Dering bel yang ada di atas pintu kafe terdengar ketika Ethan masuk. Ia merunduk, membaca pesan dari Joshua untuk memastikan posisi gadis blasteran itu. Lantai satu pojok dekat bunga anggrek. Ethan langsung mengedarkan pandangannya.
Tak butuh lama bagi manik coklatnya untuk mendapati seorang gadis duduk di sudut sana, sendirian. Namun parasnya berbeda dengan foto yang Joshua tunjukkan, membuat Ethan ragu. Namun gadis itu malah melambaikan tangan padanya. Membuat Ethan akhirnya menghampiri dan duduk di depan gadis itu, canggung.
"Joanna nggak bisa datang. Jadi aku yang gantikan. Nggak papa, kan?"
Ethan tersentak kecil mendengar aksen bahasa Indonesia gadis itu yang masih sangat mengambang. Berbeda dengan di foto, semua orang pun tahu gadis yang ada di depannya ini bukan blasteran. Tapi orang asing murni.
"Eh, Joshua juga nggak bisa datang. Dia harus jenguk neneknya di rumah sakit. Aku Ethan."
"Nggak masalah, aku sudah tahu. Joanna beri tahu aku langsung."
Ethan hanya mengangguk canggung. Tak tahu harus merespon seperti apa.
"Oh, iya. Aku Jennifer, sepupu Joanna. Panggil sana Jenn." ujar gadis itu manis dengan tangan terulur.
"Ethan." jawabnya menyebut ulang nama sembari menjabat tangan Jenn.
"Pesanlah sesuatu. Aku sudah." kata Jenn sembari menyodorkan menu.
Ethan jadi tak enak melihat Jenn dengan matcha yang sudah tinggal setengah. "Maaf, lama menunggu, ya?"
"Iya, lama. Aku hampir muak dengan semua ini. Tapi ketika melihat kamu, aku tahu aku tak akan menyesalinya."
Ethan melebarkan mata. Dua sudut bibirnya menarik senyuman canggung, lalu mengangguk. Mata lebar Jennifer sangat indah. Ethan jadi gugup dan kesulitan menguasai diri.
Joshua, Ethan juga tidak akan menyesali semua ini. Walau dalam hati nuraninya berharap, semoga Linda tidak akan pernah tahu dan tak mempermasalahkan hal ini.
**
"Lama ya, gerimisnya. Alamat hujan gede nih,"
"Tukang ojek pasti lagi sibuk-sibuknya,"
"Iya, mana tarif langsung naik mahal gila."
Percakapan teman-teman Ella masuk dari telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Gadis itu sibuk sendiri merunduk pada layar ponselnya. Sampai Fara yang menyadari hal itu pun menyikut pelan Ella agar nimbrung dan tak tenggelam dalam dunianya sendiri.
Namun ia justru melebarkan mata melihat layar ponsel Ella. "Lo udah mau pesen ojek?"
"Iya, udah mau maghrib, kan." Ella meringis lebar mengingat peraturan ketat dalam keluarganya.
"Oh iya, ya." raut Fara seketika berubah tak enak. "Eh, yang bawa motor siapa? Anterin Ella lewat jalan tikus, gih. Udah mau maghrib, biar cepet sampai."
Percakapan itu seketika hening. Mereka saling pandang. Kebanyakan mereka membawa mobil, kalau tidak kemari naik ojek online. Sampai suara kunci motor terdengar, seseorang dari mereka bangkit.
"Ayo." kata Abian.
Ella mendongak, lalu tersenyum tipis. "Iya," sahutnya ikut bangkit. "Gue duluan, ya." sambung Ella berpamitan. Dibalas anggukan oleh yang lain.
Abian dan Ella pun berjalan keluar dari restoran cepat saji itu. Hari ini memang cukup ramai karena hampir setengah teman kelas Ella datang. Ya sebenernya bukan hal mengejutkan, mereka juara satu kompak kalau soal makan-makan.
"Gue nggak pernah pulang sama lo. Rumah lo dimana, La?" tanya Abian sambil mereka berjalan ke parkiran.
"Eng? Oh, gue—" Ella merapatkan bibir, mendadak diam tak melanjutkan. Abian adalah orang luar. Ella bahkan tak memberi tahu eksistensi Ethan kepada dua sahabat dekatnya Fara dan Lucy, apalagi pada Abian yang hanya sebagai teman kelasnya. Ella harus berhati-hati.
