Share

Pertemuan dengan Brian

“Kau baik-baik saja?” tanya Brian dengan suara basnya. Clara bingung menatapnya. Sementara Rio terpatung melihat sikap temannya itu.

“Ah iya, aku baik-baik saja. Terimakasih,” ucap Clara tersenyum kikuk.

Rio mendekat dan menggeser Clara untuk menjauh dari Brian.

“Clara, sudah berapa kali aku bilang, kenapa kau masih terus mengikutiku hah?” tanya Rio berbisik.

“Aku tidak mengikutimu, aku kesini untuk makan malam juga,” elak Clara dan menatap tajam pada Rio.

“Kalian saling kenal?” tanya Brian penasaran.

“Tidak!”

“Iya.”

Clara dan Rio menjawab bersamaan. Mereka saling menatap tajam karena jawaban yang berbeda.

“Wah, jadi kalian ini apa? Yang satu bilang iya, yang satunya lagi tidak?” tanya Brian lagi dengan tersenyum lebar. Membuat Clara berdebar dan semakin terpesona.

“Uh, wajahmu memerah. Apa kau demam?” tanya Brian lagi menunjuk wajah Clara.

“Merah apanya, dia memang seperti itu. Dandanannya suka berlebihan,” jawan Rio menatap Clara yang memegang wajahnya yang memanas.

“Apa kau sudah makan malam? Sepertinya kalian beneran saling kenal mendengar jawabanmu,” ucap Brian menatap keakraban keduanya. Rio menatap tajam ke arah Brian.

“Ayo kita makan bersama,” ajak Brian lagi.

“Ah tidak perlu, aku bisa makan sendirian kok,” tolak Clara tak enak. Sementara Rio terus menatap tajam.

“Kenapa? Apa kau tidak suka makan bersama denganku?” tanya Brian dengan nada yang sangat rendah dan tatapan mata yang sedih. Clara semakin merasa tidak enak dan tidak bisa menolaknya.

“Baiklah, jika kau memaksa,” ucap Clara mengiyakan. Brian tersenyum dan menarik kursi untuk Clara duduk di sampingnya. Rio menatap tidak percaya.

“Wahh, apa kau tidak bisa menolak pria tampan?” tanya Rio menyindir Clara.

“Apa maksudmu? Aku kan terpaksa, kenapa juga temanmu harus tampan seperti itu!” seru Clara mendelik pada Rio.

“Permisi, kami mau pesan lagi,” ucap Brian memanggil pelayan dan langsung datang.

“Kamu mau pesan apa? Ah aku belum sempat menanyakan namamu. Jadi, siapa nama pemilik wajah cantik sepertimu ini?” tanya Brian dan membuat Clara tersipu malu.

“Ah aku tidak terlalu cantik seperti itu, Clara. Namaku Clara,” jawab Clara malu-malu. Ia bahkan memegangi wajahnya yang memerah.

“Clara, nama yang cantik. Seperti orangnya. Aku Brian. Kau satu kantor dengan Rio?” ucap Brian dengan tersenyum manis. Clara semakin terpesona.

“Iya,” jawab Clara mengangguk pelan-pelan.

“Cih! Apa itu? Kalian mau pesan apa? Kasian dia sudah jamuran dan lumutan menunggu moment mesra kalian,” sela Rio dan memberikan tisu pada pelayan itu.

“Hapus lumutanmu!” ucap Rio lagi bercanda.

“Hmm, jadi kita pesan apa ya. Apa kau mau pasta? Sepertinya pasta kerang dara terlihat enak,” ucap Brian membaca buku menu. Clara hanya tersenyum malu.

“Boleh, aku juga pesan itu saja.”

Rio menatap tak suka dengan kedekatan keduanya. Ia mendelik kesal.

“Steak! Apa kau tidak tau kalau makanan yang paling populer di sini itu adalah steak!” seru Rio dan membuat Brian serta Clara menatap kaget.

“Maaf Pak, tapi kami tidak menjual steak. Ini restoran pasta,” sela pelayan itu dengan tidak enak. Rio menatap kaget.

“Apa? Sejak kapan di sini tidak ada steak?”

“Pak Rio, nama restorannya saja Pasta Resto. Kenapa kau memesan yang tidak ada di menu,” tegur Clara berbisik.

“Ah ... aku sepertinya salah ingat. Kalau begitu aku pesan pasta yang paling mahal di sini,” pesan Rio menutup buku menunya.

“Kalau begitu tiga porsi pasta kerang dara. Minumnya apa?” ucap pelayan itu menyebutkan kembali pesanan mereka.

“Cola, aku mau cola,” jawab Clara.

“Cola? Aku juga. Kau?” tanya Brian pada Rio.

“Apa di sini juga tidak ada wine?” tanya Rio dengan polosnya. Clara mendelik kaget.

“Pak Rio!”

“Apa lagi?”

