Share

4. Hukuman

Manor mewah itu tampak sepi dan gelap. Seolah tidak terdapat kehidupan di dalam sana. Namun, di salah satu ruangan di mana beberapa cambuk berbahan kulit kuda nil tergantung rapi, dua manusia berbeda umur yaitu Barend dan Felen berdiri saling berhadapan setelah berseteru singkat.

"Berbalik, perlihatkan betismu." Barend berucap dingin dengan rahang mengetat menahan amarah. Di tangan kanannya sebuah cambuk berwarna hitam telah siap untuk digunakan.

"Papa ... !" sahut Felen dengan wajah memelas. Air mata membasahi kedua pipi chubby-nya yang pucat pasi.

"Felenia, jangan buat aku mengulangi ucapanku."

Bibir gadis bernama Felenia itu seketika terkatup rapat mendengar suara datar Barend. Tubuhnya bergetar tak terkendali seiring dengan jarum jam yang berdetak kencang di keheningan malam. Ia sebisa mungkin menahan isak tangis yang keluar dari bibir. Tidak ingin semakin memperparah kemurkaan yang tertuju padanya dari sang ayah.

Perlahan Felen membalikkan tubuh sesuai perintah. Ia memilih untuk memejamkan mata, berharap rasa sakit yang dirinya terima bisa sedikit berkurang dengan melakukan itu.

"Lima kali cambukkan untuk satu kesalahan yang kau lakukan. Hmm ... hari ini kau melakukan kesalahan berapa kali?" Barend bertanya lambat sembari mengusap dagu. Tampak tengah memutar ingatan yang terekam dalam memori.

" ... Aku tidak tahu, Papa." Suara Felen mencicit ketakutan.

Decak pelan lolos dari bibir Barend. "Dua kali kesalahan, Felenia. Satu ... karena mencoba mencelakai Abelard hingga dia tenggelam, dan yang kedua karena kau berbohong, menyangkal kebenaran bahwa kau yang mendorong Abelard ke kolam."

Bibir Felen tetap bungkam ketika Barend menjabarkan kesalahan yang dirinya lakukan. Ia berkali-kali sudah menjelaskan bahwa yang sebenarnya terjadi pada Abelard adalah karena kecerobohan anak laki-laki itu, tetapi ayahnya seolah menutup telinga atas penjelasan Felen tersebut.

"Sepuluh kali cambukkan. Berhitunglah sampai aku selesai," tandasnya.

Genggaman Barend di ujung cambuk semakin mengerat. Cambuk itu diayunkan ke atas, kemudian digerakkan ke bawah dengan sekuat tenaga. Ujung cambuk yang tipis menyabet keras betis Felen hingga menimbulkan suara menyakitkan.

Felen nyaris saja jatuh terduduk ketika sengatan panas, perih, dan nyeri menyerang kaki belakangnya. Namun, suara dingin Barend yang terdengar mengancam membuat gadis kecil itu kembali berdiri tegak meski kakinya terasa seperti agar-agar. Ia menggigit kuat bibirnya demi menahan ringis kesakitan yang hampir lolos tanpa bisa dikontrol.

"Bukankah aku menyuruhmu untuk berhitung?"

Tubuh Felen berjengit kaget ketika tanpa peringatan Barend kembali mengayunkan cambuk tersebut ke betisnya. Ia terhuyung ke depan dengan lulut yang menyentuh dinginnya lantai marmer.

"Sepertinya aku harus menambah hukumanmu," putus Barend tanpa persetujuan Felen.

Nada dingin dalam suara ayahnya itu membuat Felen merasakan kengerian yang menyesakkan dada. Bulu roma gadis itu pun merinding memikirkan kemungkinan beberapa menit ke depan yang dihabiskan oleh cambukkan. Secara refleks kedua tangan Felen menangkup menjadi satu.

"Maafkan aku, Papa. Maafkan aku ... Aku akan melakukannya dengan benar kali ini. Jangan tambah hukumanku."

Keadaan Felen yang tengah memohon pengampuan dari Barend tampak sangat menyedihkan. Namun, pria itu tidak sedikit pun memberikan belas kasih pada Felen.

"Berdiri. Kau membuang waktu berhargaku, Felenia."

Sontak Felen langsung berdiri seperti posisinya tadi, membelakangi Barend dengan betis yang kini memerah. Kedua tangannya terkepal erat menunggu ayahnya itu untuk melanjutkan hukuman yang belum usai. Sensasi perih di betis Felen akibat dua cambukkan sebelumnya masih terasa, tetapi ia menguatkan diri untuk menerima cambukkan berikutnya dari Barend.

Saat Barend kembali mengayunkan cambuk hitam tersebut dengan sangat keras, suara cambuk yang beradu dengan kulit menggema di setiap sudut ruangan. Barend tidak menahan tenaganya dalam menggerakkan benda lentur itu.

"Ti-- ga ... " hitung Felen dengan suara bergetar. Gadis itu ingin berteriak sangat kencang, namun Barend yang memerintah untuk tidak berisik membuat suara Felen hanya tertahan di tenggorokan. Air matanya bercucuran, tetapi tidak ada sedikit pun ringis kesakitan yang keluar dari bibir Felen. Ia menahan setiap rasa sakit yang berkemelut di dalam diri.

"Hitung dari satu!"

