SEBUAH kereta kencana putih bertakhta emas dengan logo tiga kepala yang memiliki rupa berbeda tersemat di bagian belakangnya, mendarat mulus di pelataran kastil milik Leon. Benda tersebut terlihat sangat menyilaukan mata.
Di bagian depannya, seekor kuda besar dengan sayap hitam yang terbentang indah menarik kereta kencana itu. Hampir keseluruhan warna matanya berwarna putih. Terlihat mengerikan layaknya makhluk tidak bernyawa.
Kendati demikian, penampilan kereta kencana itu tampak mengagumkan. Terutama ketika melakukan putaran seperti ombak terlebih dahulu di atas langit, sebelum akhirnya mendarat di tanah. Atraksi yang sangat menakjubkan bagi manusia seperti Felen. Ia seperti melihat dongeng yang menjadi kenyataan.
Di dunia manusia, keajaiban seperti itu tidak akan mungkin bisa Felen lihat. Lalu, hal yang paling mengherankan adalah kenyataan bahwa kereta kencana tersebut tidak memiliki kusir yang mengendalikan.
"Salam, Your Majesty." Suara berat bernada rendah terdengar dari arah kuda hitam yang menarik kereta kencana tersebut. Kepalanya ikut tertunduk dalam memperlihatkan kesopanan layaknya bangsawan.
Kekagetan seketika melingkupi diri Felen ketika mengetahui bahwa hewan tersebut bisa berbicara-- bahkan memiliki suara maskulin yang nyaman untuk didengar. Hal lain yang membuat Felen terperanjat adalah kemunculan Leon yang tiba-tiba dengan aura gelap yang menguar kuat dari tubuhnya.
"Lama tidak bertemu, Zeron." Ucapan santai bernada tegas penuh kekuasaan tersebut berasal dari Leon.
"Saya datang untuk menjemput Anda dan Nona Felenia atas perintah Tuan Asmodeus," ucap Kuda hitam bernama Zeron tersebut. Masih dengan kesopanan, yang bagi Felen, terkesan berlebihan.
Kemudian, tiba-tiba saja pintu kereta kencana di hadapannya terbuka sendiri setelah Zeron mengatakan itu.
Leon mengulurkan tangan pada Felen untuk membantu gadis itu naik ke atas kereta kencana yang cukup tinggi.
"Ayo! Hmm ... atau kau lebih suka naik sendiri?"
Pertanyaan bernada menyebalkan itu dibalas oleh decak pelan dari Felen. Tanpa diperintah dua kali, gadis itu meraih tangan Leon, dan masuk ke dalam kereta kencana dengan gerakkan anggun. Tubuh ramping berlekuknya yang dibalut gaun selutut bercorak snow flake dengan mantel putih berbulu semakin terlihat menonjolkan sisi femininnya.
Setelahnya, Leon menyusul masuk dan duduk di sisi lain kursi. Tidak lama kereta kencana yang mereka naiki perlahan terbang semakin tinggi setelah Zeron-- si kuda jantan hitam, meringkik kencang.
‘Sepertinya seekor kuda di dunia iblis tetaplah seekor kuda’ ucap Felen dalam hati ketika mendengar ringkik Zeron yang menyakitkan gendang telinga.
Pemandangan Devil Reign dari atas langit berhasil membuat Felen terpana akan keindahannya. Meski nuansa kelam sangat kental, keindahan tersebut tidak berkurang-- bahkan semakin terlihat menonjol karena keunikannya.
Lilin yang dinyalakan di setiap tempat serta sepanjang jalan setapak memberikan kesan gemerlap. Seolah menegaskan indikasi bahwa di tempat tergelap sekali pun, seperti dunia iblis, cahaya memiliki tempat tersendiri untuk memancarkan sinarnya.
"Kau menikmati pemandangannya?" tanya Leon penasaran, melihat Felen tidak mengalihkan sedikit pun tatapannya dari jendela.
"Ya, sangat. Ini sangat indah."
Sejenak hening menghampiri, lalu Leon kembali melanjutkan ucapannya.