“Ini bukan restoran yang seperti itu!” ucap Clara melotot pada Rio.

“Apa? Aku hanya bertanya. Kalau begitu cola juga.”

“Baik, tiga porsi pasta kerang dara dan tiga cola. Silahkan ditunggu,” ucap pelayan itu dan pergi dari sana.

“Pak Rio kau membuat kita sangat malu. Kenapa kau tidak hapal di sini ada apa saja,” ucap Clara kesal.

“Kau yang membuat malu! Kenapa kau sampai terjatuh tadi. Dan lihat itu, apa kau tidak merasa tidak nyaman dengan pakaian basah dan kotor seperti itu?” tanya Rio menatap Clara yang masih memakai bajunya basah dan penuh dengan jus. Juga jas yang disematkan di bahu Clara.

“Kau merasa tidak nyaman?” tanya Brian pada Clara.

“Ah, tidak apa-apa kok. Tidak ada yang memperhatikan. Lagi pula kita hanya harus makan dan langsung pulang bukan?” ucap Clara mencoba menahan diri.

“Apanya tidak tidak diperhatikan? Semua orang di sini terus saja menatap dirimu yang sangat berantakan itu!”

“Tidak bisa seperti ini, ayo ikut!” ajak Brian dan menarik tangan Clara untuk keluar dari restoran itu.

Brian membawa Clara ke mobilnya. Ia pun mengeluarkan sebuah gaun mini berwarna hitam.

“Pakai ini, aku tidak tau jika kau yang akan memakai untuk pertama kalinya. Tapi, ini gaun pertama yang aku rancang sendiri. Kupikir pas di tubuhmu,” ucap Brian dengan tersenyum senang.

“Apa? Tidak perlu, padahal begini saja sudah cukup. Aku tidak bisa memakainya,” tolak Clara tidak enak.

“Ayolah, aku sangat berharap kau bisa memakai ini. Jika semua orang menatapmu dengan tatapan yang terpesona, itu berarti aku berhasil membuat sebuah pakaian yang sangat luar biasa.”

“Eiy ... apa kau menjadikanku kelinci percobaan?”

“Tidak. Aku hanya berpikir, bahwa gaunku ini akan sangat cocok jika dipakai oleh wanita secantik dirimu,” puji Brian. Clara malu mendengarnya.

“Kau bilang, aku cantik?” tanya Clara tak menyangka.

“Tentu saja. Memangnya kau tidak cantik? Tapi menurutku, kau termasuk wanita yang mempesona. Jika kau memberikan aku waktu, mungkin saja aku akan jatuh cinta padamu,” goda Brian.

“Astaga, kau tidak perlu berbohong begitu hanya agar aku memakai gaunmu.”

“Aku tidak berbohong. Karena itu, pakailah. Tunjukkan pada semua orang itu, bahwa kau adalah wanita yang sangat cantik dan menganggumkan,” ucap Brian tulus. Clara merasa tersanjung. Ia pun mengambil gaun itu dan membawanya ke toilet.

***

Brian sudah kembali ke mejanya. Pesanan ketiganya sudah diantar. Rio menatap bingung.

“Apa kau menyuruhnya pulang?” tanya Rio penasaran.

“Apa? Kenapa aku harus menyuruhnya pulang? Kau ingatkan kalau aku akan membuat sebuah pakaian yang sangat indah. Aku sudah membuat beberapa gaun, dan aku memintanya untuk memakai salah satu gaun buatanku.”

“Apa? Hei, dia tidak cocok sama sekali memakai gaun. Kau hanya akan mempermalukan dirimu sendiri,” sergah Rio tak setuju.

“Mana mungkin. Dia sangat cantik. Jadi, gaunku pun pasti akan sangat cantik saat dia memakainya,” jelas Brian dengang tersenyum senang.

“Wah ... apa ini? Apa kau sudah jatuh cinta pada pandangan pertama? Kenapa kau tersenyum seperti itu?” tebak Rio tak percaya. Brian hanya tersenyum malu. Rio geleng-geleng kepala tak percaya.

Hingga sebuah langkah sepatu heels terdengar sangat nyaring. Waktu seakan terhenti, saat Clara dengan balutan gaun berwarna hitam glamor dengan berlian di seluruh sisi gaunnya. Berpencar bagai berlian yang sedang berjalan. Dengan rambut yang digulung ke atas. Clara dengan percaya diri berjalan memasuki restoran itu dan melangkah ke arah mejar Rio dan Brian.

Semua mata memandang ke arah dirinya. Terpesona akan kecantikan yang terpancar anggun dan polos. Clara tersenyum ke arah Rio dan Brian. Brian tersenyum lebar terpesona akan paras cantiknya Clara. Sementara Rio terdiam. Tanpa ekspresi, namun bola matanya melebar seakan tidak percaya dengan pancaran kecantikan yang Clara berikan. Ia terpesona.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status