"Tunggu Putri !!"
Seseorang menghentikan langkah Putri Sekar Ayu sehingga ia berdiri lebih lama di hadapan Damar. Entah itu berkah ataukah apa namanya, yang jelas Damar merasa sangat beruntung dapat melihat putri sedekat itu.
"Nampaknya kudamu sudah terlalu sepuh, Pangeran," kata Putri Sekar Ayu mengolok kakak sepupunya.
"Jika eyang tahu, Putri tidak akan diperbolehkan lagi menunggang kuda."
"Tenang saja, eyang hanya menggertakku saja."
"Jangan melibatkanku nanti, ya."
"Hmm, sedikit," jawab Putri Sekar Ayu sambil tersenyum meledek. Sementara Damar semakin terpukau oleh senyum menawan putri.
"Kau ini, ayo cepat. Matahari sudah condong ke barat."
Pangeran Respati mengajak Putri Sekar Ayu untuk segera memasuki tempat persembahyangan, namun tiba-tiba putri menghentikan langkahnya. Ia lalu berbalik berjalan ke arah Damar.
"Apa kau akhirnya mengenaliku ?" gumam Damar dalam hati sambil menatap putri yang sedang berjalan ke arahnya.
"Selendangku," kata putri sambil menarik selendangnya dari pergelangan tangan Damar. Damar seketika panik, ternyata tanpa ia sadari selendang putri tersangkut pada gelang pemberian kakek tua yang ia pakai di pergelangan tangannya. Hembusan angin telah menerbangkan selendang putri hingga tersangkut di pergelangan tangannya. Damar buru-buru melepaskan selendang itu dengan rasa canggung.
"Mohon ampun, Gusti," kata Damar buru-buru menyatukan kedua telapak tangannya sebagai wujud permohonan maaf.
"Tak apa. Akhir-akhir ini angin bertiup lumayan kencang."
"Ampun, Gusti." Damar beberapa kali mengucapkan permintaan maaf. Putri jadi tak enak hati karena telah membuat pemuda di hadapannya itu gemetaran, ia segera pergi menyusul Pangeran Respati yang telah menunggunya di depan pintu candi. Damar dan Parwan pergi setelah putri meninggalkan area candi.
Di perjalanan pulang, pikiran Damar nampaknya masih tertinggal di Bukit Pujon. Beberapa kali Parwan mengajaknya bicara namun hanya dijawab seadanya, bahkan kadang jawabannya tidak nyambung dengan pertanyaan yang dilontarkan sahabatnya itu.
"Mar, Damar ... kau dengar tidak aku bicara apa ?" kata Parwan beberapa kali berusaha menyadarkan Damar yang terus saja diam.
"Iya, aku dengar," kata Damar sambil memandangi pergelangan tangannya.
"Aku tahu, kau tak akan membasuh tanganmu hingga beberapa hari," ledek Parwan.
"Bukan. Gelang ini, aki-aki yang kita tolong tadi bukan orang sembarangan."
"Haa, maksudmu ?" tanya Parwan.
"Percaya atau tidak, gadis yang sering muncul di mimpiku ternyata Putri Sekar Ayu."
"Apaaaa ?? kau jangan bercanda."
"Aku berani bersumpah. Aku tak menyangka hari ini aku bisa bertemu dengannya di dunia nyata."
"Mana mungkin. Jangan mengada-ada."
"Terserah mau percaya atau tidak, tapi gadis di mimpiku benar-benar dia."
"Lalu kau mau apa ? melamarnya ?"
"Entahlah."
"Dia itu putri, calon ratu kerajaan ini. Banyak raja-raja dan pangeran yang ingin mempersuntingnya. Sedangkan kau, lihat siapa dirimu."
Damar hanya diam. Benar kata Parwan, jika ingin mendapatkan sang putri yang cantik jelita itu maka ia harus bersaing dengan raja-raja tersohor dan pangeran-pangeran tampan dari kerajaan besar di tanah Jawa. Mana mungkin, sedangkan ia hanya seorang anak pencari rumput yang bekerja di pande besi milik Mpu Geger. Angannya terlampau jauh panggang dari api.
"Sudahlah Damar, yang nyata-nyata saja. Lihatlah di sana, Utari sedang memandangimu," kata Parwan memecah kebisuannya.
