Siang hari yang terik di atas Bukit Pujon.
"Ayo anak muda kau pasti bisa. Gunakan otot-otot kuatmu itu," kata si kakek saat Damar mulai menaiki beberapa anak tangga. Damar hanya mengangguk, keringat yang bercucuran sudah cukup mewakili semua usahanya.
"Semangat, Mar. Kau pasti bisa," kata Parwan menimpali.
Damar hanya meliriknya dengan tatapan kesal karena Parwan hanya bisa mengoceh saja tanpa ada kontribusi yang nyata. Sementara si kakek terus menyemangati Damar dari atas punggungnya. Ya, pada akhirnya Damar menggendong kakek tua itu. Mau bagaimana lagi, si kakek tak mau diantar dengan kuda, ia juga tak punya cukup uang untuk menyewa kereta. Parwan, sepanjang jalan ia hanya bisa mengeluh. Jangankan menggendong kakek tua itu, membawa badannya sendiri saja ia kesusahan.
"Hei gembul, jangan diam saja. Usap keringat temanmu ini !" kata kakek pada Parwan.
"Aku punya nama, Ki," jawab Parwan kecut.
"Kau tak terima ? kenyataannya memang perutmu itu jauh lebih besar dari tenagamu."
"Nggak ada gigi masih aja ceriwis." Parwan ngedumel kesal mendengar ocehan si kakek tua.
"Apa katamu ?? ku kunyah kau nanti ya."
"Pakai nasi biar kenyang, Ki."
Damar hanya tersenyum mendengar celotehan mereka berdua. Lumayanlah mereka cukup menghibur Damar yang sudah sangat kelelahan saat itu. Jadi bebannya bisa sedikit berkurang.
"Sudah, sudah disini saja," kata kakek menghentikan langkah Damar.
Akhirnya setelah setapak demi setapak dilalui, mereka sampai juga di depan pintu candi. Saat itu Bukit Pujon sedang ramai dikunjungi oleh orang-orang yang akan melakukan persembahyangan saat bulan purnama.
"Sudah sampai kita, Ki," kata Damar setelah menurunkan kakek itu dari punggungnya. Sesekali Damar terlihat meregangkan otot-otot lengannya setelah membawa beban berat selama beberapa waktu.
"Terimakasih banyak anak muda berkat kau aku bisa sampai di tempat suci ini."
"Iya, Ki. Saya senang bisa membantu Aki."
"Kau memang baik tak seperti temanmu itu yang bisanya cuma ngoceh."
"Aku lagi yang kena," gumam Parwan kesal namun si kakek tak menggubrisnya. Ia malah bicara sendiri dengan Damar tanpa mempedulikan Parwan.
"Sebagai ucapan terimakasih, terimalah ini," kata kakek pada Damar. Kakek tua itu mengeluarkan sebuah gelang kayu dari selah bajunya. Menurutnya itu adalah gelang keberuntungan yang ia dapatkan dari Gunung Wilis saat ia bertapa beberapa tahun yang lalu.
"Aku tak bisa menerimanya. Benda ini pasti sangat berarti untuk Aki," kata Damar menolaknya dengan halus, karena memang ia tak mengarapkan imbalan apapun atas bantuan yang ia berikan itu.
"Di usiaku sekarang ini, aku telah mendapatkan semua yang kuinginkan. Simpanlah, jika kau meolak aku akan tersinggung."
Damar menatap Parwan, seolah meminta persetujuan pada sahabatnya itu. Parwan mengangguk tanda setuju, lalu dengan sangat terpaksa Damar akhirnya menerima gelang itu. Si kakek tampak senang karena Damar telah menerima pemberiannya.
"Lalu buatku mana, Ki ?" gurau Parwan.
"Ini, kau ini saja." Kakek memberinya sebuah kain kecil.
"Apa ini, Ki ?"
"Simpan saja, suatu saat itu akan berguna untukmu."
"Ahh tidak perlu, Ki. Aku hanya bercanda."
"Aku juga bercanda. Hanya selembar kain apa hebatnya ? Hahaha ..."
"Hahahaha ..." Parwan pura-pura tertawa, padahal hatinya dongkol dipermainkan si kakek.
"Baiklah, Ki. Kalau begitu kami pamit," kata Damar.
"Damar, kau tak akan menyesal datang ke tempat ini," kata kakek itu sebelum memasuki candi.
"Loh, Ki ..." Damar berusaha menghentikan kakek itu, namun ia begitu cepat menghilang di antara keramaian.
"Bagaiamana aki tua itu tahu namaku ?"
"Iya juga. Dia juga menghilang begitu cepat. Sakti."
"Ya sudahlah. Ayo kita pulang," ajak Damar. Ia tak mau ambil pusing memikirkan apa maksud kakek tua itu, ia hanya ingin secepatnya pulang karena Mpu Geger pasti telah menunggunya.
