“Pepatah mengatakan untuk jangan rubah dirimu. Namun, bagaimana jadinya apabila bukan aku yang merubah diriku. Melainkan orang lain yang sudah mencampuri hidupku. Apa aku harus tetap membencinya?”
***
BRUGH!!
Bianca terhempas dan terpental jauh ketika Henry mencoba untuk menahannya. Saudarinya benar-benar sudah di luar kendali. Henry sampai kewalahan menjaga Bianca agar tidak masuk ke dalam kamar Selena.
Mendengar suara gaduh dari luar, John memerintahkan Matt untuk memeriksa keadaan Bianca dan Henry. Sementara Selena sudah diberi minum darah manusia untuk pertama kalinya.
Matt keluar dan melihat beberapa perabotan yang hancur karena perkelahian dua vampir. Bahkan lampu gantung yang berada di tengah ruangan saja jatuh ke bawah dan beberapa vas bunga pajangan yang besar harus pecah berkeping-keping.
“ASTAGA! APA YANG KALIAN LAKUKAN?!” murka Matt dengan wajah merahnya.
Henry menoleh dan menyengir sebentar. “Sepertinya saudari kita yang manja ini ingin melakukan olahraga,” jawabnya tanpa dosa dan tanpa perasaan bersalah.
Matt melemparkan pandangan pada Bianca yang berdiri di ujung tangga. Dia menyeringai dengan mata merah dan taring mencuat. Matt memaklumi bahwa Bianca akan bertingkah seperti ini karena dia belum pernah merasakan darah manusia selama ini. Wajar saja kalau dia tergoda dengan aroma darah segar.
“Kenapa kau diam saja, Matt? Tangkap dia! Kalau tidak dia akan mengamuk di kamar Selena!” protes Henry.
Matt memejamkan matanya dan geleng-geleng kepala karena harus dia juga yang turun tangan untuk menenangkan Bianca.
“MINGGIR KALIAN!” teriak Bianca marah.
Matt bersedekap di depan pintu kamar Selena. Wajahnya menantang Bianca yang di luar kontrol.
“Silakan masuk kalau kau bisa melewatiku,” jawab Matt dengan tenang.
“Rrrggh!!” Bianca merasa tertantang dan diremehkan. Dengan cepat dan sekelebat dia langsung mendekati Matt dan menyerangnya.
Namun tanpa perlu perlawanan kuat dan membuang tenaga, Matt bisa langsung menangkap dua tangan Bianca. Jelas saja vampir yang kekuatannya ada di bawah Matt itu langsung meronta ingin melepaskan diri.
“LEPASKAN AKU!!” raung Bianca tidak terima dia dikalahkan dengan mudah oleh Matt.
“Kau mau dikunci dalam gudang, Bia?!” ancam Matt dengan geram.
“AKU INGIN DARAH ITU!” teriaknya lagi.
Matt menggelengkan kepala dengan ekspresi meremehkan. “Tidak akan bisa.”
“MATT!” bentaknya marah.
Tidak ada waktu lagi untuk Matt berbelas kasihan. Dia langsung menyeret Bianca ke dalam sebuah gudang. Tempat berdebu di mana tidak ada lampu sedikit pun. John sengaja membuat ruangan itu untuk menghukum salah satu anak adopsinya. Setiap rumah yang dibangun John selalu memiliki ruangan khusus untuk hukuman.
“Masuklah!” perintah Matt sambil melemparkan Bianca ke dalam sana dan dengan cepat menutup kembali pintu sebelum gadis itu melompat keluar.
Dug, dug, dug! Pintu digedor dari dalam.
Henry yang melihat itu langsung terbahak menertawakan Bianca yang dihukum oleh Matt. Sementara Matt langsung meliriknya dengan tajam.
“Apa kau juga ingin kuhukum karena sudah menghancurkan sebagian isi rumah ini, Henry?” ancam Matt.
Tawa Henry langsung lenyap. Dia tidak berani membuka mulut dan hanya menggeleng cepat karena tidak mungkin ada yang suka berada di dalam ruangan itu.
“Bereskan semua kekacauan yang kau buat dan aku akan kembali ke kamar Selena,” perintahnya lagi dengan tegas.
“Baik, Matt!” jawab Henry dengan semangat. Untuk ukuran seorang vampir, membersihkan rumah bukanlah hal yang sulit. Terlebih mereka termasuk golongan penghuni bumi yang kaya raya. Tentu saja tidak akan masalah apabila mereka mengganti kembali perabotan dengan yang baru.
