Alvi bergantian mencermati Vania En Laluna Ishlindisz dan Kim Hana. Aneh sekali! Di saat seluruh Beta Urora berusaha mati-matian mempertahankan wilayah masing-masing, seseorang justru datang kepadanya dan meminta bantuan membinasakan seluruh kontinen tenggara. Terlebih lagi, yang datang adalah putri sulung dari raja Kerajaan Ishlindisz!
“Musnahkan semua yang ada di kontinen tenggara dan sebagai gantinya, aku akan menjadi senjata kematianmu.” Vania En Laluna Ishlindisz menunjukkan sebuah hologram senjata berjenis sabit besar ala dewa kematian di atas telapak tangannya. Seluruh permukaan senjata dilapisi material hitam mengilap termasuk mata sabit. Retakan halus yang hanya sebatas ornamen tampak memendarkan cahaya semerah bara api di sekujur gagang senjata, menambah kesan ganas dan mematikan.
Vania tampak bersungguh-sungguh akan ucapannya. Namun sosok di depannya bukanlah seseorang yang bisa percaya dengan mudah. Apalagi segalanya terlihat sangat tidak masuk akal dan penuh tanda tanya.
“Alasannya?” Alvi bertanya ingin tahu.
“Kau yang sudah membantai seluruh kontinen timur Beta Urora tentu saja tidak butuh alasan untuk membinasakan kontinen lain, bukan?” Vania sepertinya enggan memberitahu alasan.
Alvi duduk setengah bersandar pada pinggir sebuah meja. Kedua tangannya terlipat dan ia pun membalas dengan suara tenang. “Ya, aku memang tidak perlu alasan ketika memutuskan untuk membinasakan sebuah wilayah. Tapi aku cukup penasaran apa yang membuat seorang putri sulung Kerajaan Ishlindisz datang memohon padaku.”
“Aku tidak datang memohon. Aku datang dengan penawaran,” tegas Vania sedikit tidak terima jika dianggap datang memohon seperti seorang pengemis.
“Kalau begitu, maaf saja. Aku tidak tertarik dengan penawaranmu.” Alvi spontan beranjak pergi. Lonceng kecil yang terjurai di pinggangnya menyusul berdenting singkat merespons gerak tubuh yang cukup mendadak.
“Kalau aku bilang senjata kematian ini adalah salah satu pecahan North Compass yang sedang kau cari, apa kau tetap tidak tertarik?” Kalimat itu berhasil menghentikan langkah kaki Alvi. Sang Putri Kematian kembali berbalik dan menatap Vania dengan benak menerka-nerka. Pertanyaan, keraguan serta rasa penasaran semakin bertumbuh liar.
“Buktikan agar aku bisa percaya,” tantang Alvi.
Vania menjawab dengan membuka dua buah kancing atas kemeja putih yang ia kenakan. Sebuah bola kristal ukuran segenggam telapak tangan orang dewasa tampak tertanam sedikit di atas jantungnya. Urat-urat menonjol dan bekas jahitan yang tak pernah bisa hilang tampak di sekeliling kristal itu dan bercabang ke leher, bahu dan jantung.
“Ini adalah cara Kerajaan Ishlindisz mempertahankan pewarisan pecahan North Compass,” ujar Vania sedikit pun tidak merasa bangga. Saat itu, ekspresi yang tergambar di wajahnya adalah datar dengan segelintir kepahitan.
“Konsep rumit berlaku pada pecahan North Compass. Ratus ribuan tahun lalu ketika Beta Urora berhasil mengalahkan raja iblis dari dunia bawah, senjata kematian North Compass miliknya terpecah menjadi lima bagian. Demi mencegah orang-orang sinting yang berambisi menguasai atau membinasakan dunia, Beta Urora memutuskan untuk menyegel pecahan North Compass menjadi sebuah memori yang terlupakan.”