"Kau ternyata memang manusia yang cukup aneh."
Kali ini Felen mengubah atensi. Pernyataan Leon yang lebih seperti mengatai dan mengejek sangat mengganggu di telinga. Dahi gadis itu mengernyit, dan ekspresi wajahnya yang cerah seketika berubah menjadi kesal.
"Aku tidak mau mendengar kalimat seperti itu dari iblis aneh sepertimu," ketus Felen sembari mendelik tajam ke arah Leon. Ia lalu melihat ke arah luar, dan mencoba kembali menikmati pemandangan di luar sana.
Sikap Felen yang jauh dari kata sopan tidak membuat Leon marah atau pun kesal. Iblis itu justru merasa terhibur hingga tawa senangnya mengalun merdu dengan cukup keras. Selain Felen, tidak akan ada yang berani memperlakukan Leon seperti itu. Kepala mereka akan melayang putus lebih dahulu sebelum sempat menghinanya.
"Semakin hari, kau semakin terlihat lezat untuk dimakan," ucapnya ambigu.
Kata dimakan yang keluar dari bibir Leon membuat tubuh Felen bergidik. Ia memilih mengabaikan pria itu, dan berpura-berpura tidak mendengar perkataan Leon.
Tak lama kereta kencana mulai turun, dan berhenti di sebuah lapangan luas yang dikelilingi oleh rumput putih. Tepat di depan bangunan yang merupakan sekolah itu, sudah berdiri seorang pria berpakaian pelayan menyambut kedatangan Felen dan Leon ketika mereka turun dari kereta kencana.
"Selamat datang di Academy of אשמדאי (Ashmedai), Your Majesty dan Nona Felenia," ucap pria itu sembari menunduk hormat. Seulas senyum dingin terbit di bibirnya.
Leon hanya mengangguk singkat. Sedangkan Felen masih memerhatikan keadaan sekitar, termasuk bangunan besar nan luas yang berada di hadapannya. Hampir keseluruhan warna bangunan tersebut berwarna coklat muda, kecuali atapnya yang berwarna putih bersih.
Academy of אשמדאי (Ashmedai) adalah sekolah untuk para bangsawan iblis. Namun untuk berbagai alasan, beberapa ratus tahun lalu setelah Asmodeus --Lord of Lechery, The Avatar of Lust menjadi pemegang kekuasaan tertinggi, iblis yang menjadi bawahan setia Lucifer itu mengganti hampir keseluruhan isi sekolah tersebut. Termasuk regulasi dan nama sekolah itu sendiri.
Salah satu regulasi yang menjadi kontroversi di kalangan para bangsawan iblis adalah tentang pertukaran pelajar dari dunia manusia dan Celestial Realm. Meski awalnya mendapatkan penolakan keras, pada akhirnya regulasi tersebut disetujui, dan Devil Reign menjalin hubungan ‘baik’ dengan dua dunia itu.
Utusan-- atau yang lebih dikenal dengan sebutan siswa pertukaran pelajar tersebut setiap beberapa puluh tahun sekali diganti setelah mendapatkan predikat lulus. Jadi, Felenia bukanlah satu-satunya manusia yang menjadi siswa di Academy of אשמדאי (Ashmedai).
"Perkenalkan saya Atheris. Saya yang akan menjelaskan beberapa hal sekaligus mengantarkan Anda ke ruang kelas, Nona Felenia."
Pria di depannya, menurut Felen adalah makhluk ternormal yang ia lihat sampai saat ini meski hanya dari segi fisik. Setidaknya, tidak ada ekor panjang atau pun telinga runcing seperti hewan.
Sebelum mengiyakan Atheris, Felen melihat ke arah Leon. Bagaimana pun pria bernama Atheris itu tetap lah seorang iblis terlepas dari sosok fisiknya yang terlihat seperti manusia. Felen tidak bisa begitu saja mengikutinya. Ia hampir mati sebanyak dua kali, dan merasakannya untuk ketiga kali bukan lah pilihan yang akan Felen ambil.
