Share

2. Kucing Hitam

Keributan besar itu terjadi di pagi hari di mana hujan lebat tengah mengguyur dengan derasnya. Barend dan Aghnya bertengkar hebat hingga beberapa ornamen jatuh pecah di lantai. Ia tidak mengetahui alasan yang melatar belakangi pertengkaran orang tuanya tersebut.

Namun, Felen yang menguping pembicaraan para pelayan akhirnya memahami kalau Barend dan Aghnya tengah meributkan tentang dirinya. Barend bersikeras bahwa Felen tidak mungkin menjadi kepala keluarga karena ia seorang perempuan, tetapi Aghnya tidak terima dan bersikeras untuk menjadikan Felen satu-satunya pewaris keluarga.

"Lalu kau mau bagaimana? Kau hanya memiliki satu anak saja, Barend!" teriak Aghnya frustrasi.

Barend yang tidak terima karena Aghnya berteriak keras padanya ikut membalas dengan berteriak. "Jaga nada bicaramu, Aghnya! Siapa bilang aku hanya memiliki satu anak?" Senyum pongah tersemat di bibir Barend.

" ... A-apa maksudmu?" Kedua bola mata Aghnya membesar ketika mendengar kalimat Barend.

"Seperti yang kau dengar barusan. Aku tidak hanya memiliki satu anak, tetapi dua anak bahkan mungkin lebih. Yang pasti satu anak laki-laki akan menjadi penerusku," jelas Barend dengan raut wajah yang kini berubah datar.

Aghnya menatap lekat netra hijau suaminya, dan ia tidak menemukan jejak kebohongan di sana. Barend mengatakan hal yang sebenarnya. Kejujuran yang menyakitkan.

"Kau ... berselingkuh dariku?" Suara Aghnya bergetar. Hatinya seperti ditusuk oleh ribuan jarum yang sangat tajam.

"Seperti kau yang menghianatiku dengan pria rendahan itu, aku pun bisa Aghnya. Entah berapa banyak wanita di luar sana yang sudah aku gauli dan mungkin berhasil mengandung anakku."

"Aku sudah bilang kalau kau salah paham tentang itu. Aku tidak pernah berselingkuh darimu sekali pun." Aghnya menyahut cepat. Air mata di pelupuk wanita itu luruh tanpa bisa ditahan. Barend yang membeberkan perselingkuhannya sendiri menghancurkan hati Aghnya hingga berkeping-keping. Terutama ketika mengetahui kalau suami yang ia cintai memiliki anak dari wanita lain.

"Kau bohong ‘kan? Kau tidak mungkin mengkhianatiku?"

Penampilan Aghnya yang biasa terlihat anggun kini berubah 180 derajat. Wanita bermartabat itu terlihat menyedihkan dan memprihatinkan. Ia yang mencoba menyangkal kenyataan yang berada di hadapannya membuat Aghnya tampak sangat kacau. Namun, Barend tidak berniat menghibur istrinya itu.

Barend mendesah pelan. Kerutan di dahi pria itu bertambah banyak seiring dengan luruhnya tubuh lemah Aghnya ke lantai. "Itulah kenyataannya, Aghnya. Aku akan segera membawa anak laki-lakiku ke sini untuk mendapatkan bimbingan sebagai pewaris sah,"  tandas Barend tegas.

Sejenak keheningan melanda di antara keduanya. Kemudian, Aghnya bertanya lirih dengan nada nyaris tanpa emosi.

"Apa kau juga akan membawa wanita itu ke sini?"

"Ya, tapi tidak sekarang. Aku akan membawanya setelah Felenia merayakan Debutante-nya." Kali ini senyum kecut terbit di wajah rupawan Barend.

Setelahnya, Barend pergi meninggalkan Aghnya yang masih terduduk di lantai, terisak keras meratapi nasib yang tengah menimpanya. Hal ini menjadi pukulan berat bagi Aghnya.