“Artinya North Compass akan terlahir kembali di sembarang orang setiap kali pemilik terdahulu meninggal. Jika pola ini diulang selama ribuan tahun dan sampai sekarang, maka secara otomatis eksistensi senjata itu akan sulit dilacak dan perlahan-lahan terlupakan. Tapi entah kenapa leluhurku malah memutuskan untuk diam-diam mempertahankan satu pecahan. Setelah pencarian panjang, beliau akhirnya menemukan seseorang yang mengemban pecahan North Compass. Pecahan itu dikristalisasi seperti ini dan dipindah melalui operasi panjang pada pewaris murni Kerajaan Ishlindisz.”
“Karena ego dan alasan yang tak dimengerti itulah, kini seluruh kontinen tenggara berada dalam penderitaan panjang.” Vania bercerita.
“Apa karena isu mengenai North Compass yang bisa dipakai untuk mengalahkanku sehingga orang-orang datang dan tenggara menjadi kacau?” tanya Alvi setengah menyimpulkan.
“Bukan salahmu, Putri Kematian. Kekacauan di kontinen tenggara sudah terjadi jauh sebelum kau muncul. Mungkin sekitar lima tahun lalu dan setahun terakhir semakin parah.” Kim Hana mengambil alih untuk menjawab.
“Apa yang terjadi?” Alvi masih penasaran dengan alasan dibalik kedatangan dua anggota keluarga Kerajaan Ishlindisz itu. Banyak ksatria kuat berhati suci di Alice Nebula mau pun wilayah lain di kontinen barat. Tapi kenapa mereka justru datang kepadanya yang merupakan seorang Putri Kematian?
“Kau akan tahu setelah menyaksikan sendiri kondisi kontinen tenggara.” Sama seperti Vania, Kim Hana juga enggan mengutarakan alasan utama kedatangan mereka.
Alvi kembali diam mempertimbangkan keputusan mana yang harus diambil. Ia masih sulit mempercayai cerita mereka yang baru saja ia kenal beberapa menit lalu. Terutama tentang pecahan North Compass.
“Kontinen tenggara tidak luput dari target pembinasaanku. Hanya masalah waktu cepat atau lambat,” ucap Alvi setelah membisu cukup lama. “Aku ingin coba dulu kemampuan senjata kematian yang menurut pengakuanmu adalah pecahan North Compass.”
Senyum seketika mengembang di wajah cantik Vania. Ia segera mengangguk cepat menyetujui sebelum sang Putri Kematian berubah pikiran.
“Tapi ingat, aku belum memutuskan untuk membantu kalian atau tidak,” tegas Alvi sebelum terjadi kesalahpahaman.
“Kau pasti setuju. Karena kau butuh sebuah senjata kuat untuk mewujudkan ambisimu.” Entah dari mana Vania mendapat keyakinan setinggi itu.
Alvi melangkah keluar kelas tanpa niat merusak harapan serta rasa optimis yang berlebihan itu. Ujian yang akan ia berikan bukanlah sesuatu yang bisa dilewati oleh senjata biasa. Karena yang Alvi cari adalah senjata yang kuat menahan bara api kematian.
