Satu-satunya ruang rapat di lantai tujuh berhasil disulap menjadi seperti kapal pecah oleh Rihan Daniel. Tumpukan buku menggunung di atas meja panjang di tengah ruangan, sementara sampah kertas terlihat bertebaran di lantai beralas karpet. Coretan tulisan berupa detail kejadian demi kejadian yang berlangsung selama kurun waktu dua puluh tahun terakhir tampak ditempel di atas peta seluruh Beta Urora yang dipampang sangat besar dan mencolok di dinding sebelah kiri dari pintu masuk. Rentetan kisah itu sangat panjang dan tak mungkin habis dalam satu malam jika harus diceritakan.
Ada beberapa catatan yang diperoleh Vania dan yang lain setelah selesai dari ruang di lantai tujuh itu. Tentang North Compass maupun kejadian yang terjadi selama dua lima puluh tahun terakhir—atau mungkin lebih lama dari itu, menurut pengakuan Nega Vaiskyler; sang naga api yang terjebak dalam raga anak perempuan manusia.
Raka Gilbert Vaiskyler membawa Vania En Laluna Ishlindisz ke sisi lain halaman. Walau jarak dengan pantai tidak sedekat tempat sebelumnya, namun pemandangan akan hamparan lautan masih bisa terlihat jelas. Vania menyentak ringan bahu kanannya sambil mengambil langkah kecil memisahkan diri dari Raka. Tadinya ia sengaja mengikuti skenario yang sengaja diciptakan Raka untuk menjauhi Fhillipe. Namun sekarang akting itu sudah tidak diperlukan. Raka yang sadar diri segera melepas rangkulannya. Dengan sedikit canggung laki-laki itu memasukkan kedua tangan ke saku jaket abu-abu berbahan katun. Matanya mengikuti arah pandang Vania menuju gelombang pasang surut air pantai. “Dulu aku tidak sempat pamit denganmu. Jadi hari ini aku datang untuk mengucapkan salam perpisahan.” Raka bersuara memecah kebisuan di antara mereka. Vania tidak merespons. Matanya menatap sendu pada pantulan semu bulan pada permukaan air laut. “Aku juga berutang maaf dan sepenggal ucapan selamat... atas pernikahanmu.” Su
“Itu dia!!! Di atas sana! Serang! Serang sekarang juga!!!” Jeritan bernada memerintah terdengar nyaris bercampur aduk dengan letupan meriam beserta bunyi senjata api yang ditembak secara bertubi-tubi.Timah panas secara serentak meluncur bagai kilat menuju hanya kepada satu sasaran di atas bangunan berlantai lima. Namun sebelum peluru-peluru itu menembus, mencabik daging segar sasarannya, api berwarna hitam telah lebih dulu membara, menyambar, sekaligus melumpuhkan serangan tersebut. Tak satu pun peluru yang lolos. Semua habis disantap oleh api kematian yang identik akan warna hitam pekat. “Percuma saja! Serangan kita tidak mempan!” Seorang prajurit menyahut dengan suara putus asa. Bagaimana pun usaha mereka, tidak ada satu pun yang berhasil melukai sosok yang berdiri di atap bangunan di depan sana.“Kalau kau punya waktu meratapi kegagalan, lebih baik kau pakai waktumu itu buat terus menembak!” Komandan batalion yang sebelumnya memberi perintah merespons. Meski hanya ada secercah ke
Kertas pengumuman terbaru mengenai uang-hadiah atas kepala seorang Putri Kematian baru selesai ditempel di papan pengumuman kamp Aliansi Pemburu Hadiah. Jumlah fantastis yang ditawarkan oleh pemerintah pusat kontinen barat Beta Urora, Alice Nebula, berhasil menarik minat para pemburu yang selalu haus akan harta. Jumlah ini tentu saja belum termasuk hadiah menggiurkan yang ditawarkan oleh pihak lain di penjuru kontinen barat. Seperti misalnya provinsi Rami menawarkan material langka pembuat pedang; baja Damascus. Lalu Kota Pelabuhan Bargescrow akan memberi sisik milik monster laut; Leviathan, dan beberapa saudagar kaya di Olprone menawarkan sejumlah uang yang tidak kalah besarnya dengan uang hadiah yang ditawarkan Alice Nebula.Dengan jumlah hadiah yang begitu fantastis, lantas bagaimana cara mengalahkan sang Putri Kematian dan membawa pulang kepalanya dengan penuh kebanggaan? Pembahasan itu tak pernah menemukan titik terang hingga suatu hari, seseorang menyebut North Compass.“Jika i
Siang itu angin bertiup cukup kencang dan membawa serta debu juga butiran pasir kering. Tanah di sekitar tampak tandus tanpa satu pun tumbuhan hijau yang tumbuh mewarnai. Sementara aroma berbau busuk masih tercium menyengat indra penciuman meski pertempuran di tempat ini sudah lama usai. Kira-kira seperti inilah pemandangan menyedihkan yang menghiasi seluruh kontinen timur Beta Urora. Tidak ada manusia, tidak ada hewan yang berkeliaran, tidak ada tanda-tanda kehidupan.Semenjak pertempuran berakhir dengan kemenangan telak Putri Kematian, mayat-mayat hidup tampak menguasai Pollaris Imperial yang merupakan pemerintah pusat kontinen timur. Sang Putri Kematian menjadi penghuni baru atas bangunan pencakar langit yang sebelumnya menjadi kantor para dewan dan senat. Sudah hampir sebulan wanita berhati dingin itu berdiam di sana tanpa melakukan pergerakan apa-apa.“Putri Endley.” Sesosok mayat hidup berpenampilan layaknya petani miskin dengan pakaian compang-camping dan syal merah kumuh melin
