"Sekali lagi mengutuk diri sendiri. Aku benci pada diriku."
***
Selena melangkah mundur. Ekspresinya begitu kaget dan tampak jelas dia sedang menahan diri sekuat mungkin. Sementara Syilea terus merintih kesakitan dan mencoba bangun, namun Selena tidak bergeming sedikit pun.
"Elle … bisa bantu aku?" pinta Syilea sambil meringis.
Selena tidak menjawab, sekali lagi dia melangkahkan mundur kakinya.
"Elle! Kau mau kemana?!" teriak Syilea yang masih duduk di posisi jatuhnya.
Selena menggelengkan kepala dengan kuat. Bisikan yang entah darimana datangnya terus menggema di dalam kepalanya. Suara-suara aneh yang menakutkan, memerintahkan Selena untuk mencicipi darah segar di depan mata.
Tanpa suara dan pamit, Selena membalikkan badan lalu berlari sekuat mungkin menjauh dari Syilea. Sementara suara Syilea mulai terdengar sayup terdengar memanggil namanya.
"Tidak! Ini tidak boleh terjadi! Kontrol dirimu, Elle!!" seru Selena sambil berlari cepat pada dirinya semdiri.
Dia mencoba menyadarkan dirinya. Mata yang mulai berubah warna merah menyala terus dia kedipkan beberapa kali agar irisnya bisa kembali hitam. Taring yang mencuat masih belum kembali normal. Selena semakin mengubah dirinya sendiri menjadi vampir sejati.
***
Sementara itu Syilea menangis ketakutan. Sekuat tenaga dia berdiri dan berjalan meski tertatih-tatih. Dia tidak menyangka kalau Selena berbuat sejahat itu padanya.
"Kenapa dia kejam sekali meninggalkanku sendiri?" lirih Syilea yang berjalan terpincang-pincang. Tangan kirinya terus memegang pahanya dan ingin secepat mungkin keluar dari rumah menyeramkan ini.
Namun, tiba-tiba sebuah tangan memegang pundaknya dan sontak saja Syilea berteriak nyaring dan melengking.
"AAAAAAAKHH!!!"
Syilea menutup matanya sambil berteriak, sementara orang yang sudah mengejutkannya langsung menutup kedua telinganya.
"Suaramu membuat telingaku sakit!" bentak orang itu.
Syilea mendengar suara lelaki yang tampak tidak begitu asing di telinganya. Perlahan dibukanya mata lalu mengerjap tidak yakin.
"Rain?!" pekiknya.
"Apa yang kau lakukan di rumahku?" tanya Rain dengan wajah dingin.
Ah, sial! … Syilea memaki dirinya sendiri.
"Anu– aku … aku …." Bingung ingin menjawab apa. Sedangkan Rain masih berniat menunggu jawaban itu.
"Kamu ingin menguntitku?" tanya dia lagi dan masih dengan nada yang sama.
"T–tidak!!" Syilea mengibaskan tangan dengan cepat karena tidak ingin Rain salah paham.
"Lalu?" desaknya.
"A–aku kesini karena … hanya ingin membawa Selena."
Rain mengernyit. Dia tidak mengenal nama itu sebelumnya. Atau mungkin saja dia melupakan nama yang begitu umum itu.
"Selena, siswi baru di kelas kita!" lanjut Syilea menjelaskan.
"Aku tidak tahu. Tapi, di mana dia sekarang? Apa dia di dalam rumahku dan menyelinap?"
"Dia sudah pergi."
"Pergi?" ulang Rain.
Raut sedih di wajah Syilea langsung tergambar jelas. "Aku jatuh terperosok di teras rumahmu dan terluka," lirihnya sambil melihat luka di kakinya sendiri.
Rain ikut melihat luka tersebut lalu menoleh ke belakang memastikan bagian mana Syilea terperosok. "Maaf tentang terasnya. Itu memang sudah sangat lapuk," ucapnya tulus.
