Aga perlahan menggerakkan lehernya. Dia berusaha menoleh dan mendapati Cakra berdiri di hadapannya.
“Selamat pagi, Mas Aga.”
“Hai, Pak. Kita bertemu lagi,” sapa Aga tersenyum menahan kesal.“Mari kita pulang, Mas Aga.”“Pulang? Sekarang?” tanya Aga berpura-pura polos.“Iya sekarang. Tuan sudah menunggu untuk mengajak sarapan.”“Papa bisa sarapan sendiri atau dengan Mama dan Alex. Selama ini juga tanpa ada aku,” jawab Aga membela diri.“Pagi ini Tuan ingin sarapan dengan Mas Aga.”“Aku tidak mau.” Aga terang-terangan menolak.Aga mencoba mengulur waktu untuk mencari jalan keluar, tetapi tidak ada jalan ke luar yang terlihat. Dia senyum-senyum melihat Cakra, tetapi Cakra tahu apa yang dipikirkan Aga.
“Ikut saja, Mas Aga. Tidak ada jalan ke luar di sini.”
“Kata siapa tidak ada jalan ke luar. Pasti ada kok. Jalan tersembunyi.” Aga mengatakannya untuk mengalihkan perhatian.“Percaya saja padaku, Mas Aga.”“Tidak mau. Dua tahun yang lalu juga percaya denganmu. Lihat aku berakhir di sini.”Aga melihat Cakra diam, dia asal saja mengatakannya karena emosinya. Dia tidak hati-hati ketika mengatakannya. Dia tahu perkataannya pasti membuat hatinya terluka.
“Maaf, tidak bermaksud mengingatkan.”
“Tidak papa, Mas Aga. Bukan sepenuhnya salah, Mas Aga.”“Mari Mas Aga, pulang,” ajak Cakra.“Tidak mau, pulang pun tidak akan mendapatkan apa-apa.”“Percayalah pada Tuan. Beliau meminta dengan tulus.”“Maaf, Pak. Dua tahun yang lalu juga begitu. Papa melempar koperku dengan tulus. Di dunia ini tidak ada ketulusan tanpa timbal balik. Benar bukan?”Aga melihat Cakra menunduk tidak menjawab. Mungkin perkataan Aga ada benarnya. Mereka berdua tetap berdebat dengan ajakan Cakra yang tidak berpengaruh pada Aga.
“Mas Aga hanya cukup ikut untuk pulang ke rumah.” Cakra masih sabar membujuk Aga.
“Selanjutnya tidak ada yang bisa menjamin masa depanku. Apa yang akan terjadi jika memang benar, Papa akan menjodohkanku? Pak Cakra sendiri tidak tahu bukan.”Aga melihat Cakra mengambil ponsel dari saku celannya. Terlihat dia hanya menekan satu angka untuk menghubungi. Sepertinya nomor ponsel yang dihubungi adalah orang penting karena hanya cukup menyentuh satu angka pada layar ponsel.
Tidak terdengar jelas apa yang dikatakan Cakra.
“Mas Aga, Tuan mau bicara.” Cakra memberikan ponselnya pada Aga.
Aga ragu untuk menerima panggilan telefon dari papanya- Papa As. Dia pasti akan dengan mudah mengiakan perkataan Papa As.
“Halo, Pa. Bagaimana kabarnya?” tanya Aga gemetar memegang ponsel.
“Pulanglah, Ga. Papa merindukanmu.”“Merindukan Aga? Tidak salah. Papa lupa apa yang sudah papa lakukan pada Aga?” tanya Aga mengingatkan.“Maaf, Ga,” kata Papa As meminta maaf.“Pa, Aga sudah memaafkan jauh sebelum papa meminta maaf seperti sekarang. Papa tidak menyadari kesalahan papa?” tanya Aga untuk memastikan. Jika jawabannya tidak maka Aga akan menutup panggilan telefonnya.“Papa salah, Ga,” jawab Papa As. Aga mendengar dengan jelas jika suara Papa As terdengar sedih. Dia tidak mengetahui alasan yang pasti dan tidak mau tahu juga.“Papa, Aga tidak mau pulang. Berhenti mengganggu Aga. Bagus jika Papa mengakui kesalahan.”“Pulanglah. Papa sudah meminta maaf denganmu.”“O jadi Papa anggap jika sudah meminta maaf. Masalah bisa selesai. Lalu untuk apa ada hukum? Aga tidak habis pikir papa akan berpikiran seperti ini. Aga kecewa, Pa.”“Lalu mau berapa kali Papa meminta maaf padamu supaya kamu pulang?” tanya Papa As kekeh.“Tidak perlu, Pa. Aga sudah kecewa dengan papa. Papa tidak tahu. O salah, papa mungkin tahu keadaan Aga. Namun, Papa tidak mau tahu. Kesakitan yang Aga rasakan, apa bisa papa merasakannya. Lalu sekarang perkataan Aga tidak didengar dan papa terus meminta maaf. Hanya sebagai alasan untuk Aga pulang. Aga yakin bukan hanya karena meminta maaf saja untuk membuat Aga pulang. Pasti ada alasan lainnya?” tanya Aga penasaran.Aga menunggu Papa As mengatakan alasan yang sebenarnya mencari dan menghubungi Aga. Dia tahu sikap papanya tidak akan bersusah jika tidak ada hal penting yang diperjuangkan.