Para pelayan yang sejak tadi hanya memerhatikan dari kejauhan mulai membereskan pecahan ornamen yang berserakan sesuai dengan perintah Barend. Pun, dengan Felen yang tadi ikut menguping di belakang pintu, keluar lalu menghampiri Aghnya dengan langkah ragu.

"Mommy, kau tidak apa-apa?" Felen mengulurkan tangan demi membantu Aghnya untuk berdiri, tetapi tangannya langsung ditepis kasar oleh ibunya itu.

"Jangan coba-coba menyentuhku." 

Nada kebencian dari suara Aghnya yang baru pertama kali Felen dengar membuat gadis itu terpaku. Ibunya yang biasa berbicara dengan lembut tidak lagi ada. 

"Pergi!" bentak Aghnya kasar. Ia bahkan mendorong kuat Felen hingga tersungkur ke belakang, kemudian berlari menuju ke kamarnya. Tidak menyadari kalau tindakan impulsifnya membuat kedua telapak tangan Felen terluka oleh pecahan kaca.

"Perih ... " cicit Felen sembari melihat telapak tangannya yang mengeluarkan darah.

Pelayan yang sedang membersihkan ruangan tersebut seketika menghampiri Felen dengan raut wajah cemas. "Nona, tangan Anda berdarah. Kita harus segera mengobatinya agar tidak infeksi."

Pelayan tersebut membantu Felen berdiri. Ia berhati-hati agar tidak menyentuh luka di tangan gadis belia itu. "Ayo Nona, saya akan mengantar Anda ke kamar," ucapnya dengan senyum tipis.

Felen menyadari pandangan iba dari para pelayan, tetapi ia tidak terlalu memedulikannya karena pikiran gadis itu penuh dengan ibunya. Felen lebih mengkhawatirkan keadaan Aghnya daripada kondisinya sendiri. Meski ia tidak sepenuhnya memahami pembicaraan Barend dan Aghnya, namun dirinya cukup mengerti kalau Aghnya tengah terpuruk sangat dalam.

"Tolong lihat kondisi ibuku. Aku yakin beliau tidak sedang baik-baik saja." Felen meminta tolong pada pelayan tersebut setelah pelayan itu mengantarnya ke kamar sekaligus mengobati luka di tangan Felen.

"Tentu, Nona," balas pelayan tersebut, masih dengan senyum tulus di bibir.

Setelah kepergian pelayan itu, Felen memilih memerhatikan hujan dari balik jendela besar di kamar. Pandangan gadis itu tampak kebingungan dan kalut. Usahanya selama ini untuk menjadi penerus ayahnya berakhir tidak berarti karena Barend sudah menemukan calon yang tepat sebagai kepala keluarga selanjutnya.

Pembuktian Felen untuk membanggakan Barend dan Aghnya tidak lagi penting. Gadis itu saat ini tengah ketakutan karena tempatnya akan diambil alih, dan ia mungkin akan kehilangan kasih sayang Barend yang berusaha ia gapai dengan susah payah.

"Aku harus bagaimana ... ?"

Pertanyaan tersebut hanya dibalas oleh embusan angin dingin dari balkon kamar yang terbuka, dan suara kucing mengeong yang entah datang dari mana. Sontak saja fokus Felen langsung teralih pada kucing berbulu hitam legam tersebut.

"Kucing?" Felen menghampiri kucing yang tampak basah oleh air hujan itu.

"Kamarku di lantai dua. Bagaimana bisa kau naik kemari padahal tidak ada pohon di depan balkonku?" tanya Felen kebingungan. Netra emerald-nya menatap jernih ke arah kucing yang tengah menunduk memandikan bulunya tersebut.

"Miaw ... " Kucing tersebut mengeong seolah meminta Felen membantu mengeringkan bulu hitamnya.