Di dalam kamar Selena, John menatap wajah gadis berkulit pucat itu. Selena menutup matanya dan tampak tenang seperti mayat yang baru saja meninggal. Tidak ada gerakan napas di dadanya.
“Ayah,” bisik Matt yang tiba-tiba saja ada di samping.
John menoleh dan melihat Matt. “Bagaimana dengan adik-adikmu?”
“Bianca sekarang ada di ruang hukuman,” jawab Matt. “Dan … Henry membereskan kekacauan. Perabotan hancur karena perkelahian mereka berdua,” jelasnya.
John tidak menanggapi lagi. Dia kembali menatap Selena.
“Ada apa dengannya? Aku belum pernah melihat Selena seperti itu,” gumam Matt.
“Dia … tanpa sengaja melihat darah segar manusia,” jawab John.
“Benarkah?”
“Aku tidak tahu di mana dia melihat darah itu. Yang jelas dia sedang berusaha berperang dengan batinnya agar tidak merasakan darah manusia.”
“Tapi … kenapa Ayah memberikan darah manusia pada dia? Bukankah dia berusaha menolaknya?” heran Matt.
“Hanya itu satu-satunya jalan. Kalau dia tidak meminum darah itu, sampai kapan pun dia tidak akan kembali menjadi normal.”
Matt memperhatikan wajah Selena. Tidak ada taring yang keluar lagi. Sepertinya dia memang sudah kembali menjadi Selena yang dulu. Semua berkat darah segar manusia.
“Aku tidak tahu kalau dia bisa tergoda ingin meminum darah manusia,” lirih Matt. “Sejauh ini dia bisa menahan diri saat bulan purnama.”
“Tidak aka nada vampir yang bisa menahan diri ketika melihat darah manusia keluar dari tubuh mereka. Bahkan aku saja mungkin akan sulit untuk menahan diri,” ungkap John.
“Lalu … apa tidak apa-apa dia merasakan darah itu?”
“Jangan beritahu Selena tentang ini. Aku yakin dia akan sangat marah pada kita karena sudah memasukkan darah di dalam tubuhnya. Tentu saja dia yang dingin akan menjadi murka,” kata John.
Matt mengangguk paham. Dia lalu duduk di samping Selena dan menyentuh tangan gadis itu. Begitu lembut seperti kulit bayi. Wajahnya juga sedikit bersinar dan tidak seperti biasanya.
“Dia sangat cantik,” lirih Matt tiba-tiba.
John mengerutkan keningnya. “Apa maksudmu?”
Matt yang sadar dengan ucapannya langsung salah tingkah dan kembali berdiri. “M‒maksudku … dia ….”
“Kau menyukai Selena?” tebak John.
Matt tidak menjawab. Dia hanya membalas tatapan dingin ayahnya. Entah harus menjawab apa, dia merasa kalau itu akan membuat John marah padanya.
“Tidak,” jawab Matt singkat.
John terus memindai wajah Matt, menerka apakah tebakannya keliru atau benar. Namun, beruntungnya di waktu bersamaan Selena membuka mata.
“Elle!” seru Matt kembali duduk di tepi tempat tidur.
Selena menatap Matt sepintas lalu melemparkan pandangan ke John.
“Kamu baik-baik saja sekarang,” ucap John dengan senyum bagaikan malaikat.
Selena bangun dan meraba bagian wajahnya. Yang pertama dia sentuh adalah bagian bibir. Tidak ditemukannya taring. Selena langsung memejamkan mata tanda lega.
“Aku kenapa?” tanya Selena pada John.
“Kamu ….” John melirik sebentar ke arah Matt. “Kamu mengalami perubahan, Elle.”
“Perubahan?”
“Ya … karena kamu melihat darah manusia secara langsung,” jelasnya lagi.
Selena terdiam dan dia mengingat kembali apa yang terjadi sebelumnya. Dia ingat bagaimana Syilea yang terperosok di antara kayu lapuk teras rumah Rain. Dia juga mengingat bagaimana bisikan-bisikan di dalam kepalanya untuk mencicipi darah itu namun dia memilih untuk pergi saja.
Adegan demi adegan berganti sampai akhirnya ingatannya terhenti saat dia menutup pintu rumahnya dan John yang menghampiri dirinya lebih awal.
“Setelah itu, apa yang terjadi padaku?” tanya Selena meminta jawaban pada John.
“Mmm … tidak ada. Kamu dibawa Matt ke kamar dan kami di sini hingga sadar,” jawab John dengan tenang.
