Malam menunjukkan pukul sebelas di Blueberry Hill. Kota kecil yang berada tak jauh dari negara bagian Michigan itu tampak mati tanpa ada aktivitas di atas jam sepuluh. Lampu-lampu jalanan terlihat menerangi sebagian kota, dan hanya terdengar lolongan anjing liar di kota kecil berpenduduk kurang dari lima ribu orang tersebut.
Mia yang bekerja di salah satu restoran di Blueberry Hill tampak sibuk membersihkan peralatan dapur dan juga lantai. Dia ingin cepat-cepat pulang, tapi mengerjakan semuanya sendiri membuatnya mengurungkan niat. Biasanya Matt, bosnya ikut membantu, tapi hari ini pria itu pergi keluar kota dan memberikan tugas pada Mia sedangkan Dorothy sudah lebih dulu pulang sebelum closing.
Begitu pekerjaannya selesai, Mia mematikan lampu dan mengunci pintu restauran. Dia berjalan mengarah ke apartemennya yang berjarak lima blok dari sana.
Gadis berusia 22 tahun tersebut sudah terbiasa pulang sendiri dengan berjalan kaki, karena Blueberry Hill adalah tempat yang aman tanpa ada laporan kasus kriminal selama lebih dari enam dekade. Semua penduduk di sana lebih terbiasa berjalan kaki daripada menyumbang polusi udara dengan mengendarai mobil.
Dalam perjalanan pulang Mia merasa seseorang mengawasinya. Ini sudah tiga kali dalam seminggu dia merasa diikuti, membuatnya bergidik ngeri hingga tanpa sadar dia bergerak cepat dengan langkah lebar nyaris berlari menuju apartemennya.
Dia pernah melaporkan pada Sheriff yang bertugas di Blueberry mengenai hal ini, tapi polisi itu mengabaikan laporannya dan mengatakan untuk kembali lagi bila Mia memang memiliki bukti jika dia benar-benar diikuti. Mendengar hal itu membuat Mia marah dan kesal, hingga gadis itu tidak mau lagi kembali melapor ke kantor polisi.
Mia berdoa dalam hati orang yang mengikuti meninggalkannya, dan bila stalkernya menyerang dia akan berteriak sekencang-kencangnya.
"Kumohon, pergilah," bisik Mia lirih sembari melangkah cepat.
Suara langkah kaki yang mengikuti terdengar semakin jelas, seolah pria itu sengaja memberi tahu kehadirannya. Degup jantung Mia berdetak hebat, dan tangannya mengeluarkan keringat dingin. Seakan berkejaran dengan waktu Mia akhirnya berlari ketika ia melihat apartemennya sudah di depan mata, tapi tiba-tiba orang yang mengikuti memanggilnya.
"Mia! Tunggu sebentar!" Dari suaranya, ia terdengar seperti pria paruh baya.
Mia tidak begitu mengenal orang-orang di Blueberry Hill, selama tinggal di kota kecil itu, dia sangat menjaga privasinya dan berkomunikasi seadanya dengan para pelanggan di Deli, restauran tempatnya bekerja. Dia tidak menghiraukan panggilan pria itu, dan terus berlari tanpa sekalipun menoleh ke belakang. Saat hendak menaiki tangga, pria itupun menarik tangannya.
"Tolo...." Jeritnya tertahan oleh tangan yang membekap mulutnya.
"Maafkan aku, tapi aku butuh untuk berbicara denganmu, tenanglah, beri aku waktu untuk berbicara sebentar saja." Pria itu menyeret Mia menghindari sorot lampu jalanan.
Mia menghentikan rontanya, dan menenangkan degup jantungnya yang berirama cepat. Panik di situasi seperti ini hanya akan membuatnya berada dalam bahaya.
"Aku tidak akan menyakitimu, namun ada beberapa hal yang ingin kusampaikan. Dan berjanjilah untuk tidak berteriak, aku tidak ingin menarik perhatian. Apa kau mengerti?"
Pria itu menatap mata Mia dengan ekspresi keras dan tegas. Perlahan pria paruh baya itu melepaskan bekapannya dan dengan tatapan waspada ia mengawasi Mia yang mulai berjalan mundur, menjauh.
Gadis itu memperhatikan pria di depannya dengan seksama. Pria itu berambut putih dengan kepala botak di depan, bertubuh tinggi kurus, dan terlihat seperti tak terurus, ada perawakan tegas yang membayangi pembawaannya saat berbicara dan juga gestur tubuhnya menunjukkan gerakan seorang tentara terlatih.
Pandangan Mia jatuh pada kedua tangan pria yang berdiri sekitar lima meter darinya, setidaknya pria itu tidak sedang memegang sesuatu yang bisa melukai.
Pria itu menatap sekitarnya seolah ia takut tertangkap basah sedang berbicara dengannya di bawah lampu jalan.
"Aku tak punya banyak waktu," ucap pria itu sembari mengeluarkan sebuah amplop kuning dari balik baju kemejanya yang lusuh. Ia tampak tergesa-gesa.