Damar berjalan keluar dari pelataran candi. Sebelum sampai di anak tangga, langkahnya tiba-tiba terhenti saat mendengar deru kaki kuda berjalan ke arah candi. Dari kejauhan ia melihat seorang wanita terlihat menunggangi kuda dengan beberapa prajurit di belakangnya. Jelas itu bukan rombongan berkuda biasa, mereka membawa bendera Kerajaan Welirang. Jika bukan pejabat, mereka pasti salah satu anggota keluarga kerajaan. Rombongan itu semakin mendekat, semua orang buru-buru menyingkir agar tak menghalangi para bangsawan itu memasuki area candi. Jantung Damar seketika bergetar setelah melihat wajah penunggang kuda itu.
"Pu, Putri, Putri Sekar Ayu," kata Parwan terbelalak sambil menarik-narik lengan Damar.
"Beri jalan, beri jalan !!" kata beberapa orang mendorong Damar dan Parwan agar menepi.
"Mar, sini !!" kata Parwan sembari menarik lengan Damar.
Waktu seolah berhenti, keriuhan warga yang sedang bergembira menyambut kedatangan sang putri tak lagi terdengar. Hanya detak jantung yang memburu yang dapat Damar rasakan. Damar masih terpaku menatap ia yang terlihat begitu menawan duduk di atas kudanya. Sekuat tenaga ia berusaha mengatur nafas agar paru-parunya tetap bisa menghirup udara.
"Tak perlu, aku bisa turun sendiri," kata Putri Sekar Ayu saat seorang prajurit hendak membungkuk untuk dijadikan pijakan kaki sang putri saat turun dari kudanya. Suara lembut putri membawa Damar ke alam sadarnya kembali.
Beberapa prajurit meminta orang-orang untuk menepi agar putri dapat berjalan ke tempat persembahyangan dengan aman. Putri Sekar Ayu mulai menaiki satu per satu anak tangga. Rambut panjang indahnya masih terlihat sama, berkilau bak mutiara hitam diterpa oleh sinar matahari. Hembusan angin yang menerbangkan selandang hijau di lengannya membuatnya terlihat semakin mengagumkan. Damar benar-benar tak bisa lagi mengendalikan detak jantungnya saat Putri Sekar Ayu semakin mendekat.
"Minggir !!" teriak salah satu prajurit pada Damar yang masih mematung, lalu Parwan buru-buru membawanya menepi.
"Hei pemuda, tundukkan pandanganmu !!" bentak prajurit lagi.
"Prajurit, tak perlu kau sekasar itu," kata Putri Sekar Ayu memperingatkan prajuritnya. Damar langsung menundukkan pandangannya.
"Ampun, Gusti," jawab prajurit itu.
Putri Sekar Ayu kembali melanjutkan perjalanannya. Hembusan Angin menerbangkan semerbak wewangian dari tubuhnya. Damar, dada pria itu semakin sesak. Untuk sesaat ia hanya bisa memejamkan matanya berusaha menahan gejolak yang semakin tak terkendali.
"Tunggu, Putri ... !!"
"Akulah yang kau cari, Utari," kata Ratu berdiri di hadapan Utari sambil memegangi dadanya. Walau telah siuman, namun efek racun di dalam tubuhnya tak bisa secepat itu hilang. Para tabib telah berusaha memintanya untuk pergi menyelamatkan diri, namun ratu justru lebih memilih untuk menyelesaikan masalahnya dengan Utari. "Bedebah !! Baiklah, aku tak akan bermain-main lagi denganmu !!" teriak Utari marah mengetahui kesembuhan ratu. Tanpa banyak basa-basi, ia langsung mengayunkan pedangnya ke arah ratu. Dua wanita itu bertarung, keadaan ratu yang belum pulih sepenuhnya membuatnya kuwalahan menghadapi Utari. Damar berusaha bangkit karena begitu mengkhawatirkan keadaan ratu, namun ia tak berdaya karena luka di tubuhnya dan juga hadangan dari anak buah Utari. Tak butuh waktu lama, Utari pun berhasil mengakhiri perlawanan Ratu Sekar Ayu. Ratu terkulai dengan cucuran darah dari mulut dan hidungnya, ia tak berdaya di bawah ancaman pedang Utari. "Kau suda
Utari berhasil memasuki istana Welirang. Istana yang sedang kosong ditinggal para penghuninya berperang di medan peperangan dengan mudah berhasil diobrak abrik oleh Utari dan pasukannya. Tujuannya sudah jelas, menemukan keberadaan Ratu Sekar Ayu. "Katakan dimana ratu kalian ??" teriak Utari sambil mengancam para dayang di istana. Mereka yang ketakutan pun akhirnya dengan berat hati menunjukkan keberadaan Ratu Sekar Ayu. Saat Utari mendobrak pintu, Ratu Sekar Ayu masih terbujur di atas ranjangnya. Tubuhmya masih membiru dengan aroma busuk yang mulai keluar dari luka di lengannya. Utari tersenyum puas menyaksikan sendiri betapa dahsyatnya upas sewu bekerja pada tubuh ratu. "Lihatlah dirimu sekarang. Apa yang ingin kau sombongkan dariku ?" kata Utari sambil memainkan pedangnya di wajah ratu. "Ini semua tak seberapa. Kau tahu betapa sengsaranya aku selama ini ?? Kematianmu pun tak cukup untuk menghapus luka batinku." Utari menatap ratu dengan penuh kebenc