Syilea tidak percaya kalau sekarang dia bicara pada Rain dan bahkan mendengar permintaan maaf dari lelaki yang ditakuti di Valley High School.
"Tidak masalah … mungkin Selena pergi karena takut," jawab Syilea.
"Apa yang dia takutkan?"
"Rumahmu," jawab Syilea tanpa pikir panjang.
Rain sedikit tersinggung dengan kalimar Syilea. Dia mengakui kalau rumahnya memang sangat angker karena selalu gelap dan tak berpenghuni kecuali dirinya sendiri.
Namun, di satu sisi hatinya merasa kalimat itu menusuk dadanya. Syilea tidaklah tahu bagaimana hangatnya rumah yang sekarang disebut seperti rumah hantu itu. Bagaimana Rain yang selalu tertawa bahagia di sekitar halaman rumah yang mereka pijak ini.
"A–aku minta maaf. Aku tidak bermaksud untuk–."
"Ikut aku. Lukamu harus diobati agar tidak infeksi!" potong Rain dengan tegas. Dia membalikkan badan lebih dulu dan berjalan menuju rumah.
Syilea awalnya sedikit ragu untuk ikut atau pulang ke rumah saja. Namun, kata infeksi yang dikatakan Rain cukup mengganggunya. Dia akhirnya memutuskan untuk percaya pada lelaki yang bahkan sebelumnya tidak pernah bicara sepatah kata pun padanya.
***
Tatap mata Selena semakin nyalang mengkilat dengan iris merah darah. Sebisa mungkin dia memfokuskan untuk kembali ke rumahnya, berharap di sana ada John atau saudara-saudaranya. Dengan kekuatan secepat angin, dia terlihat hanya bayangan sekelebat yang lewat sepintas lalu. Hingga akhirnya mata Selena melihat rumah besar yang dia tinggali.
“Akhirnya!”
BRAK!
Pintu utama rumah itu ditutup Selena dengan sangat keras. Dia menyandar di daun pintu dan membiarkan kegaduhan itu membuat seluruh penghuni rumah keluar. Yang pertama muncul adalah John. Tentu saja ayah angkatnya itu terlihat panik saat melihat perubahan aneh pada anak adopsinya.
“SELENA! KAMU BAIK-BAIK SAJA?!” seru John langsung menangkap tubuh Selena yang ambruk ke tanah.
“T‒tolong aku …,” lirih Selena lalu memejamkan matanya dan membiarkan semua saudaranya melihat taring di antara dua bibirnya.
“Gosh! Ada apa dengannya?” kaget Bianca sambil menutup mulut. Sejauh ini selama mereka bersaudara, Bianca tidak pernah melihat Selena mengeluarkan taring meski malam bulan purnama sekalipun.
“Matt! Bawa Selena ke kamarnya!” perintah John dengan tegas.
Matt langsung sigap dan menggantikan posisi John. Dia menggendong Selena dengan ringannya seperti kapas kering lalu membawanya ke kamar. Di belakang Matt diikuti Henry dan Bianca yang masih menyimpan pertanyaan.
John menuju gudang persediaan makanan. Dia tidak langsung ke kamar Selena. Tangannya sibuk mengobrak abrik sebuah peti kayu yang besar. Dibukanya peti yang tergembok itu dengan kasar. Hanya dengan tangannya saja, gembok kuat tersebut sudah hancur. Tampak di dalam peti banyak persediaan darah yang dikemas dalam kantung. Itu adalah darah manusia yang selama ini disimpan oleh John untuk menjaga-jaga kalau hal seperti ini terjadi. Satu kantung darah diraihnya lalu membawa ke kamar Selena.
Di dalam kamar gadis yang terkapar lemas itu tampak dikelilingi tiga saudaranya. Bianca menggigit ujung kukunya, dia begitu penasaran.
“Apa yang terjadi padanya?” tanya Bianca pada Matt.