"Ambillah ini dan bawalah ke Denver, berikan pada pria bernama Jaxon Bradwood, jika kau tidak tahu siapa dia tanyakan saja pada orang-orang di sana, mereka pasti mengenalnya karena tidak ada yang tidak mengenal Jaxon Bradwood."
Mia menatap pria di depannya seolah ada tanduk yang baru saja tumbuh di kepala pria itu.
Apa dia gila? Umpat Mia dalam hati.
Pria itu menghela napas seolah ada beban di dada yang menghimpitnya.
"Aku tahu ini terdengar tidak masuk akal, dan kau tidak akan mungkin menerima ajakanku untuk bertemu di suatu tempat, hanya ini satu-satunya cara aku bisa mendekatimu. Sudah seminggu aku mengikutimu, tapi kau bekerja dari pagi hingga larut, kau sangat sibuk dan tidak sekalipun kulihat kau beristirahat. Bahkan kau tidak memiliki ponsel! Demi tuhan, ini kali pertama aku melihat seseorang tidak memiliki ponsel." Pria itu mengusap wajahnya frustrasi.
Mia menatap pria itu geram, pria itu tidak ada urusan apakah dirinya memiliki ponsel atau tidak.
"Pak, sepertinya kau salah orang. Aku tidak mengenal Jaxon Bradwood dan aku juga tidak akan pergi mencari pria asing yang tinggal di belahan Amerika lainnya hanya untuk menjadi kurir." Mia menetapkan pendiriannya. Dengan tatapan tajam ia memastikan pria itu mengerti akan perkataannya. "Mengapa tidak kau saja yang pergi ke sana dan memberikan amplop itu langsung?"
Tidak mungkin Mia mencari orang asing yang tidak dia kenal hingga ke Colorado hanya karena seorang pria tua memintanya demikian. Dia bahkan merasa situasi ini sangat janggal hingga dirinya menaikkan kewaspadaan.
Pria paruh baya itu tersenyum tipis sembari menggeleng pelan.
"Kau tidak perlu tahu alasanku tidak pergi ke Denver. Pastikan Jaxon menerima amplop kuning ini, kau harus memberikan langsung ke tangannya, jangan berikan pada orang selain Jaxon."
Mia merasa pria di depannya ini memang sudah gila. Dia beranjak hendak pergi karena baginya tidak ada yang masuk akal.
"Jika kau pergi seperti ini sebelum mendengar penjelasanku, percayalah, yang lebih dulu mati adalah kau."
Langkah Mia yang hampir mendekati tangga akhirnya berhenti. Dia berbalik dan menatap pria itu sengit.
"Aku tidak mengenalmu, siapapun kau, aku tidak ada urusan denganmu! Jangan mengatakan sesuatu hanya untuk menakuti orang lain!"
Mia berjalan cepat menaiki tangga, namun perkataan pria itu yang berikutnya menghentikan langkahnya.
"Allisa! Namamu yang sebenarnya adalah Allisa, bukan Mia," ucap pria itu dengan nada penuh penekanan dan intonasi sedikit mengancam.
Tubuh Mia merinding seketika, dia berbalik menghadap pria paruh baya yang kini berdiri di tangga terbawah apartemennya.
"Ba... bagaimana Kau..." Habis kata. Mia menatap pria itu dengan mata bulat membesar. Lidahnya kelu dengan pandangan takut.
"Mari buat kesepakatan," kata pria itu dengan wajah datar tanpa senyuman.
Halo, Blezzia mengucapkan terima kasih kepada pembaca setia The King Of Denver :) Dan ya, seperti yang kalian baca, kisah ini baru saja berakhir SEASON PERTAMA-nya dan itu artinya akan ada SEASON KE-DUA yang akan Blezzia lanjutkan. Sesuai permintaan beberapa pembaca, yang tidak ingin novel ini berakhir dengan cepat, maka Blezzia mempertimbangkan akan membuat Season KE-DUA kisah Jaxon dan Mia (Bukan Nicko dan Disya) setelah menyelesaikan kisah Danny dan Hilda di Novel Wanita Rahasia CEO, oleh karena itu, Blezzia minta maaf untuk Delay yang terjadi. Karena ini novel kesayangan Blezzia, jadi kisah mereka akan sangat panjang. (Kalau perlu sampai anak cucu) Do'ain saja semoga diberikan izin oleh pihak GN ya ~ Biar nanti Blezzia lebih fokus ke Denver dan bisa update tiap hari nantinya <3Jika tidak ada halangan, maka diperkirakan Juni/Juli 2022 seluruh novel on-going yang sedang Blezzia tulis akan tamat. Lalu, bagaimana dengan kisah Nicko dan Disya? M