"Pergi lah. Semoga kau bersenang-senang. Lagi pula, hari ini kau datang untuk tur dan perkenalan saja."
Ucapan Leon yang bernada lembut justru membuat bulu roma Felen merinding. Puncak kepalanya yang diusap secara perlahan semakin menumbuhkan rasa gelisah dalam diri gadis itu.
Sikap murah hati Leon saat ini adalah kebalikan dari sifat pria itu. Tentunya hal tersebut membuat Felen menaruh kecurigaan yang besar. Kalimat pria itu yang memintanya untuk bersenang-senang seolah memiliki makna tersembunyi.
Saat Felen kembali memusatkan atensi pada Atheris, Leon sudah menghilang begitu saja tanpa jejak, meninggalkan Felen dengan seorang iblis yang baru pertama kali ia temui.
Lalu, sebentar lagi dirinya akan dikelilingi berbagai macam iblis-- yang berperan sebagai siswa, dengan sifat keji mereka yang khas. Hanya dengan membayangkannya saja Felen bergidik ngeri.
"Mari, Nona." Atheris memperlakukan Felen seperti gadis bangsawan.
Selama mengelilingi koridor dan ruang yang berada di sana, Atheris menjelaskan beberapa poin penting yang harus Felen ketahui. Salah satunya adalah tentang peraturan untuk siswa yang menurut Felen sangat ketat. Ia bisa sedikit bernapas lega ketika mendengar isi peraturan tersebut.Para siswa dan siswi tidak diizinkan untuk saling membunuh. Itu lah peraturan nomor satu, dan sangat krusial.
"Ini kelas Anda, Nona Felenia."
Atheris mengantarkan Felen pada suatu ruangan, lalu setelah pamit, pria itu menghilang begitu saja bagai debu. Sama seperti yang pernah dilakukan Leon dan Adrien-- si pelayan tua di kastil Leon.
Felen menarik napas panjang sebelum mengetuk pintu ganda di hadapannya. Kepalan tangan gadis itu yang terulur ke depan berkeringat dingin. Ia merasa gugup sekaligus ketakutan untuk menghadapi hal yang berada di balik pintu itu.
Tok tok tok.
Tiga kali gadis itu mengetuk, dan pintu pun terbuka menampilkan pria berkemeja hitam. Rambut panjangnya yang berwarna perak sangat menarik perhatian. Tiap helainya berkilau indah. Felen seolah melihat sesosok malaikat tak bersayap.
"Ah ... !" Tanpa sadar Felen terkesiap saking terkesimanya.
"Apa kau anak baru yang datang untuk melihat lihat?" tanya pria itu tanpa ekspresi berarti setelah Felen tidak juga mengatakan apa pun, apalagi memperkenalkan diri.
"Ah ... benar. Aku siswa baru. Namaku Felenia Sashenka Henzie." Felen menjawab lugas meski sempat terpaku sejenak.
"Begitukah? Masuk lah."
Pria itu masih tampak tidak peduli, dan terlihat tidak tertarik sama sekali. Felen mengikuti pria yang sepertinya merupakan guru itu untuk masuk ke dalam ruang kelas. Saat memasuki ruangan dengan deretan meja dan kursi yang berjajar rapi menanjak dari bawah ke atas, tidak ada satu pun siswa yang memerhatikan kedatangan Felen. Mereka memilih sibuk sendiri dengan urusannya.
Ruangan tersebut hening, seolah tidak terdapat kehidupan di sana. Padahal beberapa iblis dan makhluk lainnya tengah duduk di kursi mereka dengan tenang. Namun, hawa keberadaan mereka tidak terasa sama sekali.
"Apa kau membawa surat penerimaanmu sebagai siswa di sini?"
Felen teringat surat yang diberikan Leon sebelum pergi ke Academy of אשמדאי (Ashmedai). Ia mengeluarkan kertas yang diikat oleh pita emas itu, dan memberikan kertas tersebut pada pria berambut perak di hadapannya.