"Tutup mulutmu itu !!"
"Hee, Damar. Aku serius, Utari menyukaimu sejak lama."
"Sudahlah. Sekarang lebih baik kita memikirkan alasan yang tepat agar Mpu Geger tak memarahi kita." Damar pergi meninggalkan Parwan jauh di belakang karena sudah tak tahan mendengar ocehan sahabatnya itu.
Sementara itu Putri Sekar Ayu dan rombongannya telah tiba di istana,
Terlalu asyik menunggang kuda, putri jadi lupa waktu sehingga membuat keluarganya khawatir karena hingga petang putri dan pangeran tak kunjung pulang. Ratu sampai mengirimkan pasukan untuk mencari keberadaan mereka berdua.
"Dari mana saja kalian ?" kata Ratu Pancawati memarahi mereka berdua.
"Maafkan kami, kami terlalu asyik hingga lupa waktu, Ibunda," kata putri pada Ratu Pancawati, bibinya yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri.
Putri terlihat begitu santai karena sudah biasa diomeli seperti itu oleh Ratu Pancawati. Bukannya kesal, putri malah gemas setiap kali melihat bibinya marah. Sesekali bahkan ia sengaja membuat bibinya kesal.
"Putri, kenapa kau masih menunggang kuda ?"
"Mau bagaimana lagi Ibunda, kereta di istana begitu lamban."
"Itu alasanmu saja, Putri. Kau juga Pangeran, kenapa tak melarangnya ?"
Pangeran Respati yang sedari tadi diam malah ikut kena omelan ibundanya itu. Ia hanya tersenyum lebar memperlihatkan gigi sehatnya. Ratu benar-benar harus ekstra sabar menghadapi anak-anaknya yang terlalu sering membuatnya khawatir.
"Ibu hanya tak ingin melihatmu terluka, Putri. Mengertilah."
"Aku baik-baik saja, Ibunda."
"Sudahlah, yang penting mereka pulang dengan selamat," timpal Raja Widharma yang tiba-tiba datang menghampiri mereka.
"Tapi, Kanda ..."
"Segarkan dirimu, Putri. Kau pasti sangat lelah," kata raja memotong, agar istrinya berhenti memarahi Putri Sekar Ayu.
"Terimakasih, Rama Prabu. Ananda undur diri." Putri buru-buru pergi setelah diselamatkan oleh pamannya.
"Dinda tak akan lagi bisa memarahinya saat ia menjadi ratu kelak," kata raja mengguraui istrinya.
"Dinda akan tetap memarahinya, Kanda Prabu. Walau bukan Dinda yang melahirkannya, ia tetaplah putriku yang ku sayangi."
"Baiklah, Dinda," jawab raja sambil tersenyum merangkul bahu istrinya dan mambawanya pergi.
Raja Widharma dan Ratu Pancawati sudah putri anggap seperti ayah dan ibunya sendiri, begitu pun sebaliknya. Sejak kecil putri telah ditinggalkan oleh kedua orang tuanya dalam sebuah kecelakaan fatal di hutan. Sedangkan saudara kandungnya satu per satu pergi mendahuluinya karena penyakit. Kini hanya tersisa dirinya saja di garis keturunan yang sah Kerajaan Welirang. Ia akan segera naik tahta saat usianya genap dua puluh dua tahun. Untuk sementara, Raja Widharma pamannya lah yang menjadi raja untuk mengisi kekosongan jabatan sampai putri naik tahta kelak.