“Bukankah kamu tahu kalau kita semua ada di rumah? Aku juga tidak mengerti apa yang terjadi,” jawab Matt dengan nada kesal.
“Kenapa kamu memarahiku, Matt? Aku kan hanya bertanya?!” dengus Bianca.
“Bia … Matt … tenanglah.” Henry meminta dua saudaranya agar diam dan menunggu John datang.
Detik berikutnya muncul John membawa sekantung darah manusia di tangannya. Sebagai vampir yang sudah terlalu sering meminum darah hewan, tentu saja Matt, Bianca dan Henry langsung tahu darah apa yang dibawa John.
“Ayah … itu ….” Matt membulatkan matanya tidak percaya.
“Darah ….” Bianca mematung dengan tatapan fokus ke kantung yang dipegang oleh John.
Menyadari bahwa Bianca tidak mungkin tahan dengan aroma darah manusia, John langsung memerintahkan Henry untuk membawa jauh Bianca.
“Henry, bawa dia keluar!” perintah John dengan tegas.
Henry mengangguk paham. Dengan cepat dia memegang kedua tangan saudarinya dan membawa keluar. Bianca hanya diam seolah terhipnotis dengan darah yang langsung membuat dirinya dahaga.
“AKU MAU DARAH ITU!!” teriak Bianca yang langsung berontak saat berada di luar kamar Selena.
“BIA! KONTROL DIRIMU!!” tegas Henry sambil mengguncang kedua bahu Bianca.
Namun, kekuatan vampir muda itu terlalu kuat. Hasratnya yang ingin merasakan darah manusia begitu besar. Bukan apa-apa ketika vampir merasakan darah manusia, hanya saja ketika lidahnya mencicipi darah nikmat itu, mereka pasti menginginkannya lagi dan lagi.
-Bersambung-
Setelah musim panas berakhir, maka masuklah musim paling syahdu yaitu musim gugur. Sisa hawa panas memang masih ada, namun angin pun sudah mulai berembus. Selena memakai kaos tipis yang dilapisi dengan mantel panjang berwarna merah favoritnya, Ia tampak begitu sangat cantik malam ini. Terlebih jeans panjang dengan sepatu ankle boot hitam membuatnya menjadi tampak sempurna.Sama seperti Selena, Bianca dan Erika pun juga memakai outfit yang sama meski beda warna dan hiasan baju lainnya. Mereka semua sudah siap untuk pergi ke festival musim gugur bersama dengan pasangan masing-masing.“Aku tidak memiliki pasangan. Lalu, nanti sama siapa setelah di sana?” tanya Erika kebingungan.“Jangan cemas. Kamu bisa bersamaku, Bianca atau Syilea.” Selena mencoba menenangkan Erika.“Aku tidak ingin mengganggu kesenangan kalian,” tolak Erika dengan segan.“Ah, begini saja … bagaimana kalau kita tidak usah berpencar? K
Syilea sangat terkejut dengan serangan ciuman dari Henry. Pupil matanya membulat sempurna tatkala sebuah memori ingatan melemparkannya ke suatu tempat yang aneh. Di mana ia melihat dirinya dan Henry yang sedang berciuman di ruang tamu rumahnya, pernyataan cinta dari Henry, hadiah bunga dan jalan-jalan malam di festival hingga akhirnya ia melihat seorang vampir yang berdiri di hadapannya dengan seringai menyeramkan beserta taring tajam.Jantung Syilea berdentam dengan sangat cepat ketika dia potongan memori ingatannya kembali seperti puzzle yang mulai tersusun hingga membentuk gambar sempurna.Satu detik … Dua detik … Tiga detik … Empat detik … Lima detik.Seketika pandangan Syilea menjadi samar bersamaan dengan Henry yang menarik mundur wajahnya. Dengan tatapan sayu, Syilea menatap Henry yang dikenalnya sebagai kekasihnya, bukan orang asing lagi.“Henry,” bisik Syilea dengan lirih.“Apa kamu sudah ingat
