Share

Catatan Ketiga: Sebuah Pesan Misterius

Siang itu angin bertiup cukup kencang dan membawa serta debu juga butiran pasir kering. Tanah di sekitar tampak tandus tanpa satu pun tumbuhan hijau yang tumbuh mewarnai. Sementara aroma berbau busuk masih tercium menyengat indra penciuman meski pertempuran di tempat ini sudah lama usai. Kira-kira seperti inilah pemandangan menyedihkan yang menghiasi seluruh kontinen timur Beta Urora. Tidak ada manusia, tidak ada hewan yang berkeliaran, tidak ada tanda-tanda kehidupan.

Semenjak pertempuran berakhir dengan kemenangan telak Putri Kematian, mayat-mayat hidup tampak menguasai Pollaris Imperial yang merupakan pemerintah pusat kontinen timur. Sang Putri Kematian menjadi penghuni baru atas bangunan pencakar langit yang sebelumnya menjadi kantor para dewan dan senat. Sudah hampir sebulan wanita berhati dingin itu berdiam di sana tanpa melakukan pergerakan apa-apa.

“Putri Endley.” Sesosok mayat hidup berpenampilan layaknya petani miskin dengan pakaian compang-camping dan syal merah kumuh melingkar di leher memanggil dari luar ruangan kantor yang kini beralih fungsi menjadi kamar istirahat pribadi Alvi Veenessa Endley. Sebenarnya alasan utamanya adalah karena hanya di ruangan ini saja yang memiliki sofa empuk, kamar mandi dan pemandangan langsung ke seluruh Pollaris Imperial.

“Kirra Anggriawan, ya?” Alvi melirik singkat ke arah pintu sebelum kembali menatap ke luar kaca jendela. Pemandangan seluruh Pollaris Imperial sama matinya dengan sorot mata Alvi yang tanpa binar kehidupan. 

“Alice Nebula baru saja mengumumkan uang hadiah terbaru atas kepala Anda. Mulai sekarang akan ada lebih banyak pemburu hadiah yang datang. Anda harus lebih hati-hati,” lapor Kirra Anggriawan. Satu-satunya mayat hidup yang bangkit dengan membawa serta jiwa dan kesadaran.

Alvi hanya memberi respons berupa sebuah senyum cemooh. “Datanglah. Aku tidak pernah menolak jika ada yang datang mengantar nyawa. Aku akan mempercepat pertemuan mereka dengan kematian,” komentarnya sambil berpindah tempat dan duduk bersandar di sofa.

“Ada juga kabar mengenai pencarian North Compass oleh para pemburu.” Kirra melanjutkan laporan.

Senyum Alvi berganti menjadi dengusan dingin. Ekspresinya semakin menunjukkan sikap hina dan merendahkan. “Pusaka primitif itu tidak mudah dicari. Aku menghabiskan setahun penuh untuk mencarinya. Tapi hasilnya nihil.”

“Ada yang bilang kontinen tenggara mungkin memiliki petunjuk,” balas Kirra melaporkan apa yang ia dengar selama menyusup ke kontinen barat.

“Tenggara?” Alvi mengernyit sambil berpikir selama beberapa waktu. Di antara semua kemungkinan lokasi penyimpanan North Compass, kontinen tenggara merupakan satu-satunya wilayah yang tidak masuk ke dalam daftar pencarian. Kontinen kekuasaan Kerajaan Ishlindisz itu seolah bukan tempat yang baik untuk menyimpan sebuah pusaka primitif.

“Kirra, bawa semua mayat hidup ke Jalur Kematian baru. Target kita berikutnya adalah perbatasan tiga kontinen,” perintah Alvi. 

“Putri Endley, apakah Anda akan ke tenggara?” Kirra bertanya penasaran.

“Sedang kupertimbangkan,” jawab Alvi seraya bangkit berdiri. Jika benar kontinen tenggara menyimpan petunjuk mengenai North Compass, ia tentu saja tidak akan melepaskan kesempatan itu. Tapi ia masih bimbang antara memprioritaskan kebinasaan kontinen barat atau langsung pergi ke tenggara. Karena saat ini ancaman terbesarnya adalah Alice Nebula.

“Aku keluar dulu cari udara. Urusan mayat hidup, aku serahkan padamu.” Alvi berlalu meninggalkan Kirra Anggriawan yang membungkuk patuh.

Matahari bersinar semakin terik dan angin kering terus-terusan berembus kencang menjentik lonceng mini berbentuk bola yang terjurai di pinggang Alvi. Rumput liar yang telah mengering layu di pinggir trotoar dekat tiang lampu tampak terombang-ambing di tengah serbuan angin yang semakin beringas. Meski demikian, akarnya tetap memilih bertahan di dalam tanah, seakan masih berusaha keras untuk menggenggam erat harapan untuk bertahan hidup di tanah yang telah mati ini.

Alvi berbelok dari blok bangunan perkantoran menuju kompleks sekolah. Sesungguhnya keluar untuk mencari udara hanya alasan belaka. Tujuan utamanya adalah lokasi yang ditunjukkan dalam surat misterius. Alvi sendiri tidak menyadari sebuah surat terselip di saku pakaiannya hingga sehari setelah ia berhasil membinasakan total kontinen timur dan menguasai Pollaris Imperial. Kala itu ia hendak mengganti pakaiannya ke sweter santai berwarna krem muda ketika sebuah kertas asing terjatuh.