Siang hari yang terik, seperti biasa pande besi milik Mpu Geger selalu riuh oleh pukulan palu dan besi. Hantaman besi yang memekakkan telinga menjadi hal yang sudah biasa dan sahabat sehari-hari bagi keluarga Mpu Geger, tak terkecuali Utari. Gadis itu diam-diam memperhatikan para pemande besi yang sedang bekerja. Sahut menyahut antar pemande seketika berubah menjadi harmoni yang indah ketika ia menatap Damar di seberang sana. Bak menyaksikan pertunjukan gamelan, dan Damarlah penabuh favoritnya. Utari adalah putri Mpu Geger, sudah sejak lama ia menaruh hati pada Damar. Sayangnya gadis manis itu tak berani menunjukkan perasannya, ia hanya bisa mencintai Damar dalam diam.Damar tak menyadari saat Utari diam-diam memperhatikannya. Pikirannya belum juga waras. Setelah bertemu dengan Putri Sekar Ayu, Damar masih belum terbangun dari mimpinya. Wajah cantik Putri Sekar Ayu selalu muncul dan menari-nari di fikirannya. Suara lembut, senyum manis dan gemulai selendang hijaunya tak
Damar benar-benar dilema. Mustahil rasanya jika harus menerima orang baru saat hatinya telah terisi oleh orang lain. Entahlah, mengapa sedikit pun tak ada cinta untuk gadis itu. Padahal Utari adalah gadis yang cantik dan baik. Damar hanya takut nanti Utari tak bahagia hidup dengan suami yang tak pernah mencintainya. Namun menolaknya juga bukan pilihan yang tepat, Utari tetap akan terluka. Jadi menerima ataupun menolak, dua-duanya hanya akan menyakiti hati Utari entah hari ini atau pun esok. Bagai buah simalakama semua keputusan yang akan ia ambil tak akan bisa membuat dirinya dan semua orang bahagia. Damar benar-benar tak tahu lagi harus beebuat apa. Jika sudah seperti itu, rasanya ia ingin menghilang saja agar semua kecemasannya ikut hilang bersamanya.Lain halnya dengar Damar, Utari merasa sangat bahagia mendengar rencana pernikahan itu. Ia sangat berterimakasih pada ayahnya yang telah mewujudkan mimpinya sedari dulu yaitu bisa hidup bahagia bersama Damar, pemuda yang sanga
Putri Sekar Ayu sedang berlatih pedang bersama beberapa prajurit pilihan di halaman belakang istananya. Semakin hari kemampuan bela diri dan ilmu pedang yang ia kuasai semakin mumpuni. Gerak tangan dan kaki lincahnya membuat para prajurit kuwalahan menghadapinya. Gemulai indah gerakannya saat mengayunkan pedang membuat lawan-lawannya kehilangan fokus. Saat mereka lengah, saat itulah putri langsung melumpuhkan mereka dengan mudah.Putri Sekar Ayu memang berbeda. Jika para putri kerajaan biasanya lebih suka menghabisakan waktu di keputren, melakukan aktifitas sebagaimana seorang putri pada umumnya, maka Putri Sekar Ayu lebih tertarik dengan pedang, berkuda atau memanah. Itu bukan berarti ia tak bisa melakukan tugas-tugas sebagai seorang putri, ia tetap melakukannya namun ia menginginkan sesuatu yang lebih dan ingin terlihat berbeda dari putri-putri lain di istana."Prajurit pilihan ? kemampuan kalian tak ada seujung jariku," kata Putri Sekar Ayu pada salah sa
Suara gamelan terdengar dari rumah Mpu Geger. Hari bahagia yang dinanti-nantikan telah tiba. Beberapa waga desa berjalan beriringan menuju tempat hajatan, sementara itu Mpu Geger sebagai tuan rumah telah menyambut kedatangan mereka dengan jamuan dan pertunjukan tari yang ia datangkan langsung dari Blambangan. Pesta itu tergolong mewah jika dibandingkan dengan pernikahan yang pernah digelar oleh warga desa lainnya. Sebagai orang terpandang di desanya, tentu Mpu Geger tak akan mengadakan pesta yang biasa-biasa saja. Apalagi ini adalah pernikahan Utari, putri bungsu kesayangannya.Damar dan Utari tampak sibuk menyalami tamu yang datang. Utari terlihat cantik dalam balutan busana indah hasil rancangannya sendiri. Semua orang tahu kemampuan Utari dalam membatik, maka ia ingin membuat dirinya istimewa dalam pernikahannya ini lewat karya yang ia buat sendiri. Selendang berwarna hijau semakin menambah sempurna penampilannya di hari bahagia itu. Akhirnya ia dapat merasakan bagaimana r