Selena sekarang benar-benar lega. Tidak ada yang harus dikhawatirkan lagi. Batinnya merasa bersyukur karena tidak perlu merasakan darah menjijikan. Tanpa dia tahu bagaimana kejadian sebenarnya.
-Bersambung-
“Ketika menginginkanmu hanya sebuah ambisi. Maka, biarkan aku terus berjuang meski hanya sendiri.”***Ada keanehan dalam raut wajah Selena setelah sadar apa yang terjadi pada rumahnya. Seluruh perabotan hancur dan sebagian sudah dibersihkan oleh Henry. Matt yang berjalan di belakangnya tidak bersuara. Dia hanya diam dan menunggu Selena bertanya. Tetapi kalau Selena tidak mengajukan pertanyaan, maka Matt tidak perlu mengatakan apapun untuk menjelaskan.“Henry,” panggil Selena.Henry melepas headphone yang terpasang menutupi kedua telinganya. Di tangannya memegang karung berisi pecahan vas bunga. Dia menoleh ke belakang dan tersenyum lebar melihat Selena yang menyapanya terlebih dulu.“Hey … senang melihatmu baik-baik saja, Elle.” Henry tersenyum tulus seperti biasa. Dia menatap sekilas Matt yang berdiri canggung di belakang perempuan itu.“Apa yang terjadi?” tanya Selen
“Rasa penasaran ini mencambuk hingga membuat memar hatiku.” *** Langit senja begitu mendung. Rain yakin kalau sebentar lagi akan turun hujan. Sebelum keroyokan air dari langit itu menjatuhi bumi, lebih baik dia mengunci pintu depan rumahnya. Sambil memegang sebatang lilin yang diletakkkan dalam wadah mirip gelas berwarna perak, Rain berjalan menuruni anak tangganya. Rumahnya mulai gelap karena tirai-tirai yang tidak pernah lagi dibuka sejak kematian kedua orang tuanya. Uang untuk hidup pun hanya dari sisa-sisa warisan keluarga yang masih bisa disimpannya dengan baik. Itulah sebabnya dia sangat ingin cepat lulus sekolah agar bisa bekerja dan hidup di kota yang jauh dari Breavork. Memulai hidup baru dengan menjadi Rain yang lain. Bukan Rain yang tenggelam karena masa lalu. Tap … tap … tap …. Rain mengerutkan keningnya saat mendengar suara dari depan pintunya. Siapa? … batinnya. Rain memindahkan gelas li
“Mungkin kita pernah bertemu sebelumnya. Hanya kau saja yang tidak menyadarinya.”***Syilea masih beringsut ke tepi tempat tidur ketika suara ketukan semakin cepat dan berulang-ulang. Dida tidak yakin kalau itu adalah manusia. Namun, tiba-tiba sebuah suara terdengar dan membuatnya mengernyit.“Lea!” panggilnya dari luar.Syilea menyibak selimut yang melindungi dirinya. Turun dari tempat tidur dan mencoba berjalan menuju jendela meski sangat ketakutan. Hanya karena dia kenal suara tersebut, makanya dia meyakinkan diri.Krieet … Syilea menggeser tirai dan melihat dari balik kaca. Tampak di bawah ada Selena yang berdiri menatap lurus ke arah jendelanya.“ELLE?!” seru Syilea lalu membuka jendela dan berbicara dari atas. Dia melihat di tangan Selena memegang beberapa kerikil. Ternyata Selena melempari jendelanya dengan benda kecil itu. Malu rasanya ketika Syilea sadar bahwa dia berpikir sudah d
“Apa saja yang kau lakukan, selalu menyita atensiku. Kenapa?”***Keesokan harinya. Tidak ada yang spesial atau berubah dari hari-hari sebelumnya. Selena yang masih dengan sifat pendiamnya dan Bianca yang masih sebal karena kejadian kemarin. Gadis itu merengut dan tidak ingin bicara pada siapa pun termasuk John. Dia tengah mengajukan protes tutup mulut dengan wajah datar.“Ayolah, Bia … aku kan sudah minta maaf padamu,” rengek Henry yang mengikuti langkah kaki Bianca menuju mobil yang siap mengantar mereka ke sekolah.Bianca yang berjalan menuju mobil sambil bersedekap tidak ingin menjawab bahkan menoleh pun tidak.“Biaaa ….” Suara Henry terdengar seperti anak kecil yang meminta gula-gula pada orang tuanya. Dia tidak menyerah meminta maaf pada Bianca meski itu bukan salahnya sepenuhnya.Sementara itu Selena yang duduk tenang di dalam mobil sambil membaca novel mulai risih dengan kela
“Andai aku memiliki jantung. Mungkin sekarang detakannya akan terdengar sampai keluar.”***Selena tidak dapat membuka suara. Dia bungkam dan seolah semua yang ada di bumi berhenti bergerak. Bumi berhenti berputar dan waktu menjadi terhenti. Tatapan dalam dan teduh dari sepasang netra biru itu menyita seluruh perhatiannya. Dua mata indah penuh kesedihan yang mendalam tersimpan di dalamnya. Selena tidak dapat membaca apa yang ada di dalam pikiran Rain.Sementara lelaki itu juga melakukan hal yang sama. Untuk pertama kalinya dia melihat wajah Selena lebih dari tiga detik. Mengagumi paras yang terpahat sempurna dimiliki gadis bertubuh kurus dan tinggi itu. Bibirnya begitu merah seperti darah yang menetes di atas tumpukan salju putih. Rambut hitamnya bergelombang dan tersisir rapi. Hidung mancungnya begitu kecil sama seperti bibirnya yang sekarang tengah sedikit terbuka. Rain belum pernah melihat perempuan berwajah malaikat seperti Selena.
