Share

2. SANG PUTRI

Siang hari yang terik di atas Bukit Pujon.

"Ayo anak muda kau pasti bisa. Gunakan otot-otot kuatmu itu," kata si kakek saat Damar mulai menaiki beberapa anak tangga. Damar hanya mengangguk, keringat yang bercucuran sudah cukup mewakili semua usahanya. 

"Semangat, Mar. Kau pasti bisa," kata Parwan menimpali. 

Damar hanya meliriknya dengan tatapan kesal karena Parwan hanya bisa mengoceh saja tanpa ada kontribusi yang nyata. Sementara si kakek terus menyemangati Damar dari atas punggungnya. Ya, pada akhirnya Damar menggendong kakek tua itu. Mau bagaimana lagi, si kakek tak mau diantar dengan kuda, ia juga tak punya cukup uang untuk menyewa kereta. Parwan, sepanjang jalan ia hanya bisa mengeluh. Jangankan menggendong kakek tua itu, membawa badannya sendiri saja ia kesusahan.

"Hei gembul, jangan diam saja. Usap keringat temanmu ini !" kata kakek pada Parwan.

"Aku punya nama, Ki," jawab Parwan kecut.

"Kau tak terima ? kenyataannya memang perutmu itu jauh lebih besar dari tenagamu."

"Nggak ada gigi masih aja ceriwis." Parwan ngedumel kesal mendengar ocehan si kakek tua.

"Apa katamu ?? ku kunyah kau nanti ya." 

"Pakai nasi biar kenyang, Ki."

Damar hanya tersenyum mendengar celotehan mereka berdua. Lumayanlah mereka cukup menghibur Damar yang sudah sangat kelelahan saat itu. Jadi bebannya bisa sedikit berkurang.

"Sudah, sudah disini saja," kata kakek menghentikan langkah Damar.

Akhirnya setelah setapak demi setapak dilalui, mereka sampai juga di depan pintu candi. Saat itu Bukit Pujon sedang ramai dikunjungi oleh orang-orang yang akan melakukan persembahyangan saat bulan purnama. 

"Sudah sampai kita, Ki," kata Damar setelah menurunkan kakek itu dari punggungnya. Sesekali Damar terlihat meregangkan otot-otot lengannya setelah membawa beban berat selama beberapa waktu. 

"Terimakasih banyak anak muda berkat kau aku bisa sampai di tempat suci ini."

"Iya, Ki. Saya senang bisa membantu Aki." 

"Kau memang baik tak seperti temanmu itu yang bisanya cuma ngoceh."

"Aku lagi yang kena," gumam Parwan kesal namun si kakek tak menggubrisnya. Ia malah bicara sendiri dengan Damar tanpa mempedulikan Parwan.

"Sebagai ucapan terimakasih, terimalah ini," kata kakek pada Damar. Kakek tua itu mengeluarkan sebuah gelang kayu dari selah bajunya. Menurutnya itu adalah gelang keberuntungan yang ia dapatkan dari Gunung Wilis saat ia bertapa beberapa tahun yang lalu.

"Aku tak bisa menerimanya. Benda ini pasti sangat berarti untuk Aki," kata Damar menolaknya dengan halus, karena memang ia tak mengarapkan imbalan apapun atas bantuan yang ia berikan itu.

"Di usiaku sekarang ini, aku telah mendapatkan semua yang kuinginkan. Simpanlah, jika kau meolak aku akan tersinggung."

Damar menatap Parwan, seolah meminta persetujuan pada sahabatnya itu. Parwan mengangguk tanda setuju, lalu dengan sangat terpaksa Damar akhirnya menerima gelang itu. Si kakek tampak senang karena Damar telah menerima pemberiannya.

"Lalu buatku mana, Ki ?" gurau Parwan.

"Ini, kau ini saja." Kakek memberinya sebuah kain kecil.

"Apa ini, Ki ?"

"Simpan saja, suatu saat itu akan berguna untukmu."

"Ahh tidak perlu, Ki. Aku hanya bercanda."