Di alun-alun kuta raja sedang diadakan pesta rakyat untuk menyambut masa panen tiba. Biasanya tempat itu akan ramai oleh warga dari seluruh penjuru negeri untuk menyaksikan hiburan atau sekedar untuk berjalan-jalan saja. Sebagai pengantin baru Utari ingin sekali datang ke sana bersama Damar. Selain untuk jalan-jalan, Utari juga ingin pamer kemesraan pada para gadis di desanya yang selama ini menggandrungi Damar, ia ingin menunjukkan pada mereka bahwa sekarang Damar adalah miliknya, mereka tak bisa lagi menggoda suaminya seperti yang mereka lakukan dulu sebelum Damar menikahinya.Untuk menyenangkan hati istrinya, sore itu Damar mengiyakan ajakan Utari. Mereka pergi dengan menunggangi kuda, Utari duduk di belakang sementara Damar di depan memegang kendali. Sepanjang jalan Utari tak sedikit pun melepaskan kedua lengannya dari tubuh Damar. Para gadis yang menyaksikan pemandangan itu hanya bisa menatap iri sambil sesekali berbisik membicarakan kemesraan mereka berdua. Walau
"Putri ..." Pangeran Respati segera berlari untuk menyelamatkan putri. Ia merasa sangat bersalah karena telah meninggalkan putri seorang diri. Jika sampai terjadi sesuatu pada putri, ia tak akan bisa memaafkan dirinya sendiri. Namun langkahnya tiba-tiba terhenti saat ia melihat seorang pria berhasil menghalau dahan pohon itu. Akhirnya Pangeran Respati bisa sedikit bernafas lega saat melihat putri baik-baik saja.Putri membuka matanya. Sementara itu di hadapannya seorang pria sedang berdiri mengerahkan seluruh tenaganya menghalau batang pohon agar tak sampai menyentuh kulit putri. Putri masih belum bisa berkata-kata, untuk beberapa saat ia hanya terpaku memandangi pria yang berdiri di hadapannya itu. Tak disangka tatapan mata pria itu mampu membuat jantung putri berdebar."Kau ... Gelang ... Candi," kata putri sambil berusaha mengingat wajah pria itu di antara dedaunan yang jatuh berguguran. Damar sedikit terkejut, ia tak menyangka ternyata putri masih mengingat pertemu
Siang hari yang cukup terik, Mpu Geger meminta Parwan untuk memandikan kuda miliknya di sungai. Sungai itu lumayan jauh namun Parwan begitu bersemangat mengemban tugas itu. Selain tempatnya sejuk jika beruntung ia juga akan bertemu dengan bidadari-bidadari sungai yang sedang beraktifitas di sana, mandi atau mencuci pakaian. Karena tak kunjung kembali, Damar meminta ijin Mpu Geger untuk menyusulnya, ia khawatir kalau-kalau sahabatnya itu diculik oleh bidadari penghuni sungai. Mpu Geger hanya tertawa, ia mengerti apa maksud Damar, lalu mempersilahkan menantunya itu untuk segera menjemput Parwan di sungai. Damar tahu Parwan pasti baik-baik saja, ia hanya ingin keluar sebentar karena setelah menikah dengan Utari ia jarang menghabiskan waktu di luar seperti dulu.Damar menghampiri Parwan diam-diam. Saat itu Parwan sedang menebar pesona pada gadis-gadis yang sedang mencuci pakaian di seberang sana. Damar melempar air dengan beberapa batu sehingga cipratannya membasahi pakaian
Putri diam-diam menunggangi kudanya keluar istana menyamar menjadi rakyat biasa. Ia mengambil kesempatan ini selagi ratu masih belum sehat. Jika ketahuan setidaknya ibundanya itu tak akan memarahinya karena ia sedang sakit. Itu sudah biasa ia lakukan namun kali ini berbeda, ada satu hal yang tak bisa dijelaskan dengan akal, bisa dibilang itu panggilan hati. Daripada terus menerus tak bisa tidur, lebih baik ia mengikuti kata hatinya."Permisi, Ki. Apa benar ini jalan menuju rumah Mpu Geger ?" tanya putri pada seorang pencari rumput yang kebetulan berpapasan dengannya."Betul. Rumahnya ada di ujung jalan sana, Nyai," jawab lelaki tua itu yang tak lain adalah Ki Suro, ayah Damar."Baiklah. Terimakasih banyak, Ki."Putri segera melanjutkan perjalanannya. Sementara Ki Suro masih terus memperhatikan putri dari kejauhan. Perasaannya sedikit terganggu setelah bertemu dengan putri. Memang ia tak bisa mengenali wajah putri di balik cadarnya, namun pria tua itu memi