"Turunin di depan gerbang masuk Graha Candi aja, Bi. Gue sekalian mau ngambil titipan di sana." jawab Ella.
"Ha?" Abian mengernyit. "Graha Candi bukannya jalan masuk ke dalam masih jauh? Hujan loh, La."
"Udah nggak papa. Santai kali, Bi," kata Ella berusaha tetap santai. Ia menyikut pelan Abian untuk mengusir gundah di wajah cowok itu.
Tiba di parkiran, Abian langsung bersiap memutar motor dan menyalakan mesin. Sejujurnya, dia juga tak membawa jas hujan di bawah jok motornya. Abian berharap waktunya masih cukup sebelum jadi hujan besar untuk tiba di gerbang masuk Graha Candi.
"Udah, Bi." Ella menepuk pelan pundak Abian ketika ia sudah duduk di jok belakang.
Abian pun mengangguk. Ia mengunci kaitan helmnya lalu memajukan motor meninggalkan area restoran cepat saji itu.
Namun perkiraan Abian salah. Baru sampai setengah jalan, hujan tiba-tiba mengguyur deras. Membuat Abian terpaksa menyingkir ke sebuah ruko yang tutup.
"Sorry, La. Gue nggak bawa jas hujan. Kalo udah keburu banget waktunya, nanti gue yang ngomong ke orang tua lo kalo kita kehujanan."
Ella mengangkat dua alis, matanya melebar menatap Abian. Merasa tidak setuju dengan ide cowok itu.
"Kalian ngapain di sini?" "Ngapain?" dua alis Ethan sontak terangkat mendengar kalimat itu. "Ini udah hampir ganti hari, Ayah nggak pulang. Gimana kami nggak khawatir?" Jalanan malam yang sepi masih dilintasi oleh beberapa motor dengan kecepatan tinggi. Di depan bar pada salah satu sudut kota itu, Tri Rahadi menatap Ethan tajam. Bau alkohol tercium pekat darinya. Berdiri tegak pun sulit. Ella dan Ethan berdiri bersebelahan menghadap Ayahnya. "Kalian pikir saya anak kecil? Jangan nggak tahu diri begini, ya." "Bukan 'kalian', tapi saya." kata Ethan mengkoreksi. "Cuma saya yang berpikir buat jemput Ayah. Inisiatifnya dari saya. Ella nggak salah, dia cuma ikut kemari ketemu Ayah." ujarnya membuat Ella menoleh. Penjelasan Ethan jelas bohong. Sebab tadinya Ethan cukup tenang dan percaya tidak akan terjadi hal buruk pada Ayah. Hanya Ella yang khawatir. Ella juga yang mendesak Ethan untuk menyusul Ayah. Namun Ethan mengambil semua itu sebagai 'kesalah
Di depan cermin, Ethan menatap pantulan dirinya yang sedang mengenakan kaos polos warna putih. Tangannya meraih kemeja kotak-kotak merah lengan panjang, lalu memakainya sebagai outer. Ia harus memastikan lagi bahwa penampilannya sudah rapi sebelum ia berangkat menyusul ke kantor Ayah. Ketika semua sudah siap, Ethan meraih kunci mobil lalu beranjak turun ke bawah. Kali ini ia punya rencana untuk berpura-pura membawakan Ayah makanan. Sebab tak semua orang suka disusul secara terang-terangan, itu memalukan. Rasanya seperti anak kecil yang dijemput oleh orang tuanya setelah terlalu lama bermain dengan teman. Ella belum nampak di ruang tengah. Begitu pula ketika di dapur, Ella juga tidak ada di sana. Membuat Ethan menghela napas. Ia memaklumi kalau memang biasanya perempuan butuh waktu lebih lama untuk bersiap-siap. Ethan memutuskan untuk mengambil nasi dan menggoreng nugget untuk Ayah. Yang nantinya semua itu akan ditaruh di kotak bekal. Setelah 10 menit berlalu,
"Lo yakin? Udah, deh. Biar gue masuk, ngomong sama nyokap lo." "Nggak, Abian. Enggak," Ella menggeleng kesekian kalinya. Gadis itu mengambil napas panjang, masih mencoba untuk tenang. "Nyokap gue udah tahu kok, kalo gue pulang sama elo. Jadi lo nggak usah khawatir." "Ya tapi kan tetep aja, La. Nggak sopan. Mana lo pulang telat, udah malam gini." Ella menggeleng. "Bunda paling udah lihat lo dari dalam. Nggak usah khawatir." "Mana?" Abian justru menoleh ke dalam rumah, membuat Ella semakin panik. Abian mengedarkan pandangan ke tiap-tiap jendela dan pintu. Namun ia masih juga tak mendapati bayangan atau sosok langsung. "Udah, udah. Lo langsung pulang aja," Ella maju selangkah dan mencakup dua sisi pipi Abian, lalu memalingkan pandangannya menjadi lurus pada Ella. "Ini udah malam. Besok masih sekolah, besok juga kita udah penilaian seni budaya. Lo harusnya pulang cepet, kan?" Abian terdiam sesaat, lalu mengangguk.