"Aku juga bercanda. Hanya selembar kain apa hebatnya ? Hahaha ..."

"Hahahaha ..." Parwan pura-pura tertawa, padahal hatinya dongkol dipermainkan si kakek.

"Baiklah, Ki. Kalau begitu kami pamit," kata Damar.

"Damar, kau tak akan menyesal datang ke tempat ini," kata kakek itu sebelum memasuki candi.

"Loh, Ki ..." Damar berusaha menghentikan kakek itu, namun ia begitu cepat menghilang di antara keramaian.

"Bagaiamana aki tua itu tahu namaku ?"

"Iya juga. Dia juga menghilang begitu cepat. Sakti."

"Ya sudahlah. Ayo kita pulang," ajak Damar. Ia tak mau ambil pusing memikirkan apa maksud kakek tua itu, ia hanya ingin secepatnya pulang karena Mpu Geger pasti telah menunggunya.

Damar berjalan keluar dari pelataran candi. Sebelum sampai di anak tangga, langkahnya tiba-tiba terhenti saat mendengar deru kaki kuda berjalan ke arah candi. Dari kejauhan ia melihat seorang wanita terlihat menunggangi kuda dengan beberapa prajurit di belakangnya. Jelas itu bukan rombongan berkuda biasa, mereka membawa bendera Kerajaan Welirang. Jika bukan pejabat, mereka pasti salah satu anggota keluarga kerajaan. Rombongan itu semakin mendekat, semua orang buru-buru menyingkir agar tak menghalangi para bangsawan itu memasuki area candi. Jantung Damar seketika bergetar setelah melihat wajah penunggang kuda itu.

"Pu, Putri, Putri Sekar Ayu," kata Parwan terbelalak sambil menarik-narik lengan Damar. 

"Beri jalan, beri jalan !!" kata beberapa orang mendorong Damar dan Parwan agar menepi.

"Mar, sini !!" kata Parwan sembari menarik lengan Damar.

Waktu seolah berhenti, keriuhan warga yang sedang bergembira menyambut kedatangan sang putri tak lagi terdengar. Hanya detak jantung yang memburu yang dapat Damar rasakan. Damar masih terpaku menatap ia yang terlihat begitu menawan duduk di atas kudanya. Sekuat tenaga ia berusaha mengatur nafas agar paru-parunya tetap bisa menghirup udara.

"Tak perlu, aku bisa turun sendiri," kata Putri Sekar Ayu saat seorang prajurit hendak membungkuk untuk dijadikan pijakan kaki sang putri saat turun dari kudanya. Suara lembut putri membawa Damar ke alam sadarnya kembali.

Beberapa prajurit meminta orang-orang untuk menepi agar putri dapat berjalan ke tempat persembahyangan dengan aman. Putri Sekar Ayu mulai menaiki satu per satu anak tangga. Rambut panjang indahnya masih terlihat sama, berkilau bak mutiara hitam diterpa oleh sinar matahari. Hembusan angin yang menerbangkan selandang hijau di lengannya membuatnya terlihat semakin mengagumkan. Damar benar-benar tak bisa lagi mengendalikan detak jantungnya saat Putri Sekar Ayu semakin mendekat. 

"Minggir !!" teriak salah satu prajurit pada Damar yang masih mematung, lalu Parwan buru-buru membawanya menepi.

"Hei pemuda, tundukkan pandanganmu !!" bentak prajurit lagi.

"Prajurit, tak perlu kau sekasar itu," kata Putri Sekar Ayu memperingatkan prajuritnya. Damar langsung menundukkan pandangannya.

"Ampun, Gusti," jawab prajurit itu. 

Putri Sekar Ayu kembali melanjutkan perjalanannya. Hembusan Angin menerbangkan semerbak wewangian dari tubuhnya. Damar, dada pria itu semakin sesak. Untuk sesaat ia hanya bisa memejamkan matanya berusaha menahan gejolak yang semakin tak terkendali.

"Tunggu, Putri ... !!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status