Entah sudah berapa banyak senjata hebat yang ditempa dengan material terbaik yang berakhir hancur akibat keganasan api kematian. Api yang identik dengan warna hitam pekat itu tidak pernah lelah menunjukkan taringnya setiap kali ada senjata baru yang hendak berbagi ruang dengan baranya. Alvi tahu, api kematian tidak pernah bersahabat. Namun ia tidak menyangka mencari senjata yang cocok dengan api kematian sangatlah sulit.Lapangan olahraga yang terletak di antara asrama dan gedung sekolah merupakan tempat yang cocok. Alvi membawa kedua tamu asing ke tengah lapangan yang cukup terik akan sinar matahari di jam dua siang itu.“Pegang ini.” Alvi menyerahkan sebuah mutiara kecil berwarna jingga kepada Vania. “Kau boleh langsung berhenti jika merasa api kematian mulai memakanmu,” lanjutnya dengan intonasi bicara dingin yang tidak selaras dengan niat baiknya.Setelah persiapan selesai, Vania mulai merapal sesuatu. “Sambutlah aku wahai Putri Kematian. Terimalah kekuatanku dan jadikan aku sebag
Napas yang tersengal-sengal akibat kelelahan berseling dengan langkah kaki gontai yang menginjak genangan air lumpur tanpa memerdulikan cipratannya mengotori kaki telanjang. Seorang anak perempuan berbusana gaun tidur putih selutut tampak melangkah tergesa-gesa menerobos hujan lebat di antara pepohonan hutan. Pakaiannya telah basah kuyup, sementara warnanya telah berubah menjadi coklat lumpur. Tak terhitung sudah berapa kali ia terjatuh akibat tersandung akar pohon yang menonjol keluar, dan sebanyak itu pulalah ia bangkit berdiri dan terus berlari. “Ke mana anak itu lari? Cepat berpencar dan temukan dia! Jangan biarkan dia lolos!” teriak seseorang di tengah amukan petir yang menemani derasnya hujan di siang itu.Sekelompok pengejar yang terdiri atas tiga puluh orang segera berpencar dalam jarak yang tidak saling berjauhan. Senapan di masing-masing tangan tampak terancung siaga siap menembaki target yang sedang mereka cari.“Di sini! Dia ada di sini!” Seorang anggota berteriak seraya
Sinar matahari yang menyilaukan mata disertai kicauan burung-burung yang merdu di pagi hari membuat Claudia bergelut manja di bawah balutan selimut tebal yang hangat. Semula ia pikir dirinya hanya mengalami mimpi buruk yang amat panjang dan melelahkan. Lalu ketika fajar menyingsing dan matahari mulai menampakkan sinarnya, maka semua akan kembali seperti normal. Kerajaan Ishlindisz yang damai, penduduk yang penuh semangat memulai aktivitas, dan tentu saja di meja makan sudah ada ayah serta kakak yang menantinya untuk sarapan bersama.Gambaran-gambaran indah akan kehidupan tenteram itu seketika buyar sewaktu bunyi dentingan besi yang ditempa berulang kali menusuk telinga Claudia. Udara hangat pelan-pelan berubah menjadi hawa panas yang menciptakan rasa gerah. Claudia En Lacia Ishlindisz terpaksa membuka mata yang masih mengantuk dan berusaha mencari sumber suara yang sangat mengganggu tidurnya itu. Pemandangan pertama yang tertangkap oleh mata dengan iris berwarna hijau miliknya langsun
Claudia mencermati secara saksama setiap ruangan hingga sudut koridor yang ia lewati. Setelah menjelajah singkat ke setiap kamar di lantai dua, ia pun menuruni tangga. Mata dengan iris hijau indahnya sempat melirik sepintas ke arah bengkel sebelum akhirnya pergi menuju dapur di bagian paling belakang. Sesuai ucapan Vice, penginapan ini benar-benar kosong tanpa satu orang pun tak terkecuali karyawan!“Sudah berapa lama tempat ini tidak mendapat tamu?” Claudia bertanya-tanya dalam hati. Telunjuknya mengusap kuat permukaan meja kayu untuk mengukur ketebalan debu.“Kenapa dia tidak pergi saja dari tempat ini dan mencari kehidupan yang lebih menjanjikan?” Anak perempuan itu terus menerka-nerka sambil mulai mencari sosok Vice Kyle yang sedari tadi tidak terlihat.Aneh dan juga sulit dijelaska