Pertempuran antara pasukan Welirang dan pasukan Jagalan akhirnya pecah. Pertumpahan darah yang ditakutkan oleh banyak orang pun akhirnya terjadi juga. Saat itu medan perang dipenuhi riuhnya suara pedang, lesatan anak panah dan teriakan para prajurit yang berjuang membela pasukannya masing-masing.Di sela-sela ayunan pedangnya, Raja Widharma tampak mencari-cari keberadaan Pangeran Wiguna. Perang sudah berlalu cukup lama, namun ia tak juga melihat keberadaan putranya itu.Raja Widharma semakin merangsek masuk membelah pasukan lawan, berharap bisa segera menemukan keberadaan Pangeran Wiguna. Ia ingin sekali menghukum putranya itu karena tak mengindahkan larangannya untuk memberontak. Bukannya Pangeran Wiguna, Raja Widharma justru bertemu dengan Utari. Ia sedikit terkejut karena ternyata pasukan itu dipimpin oleh seorang wanita alih-alih Pangeran Wiguna. Raja Widharma ingin beranjak pergi namun Utari memaksanya untuk tetap berada di sana.Utari dan Raja Widharma sal
Keesokan harinya tanpa ada yang tahu peristiwa yang menimpa Pangeran Wiguna,Utari berjalan keluar dari kadipaten dengan baju zirah lengkap dengan senjata di kedua tangannya. Ribuan pasukan Jagalan telah bersiap di depan kadipaten setelah mendapatkan perintah perang dari Utari. Utari berdalih Pangeran Wiguna telah ada di perbatasan menunggu mereka bergabung dengan pasukan sekutu. Para prajurit yang tak tahu apa-apa menurut saja apa kata Utari yang katanya telah ditunjuk untuk memimpin pasukan Jagalan.Utari tak ingin membuang waktu, ia dan ribuan pasukannya segera bergerak menuju Welirang. Hentakan kaki kuda dan sorot tajam matanya sudah cukup menggambarkan betapa siapnya ia untuk bertempur melawan pasukan kerajaan. Ia sangat yakin dapat memporak-porandakan Welirang dengan ribuan prajurit yang telah dilatih dan dipersiapkan oleh ibu suri selama ini menggunakan dana gelap kerajaan Welirang. Sokongan dari pasukan sekutu pun sudah lebih dari cukup dan membuatnya semakin p
Damar dihajar habis-habisan oleh Nyi Gandaruhi. Pertarungan yang tak seimbang itu membuat Damar babak belur. Sementara itu, fajar sudah mulai terlihat di ufuk timur, sinar yang terpancar dari bunga Geniri pun mulai meredup. Satu per satu kelopaknya mulai menutup, bunga itu harus segera dipetik sebelum menutup sepenuhnya. Jika malam itu menjadi malam terakhir ia mekar, maka hilang sudah kesempatan mereka untuk menyelamatkan nyawa Ratu Sekar Ayu. Nyi Gandaruhi nampaknya tahu betul akan hal itu sehingga ia terus berusaha menghalangi Damar agar tak sampai menyentuh bunga itu. Damar tak mau menyerah, dengan sisa kekuatan yang ada, ia kembali bangkit dan berusaha melawan Nyi Gandaruhi. Ratu Sekar Ayu sedang menunggunya, bagaimanapun caranya ia harus bisa mendapatkan bunga itu. Tak apa jika raganya harus hancur di tangan Nyi Gandaruhi, asalkan ia dapat membawa pulang penawar racun itu. Semua orang sedang menggantungkan haparan besar padanya, ia tak mau mematahkan harapan itu.
Utari tersenyum puas saat menerima laporan dari orang suruhannya perihal keadaan Ratu Sekar Ayu. Walau bidikannya tak tepat sasaran, namun ternyata sedikit luka di tubuh ratu sudah cukup untuk menumbangkannya. Untuk beberapa saat ratu masih bisa memperpanjang napas, namun Utari yakin itu tak akan lama karena usaha Damar akan sia-sia belaka, Nyi Gandaruhi tak akan semudah itu dikalahkan. Tak disangka ternyata bidikannya akan mengenai dua mangsa sekaligus, karena pergi ke hutan Larangan sama saja dengan bunuh diri."Damar, sampai saat inipun kau masih memihaknya," gumam Utari sambil melumat habis bunga di tangannya. Tak bisa dipungkiri rasa cemburu itu masih ada. Melihat Damar rela mengorbankan nyawa demi ratu membuat kebencian di dalam dirinya kian bergejolak. Ia semakin berambisi untuk menghancurkan Ratu Sekar Ayu dan kerajaannya.Setelah menerima kabar soal kondisi ratu, Utari segera menemui Pangeran Wiguna untuk membicarakan rencana besar yang akan ia jal