Ethan meringis dan refleks menahan napasnya ketika Joshua menekankan es batu tepat pada luka lebam yang ada di wajahnya. Sensasi kaku itu menyapa kulit Ethan, ia hanya meremas jaket denim di tangannya untuk meminimalisir rasa sakit, tanpa ingin bersuara sedikit pun. Di pojok kafe lantai satu itu, mereka tidak terlalu nampak mencolok untuk pengunjung lain yang baru datang. Orang-orang tadinya baru memisahkan Ethan dan Arseno ketika semuanya sudah terlambat. Tidak ada yang berani maju untuk melerai, baku hantam hebat sudah terjadi. Joshua bahkan baru turun ketika mendengar suara keramaian di bawah. Seno memutuskan untuk pergi meninggalkan kafe itu. Sementara orang-orang membantu Ethan dengan memberi antiseptik dan es batu pada Joshua sebagai satu-satunya teman Ethan yang ada di tempat. Joshua menarik napas panjang, lalu menghelanya perlahan. Sesekali pandangannya melirik pada wajah Ethan yang menggambarkan rasa sakit. Namun enggan untuk bersuara. Membuat Joshua
Tak butuh waktu lama untuk sampai di cafe di jalan Pandawa itu. Jam di tangan Ethan bahkan tak menunjukan waktu sampai 10 menit. Mereka berdua turun. Setelah mengunci motor di parkiran, dua cowok itu pun turun dan memasuki cafe. Nuansa vintage dan bunga memenuhi bangunan itu. Bau pengharum ruangan rasa kopi pun menusuk hidung bahkan baru ketika Ethan membuka pintu. "Lo mau pesen apa?" tanya Joshua membuka dompet. "Hah? Pesen?" "Ya pesen. Emang lo cuma mau beli bunga terus pergi?" Ethan terdiam sesaat. Joshua ada benarnya juga. Cafe ini punya tata letak bagus dan interior yang cantik. Kalau cuma datang beli bunga lalu pergi, kan jadi sia-sia. Ethan pun mengerjap. "Americano satu, deh. Nih," kata Ethan membuka dompet lalu memberikan selembar uang berwarna hijau pada Joshua. "Kalo kurang talangin dulu. Gue mau cari meja di lantai dua." "Hm, yoi." Joshua mengangkat dua alis tanda mengerti. Lalu berjalan maju mendekati kasir dan mengantre d
"Aduh, penuh banget perut gua anjir."Joshua mengelus-elus perutnya sembari berjalan keluar dari salah satu restoran ayam goreng dengan langkah lebar bersama Ethan. Melihat tingkah temannya yang seperti bocah sehabis disunat, Ethan menatap sinis."Apa sih lo." kata Ethan."Elo yang apaan. Ayam masih 3 potong di kasih ke gue semua," balas Joshua dengan dengusan keras. Agak kesal, tapi dia juga suka ayam goreng tepung. "Ini kita mau lanjut ke mana?"Ethan memundurkan kepala, tatapannya semakin sinis. "Ya cari hadiah buat Linda, lah. Lo kira gue keluar sama lo buat jalan? Kita mampir ke sini kan cuma gara-gara lo bilang lo laper. Belum makan siang.""Ya gue tau, anjir. Cuma nyarinya di mana." jawab Joshua diakhiri dengan umpatan kasar kemudian menendang pantat Ethan.Ethan pun ikut mengumpat. Sembari mengelus pantatnya yang ditendang oleh Joshua, ia berjalan ke arah parkiran restoran itu dengan Joshua. "Gue nggak tau. Gue aja belum ada rencana.