Sepulang sekolah sesuai rencana kami semua berkumpul di rumahku untuk mengerjakan tugas yang di berikan Miss Martha, seperti kemarin aku berdua Alex di mobilnya dan Susan di mobilnya Liam, kami berpisah di persimpangan karena Susan hendak membeli bahan bahan untuk memasak di rumahku, tadi dia bilang selain belajar kami juga akan makan malam bersama dan Susanlah yang akan menjadi chefnya.
Sesampainya di rumah aku melihat jendela kaca yang tadi pagi pecah telah utuh kembali, dan keadaan rumah juga sudah rapih kembali, tidak ada pecahan kaca seperti saat aku meninggalkan rumah untuk berangkat sekolah tadi pagi, mungkin paman yang sudah membereskan semua kekacauan yang terjadi tadi pagi.
“Kita istirahat saja dulu sambil menunggu Liam dan Susan”
Alex merebahkan tubuhnya di sofa, seolah ini adalah rumahnya sendiri. Aku beranjak ke dapur untuk mengambil minuman dan snack untuk kami berempat, sambil menunggu Susan dan Liam aku dan Alex ngobrol santai .
Alex masih di sofa namun kali ini sudah dengan posisi duduk, tidak lagi rebahan, dan aku duduk di sofa single sambil memangku bantal kecil dan juga toples snack di tanganku.
"Vanessa, boleh aku tanya sesuatu?" tiba tiba Alex menatapku serius dan bertanya.
"Tanyalah," jawabku singkat.
"Apa di Indonesia sana kamu punya teman dekat? Maksudku teman istimewa?"
"Teman istimewa bagaimana? Pacar maksud kamu?" langsung saja aku skakmat pertanyaanya.
"Ehm.. yaa, seperti itu," jawabnya tergagap
"Ohh, tidak, aku tidak punya, karena aku lebih fokus untuk belajar.
"Syukurlah" gumam Alex pelan, namun aku masih mendengarnya dengan jelas.
"Apa?" tanyaku pura-pura kalau aku tak mendengar ucapanya.
"Ohh tidak apa-apa sweety, aku hanya sedang bernyanyi kecil tadi"
Aku hanya menggelengkan kepala, mendengar Alex berbohong.
Akhirnya Susan dan Liam datang juga, mereka membawa belanjaan lumayan banyak, aku dan Alex membantu mereka membawanya ke dapur.
Saat kembali ke ruang tengah aku tertegun melihat tas ransel besar disana. Seperti bisa membaca pikiranku, Susan kemudian menjelaskan bahwa mereka bertiga akan menginap di rumahku.
"Apa?" aku terkejut dengan penjelasan Susan itu.
"Ini permintaan Paman Taylor, karena beliau tidak akan pulang malam ini, kamu bisa baca pesannya di hpku" Alex ikut menjelaskan kepadaku.
"Tapi kenapa paman tidak langsung chat aku aja atau telpon?" aku langsung mengambil ponselku dan baru aku sadar ponsel tersebut dalam keadaan mati, aku lupa mengisi daya dari semalam.
"Baiklah, kalian boleh menginap disini" akhirnya aku mengalah.
Untung rumah paman lumayan besar, dengan beberapa kamar tidur yang masing masing ada kamar mandi di dalamnya.
Dua diantaranya berada di lantai bawah, dan ada kolam renang di sebelah taman disamping ruang makan yang hanya di batasi sliding door.
Jadi kami bisa makan dengan melihat hamparan taman bunga yang indah, dan juga kolam renang.
Di belakang ada ruang gudang yang lumayan besar, berisi bermacam macam barang dan perkakas yang aku sendiri tidak tau nama dan kegunaanya, sepertinya usia benda-benda tersebut lebih tua dari usiaku, atau bahkan usia paman sekalipun. Dan menurutku itu tidak mengherankan mengingat rumah ini adalah peninggalan leluhur keluarga papaku.
Kamipun mulai membagi tugas masing masing dalam mengerjakan kerja kelompok, kami berempat duduk mengelilingi meja bundar di ruang baca.
Sesekali Liam melontarkan kalimat lucunya di sela sela keseriusan kami mengerjakan tugas, kelakar Liam sedikit banyaknya mengurangi keresahan pikiranku saat teringat teror yang kami hadapi tadi pagi.