Saat pria itu menerima surat penerimaannya, pita emas yang tersemat di sana terlepas, dan kertas itu terbuka dengan sendirinya.
"Felenia Sashenka Henzie," ucapnya dengan suara cukup keras sehingga hampir semua iblis dan makhluk di sana bisa mendengar jelas.
Lalu sebuah pertanyaan yang tak terduga keluar dari mulut pria itu.
"Apa kau manusia yang membuat kontrak dengan Yang Mulia Agung Lucifer, dan menjadi calon pengantinnya?"
Ekspresi pria itu sedikit berubah. Kini, ia menampilkan wajah tidak suka yang sangat kentara sekali ditunjukkan pada Felen. Bukan hanya pria itu saja yang sikapnya berubah, tetapi hampir seluruh makhluk-- terutama para iblis, yang berada di dalam ruang kelas itu menampilkan ekspresi berbeda dari sebelumnya.
Mereka mulai memerhatikan Felen dengan tatapan tertarik. Mata mereka menggelap ketika nama sebenarnya Leon-- yaitu Lucifer, disebutkan. Seketika itu juga tubuh Felen menggigil saat merasakan niat jahat yang tertuju padanya. Termasuk dari seorang wanita yang duduk di jajaran belakang, dekat dengan jendela besar yang terbuka. Rambut emasnya tertiup halus oleh angin. Meski bibirnya tersenyum, matanya yang dingin menghunus tajam tepat pada Felen.
***
"What is a being like you doing in the sanctuary of the sleeping souls?" A short boy with blond hair greeted Leon at the entrance to the Spirit Realm. Even though the child was small in stature, an aura of dexterity emanated from him, as if to emphasize to anyone who came that he was not a being to be underestimated. "Tell me your goal!" said the boy proudly. Leon sighed lazily. He was quite annoyed with the arrogant attitude of the half-hearted creature. But he refrained from destroying the place, it was all for the sake of regaining half of Felen's soul that was confined in the Spirit Realm.If Leon made such a fuss there, it was certain that he would not be able to enter and his plan to obtain Felen's soul failed. "I came to retrieve the soul of someone who was accidentally sent here," Leon answered straightforwardly. The boy's eyes narrowed sharply. He scanned Leon from top to bottom. There was nothing unusual about the man's appearance, silver hair that was almost white with
Barend yang tengah memerhatikan langit-langit, beralih menatap Felen dan Abelard, dan untuk pertama kali selama hidupnya ia memberikan senyum tulus pada kedua anaknya itu. "Terima kasih ... aku akhirnya bisa bersatu kembali dengan Aghnya."Keheningan mengambil alih. Hanya suara rintihan pelan serta napas putus-putus Barend yang terdengar. Setelah beberapa menit berlalu, tubuh Barend tidak lagi bernapas. Pria itu pergi dengan senyum damai di bibir.‘Semudah itu?’ Hati Felen menjerit pilu. Antara senang dan sedih, ia tidak bisa menentukan. Ia tertawa kosong. Belati yang berada di tangan jatuh ke lantai, menimbulkan bunyi nyaring yang menyentak Abelard dari lamunan.Secara refleks Abelard segera menahan tubuh Felen yang hampir luruh ke lantai, bergetar tak terkendali hingga membuatnya khawatir dengan keadaan psikologis gadis itu. "Felenia?" panggilnya hati-hati setelah mendudukkan Felen di kursi."Kau tahu, Abelard? Aku mempersiapkan semua