Alvi Veenessa Endley mengamati sekeliling dengan rasa penasaran yang berhasil disamarkan oleh mimik kaku di wajah. “Ishlindisz, inikah yang mau kau tunjukkan setelah membawaku berputar jauh ke arah barat daya kontinen tenggara?” tanyanya pada Vania En Laluna Ishlindisz.Tidak ada hal menarik yang bisa diceritakan selain bangunan-bangunan kosong dengan seluruh kaca jendela pecah total di mana serpihannya tampak berserakan di jalanan. Debu tebal juga menyamarkan warna aspal jalan menjadi coklat pasir. Lalu ada banyak sampah kertas yang entah sudah berapa tahun tergeletak di sana sampai-sampai tulisannya telah memudar.Kota mati Osteria dan Gharian merupakan dua kota bertetangga yang menjadi perbatasan langsung antara wilayah barat daya kontinen tenggara dengan kontinen barat. Sayangnya, akses keluar-masuk perbatasan dan kota telah disegel rapat-
Kerangka makhluk raksasa yang dahulu kala sempat dipuja-puja akan keagungan dan napas api seakan terbangun dari tidur abadinya. Makhluk yang hanya terdiri atas susunan tulang belulang itu meraung ganas seraya mengayun kasar tungkai kanan depan ke sisi kiri. Mengempas subjek-subjek gagal buangan Eins Stewart yang lebih dulu maju menyerang. Dengan segala keunggulan yang dimiliki, sang makhluk raksasa mengembuskan napas berat, sementara mata dengan iris semerah bara magma mengawasi makhluk-makhluk kerdil lainnya yang mulai merapat.Subjek-subjek buangan yang terempas berakhir dengan menubruk dinding bangunan dan memekik sakit. Meski demikian, mereka tetap berusaha bangkit walau struktur anatomi tubuh tampak semakin tak karuan. Dislokasi parah terlihat jelas pada sendi dan tulang mereka. Misalnya ada yang membungkuk permanen akibat tonjolan-tonjolan tak wajar pada tulang punggung seperti hendak mencuatkan sesu
Entah kenapa suasana di kota mati Gharian menjadi sedikit lebih hangat sejak pertemuan kembali dua tuan putri yang menjadi pewaris sah atas takhta Kerajaan Ishlindisz. Para subjek gagal menjadi lebih jinak dan berdiam di sudut-sudut tergelap kota. Sisa-sisa jiwa manusia yang masih tertinggal di dalam diri mereka seakan mengenali sang Tuan Putri.Vania dan Kim Hana akhirnya berhasil menemukan satu rumah bertingkat dua yang masih utuh baik luar maupun bagian dalam. Ada dua kamar tidur yang lengkap dengan kasur, penghangat ruangan, kotak obat serta beberapa pakaian yang mungkin bisa mereka pakai. Setidaknya malam ini mereka bisa terlindung dari serbuan angin malam yang semakin beku.“Endley, kau bisa masuk angin kalau terus di luar sini.” Vania berusaha memanjat ke atap rumah melalui balkon lantai dua.
Setiap kali Claudia membuka mata, ia selalu menemukan dirinya berada di tempat berbeda dengan orang berbeda pula. Tapi kali ini ia seperti terbangun dari mimpi di dalam mimpi. Tidak mungkin pemandangan di depan matanya adalah nyata. Tidak mungkin kakak yang selama ini berusaha ia cari muncul begitu saja di sampingnya. “Kak Vania...” Bibir Claudia bergumam tanpa mengeluarkan sedikit pun suara. Matanya masih terpaku tak percaya pada sosok wanita yang sedang tidur tengkurap dengan wajah menghadap ke arahnya. Claudia hendak bangkit dari baringan untuk memastikan ini semua bukanlah mimpi. Namun keraguan itu terjawab sudah oleh rasa sakit yang seketika menjalar ke seluruh tubuh terutama di bagian punggung. Rasa menyiksa itu bukanlah sesuatu yang bisa diproduksi oleh mimpi atau pun ilusi. Tapi kenapa kakaknya bisa ada di sini? Lagi pula, ini di mana?