Sayang sekali paman Taylor harus bermalam di kantornya, padahal banyak yang ingin aku tanyakan padanya. Aku penasaran sekali tentang orang yang melemparkan tembakan ke arah rumahku, entah mengapa aku jadi teringat akan orang orang yang berusaha menculik aku dan Kak Dimitri dulu,saat aku masih kecil. Beruntung aku dan Kak Dimi berhasil meloloskan diri dengan bantuan seorang bapak. Sampai saat ini aku belum melupakan wajah dan nama penolong kami itu.
"Bagianku sudah selesai" ucap Susan sambil mendorong kertas tugasnya ke depan.
Suara Susan menyadarkan aku dari lamunan tentang masa kecilku di Indonesia sana. "Aku juga hampir selesai, tinggal sedikit lagi" sahutku tak mau kalah.
"Liam, Alex apa kalian tidak merasa lapar? bagaimana kalau kita break dulu? kau juga Vaness, sebaiknya kau tinggalkan dulu pekerjaanmu, nanti setelah makan malam kita lanjutkan lagi"
"Tunggu sebentar Susan, ini hanya tinggal sedikit lagi," jawabku.
"Woah... bagianku masih banyak, tapi Susan benar, lebih baik kita menyiapkan masakan dulu untuk makan malam kita, bagaimana denganmu Alex?" Liam merentangkan tanganya dan menggerakan tubuhnya ke kiri dan ke kanan.
“Itu karena kau dari tadi mengerjakanya sambil bercanda Liam sayang, seandainya kau lebih serius lagi pasti saat ini pun kau sudah selesai dengan bagianmu itu” Susan mencubit pipi kekasihnya dengan gemas.
"Ok, kita break dulu" Alex menyetujui permintaan Liam dan Susan untuk melanjutkan mengerjakan tugas kami setelah kami semua merasa kenyang.
Kamipun mebereskan kertas dan buku buku, dan memulai acara masak memasak untuk makan malam. Alex membuat daging panggang, sementara Susan memasak lasagna dan tuna sandwich dengan dibantu Liam, sedangkan aku hanya memerhatikan mereka dan membantu Alex sedikit.
Saat sedang asik memasak tiba tiba Alex dan yang lainnya menghentikan kegiatan mereka, dan sikap mereka bertiga seperti orang yang sedang waspada. Aku mengernyitkan dahi melihat tingkah mereka yang terasa aneh bagiku.
"Susan, bawa Vanessa ke atas" Alex membuka suara.
Susan pun langsung menggandeng lenganku. "Ikutlah denganku sebentar Vaness"
"Tunggu dulu, ini ada apa ya? Apa maksud semua ini? Mengapa aku harus keatas?" aku memberondong mereka dengan beberapa pertanyaan karena merasa heran atas perubahan sikap mereka yang tiba-tiba.
“Aku akan menjelaskanya nanti begitu kita sudah di atas” Susan menatapku dengan pandangan memohon.
"Benar Vaness, aku janji akan menjelaskan semuanya padamu, sekarang tak ada waktu lagi, tolong menurutlah sebentar" Alex memegang kedua bahuku dan berbicara dengan suara pelan setengah berbisik.
"Ayolah Vaness, kita keatas sebentar, aku janji tidak akan ada apa apa dan tidak akan lama" Susan kembali membujukku, sama dengan Alex, Susanpun berbicara dengan suara pelan.
"Susan benar Vaness, tolonglah, untuk kali ini saja, menurut dulu, nanti akan kami jelaskan semuanya" Liam angkat bicara untuk membantu membujuku.
Akhirnya mau tak mau aku menurut, dengan perjanjian mereka harus menjelaskan semuanya kepadaku sedetail detailnya. Aku menunjukan arah kamarku pada Susan yang mengekoriku di belakang, walaupun dalam hati aku bertanya tanya dan sangat penasaran tapi kusabarkan hatiku menunggu penjelasan dari mereka.
Namun ada sesuatu yang mengganjal hatiku, wajah mereka bertiga terlihat tegang, ada apa sebenarnya? Dan mengapa mereka saat ini berbicara dengan berbisik-bisik?