Keduanya diam dan hanya terdengar suara televisi yang menyiarkan berita dan suara kereta api yang terdapat tidak jauh dari restoran.
“Ga,” panggil Papa As.
“Iya,” jawab Aga dengan nada kesal.“Papa memohon padamu.”“Tidak perlu memohon seperti ini, Pa. Katakan saja apa perlunya papa mencari Aga.” Aga mengatakan dengan tegas tanpa memandang jika papanya yang diajak bicara.“Papa.”“Iya, katakan saja. Ada apa dengan Papa?”“Papa membutuhkan pewaris ada di pihak Papa.”“Pewaris?” tanya Aga tertawa.“Papa mencari Aga hanya untuk menjadi pewaris. Lalu setelah itu, Aga akan dijodohkan. Cara yang papa gunakan adalah cara lama yang dapat terbaca oleh Aga. Aga tidak mau pulang jika alasan yang papa berikan tidak masuk akal. Apa susahnya mengatakan yang sejujurnya? Tidak sulit, Pa. Papa saja yang membuatnya sulit.”“Papa mengatakan yang sejujurnya,” kata Papa As meninggikan suaranya.“Papa tidak perlu marah- marah. Sikap yang seharusnya adalah lembut bukan dengan marah karena papa memohon pada Aga untuk pulang. Aga tidak bermaksud untuk menggurui, tetapi sikap papa salah.” Aga mengatakan semua yang ada di dalam pikirannya.Aga sambil mendengar perkataan Papa As, dia melihat Cakra menatapnya dengan datar. Dia berpikir jika Papa As benar-benar mencarinya. Dilihat seberapa keras usahanya untuk mencarinya, tetapi dia masih memikirkan lagi untuk pulang. Dia harus bisa mendengar alasan yang tepat selain jadi pewaris.
"Urusan kita berdua tidak akan selesai-selesai. Jika Papa tidak mengatakan yang sebenarnya,” pinta Aga.
Lagi-lagi, Papa As terdiam. Mungkin beliau menyusun kata untuk mengatakan pada Aga dan membujuknya supaya Aga tidak tersinggung.
“Pulang, Nak. Papa membutuhkanmu,” kata Papa As.
Kali ini Aga yang terdiam mendengar papanya memohon dan terdengar tulus.
“Ga.”
“Iya.”“Papa minta maaf padamu. Papa mengakui salah denagn sikap papa untuk dua tahun yang lalu. Papa tidak bermaksud mengusirmu dari rumah. Papa merasakan untuk sikap papa yang salah. Maaf, Ga.”Aga sedikit tersentuh dengan perkataan Papa As, tetapi dia masih tidak yakin jika perkataan beliau tulus dari hati yang paling dalam.
“Terima kasih, Pa. Papa sudah mau mengakui kesalahan yang Papa perbuat walaupun Aga tidak yakin dengan ketulusannya,” kata Aga mencoba menata perasaannya supaya tidak menangis karena tersentuh dengan perkataan beliau.
Aga tahu tidak seharusnya dia emosi dengan beliau, tetapi mengingat kesalahan yang diperbuat tidak akan pernah berhenti mengumpat. Dia menyadari jika ini adalah permohonan seorang papa dengan anaknya.
“Papa mohon, Ga. Pulanglah. Papa membutuhkanmu. Papa juga merindukanmu.
Aga tidak menjawab perkataan Papa As. Dia hanya bisa berharap apa yang dikatakan papanya tulus. Hal sederhana itu yang dia inginkan.
“Bagaimana kabar Mama dan Alex?” tanya Aga mengalihkan pembicaraan.
“Mereka berdua baik-baik saja. Mamamu juga merindukanmu. Setiap sore selalu menunggu di taman. Mamamu berharap kamu akan pulang. Alex juga setiap pagi, ketika bangun tidur selalu duduk di kamarmu sekitar satu jam.” Papa As memberitahu.“Pulanglah, Ga,” pinta Papa As entah yang keberapa kalinya.Aga memikirkan lagi, dia harap dengan keputusannya kali ini akan menjadi masa depannya yang baik.