Keesokan harinya, Selena sudah bersiap menuju sekolah dijemput Rain seperti biasa. Seperti yang dikatakan Arion tadi malam, mulai hari ini dia tidak akan muncul lagi di hadapannya. Perpisahan tadi malam sudah cukup menguras emosinya hingga membuat Selena merasakan seperti ada duri tertancap di hatinya.“Kenapa aku merasa tidak rela untuk kehilangannya?” gumam Selena sambil berjalan menuju anak tangga.“Elle … berangkat dengan Rain?” tanya Bianca yang tiba-tiba saja berjalan di sisinya.“Ya.” Selena menjawab singkat.“Ada apa denganmu? Wajahmu terlihat linglung,” heran adiknya.“Bia … apa kamu tahu kalau Arion pergi?” tanya Selena akhirnya pada Bianca.“Iya, tau. Ayah sudah menceritakan pada kami semua tadi malam saat kamu dan dia pergi jalan-jalan,” jawab Bianca.“Kenapa kamu tidak sedih?”“Buat apa? Dia kan hanya pergi untuk
Masih di bar khusus para vampir. Selena tidak meminum apapun, ia hanya melihat Arion yang sudah menghabiskan empat gelas kecil berisi darah manusia.“Sepertinya kamu sudah terlalu lama menahan ini semua,” sindir Selena pada Arion yang meletakkan gelas terakhir di atas meja.“Maafkan aku. Tidak mudah untuk membuang kebiasaan,” jawab Arion yang memberi kode pada bartender untuk mengisi gelasnya lagi.“Setidaknya sekarang kamu sudah bersahabat dengan kata maaf,” jawab Selena tersenyum. “Setelah ini, kamu ingin membawaku kemana lagi?”“Pantai,” jawab Arion.Selena mengernyit dan bingung. “Pantai?” ulangnya.“Bukankan kamu sangat suka melihat laut?” tanya Arion.Selena mengangguk. Ia tak membantah tebakan Arion. “Ya. Aku suka.”“Laut akan terlihat indah bila dilihat saat malam hari,” lanjut Arion lalu kembali minum.&ld
Para gadis sudah tiba di rumah saat pukul delapan malam. Saat itulah mereka melihat para lelaki berkumpul di ruang keluarga. Ada John, Arion, Stefan, Henry dan Matt. Mereka tengah berbincang santai dan sesekali terdengar tawa karena joke yang dilontarkan oleh Arion.Selena tersenyum ketika melihat bagaimana Arion yang berdiri di depan mereka semua sambil membawakan sebuah lelucon seolah sedang melakukan stand up, lalu terdengar suara tawa Henry yang paling keras.“Hai, girls … sudah selesai bersenang-senangnya?” tanya Matt ketika sadar dengan kehadiran Bianca, Selena dan Erika.Bianca menghampiri Matt dan langsung duduk di pangkuan lelaki itu tanpa malu dilihat oleh John dan Stefan. Lagipula mereka adalah keluarga, bersikap romantis di depan keluarga bukan hal yang aneh, kan?“Ya … itu tadi adalah shopping paling menyenangkan,” ungkap Bianca dengan penuh semangat yang menggebu-gebu. Ia lalu melemparkan pandangan pada
Sambungan via telepon handphone antara Henry dan Syilea ….“Kenapa kamu baru tiba di rumah?” tanya Henry setelah teleponnya baru diangkat oleh gadis tersebut dan Syilea mengatakan bahwa dia baru saja sampai rumah.“Aku harus pergi ke rumah sakit untuk bertemu dengan ibu sebentar,” jawab Syilea jujur.Henry mengangguk paham. “Seharusnya kamu tidak perlu menolak tawaranku ketika ingin mengantarkanmu pulang,” sesalnya lagi.“Tidak apa-apa. Aku tidak ingin merepotkanmu. Kita hanya teman dan seharusnya aku harus tahu batasan,” jelas Syilea dengan bijaksana.“Kalau begitu … bagaimana jika seandainya kita bukan hanya sekedar teman?” pancing Henry.“Ma-maksudmu?” gagap Syilea mendengar hal yang bisa langsung dia asumsikan tentang hal lebih dari teman.“Ya, maksudku … seperti hubungan yang lebih dekat,” jawab Henry pelan. Dia sendiri merasa