Mia terlihat sibuk berbincang dan tertawa bersama Disya di gazebo, saat tiba-tiba keduanya mendengar suara langkah kaki dari arah kanan taman. Serentak, wanita-wanita itupun menoleh bersamaan ke arah sumber suara, yang tak lain adalah Allana. Dengan senyum terkembang di wajah, Mia menyambut kedatangan pelayan terdekatnya itu, lalu meminta wanita tersebut untuk ikut bergabung di meja. Akan tetapi, Allana menolak sembari menoleh sedikit ke arah jalan yang tadi dilaluinya. Hal itu pun membuat Mia dan Disya mengikuti arah pandang pelayan wanita itu. Namun, mereka tidak menemukan apa-apa di sana, membuat Mia bertanya-tanya. “Ada apa?” Allana kembali menoleh pada dua wanita di hadapan, dan dia hanya menjawab dengan gerakan ragu-ragu. “Ada... seseorang yang ingin menemui... anda dan Miss Flontin,” ucapnya, sembari melirik ke arah Disya yang tetap duduk tenang dengan secangkir teh dalam genggaman. Mendengar penjelasan tersebut, sek
Jaxon memasuki ruang tengah kediaman keluarganya, dan tepat di hadapannya telah duduk Jeff Bradwood dengan ditemani ibu tirinya, Ruby. Melihat kehadiran anggota Red Cage dalam ruangan, seketika bahu Jeff tampak tegang, padahal dia sudah mendengar kedatangan mereka sebelum mencapai gerbang. Namun, melihat pria-pria yang parade saat masuk ke dalam ruangan, Jeff pun tak mampu bergerak dari tempatnya duduk di sofa.“Jeff,” sapa Jaxon, dengan kedua tangan berada di saku celana.Bukannya menyahut, Jeff Bradwood hanya berdeham sembari menatap ke segala arah. Sengaja menghindari tatapan bosan puteranya.Pandangan Jaxon pun beralih pada Ruby yang tersenyum dengan sensual. Tetapi dia abaikan. Kini, perhatiannya kembali pada sang ayah yang mencoba memasang wajah poker face.“Aku melihat keadaanmu baik-baik saja,” ucap Jaxon, berbasa-basi sembari duduk di sofa.Dia menatap kedua orang di hadapan dengan pandangan yang sulit dibaca.
Jaxon yang saat itu sedang menyesap batangan rokok di balkon sendirian, tiba-tiba saja dikejutkan dengan kehadiran Nicko dari arah belakang. Kedua pria itu tampak diam ketika berdiri sejajar pada railing. Namun, gestur Jaxon yang hendak berbagi batangan rokok di tangan menunjukkan bahwa apapun di antara mereka sebelumya telah terlupakan.Kini, kedua pria itu terlihat mengepulkan asap bersamaan. Sedangkan pandangan keduanya saling menerawang ke arah langit yang menyuguhkan pemandangan indah dengan taburan milk way di atas mereka.Di pulau ini, keduanya dapat melihat pemandangan langit malam yang jarang didapatkan jika di perkotaan. Bahkan, langit di sana jauh lebih cerah dari apa yang biasanya mereka lihat sebelumnya. Tidak hanya itu, rembulan yang cahayanya kemerahan, tampak tergantung indah di antara pemandangan malam lainnya, seolah tidak mau kalah untuk memanjakan mata para pen
“Apa kau sudah memberitahunya?” kejar Jaxon saat Nicko baru saja keluar dari ruang perawatan.Kepala pria itu menggeleng lemah. Dan, dengan berat dia mengatakan; “Belum. Aku tidak bisa melakukannya.”Melihat ekspresi Nicko yang tercekat, Jaxon pun menarik temannya itu ke dalam pelukan. Satu tangannya menepuk-nepuk punggungnya pelan, sementara dia membisikkan kata-kata penuh dukungan.“Aku bisa melakukannya jika kau mau.”Setelah keduanya memisahkan diri, Nicko yang berwajah sendu pun menatap ragu-ragu. Dia tidak ingin terbawa suasana, seperti saat di salam sana.“Terima kasih, Brother.”Kedua pria itu saling memandang paham.“Baiklah, aku akan kembali ke mansion lebih dahulu,” ucap Nicko, meninggalkan kumpulan teman-temannya yang duduk di kursi tunggu dengan masing-masing memegang chips dan roti yang tadi Gavin bawa.“Bye brother,” kata pria-pria itu serent
Nicko menutup ponselnya ketika dia mendengar laporan dari Henrieta. Beberapa kali dia menarik napas, sebelum membuangnya perlahan. Sekembalinya nanti, dia akan memberikan penjelasan pada kekasihnya yang bisa saja sedang menahan marah di seberang lautan sana.Meskipun dia tidak tahu apa yang akan menantinya, Nicko berharap Disya mau mendengarkan penjelasan.Dia hendak berbalik badan, saat tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara yang memanggil namanya pelan. Seketika bulu romanya berdiri, dan jantungnya berpacu saat suara tua itu menyebutkan namanya dengan nada sedikit bergetar.“Nicko … Anderson?”Perlahan, Nicko pun menoleh ke arah tubuh tua yang tadinya terbaring di ranjang dengan mata terpejam. Kini, mata itu memandang lurus ke arahnya, membuat Nicko tanpa sadar menundukkan kepala. Sebuah gesture penghormatan yang sulit dia tinggalkan.Sejak masih balita, anak-anak yang terlahir di Famiglia telah diajarkan untuk tidak mena