Share

Catatan Keempat: Negosiasi

Alvi bergantian mencermati Vania En Laluna Ishlindisz dan Kim Hana. Aneh sekali! Di saat seluruh Beta Urora berusaha mati-matian mempertahankan wilayah masing-masing, seseorang justru datang kepadanya dan meminta bantuan membinasakan seluruh kontinen tenggara. Terlebih lagi, yang datang adalah putri sulung dari raja Kerajaan Ishlindisz! 

“Musnahkan semua yang ada di kontinen tenggara dan sebagai gantinya, aku akan menjadi senjata kematianmu.” Vania En Laluna Ishlindisz menunjukkan sebuah hologram senjata berjenis sabit besar ala dewa kematian di atas telapak tangannya. Seluruh permukaan senjata dilapisi material hitam mengilap termasuk mata sabit. Retakan halus yang hanya sebatas ornamen tampak memendarkan cahaya semerah bara api di sekujur gagang senjata, menambah kesan ganas dan mematikan.

Vania tampak bersungguh-sungguh akan ucapannya. Namun sosok di depannya bukanlah seseorang yang bisa percaya dengan mudah. Apalagi segalanya terlihat sangat tidak masuk akal dan penuh tanda tanya.

“Alasannya?” Alvi bertanya ingin tahu.

“Kau yang sudah membantai seluruh kontinen timur Beta Urora tentu saja tidak butuh alasan untuk membinasakan kontinen lain, bukan?” Vania sepertinya enggan memberitahu alasan.

Alvi duduk setengah bersandar pada pinggir sebuah meja. Kedua tangannya terlipat dan ia pun membalas dengan suara tenang. “Ya, aku memang tidak perlu alasan ketika memutuskan untuk membinasakan sebuah wilayah. Tapi aku cukup penasaran apa yang membuat seorang putri sulung Kerajaan Ishlindisz datang memohon padaku.”

“Aku tidak datang memohon. Aku datang dengan penawaran,” tegas Vania sedikit tidak terima jika dianggap datang memohon seperti seorang pengemis.

“Kalau begitu, maaf saja. Aku tidak tertarik dengan penawaranmu.” Alvi spontan beranjak pergi. Lonceng kecil yang terjurai di pinggangnya menyusul berdenting singkat merespons gerak tubuh yang cukup mendadak.

“Kalau aku bilang senjata kematian ini adalah salah satu pecahan North Compass yang sedang kau cari, apa kau tetap tidak tertarik?” Kalimat itu berhasil menghentikan langkah kaki Alvi.  Sang Putri Kematian kembali berbalik dan menatap Vania dengan benak menerka-nerka. Pertanyaan, keraguan serta rasa penasaran semakin bertumbuh liar.

“Buktikan agar aku bisa percaya,” tantang Alvi.

Vania menjawab dengan membuka dua buah kancing atas kemeja putih yang ia kenakan. Sebuah bola kristal ukuran segenggam telapak tangan orang dewasa tampak tertanam sedikit di atas jantungnya. Urat-urat menonjol dan bekas jahitan yang tak pernah bisa hilang tampak di sekeliling kristal itu dan bercabang ke leher, bahu dan jantung. 

“Ini adalah cara Kerajaan Ishlindisz mempertahankan pewarisan pecahan North Compass,” ujar Vania sedikit pun tidak merasa bangga. Saat itu, ekspresi yang tergambar di wajahnya adalah datar dengan segelintir kepahitan. 

“Konsep rumit berlaku pada pecahan North Compass. Ratus ribuan tahun lalu ketika Beta Urora berhasil mengalahkan raja iblis dari dunia bawah, senjata kematian North Compass miliknya terpecah menjadi lima bagian. Demi mencegah orang-orang sinting yang berambisi menguasai atau membinasakan dunia, Beta Urora memutuskan untuk menyegel pecahan North Compass menjadi sebuah memori yang terlupakan.”

“Artinya North Compass akan terlahir kembali di sembarang orang setiap kali pemilik terdahulu meninggal. Jika pola ini diulang selama ribuan tahun dan sampai sekarang, maka secara otomatis eksistensi senjata itu akan sulit dilacak dan perlahan-lahan terlupakan. Tapi entah kenapa leluhurku malah memutuskan untuk diam-diam mempertahankan satu pecahan. Setelah pencarian panjang, beliau akhirnya menemukan seseorang yang mengemban pecahan North Compass. Pecahan itu dikristalisasi seperti ini dan dipindah melalui operasi panjang pada pewaris murni Kerajaan Ishlindisz.”

“Karena ego dan alasan yang tak dimengerti itulah, kini seluruh kontinen tenggara berada dalam penderitaan panjang.” Vania bercerita.

“Apa karena isu mengenai North Compass yang bisa dipakai untuk mengalahkanku sehingga orang-orang datang dan tenggara menjadi kacau?” tanya Alvi setengah menyimpulkan.

“Bukan salahmu, Putri Kematian. Kekacauan di kontinen tenggara sudah terjadi jauh sebelum kau muncul. Mungkin sekitar lima tahun lalu dan setahun terakhir semakin parah.” Kim Hana mengambil alih untuk menjawab.

“Apa yang terjadi?” Alvi masih penasaran dengan alasan dibalik kedatangan dua anggota keluarga Kerajaan Ishlindisz itu. Banyak ksatria kuat berhati suci di Alice Nebula mau pun wilayah lain di kontinen barat. Tapi kenapa mereka justru datang kepadanya yang merupakan seorang Putri Kematian? 

“Kau akan tahu setelah menyaksikan sendiri kondisi kontinen tenggara.” Sama seperti Vania, Kim Hana juga enggan mengutarakan alasan utama kedatangan mereka.

Alvi kembali diam mempertimbangkan keputusan mana yang harus diambil. Ia masih sulit mempercayai cerita mereka yang baru saja ia kenal beberapa menit lalu. Terutama tentang pecahan North Compass.

“Kontinen tenggara tidak luput dari target pembinasaanku. Hanya masalah waktu cepat atau lambat,” ucap Alvi setelah membisu cukup lama. “Aku ingin coba dulu kemampuan senjata kematian yang menurut pengakuanmu adalah pecahan North Compass.”

Senyum seketika mengembang di wajah cantik Vania. Ia segera mengangguk cepat menyetujui sebelum sang Putri Kematian berubah pikiran.

“Tapi ingat, aku belum memutuskan untuk membantu kalian atau tidak,” tegas Alvi sebelum terjadi kesalahpahaman. 

“Kau pasti setuju. Karena kau butuh sebuah senjata kuat untuk mewujudkan ambisimu.” Entah dari mana Vania mendapat keyakinan setinggi itu.

Alvi melangkah keluar kelas tanpa niat merusak harapan serta rasa optimis yang berlebihan itu. Ujian yang akan ia berikan bukanlah sesuatu yang bisa dilewati oleh senjata biasa. Karena yang Alvi cari adalah senjata yang kuat menahan bara api kematian.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status