Selena bak bintang lapangan, dia begitu menguasai olahraga voli. Bukan hanya Selena, bahkan saudaranya juga seperti itu. Matt tidak ingin kalah oleh adiknya. Dia terlihat begitu unggul dalam permainan ini. Seolah paket sempurna dimiliki mereka berdua, semua murid langsung saja mengidolakan Selena dan Matt.Selama jam pelajaran olahraga berlangsung, Selena tidak melihat kehadiran Rain. Lelaki itu lagi-lagi bolos pelajaran ini.Apa yang dia inginkan di sekolah kalau apa saja dia lewatkan? Kenapa dia harus sekolah? Lebih baik dia di rumah saja. Dasar manusia aneh! … Selena terus memaki dalam hati saat sadar Rain hanya duduk di tribun sambil membaca buku.“Lea,” panggil Selena pada Syilea yang sedang duduk di lantai meluruskan kakinya yang pegal-pegal.“Ya?”Selena duduk di samping Syilea. Dia tidak tampak kelelahan sedikit pun meski sudah mengeluarkan banyak tenaga dan itu aneh pikir Syilea.“Kenapa
“Hal yang paling kubenci adalah saat aku tidak bisa membenci orang yang membenciku.”***Bianca begitu berani karena dia memutuskan untuk keluar dari sekolah sementara pelajaran masih berlangsung. Dia menyelinap keluar lalu berjalan lewat belakang sekolah, di mana tidak banyak orang-orang yang akan lewat sana.Pohon pinus yang tinggi dan besar menjulang ke langit. Dia terus berjalan dengan mata mengawasi sekitar. Memperhatikan apakah aka nada mangsa yang bisa dia buru hari ini. Dahaga yang dia rasakan sudah sangat tidak tertahankan.Diam-diam dia menyetujui permintaan Henry untuk tidak membuat onar dengan cara mencari manusia untuk dijadikan tumbal. Cukup dia mencari rusa di hutan untuk diambil darahnya lalu mencabik sehingga terlihat bahwa si rusa malang itu telah dimakan binatang buas. Setidaknya itu yang selalu mereka lakukan.“Kenapa tidak ada rusa satu pun?!” geram Bianca.Tenggorokannya semakin terasa p
“Berterima kasih lah pada semesta dan Tuhan karena kau masih diberikan napas.”***Syilea tampak merasa sangat bersalah. Beberapa kali dia berbisik pada Selena selama jam pelajaran untuk memaafkan dirinya. Meski bingung apa yang terjadi pada teman sebangkunya, setidaknya Syilea merasa tidak enak hati karena sudah membuat Selena mual hingga muntah seperti itu.“Padahal coklatnya masih bagus. Mana mungkin aku memberikanmu coklat yang sudah basi,” ucap Syilea setelah pulang sekolah. Dia terus berjalan mengimbangi langkah cepat Selena yang menuju ke pintu gerbang.“Sudah kubilang tidak masalah, Lea … aku hanya sedang tidak sehat. Pencernaanku begitu buruk hari ini, makanya aku mual,” jawab Selena mencoba menenangkan Syilea dari perasaan bersalah.“Benarkah? Aku sungguh-sungguh meminta maaf,” ucapnya lagi.Selena memaksakan senyumnya dan mengangguk. Di depan sana berjarak sekitar lim