diintrograsi di ruang sebelah. Selama beberapa detik Mariene merasakan benaknya kosong. Seperti sebuah televisi yang tidak mendapatkan sinyal. Hanya menampilkan derau. 

Inspektur Philips mengangkat tangannya secara menampik,          Mariene pun        mempercepat langkahnya. Ketika memasuki ruangan kecil itu Mariene sudah dapat mencium bau mayat.  

“Saya     tidak      tahu, apa         yang      harus dikatakan, Mademoiselle. Ayah Anda ....” Inspektur Philips menunjuk ke tengah-tengah ruangan. 

“Ayah saya?” Mariene mengangkat pandangannya dan mengikuti arah jari Inspektur Philips. Sebuah lampu dengan tiang yang dapat dipindah-pindahkan menyorot ke bawah. Di tengah cahaya itu, di atas kursi berlengan layaknya sekor serangga di bawah mikroskop, mayat Mr. Pierre Lodwight Sagrat  duduk dengan kepalanya menunduk miring. Tepat di bawah leher sebelah kanan, di atas kerah mantel tidurnya, terlihat jelas darah yang mulai menghitam. Bayangan mengerikan itu berkelebatan lagi di benak Mariene. Sumur yang penuh buah zakar manusia, bayi-bayi disembelih, gadis-gadis diperkosa secara bergilir sampai mati, dan penduduk desa tak berdosa yang dikurung dalam gereja selanjutnya dibakar. Kepingan tubuh manusia yang hancur terkena bom dan senapan otomatis, lalu bau amis serta busuk memenuhi udara yang kini juga tercium olehnya. 

       Inspektur Philips berbalik pada Mariene, “Pembunuhan berencana.” 

"Ya, Tuhan...."

 Inspektur Philips dan Mariene berdiri membungkuk di atas tubuh yang terduduk tanpa nyawa. “Ditikam dari belakang,” gumam Inspektur Philips sambil memicingkan mata memandangi korban seperti pakaian kotor yang salah letak.  Mulut Mariene mendadak kering kerontang.

“Apa ada kemungkinan ayah bunuh diri?” meski mustahil Mariene mengharapkan hal itulah yang terjadi. 

 “Tak seorang pun dapat menikam dirinya sendiri dengan cara demikian. Ini pembunuhan,” jawab Inspektur Philips mantap. 

 “Tapi apa motifnya?” sela Mariene. “Ayahku tidak punya seorang musuh pun di dunia ini. Mungkinkah ini perampokan atau pencurian?” 

 Inspektur Philips menggeleng. “Tak ada satu pun barang yang hilang,” jawabnya. "Jadi kasus ini bukan perampokan atau pencurian.” 

Mariene menahan napas dengan tajam, “Ya Tuhan,” desahnya. “Bagaimana        dengan kecelakaan?” sambung Mariene sambil mengelap keringat di dahinya dengan sapu tangan berwarna biru. 

 Inspektur Philips menggeleng dengan enggan. “Saya menyesal sekali atas kejadian ini, Mademoiselle. Sir Pierre adalah orang paling baik dan dermawan yang pernah saya temui di dunia ini. Saya juga berharap jika kejadian ini merupakan suatu kecelakaan atau bunuh diri seperti perkiraan Anda. Tapi rasanya tidak mungkin. Demikian juga dengan kemungkinan perampokan dan pencurian.” 

 Mariene menarik napas dalam-dalam sebagai upaya untuk tidak menangis. “Saya mengerti, Inspektur,” sahut Mariene. Tapi dia sebenarnya tidak mengerti sama sekali sama seperti dia tidak mengerti yang terjadi dalam sebuah perang. Tiba-tiba dia bagai mendengar bunyi mendesing yang semakin nyaring. Dia menoleh dan melihat kepala seorang wanita meledak bagaikan buah semangka yang jatuh ke lantai, bukan, bukan kepala seorang wanita, melainkan laki-laki berusia akhir lima puluhan yang sangat dia kenali. Dan kemudian, dengan terbelalak, dia menyaksikan tubuh ayahnya terjatuh ke kursi dan lehernya menyemburkan darah. 

Mariene mengerjap-ngerjapkan mata berusaha mengusir bayang-bayang mengerikan itu dari benaknya. Sejak dia pulang dari Yogoslavia dua hari lalu dia benar-benar kacau. Seolah-olah jiwanya masih tetap tinggal di sana, sedangkan tubuhnya berada di Perancis. Ayahnya benar, tak ada manusia yang hidup sendiri. Apa yang terjadi pada diri seseorang pasti menimpa orang lain. Karena sumua manusia sama-sama terbuat dari tanah. Semua manusia mengalami waktu yang sama, sebab jarum jam berdetik secara universal. Dan dalam setiap detiknya manusia harus hidup untuk melaksnakan tugas kewajiban hidupnya. Karena kehidupan berarti melaksanakan tugas kewajiban hidup di dalam sebuah perhubungan lahir batin, antara manusia dengan sesama mahluk-Nya, dengan dirinya sendiri, dengan alam tempat tinggalnya, dengan sang penciptanya kemudian ... dengan malaikat mautnya. 

“Apakah sudah ada petunjuk tentang siapa pelakunya, Inspektur?”         tanya     Mariene beberapa lama kemudian. 

Inspektur Philips memejamkan matanya beberapa detik, lalu dia berkata dengan marah. “Sialnya, tak ada satu pun petunjuk! Kecuali kalau si pelaku masuk dan keluar dari jendela yang tinggi itu.” Inspektur Philips menunjuk ke arah kerai jendela yang setengah terbuka. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status