Alvi bergantian mencermati Vania En Laluna Ishlindisz dan Kim Hana. Aneh sekali! Di saat seluruh Beta Urora berusaha mati-matian mempertahankan wilayah masing-masing, seseorang justru datang kepadanya dan meminta bantuan membinasakan seluruh kontinen tenggara. Terlebih lagi, yang datang adalah putri sulung dari raja Kerajaan Ishlindisz! “Musnahkan semua yang ada di kontinen tenggara dan sebagai gantinya, aku akan menjadi senjata kematianmu.” Vania En Laluna Ishlindisz menunjukkan sebuah hologram senjata berjenis sabit besar ala dewa kematian di atas telapak tangannya. Seluruh permukaan senjata dilapisi material hitam mengilap termasuk mata sabit. Retakan halus yang hanya sebatas ornamen tampak memendarkan cahaya semerah bara api di sekujur gagang senjata, menambah kesan ganas dan mematikan.Vania tampak bersungguh-sungguh akan ucapannya. Namun sosok di depannya bukanlah seseorang yang bisa percaya dengan mudah. Apalagi segalanya terlihat sangat tidak masuk akal dan penuh tanda tanya.
Entah sudah berapa banyak senjata hebat yang ditempa dengan material terbaik yang berakhir hancur akibat keganasan api kematian. Api yang identik dengan warna hitam pekat itu tidak pernah lelah menunjukkan taringnya setiap kali ada senjata baru yang hendak berbagi ruang dengan baranya. Alvi tahu, api kematian tidak pernah bersahabat. Namun ia tidak menyangka mencari senjata yang cocok dengan api kematian sangatlah sulit.Lapangan olahraga yang terletak di antara asrama dan gedung sekolah merupakan tempat yang cocok. Alvi membawa kedua tamu asing ke tengah lapangan yang cukup terik akan sinar matahari di jam dua siang itu.“Pegang ini.” Alvi menyerahkan sebuah mutiara kecil berwarna jingga kepada Vania. “Kau boleh langsung berhenti jika merasa api kematian mulai memakanmu,” lanjutnya dengan intonasi bicara dingin yang tidak selaras dengan niat baiknya.Setelah persiapan selesai, Vania mulai merapal sesuatu. “Sambutlah aku wahai Putri Kematian. Terimalah kekuatanku dan jadikan aku sebag
Napas yang tersengal-sengal akibat kelelahan berseling dengan langkah kaki gontai yang menginjak genangan air lumpur tanpa memerdulikan cipratannya mengotori kaki telanjang. Seorang anak perempuan berbusana gaun tidur putih selutut tampak melangkah tergesa-gesa menerobos hujan lebat di antara pepohonan hutan. Pakaiannya telah basah kuyup, sementara warnanya telah berubah menjadi coklat lumpur. Tak terhitung sudah berapa kali ia terjatuh akibat tersandung akar pohon yang menonjol keluar, dan sebanyak itu pulalah ia bangkit berdiri dan terus berlari. “Ke mana anak itu lari? Cepat berpencar dan temukan dia! Jangan biarkan dia lolos!” teriak seseorang di tengah amukan petir yang menemani derasnya hujan di siang itu.Sekelompok pengejar yang terdiri atas tiga puluh orang segera berpencar dalam jarak yang tidak saling berjauhan. Senapan di masing-masing tangan tampak terancung siaga siap menembaki target yang sedang mereka cari.“Di sini! Dia ada di sini!” Seorang anggota berteriak seraya
Sinar matahari yang menyilaukan mata disertai kicauan burung-burung yang merdu di pagi hari membuat Claudia bergelut manja di bawah balutan selimut tebal yang hangat. Semula ia pikir dirinya hanya mengalami mimpi buruk yang amat panjang dan melelahkan. Lalu ketika fajar menyingsing dan matahari mulai menampakkan sinarnya, maka semua akan kembali seperti normal. Kerajaan Ishlindisz yang damai, penduduk yang penuh semangat memulai aktivitas, dan tentu saja di meja makan sudah ada ayah serta kakak yang menantinya untuk sarapan bersama.Gambaran-gambaran indah akan kehidupan tenteram itu seketika buyar sewaktu bunyi dentingan besi yang ditempa berulang kali menusuk telinga Claudia. Udara hangat pelan-pelan berubah menjadi hawa panas yang menciptakan rasa gerah. Claudia En Lacia Ishlindisz terpaksa membuka mata yang masih mengantuk dan berusaha mencari sumber suara yang sangat mengganggu tidurnya itu. Pemandangan pertama yang tertangkap oleh mata dengan iris berwarna hijau miliknya langsun