Bentakan Barend yang mendengung di telinga Felen, membuat ia menyadari kalau ayahnya mulai kehilangan kesabaran akibat tindakan Felen yang tidak sesuai dengan keinginan.

"Sa ... tu--" ucap Felen menyahut cepat.

"Ulangi dari awal!" Barend seolah tidak lelah terus membentak Felen. Ia pun kembali menyakiti Felen dengan cambuk yang berada di tangan. Walau gadis itu tampak akan rubuh kapan saja, Barend tidak berniat menghentikan atau pun menunda hukumannya.

Felen menghitung dari awal sesuai keinginan Barend sembari menahan perih di kulit. Bekas cambukan tersebut kali ini tidak hanya meninggalkan bercak kemerahan saja, tetapi mulai lecet hingga mengeluarkan darah karena Barend mencambuknya di tempat yang sama.

Pening yang teramat sangat mulai terasa seiring dengan tubuh Felen yang menggigil seperti kedinginan, padahal ia merasakan panas tengah mendera tubuh. Keringat dingin yang mengalir di dahi dan pelipis gadis itu juga menjadi bukti kalau tubuh belia Felen tidak sanggup lagi menahan rasa sakit yang tengah ia terima.

Di hitungan terakhir saat suara Felen semakin lirih, halusinasi mulai mengambil alih pikiran. Gadis itu melihat sebuah bayangan hitam dan besar yang tengah memerhatikan dari ujung ruangan dengan mata emasnya. Felen tidak yakin dengan hal yang dilihatnya karena ia lebih dahulu kehilangan kesadaran. Kegelapan yang sangat pekat menyambut Felen, bertepatan dengan tubuhnya yang jatuh tersungkur ke depan.

Sementara itu, Barend yang melihat Felen telah tergeletak di lantai hanya memandang dingin tanpa berniat memindahkan gadis itu ke sofa atau tempat yang lebih nyaman. Setelah mencampakkan cambuknya, Barend melangkah ke arah bel yang terhubung ke beberapa ruang utama, lalu menekan salah satu tombol untuk memanggil kepala pelayan. Ia duduk di kursi kebesarannya, menunggu orang yang dipanggil datang.

Tidak lama ketukan di pintu terdengar, dan seorang pria paruh baya muncul setelah Barend memerintahkan untuk masuk. Belum sempat kepala pelayan itu menanyakan keinginan sang tuan, Barend lebih dahulu memberikan perintah.

"Bawa Felenia ke kamarnya, dan perintahkan pelayan wanita untuk mengobati lukanya," ucap Barend sembari memandang ke luar jendela.

"Baik, Tuan Besar." Pria paruh baya itu menggendong Felen tanpa kesulitan berarti. Ia pamit dan meninggalkan Barend di ruangan gelap tersebut. Tidak menyadari sesosok makhluk bermata emas yang tengah duduk angkuh di sofa mewah milik Barend. Sesaat sebelum pintu tertutup, sosok itu menyeringai lebar memperlihatkan gigi taringnya yang tajam.

Di kamar Felen, Aghnya-- ibunda gadis kecil itu, menunggu kedatangan anaknya dengan cemas. Kabar yang ia dengar tidak sengaja dari para pelayan langsung mendorong Aghnya untuk menemui Felen. Ketika pintu ganda kamar tersebut terbuka, Aghnya langsung berlari menghampiri Felen.

"Felenia!" Teriakkan histeris itu berasal dari Aghnya. Kekagetan dan perasaan khawatir terpancar jelas di kedua netra birunya.

"Nyonya, Anda seharusnya tidak berada di sini. Tuan Besar akan sangat marah kalau mengetahui Anda melanggar aturannya." Meski ucapan kepala pelayan itu terdengar datar, terselip sedikit kecemasan yang membuatnya was-was.

"Aku hanya ingin menemui anakku. Apakah itu tidak boleh?" Aghnya menyentak kasar. Ia mengambil alih tubuh Felen yang berada di gendongan kepala pelayan.

"Biar aku saja yang mengobati lukanya," lanjutnya.

Pria paruh baya itu hanya bisa menghela napas pelan, lalu mengangguk. Tidak kuasa membantah keinginan Aghnya.

"Baiklah, Nyonya, tetapi izinkan satu pelayan membantu Anda. Anda harus segera kembali setelah selesai."

Aghnya mengiyakan, kemudian membawa Felen ke ranjang dengan hati-hati dibantu oleh pelayan wanita. Air mata terus mengalir di pipi Aghnya, terutama saat melihat betis Felen yang penuh luka. Setelah pelayan membersihkan luka Felen dengan air hangat, Aghnya mengoleskan salep herbal di luka tersebut.

Ringis kesakitan Felen di antara tidur lelapnya membuat tangis Aghnya semakin keras. 

"Maafkan Mommy, Felenia," lirihnya sangat pelan sembari menggenggam tangan Felen. Merasa sangat bersalah karena sempat kehilangan kendali, dan menyerang Felen yang tidak memiliki kesalahan apa pun.

Aghnya tidak tahu kapan dirinya akan kembali kehilangan kendali terhadap emosinya yang tidak stabil. Saat ini pun, ia masih tidak bisa mengendalikan amarahnya dengan baik. Hal kecil yang menurutnya mengganggu mampu membuat emosi Aghnya meledak-ledak.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status