Sejenak Felen tertegun ketika melihat bola mata emas kucing tersebut yang menatap lurus padanya. Ia terpukau dengan keindahan warna mata kucing itu yang tampak unik. Lengan gadis itu terulur untuk menyentuh kepala kucing yang hanya berukuran segenggam kepalan tangan, tetapi tertahan karena kucing tersebut langsung menghindar ke samping.

"Ah ... " Seolah baru tersadar dengan yang dilakukannya, Felen kemudian berdiri dan mengambil handuk putih miliknya.

"Biarkan aku membantu mengeringkan bulumu, ya?" Kali ini Felen meminta izin terlebih dahulu sebelum menyentuh kucing tersebut.

Kucing itu pun menghampiri Felen, tidak seperti sebelumnya yang menghindar. Seolah memberikan tanda bahwa Felen boleh menyentuhnya. Felen melingkupi seluruh tubuh kucing tersebut dengan handuk, lalu memindahkannya ke atas ranjang. Ia mengeringkan setiap helai bulu kucing dengan perlahan.

Ketika konsentrasi Felen tengah fokus pada kucing tersebut, pintu kamarnya yang dibuka paksa secara terburu-buru mengejutkan gadis itu. Aghnya yang menerobos masuk langsung berlari kencang ke arah Felen. Kedua matanya yang tampak kosong, namun memendam amarah besar membuat Felen sedikit bergidik.

Felen tidak bergerak dari posisinya sedikit pun. Bahkan ketika Aghnya mulai menyerang dengan pukulan-pukulan beserta teriakkan penuh amarah dan kesedihan yang menyayat hati, ia tetap diam menerima amukan ibunya itu. Felen hanya terisak pelan melihat Aghnya yang kehilangan kontrol diri.

"Kau seharusnya lahir sebagai seorang laki-laki bukan perempuan! Kalau saja ... kalau saja kau laki-laki aku tidak perlu mengalami ini!"

"Mom ... " Felen baru melawan ketika Aghnya mencekik kuat lehernya, dan pasokan udara di paru-parunya menipis. Sesaat sebelum seluruh pandangan Felen menggelap, seruan panik para pelayan yang berusaha menghentikan tindakan Aghnya menyelamatkan Felen dari jerat dewa kematian.

"Lepaskan aku! Lepaskan!" Aghnya menolak dibawa pergi oleh para pelayan, tetapi tenaganya tidak sebanding dengan lima orang pelayan yang menahan tubuhnya. 

Setelah Aghnya tidak lagi berada di kamar itu, isak tangis yang berusaha ditahan Felen menggaung pedih. Para pelayan yang datang hanya bisa menatap kasihan pada gadis itu, lalu perlahan berlalu pergi membiarkan Felen untuk menenangkan diri setelah memastikan nona muda mereka tidak terluka parah.

Felen sangat syok karena untuk pertama kalinya Aghnya menyakiti secara fisik, bahkan sampai mengucapkan kalimat tidak pantas. Padahal biasanya Aghnya selalu bersikap lembut dan penuh kasih. Berbeda dengan Barend yang memang memiliki sikap keras serta otoriter, dan tidak segan menyakiti Felen dengan cambuk apabila ia melakukan kesalahan.

Kucing hitam yang sejak tadi diam memerhatikan kejadian menegangkan tersebut mendekati Felen yang menangis dengan posisi tubuh seperti janin. Ia menjilat lembut setiap tetes air mata yang mengalir di pipi gadis itu. Tubuh kecil kucing tersebut pun digosokkan ke punggung tangan Felen, mencoba menghiburnya meski pada akhirnya percuma.

Kejadian itu menjadi awal penderitaan Felen, dan kucing hitam bermata emas tersebut selalu berada di sisi Felen setiap gadis itu merasakan kesedihan akibat perlakuan kedua orang tuanya. Menemani dalam diam. Tanpa mengetahui bahwa wujud sebenarnya dari kucing tersebut adalah sosok menakutkan yang akan membuat hidup Felen lebih menderita lagi.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
selamat Leon, telah berhasil memanipulatif manusia
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status