Sesampainya didalam kamar aku tak henti hentinya bertanya pada Susan, aku sungguh sangat heran dan penasaran kenapa sikap mereka bertiga sangat aneh, dan seperti penuh kekhawatiran. Sebelum sempat mendapat jawaban dari Susan tiba tiba aku mendengar suara lolongan serigala, itu terdengar sangat dekat. "Susan, apa kau dengar itu? Itu seperti suara serigala." Aku langsung melompat kaget dan terduduk di sofa kamar. "Dimana? Aku tidak mendengarnya" Jawaban Susan membuatku sangat heran karena aku yakin sekali dengan apa yang kudengar tadi. "Buka telingamu Susan, itu terdengar jelas sekali, sepertinya mereka sangat dekat dengan kita" "Tapi tidak terdengar apa apa olehku, kau tenanglah semua akan baik baik saja" Susan mengusap usap pelan bahuku dan tersenyum. Bagaimana mungkin Susan dengan santainya meminta aku untuk tenang, semua ini tidak masuk akal olehku, ditambah lagi sikap mereka, aku berusaha mencari cari celah untuk lari keluar kamar dan melihat apa yang terjadi di bawah, namun s
Setelah beberapa saat menunggu akhirnya Susan dan Liam kembali, mereka membawa tukang untuk membetulkan pintu rumahku yang rusak, entah mereka dapat dari mana, dan karena acara masak memasak kami tadi sempat rusak, akhirnya kami memesan pizza dan makan dalam diam, aku memberikan satu box besar pizza kepada Max, diapun makan dengan lahap. "Aku akan membereskan ini semua, dan dapur juga" Susan tiba tiba bersuara memecah keheningan. "Aku akan membantumu" sahutku. "Tidak Vaness, biar aku membereskan semuanya, kau tenang saja, lebih baik kau ke kamarmu" "Susan benar Vaness, kau istirahatlah biar tenang, sekarena kau terlihat tegang sekali, tapi kau tenang saja kali ini tidak akan ada kekacauan lagi" Liam menimpali sambil terkekeh. Jika kedua pasangan itu sudah berkolaborasi, susah sekali untuk ditentang, dan akupun akhirnya membawa Max keatas, ke kamarku untuk beristirahat dan membiarkan kekacauan di bawah di urus oleh Liam dan Susan. Karena aku terbiasa mandi sebelum tidur aku pun be
Saat pagi menjelang, aku terbangun dengan mendapati diriku yang sedang memeluk Alex. Aku terkejut melihatnya terbaring disisiku, terlebih aku memeluknya. Lalu ingatanku melayang pada kejadian semalam, saat badai turun.Lalu potongan memory bermain di kepalaku, akhirnya aku mengingat apa yang terjadi semalam. Wajahku memerah dan perlahan melepaskan tanganku yang sedang memeluk Alex. Akupun turun dari ranjang dan berjalan menuju jendela kamar, kulihat salju masih turun, dan pepohonan serta rumah-rumah sudah tertutup salju tebal. Udara begitu dingin, aku bermaksud menyalakan pemanas yang ada di kamarku. Saat itulah aku tersentak kaget, teringat sesuatu.“Semalam turun salu disertai badai, dan pemanas di kamarku dalam keadaan mati, jadi bagaimana mungkin tubuhku tidak membeku?”Aku bergumam sendiri merasa heran, lalu aku menoleh ke arah Alex yang masih tertidur pulas, kulihat dia masih bertelanjang dada. Karena terkejut dan juga penasaran, aku pun menghampirinya, dan sedikit menyibakan se
“Wow woa.. tunggu dulu! Aku belum menyatakan kesediaanku atas usulan kalian”Aku heran mengapa Alex terkesan ingin buru-buru membawaku pindah ke rumahnya? Apa yang dia rencanakan? Aku harus berhati-hati, dengan semua kejadian ini aku merasa semua perlu meningkatkan kewaspadaanku dan juga tida mau gampang percaya pada semua orang, walaupun itu Alex sekalipun.“Baiklah, jika kau tidak bersedia tinggal di rumahku, tapi kau harus mengijinkan kami untuk tinggal disini, agar kami bisa menjagamu”Akhirnya kamipun sepakat dengan usulan Alex yang terakhir. Kami berempat akan tinggal di rumahku sampai Paman Taylor ditemukan.Hari berganti minggu, Paman Taylor masih belum juga di temukan, beberapa kali aku datang ke kantor polisi ditemani Alex untuk menanyakan hasil pencarian mereka, namun belum juga aku mendapatkan kabar baik.Liam dan Susan sesekali pulang ke rumah mereka, hanya Alex yang selalu menemaniku setiap hari. Namun hari ini, aku tidak menemukan Alex dimanapun, aku sudah mencarinya k