“Iya, Aga mau pulang. Jika terjadi sesuatu yang membuat Aga tidak nyaman. Aga akan pergi lagi.”
“Terima kasih, Ga.”Aga menutup panggilan telefon dan memberikan ponsel pada Cakra.
“Ayo, kita pulang,” kata Aga membuat Cakra tersenyum.
“Iya, Mas Aga.”Aga berjalan mengikuti Cakra yang membawa kopernya. Dia mengikuti dengan langkahnya yang berat walaupun kesempatan baginya untuk lepas dari ketiga rekannya. Namun, rasanya ada yang hilang. Kesempatan dia untuk melakukan passionnya.“Terima kasih, Mas Aga,” kata Cakra membukakan pintu mobil.“Untuk apa?”“Untuk pulang ke rumah.”“O itu. Aku hanya tidak nyaman saja dengan perkataan dan permohonan papa.”“Silakan masuk.”“Iya.” Mereka; ketiga rekan kerja Aga terkejut ketika masuk ke mobil mewah tersebut. Aga menyadari pasti akan terjadi seperti ini. Mereka tahu jika Aga bukanlah orang biasa atau mereka berpikir jika Aga banyak utang. Sepanjang perjalanan, Aga hanya diam dan menatap ke luar. Cakra yang melihatnya merasa bersalah, tetapi ini pekerjaannya. Cakra kembali fokus dengan kemudi mobil. Lagi pula, Cakra mengenal Aga lebih lama dan mengetahui kebiasaannya.“Mas Aga, mau mampir k
Malam yang panjang menemani Keluarga Brawijaya untuk istirahat, tetapi tidak dengan Aga. Memang benar jika dia sudah masuk kamar dan pendingin udara juga sudah dinyalakan sekitar sejam yang lalu. Namun, matanya tidak bisa memejam karena ada yang dipikirkan.“Tidur, ayo tidurlah. 1, 2, 3, 4, 5.” Aga menghitung domba pada umumnya terapi untuk tidur. Ayam berkokok tanda pagi sudah datang dan matahari sudah menyapa melalui sinarnya.“Ayam, diam,” teriak Alex yang terdengar oleh Aga. Aga dalam posisi duduk untuk ke luar dari kamar. Dia mendengar dengan jelas teriakan adiknya. Di luar rumah terdapat ayam jago milik Kakek Aga. Hanya satu ekor, tetapi suara berkokoknya bisa membangunkan Alex. Crekkk.“Kok sepi,” kata Aga ke luar dari kamarnya. Aga berjalan mengikuti harum masakan pasti Mama Lud sedang masak untuk sarapan.“Mama,” panggil
“Sudah, sudah. Hentikan,” kata Papa As masih meninggikan suaranya.“Benar kata Pak As. Kalian berdua juga tidak akan selesai denngan perdebatan kalian. Kami di sini hanya sebagai penonton. Kalian berdua bisa menyelesaikannya di tempat yang lain. Bagaimana kalau kita lakukan voting? Saya lihat tidak akan selesai dengan perdebatan di sini,” kata salah satu anggota direksi yang netral tidak memihak siapapun. Mereka yang berada di ruang saling melihat dan mengatakan satu sama lain.“Setelah voting. Apakah bisa mendapatkan jawaban untuk masalah ini? Masalah tentang rasa wine yang baru.” Salah satu anggota direksi yang berpihak pada Mos menanyakan.“Bisa,” jawab anggota direksi yang netral. Aga sendiri setuju dengan voting ini, tetapi dia masih penasaran dengan rasa yang baru. Jika tidak ada masalah tidak akan mungkin ada keributan dan perdebatan seperti ini. Aga masih tetap penasaran dengan rasa ter
Aga mengumpulkan tenaga untuk berdiri. Dia juga perlu menutupi wajah dari rasa malu. Dia berpikir bagaimana menatap mereka dan menatap karyawan-karyawan yang berpapasan dengannya. Aga datang ke kantor dengan Papa As. Tentu saja beliau sudah pulang atau pergi ke mana. Dia tidak bisa pulang.“Sial. Naik taksi ini,” kata Aga kesal. Aga berjalan ke lobi dan mendapati taksi yang masuk ke halaman kantor. Setidaknya dia tidak perlu jalan ke depan untuk menunggu taksi.“Permisi, Pak. Apakah sedang menunggu penumpang?” tanya Aga sopan.“Iya, Pak.”“Iya sudah.” Aga sedikit berjalan jauh untuk menunggu taksi.“Benar juga. Ngapain masuk ke sini kalau tidak ada yang memesan.” Aga berjalan ke gerbang.“Sial. Benar dugaanku.” Aga kesal karena harus menunggu taksi di depan gerbang dengan debu-debu dari kendaraan yang mele