Felen mengacungkan belati ke leher Barend. Sedikit saja ia maju, leher pria itu pasti langsung robek. "Cukup. Hentikan omong kosongmu itu!" serunya keras. Air mata yang tadi berkumpul di pelupuk mata sudah leleh ke pipi.Ocehan Barend seketika terhenti.Semakin Felen membiarkan Barend berbicara, semakin pria itu mengatakan banyak hal yang membuat ia muak. "Apa yang Abelard katakan ternyata salah." Suaranya sedikit bergetar, tetapi penuh dengan ketegasan."Kau hanya memedulikan dirimu sendiri." Felen bangkit dari kursi, masih dengan belati yang mengacung kurang dari lima sentimeter di leher Barend. Perlahan ia bergerak memutari meja agar memudahkan dirinya untuk menyerang Barend apabila pria itu bertindak anarkis. Ia bisa langsung menancapkan belati tersebut jikalau hal itu terjadi.Perkataan Barend sebelumnya yang mengatakan bahwa Aghnya wanita murahan membuat Felen geram. Memang benar pria itu telah meminta maaf, tetapi permintaan maaf tersebut terdengar
Ketika Felen membuka mata, ia telah berdiri di pelataran manor keluarga Leister. Bangunan itu tampak megah, tetapi diliputi oleh kekosongan layaknya bangunan tak berpenghuni. Tak terlihat satu pun pelayan yang lalu lalang. Aura yang menguar dari bangunan tersebut juga tampak sangat suram dan gelap."Apa-apaan ini?" Leon lebih dahulu bersuara. Dahinya berkerut dalam dengan mata menyipit tajam.Bukan hanya Felen yang merasakan keanehan di manor itu, tetapi Leon juga menyadari bahwa sesuatu telah terjadi di sana. Energi hitam yang saling bertubrukan di sana terlihat sangat kacau dan aneh seolah dilakukan dengan sengaja. Terlebih, ia merasakan energi saudara-saudaranya, para pangeran kegelapan.Leon maju beberapa langkah dengan tangan terulur ke depan. Ketika tangannya menyentuh udara kosong, tiba-tiba saja muncul listrik statis yang melukai tangannya hingga melepuh. Seolah terdapat prisai tak kasat mata yang menolak kehadirannya untuk lebih dalam memasuki manor.
Rencana makan siang dengan Abelard batal dilaksanakan, dan sebagai gantinya Felen diajak sarapan bersama. Hanya mereka berdua yang berada di ruang makan tersebut. Leon memilih diam di dalam kamar bersama Gruga dengan alasan ingin memberi Felen, dan Abelard untuk berbicara berdua dengan leluasa.Sarapan Felen telah habis. Saat ini ia tengah minum teh dengan Abelard. Suasana di ruang makan sangat hening. Hanya embusan napas pelan milik Felen dan Abelard yang menjadi satu-satunya suara. Para pelayan telah lama pergi memberi ruang bagi kedua manusia itu, tetapi sejak tadi Abelard belum juga mengeluarkan suara. Meningkatkan kecemasan dalam diri Felen kian menguat. Beberapa kali ia melirik ke arah Abelard, lalu ke arah jam yang anehnya tidak berdetak. Seolah waktu terhenti di dalam ruangan itu."Aku menagih hal yang mau kau sampaikan kemarin, Abelard." Abelard tidak tampak berniat untuk segera menjelaskan perihal perkataannya waktu itu, hingga Felen berinisiatif sendiri. Sua
Felen menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Meski tidak melakukan kegiatan berat yang menguras tenaga, energinya terasa habis tak tersisa setelah berbicara panjang lebar dengan Abelard. Apalagi setelah makan siang, adiknya itu ingin mengutarakan hal lain yang tidak kalah penting. Helaan napas lelah pun tanpa bisa ditahan keluar dari sela bibir.Saat ini Felen berada di vila milik keluarga Leister. Awalnya ia menolak, dan ingin langsung menghampiri Barend. Terutama setelah mengetahui kebusukan yang telah dilakukan ayahnya itu. Namun, atas saran Abelard dan perintah Leon, Felen menunda niat tersebut.Kedua mata Felen yang tadi terpejam, terbuka perlahan. Ia melirik pada Leon yang bergeming sembari menatap keluar jendela. Tetesan air yang turun dari langit perlahan mulai membasahi bumi. Suaranya yang konstan memberi kenyamanan di ruangan yang diterpa keheningan tersebut."Aneh melihatmu hanya diam sejak tadi." Felen memecah kesunyian di antara mereka setelah meli