“Bagaimana jika werewolf itu sebenarnya ada di dunia nyata?”Aku tertawa mendengar pertanyaan Susan. “Ayolah Susan, kau lahir dan dibesarkan di negara maju, bagaimana mungkin kau menganggap kalau werewolf itu ada?”“Well... sejujurnya, aku memang percaya” Susan tersenyum penuh arti, membuatku menggelengkan kepala.Sangat lucu jika aku yang hidup di negara kecil saja tidak tau bahwa itu hanyalah mitos, sedangkan Susan yang hidup di negara adikuasa yang serba modern itu malah percaya akan keberadaan werewolf.“Sudahlah, itu terserah saja jika kau ingin mempercayainya, tetapin aku tetap pada pendirianku. Aku tidak percaya!”“Bagaimana jika memang werewolf benar-benar ada?”“Susan please! Dewasalah, hanya anak kecil yang mempercayai hal seperti itu”“Oh ya? Bagaimana jika suatu hari nanti kau bertemu dengan seorang werewolf?”Aku memutar bolamataku mendengar pertanyaan konyol dari Susan. “Jika aku bertemu dengan werewolf aku akan menikahinya! Kau puas?”Kali ini gantian Susan yang tertaw
“Ppfffff...” Susan menyemburkan air yang baru saja diminumnya. “Apa?! kau mandi bersama Max? Apa kau serius Vaness?” tanyanya dengan mata melebar, seolah sedang menonton film horor.Saat ini Susan dan Liam sudah datang dan malam ini mereka akan menginap di rumahku. Mereka terkejut saat aku menceritakan keseruanku bersama Max tadi sore. Kini mereka menatapku bergantian dengan Max.“Apa itu benar Max?” Liam memicingkan matanya pada Max.“Sudah hentikan! Kalian berdua ini bersikap seolah-olah Max mengambil keuntungan dariku saja”Aku berdiri dan mengajak Max untuk beristirahat dalam kamar, karena Susan dan Liam selalu menolak untuk naik ke atas, dan mereka lebih sudah tidur di lantai bawah. Alasanya adalah biar sekalian berjaga kalau-kalau ada orang yang mau berniat jahat.Alasan yang dibuat-buat menurutku. Karena aku yakin mereka pasti lebih memilih tidur di kamar bawah, berdua.Baru saja aku menutup dan mengunci pintu kamarku saat aku mendengar kembali suara lolongan serigala."Kau de
Alex mendekatiku aku langsung menjadi waspada, "Kalian pergilah, awasi keadaan di luar, dan laporkan padaku jika ada yang mencurigakan"Alex berkata sambil tetap memandangku yang entah mengapa tatapan matanya membuatku merasa aman dan mampu mengusir ketakutanku, namun aku tetap berhati hati dan menjaga jarak denganya."Baik alpha" sahut Susan dan Liam bersamaan dan secepat kilat mereka pergi dari sana.Aku tercengang takjub menyaksikan hal tersebut yang tanpa kusadari mulutku terbuka lebar, sampai kurasakan ada tangan yang menyentuh daguku dan mendorongnya keatas hingga membuat mulutku tertutup rapat, mataku mengerjab kaget melihat Alex tiba tiba sudah berdiri di hadapanku sangat dekat, dan seperti biasa setiap kali menatap matanya tubuhku membeku seperti ada kekuatan sihir aku tak mampu menjauh bahkan hanya sekedar memutus kontak mata kami."Jangan takut kepadaku, aku tidak akan pernah menyakitimu, bahkan jika itu adalah hal terakhir yang bisa kulakukan di dunia ini, aku tak kan pern
Aku tersentak kaget mendengar apa yang dikatakan Alex, yang benar saja, aku? Mate dari seorang werewolf? Dalam mimpipun tidak pernah terlintas olehku. Aku menepuk nepuk pipiku berharap ini adalah mimpi, bahkan aku mencubit lenganku, sakit, jadi ini bukan mimpi, ini semua nyata."Dengar Alex, bisa saja kau salah mengenali matemu kan? Mungkin saja terjadi kesalahan seperti itu kan?""Tidak sweety, aku mengetahui kau adalah mateku saat kita pertama kali melakukan kontak mata di kantin sekolah, kau ingat?"Aku kemudian mengangguk aku ingat bagaimana mataku hanya terpaku padanya dan sulit sekali untuk berpaling bahkan jantungku berdegup kencang kala itu."Seorang werewolf dapat mengenali matenya dari kontak mata, dari sentuhan, dan dari aroma yang menguar dari dalam tubuh matenya tersebut, aroma tubuh pasanganya akan terasa sangat memabukan bagi kaum werewolf" sambung Alex.Aku beranikan mengangkat kepalaku menatap matanya, Alex sedang menatapku juga. "Memangnya bau apa yang menguar dari t