Menarik juga di tengah pertempuran ada seseorang yang secara diam-diam berhasil mendekat dan menyelipkan surat ini tanpa ia sadari. Alvi cukup tertarik dengan orang berkemampuan tinggi itu, tapi mengenai isi dan tujuan pengirim, ia sama sekali tidak menaruh minat. Setidaknya ia telah mengabaikan surat itu selama hampir sebulan hingga beberapa menit lalu ketika mendengar laporan dari Kirra Anggriawan.

Kontinen tenggara. Kerajaan Ishlindisz. Entah kebetulan atau disengaja, tanda nama pada surat misterius itu juga tertulis Ishlindisz. Saat itulah Alvi akhirnya mau serius mempertimbangkan surat yang sebetulnya hanya berisi alamat sebuah tempat yang masih masuk dalam wilayah Pollaris Imperial. Ruang kelas di sebuah sekolah putri berasrama. Papan nama di pagar depan tertulis Sekolah Tinggi Saint Hela.

Alvi mendorong pelan pintu pagar yang memang tak terkunci. Derit nyaring akibat engsel berkarat bergema memecahkan kesunyian halaman bangunan. Mayat hidup yang berada di sekitar terpancing seketika. Mereka menggeram pelan dan panjang sebelum mengurungkan niat untuk menghampiri. Makhluk tanpa jiwa itu seolah tahu yang menimbulkan suara berderit barusan adalah sang Putri Kematian. Pencipta mereka.

Kelas 5D yang ada di lantai tiga adalah tempat pertemuan dengan si pengirim surat. Di dalam sana terdapat kursi dan meja yang masih tertata rapi. Papan tulis juga telah dihapus bersih hingga hanya menyisakan tulisan tanggal di pojok kiri atas. Tanggal 15 bulan kedua belas tahun XX87.

Hari itu adalah hari terakhir kegiatan belajar mengajar sebelum liburan musim dingin tiba. Liburan yang seharusnya diisi oleh hal-hal indah dan wisata menyenangkan itu justru berubah menjadi mimpi buruk yang menyajikan pemandangan akan kebinasaan total Pollaris Imperial dan seluruh kontinen timur.

“Akhir kau datang juga. Tak sia-sia kami sabar menunggumu di sini.” Suara tegas milik seorang wanita terdengar dari belakang Alvi.

“Kau yang mengirim surat ini?” Alvi mengangkat kertas surat yang dimaksud sambil melirik ke belakang. Meski di saat itu ia terang-terangan memberi punggungnya pada dua sosok asing, namun ia tidak terlihat lengah sedikit pun. Tatapan matanya tetap tajam dan penuh sikap siap menyerang.

“Aku, Kim Hana, pengawal pribadi Tuan Putri Vania En Laluna Ishlindisz sekaligus orang yang mengantar surat itu pada Anda, Putri Kematian.” Wanita yang menyapa tadi memperkenalkan diri. Pedang dengan gagang berlapis emas dan sarung berukiran mewah yang terselip di pinggang menjadi bukti kuat bahwa dia adalah seorang pengawal elite yang secara khusus dilatih untuk menjadi pelindung anggota keluarga Kerajaan Ishlindisz. 

Hanya saja Alvi tidak tahu setinggi apa status anggota Kerajaan yang hendak menemuinya itu.

Alvi kemudian berbalik hingga mereka bisa saling bertatapan dengan leluasa. “Unik juga cara kalian mengantar surat.” Alvi mengomentari sementara matanya bergeser pada sosok kedua saat mengucapkan bagian ‘kalian’. 

“Vania En Laluna Ishlindisz. Putri sulung dari raja Kerajaan Ishlindisz.” Sosok kedua melepas tudung yang menutupi kepala hingga memperlihatkan wajah jelitanya. 

Wanita keturunan darah biru memanglah berbeda. Rambut hitam panjang yang begitu terawat tergerai indah sedangkan kulit putih mulus yang seperti tidak pernah terpapar sinar matahari tampak berkilau. Usianya mungkin baru memasuki awal dua puluh tahun, tapi setiap detail dalam dirinya begitu sempurna dan bergelimpangan cahaya. Terutama paras yang teramat cantik serta sepasang iris mata berwarna hijau yang nyaris menghipnotis Alvi.

“Seorang Tuan Putri dan pengawal pribadinya. Ada keperluan apa sampai rela menemui seorang Putri Kematian sepertiku?” Alvi bertanya.

“Aku ingin memintamu memusnahkan seluruh kontinen tenggara. Termasuk rakyat Kerajaan Ishlindisz.” Kalimat Vania meluncur begitu cepat dan tiba-tiba hingga Alvi nyaris tidak memercayai apa yang barusan ia dengar.

Alvi memberi respons kilat berupa kerutan di dahi. Tatapan matanya berubah menjadi menyelidik dan bertanya-tanya tak mengerti. Ia tidak pernah membayangkan untuk mendengar sesuatu yang lebih gila dari ambisinya sendiri. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status