Satu per satu dari mereka berjalan ke luar dari ruang keluarga. Hanya ada Aga dan Alex di sana. Aga melihat Alex tidak ingin kakaknya dihina. Apa lagi oleh sepupu dekatnya.“Kak,” panggil Alex.“Iya. Tidak perlu cemas, Lex. Kakak baik-baik saja.”“Kakak tidak bisa diam saja.”“Tidak papa, Lex. Hanya itu yang bisa Kakak lakukan saat ini.”“Kakak, orangnya sabar.”“Tidak juga kok, Lex. Ada saatnya Kakak juga kesal.”“Kakak banyak berubah. Lebih dewasa menghadapinya. Kehidupan di luar membuat mental Kakak jadi kuat.”“Iya begitulah, Lex. Tidak selamanya kita akan memegang sendok emas.”“Sabar, Kak.”“Terima kasih, Adikku yang perhatian.” Aga iseng mengacak-acak rambut adiknya.“Kakak ini iseng,” kata Alex merapikan rambutnya.“Tidur sana. Besok kamu pergi kuliah.”“Kakak belum mau tidur?”“Nanti. Kakak masih mau jalan-jalan ke taman dahulu.”“Jangan terlalu dipikirkan, Kak.”“Iya, adikku yang manis.”“Enak saja.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Mos mengepal tangannya. Aga diam. Dia membatin bukankah dia yang seharusnya tanya. Ini bukannya terkejut justru menanyakan keberadaannya.“Alasannya sama denganmu. Bersenang-senang.”“Aku, aku tidak bersenang-senang,” jawabnya gugup.“Anggap saja sama.”“Aku tidak yakin kamu ke sini untuk bersenang-senang.”“Kamu lupa jika pemilik tempat ini adalah sahabatku? Aku akan ingatkan jika kamu lupa.” Aga melihat Mos mengambil sikap duduk.“Wajar saja. Kalau kamu ke sini dengan gratis,” kata Mos menyindir Aga.“Kamu lupa juga jika aku member diamond di sini. Jika kamu lupa, aku akan perlihatkan member card milikku.”“Tidak usah rept-repot. Aku juga malas melihatnya.” Aga tersenyum karena kedatangannya di sini mendapatkan tangkapan ikan yang besar, tetapi Aga bukan tipe orang yang mengambil keuntungan di saat sepupunya kesulitan.“Pergilah d
Ruang rahasia yang menjadi saksi bisu di antara mereka berdua; Aga dan Ben dalam melakukan rencana yang dimiliki Aga supaya tersusun dengan baik. Semoga saja di dalam ruang rahasia tidak seperti kata pepatah. Jika tembok saja dapat berbicara dan mendengar dengan jelas.“Kamu yakin bisa menjaga rahasia ini dengan baik?” tanya Aga menatap lekat pada Ben.“Aku yakin Mas Aga.” Tiba-tiba suara ketukan pintu. Mereka berdua saling menatap seolah tidak percaya sudah ada yang tahu jika ruang VVIP ini terisi.“Bukalah Ben pintunya,” pinta Aga.“Iya, Mas Aga.” Crekkk.“Ada apa?” tanya Ben melihat seorang pelayan membawa nampan dengan botol minuman bermerek.“Ini, saya diminta untuk mengantar ini.”“Terima kasih,” kata Ben mengambil alih nampan.Aga melihat Ben menutup pintu dengan nampan di tangannya.“Kama benar-benar memberikannya padaku,” kata Aga melihat
Aga membiarkan Ben merapikan kembali meja walaupun tidak seharusnya dilakukan.“Tidak perlu dirapikan, Ben,” kata Aga mencegahnya.“Tidak papa, Mas Aga.”“Ingat ya Ben. Jangan katakan apa pun.”“Siap, Mas Aga. Aku akan mengingat semua perkataan Mas Aga. Aku juga sudah mencatat data-data apa saja yang diperlukan.”“Kamu harus setia mau mengantarku pulang. Mobilnya bawa saja.”“Iya, Mas Aga. Terima kasih. Apa boleh aku bawa mobilku sendiri?”“Tidak perlu. Pakai saja mobil milikku. Papa akan curiga.”“Iya, Mas Aga.”“Kita selesaikan kegiatan kita di sini. Aku penasaran merasakan wine yang dibanggakan Ben.”“Rasanya seperti itu.”“Nah itu dia, aku penasaran.”“Sabar, Mas Aga.”“Iya, Ben. Aku tahu itu. Aku sudah melatih kesabaranku dua tahun yang lalu.”“Mas Aga, apa yang bisa aku kerjakan sekarang?”“Tidak perlu, Ben. Kamu mau pesen minuman yang kamu suka?”“Tidak, Mas Aga.”“O, iya udah.”Mereka berduas asy