Selena membawa Erika ke kamar yang akan ditinggali oleh gadis penyihir itu. Sengaja ia memilihkan kamar dengan kasur baru dengan alasan khusus untuk manusia.“Karena kamu membutuhkan tidur yang nyenyak daripada kami,” kata Selena saat mendapati Erika yang begitu sungkan.“Terima kasih,” ucap Erika dengan tulus.“Tapi … apa kamu tidak takut tinggal serumah dengan banyak vampir?” tanya Selena ragu.Erika hanya tersenyum penuh arti. “Bahkan sebelumnya aku pernah serumah dengan vampir yang sangat bengis dan haus darah manusia.”Selena mengerti siapa yang dimaksud oleh Erika. Tentu saja dia adalah Arion. Mereka memang pernah serumah dan bahkan bercinta karena memiliki hubungan khusus.Erika mulai mengeluarkan beberapa pakaiannya yang usang dan lusuh lalu membuka lemari. Selena mengernyit melihat pakaian penyihir itu. Baru dia sadari ada sesuatu yang memprihatinkan sekarang.“Erik
Rain dan Selena hari ini pulang sekolah sambil berjalan kaki. Ini sesuai permintaan Selena yang katanya rindu berjalan-jalan di tengah hutan sambil menuju rumahnya sendiri. John sudah menyampaikan pesan lewat Arion yang datang ke sekolah untuk menyuruh semua anaknya pulang ke rumah tepat waktu. Tidak ada yang boleh mampir ke suatu tempat apalagi pacaran kata Arion tadi. Dan tentu saja mendapat dengusan sebal dari Selena dan Bianca.“Memangnya ayah kenapa menyuruh kita langsung pulang?” tanya Selena pada Rain. Mereka berjalan sambil berpegangan tangan satu sama lain.Rain mengedikkan bahu. “Aku tidak tahu. Mungkin ayah kalian ingin mengumumkan sesuatu mungkin.”“Apa ayah akan menikah lagi?” tanya Selena dengan tatapan tak percaya.“Masa? Bukankah ayah kalian tidak dekat dengan siapapun juga,” heran Rain yang kurang percaya dengan kesimpulan tak masuk akal dari Selena.“Selama ini ayah paling pint
Keesokan harinya John dan Arion akhirnya memutuskan untuk menemui Stefan di kediamannya. Sebuah rumah kecil dengan dinding kayu di tengah hutan. Pagar kayu setinggi pinggang orang dewasa dan ada pohon di depannya. Bisa ditebak bahwa pohon tersebut adalah pohon cokelat yang tumbuh dengan suburnya. Stefan sengaja membangun rumah di samping pepohonan cokelat agar bisa bertahan hidup.Melihat kehadiran Arion dan John yang datang bersama-sama awalnya membuat Stefan sedikit kaget, namun pada akhirnya ia tersenyum dan mempersilakan dua anak adopsinya masuk ke dalam.Arion memerhatikan sekitar rumah yang begitu hangat meski tak terlalu besar. Beda dengan rumahnya yang mewah dan besar namun terasa dingin.Stefan memberikan dua gelas cokelat hitam panas pada dua lelaki yang dia sayangi. Lelaki tua itu tersenyum bijaksana dan terlihat jelas bagaimana ia senang melihat kehadiran kakak beradik itu. Melihat keakuran yang akhirnya terjalin di antara keduanya. Stefan benar-bena