Share

03. Tertangkap juga

     Aga perlahan menggerakkan lehernya. Dia berusaha menoleh dan mendapati Cakra berdiri di hadapannya.

“Selamat pagi, Mas Aga.”

“Hai, Pak. Kita bertemu lagi,” sapa Aga tersenyum menahan kesal.

“Mari kita pulang, Mas Aga.”

“Pulang? Sekarang?” tanya Aga berpura-pura polos.

“Iya sekarang. Tuan sudah menunggu untuk mengajak sarapan.”

“Papa bisa sarapan sendiri atau dengan Mama dan Alex. Selama ini juga tanpa ada aku,” jawab Aga membela diri.

“Pagi ini Tuan ingin sarapan dengan Mas Aga.”

“Aku tidak mau.” Aga terang-terangan menolak.

     Aga mencoba mengulur waktu untuk mencari jalan keluar, tetapi tidak ada jalan ke luar yang terlihat. Dia senyum-senyum melihat Cakra, tetapi Cakra tahu apa yang dipikirkan Aga.

“Ikut saja, Mas Aga. Tidak ada jalan ke luar di sini.”

“Kata siapa tidak ada jalan ke luar. Pasti ada kok. Jalan tersembunyi.” Aga mengatakannya untuk mengalihkan perhatian.

“Percaya saja padaku, Mas Aga.”

“Tidak mau. Dua tahun yang lalu juga percaya denganmu. Lihat aku berakhir di sini.”

     Aga melihat Cakra diam, dia asal saja mengatakannya karena emosinya. Dia tidak hati-hati ketika mengatakannya. Dia tahu perkataannya pasti membuat hatinya terluka.

“Maaf, tidak bermaksud mengingatkan.”

“Tidak papa, Mas Aga. Bukan sepenuhnya salah, Mas Aga.”

“Mari Mas Aga, pulang,” ajak Cakra.

“Tidak mau, pulang pun tidak akan mendapatkan apa-apa.”

“Percayalah pada Tuan. Beliau meminta dengan tulus.”

“Maaf, Pak. Dua tahun yang lalu juga begitu. Papa melempar koperku dengan tulus. Di dunia ini tidak ada ketulusan tanpa timbal balik. Benar bukan?”

     Aga melihat Cakra menunduk tidak menjawab. Mungkin perkataan Aga ada benarnya. Mereka berdua tetap berdebat dengan ajakan Cakra yang tidak berpengaruh pada Aga.

“Mas Aga hanya cukup ikut untuk pulang ke rumah.” Cakra masih sabar membujuk Aga.

“Selanjutnya tidak ada yang bisa menjamin masa depanku. Apa yang akan terjadi jika memang benar, Papa akan menjodohkanku? Pak Cakra sendiri tidak tahu bukan.”

     Aga melihat Cakra mengambil ponsel dari saku celannya. Terlihat dia hanya menekan satu angka untuk menghubungi. Sepertinya nomor ponsel yang dihubungi adalah orang penting karena hanya cukup menyentuh satu angka pada layar ponsel.

     Tidak terdengar jelas apa yang dikatakan Cakra.

“Mas Aga, Tuan mau bicara.” Cakra memberikan ponselnya pada Aga.

     Aga ragu untuk menerima panggilan telefon dari papanya- Papa As. Dia pasti akan dengan mudah mengiakan perkataan Papa As.

“Halo, Pa. Bagaimana kabarnya?” tanya Aga gemetar memegang ponsel.

“Pulanglah, Ga. Papa merindukanmu.”

“Merindukan Aga? Tidak salah. Papa lupa apa yang sudah papa lakukan pada Aga?” tanya Aga mengingatkan.

“Maaf, Ga,” kata Papa As meminta maaf.

“Pa, Aga sudah memaafkan jauh sebelum papa meminta maaf seperti sekarang. Papa tidak menyadari kesalahan papa?” tanya Aga untuk memastikan. Jika jawabannya tidak maka Aga akan menutup panggilan telefonnya.

“Papa salah, Ga,” jawab Papa As.

 Aga mendengar dengan jelas jika suara Papa As terdengar sedih. Dia tidak mengetahui alasan yang pasti dan tidak mau tahu juga.

“Papa, Aga tidak mau pulang. Berhenti mengganggu Aga. Bagus jika Papa mengakui kesalahan.”

“Pulanglah. Papa sudah meminta maaf denganmu.”

“O jadi Papa anggap jika sudah meminta maaf. Masalah bisa selesai. Lalu untuk apa ada hukum? Aga tidak habis pikir papa akan berpikiran seperti ini. Aga kecewa, Pa.”

“Lalu mau berapa kali Papa meminta maaf padamu supaya kamu pulang?” tanya Papa As kekeh.

“Tidak perlu, Pa. Aga sudah kecewa dengan papa. Papa tidak tahu. O salah, papa mungkin tahu keadaan Aga. Namun, Papa tidak mau tahu. Kesakitan yang Aga rasakan, apa bisa papa merasakannya. Lalu sekarang perkataan Aga tidak didengar dan papa terus meminta maaf. Hanya sebagai alasan untuk Aga pulang. Aga yakin bukan hanya karena meminta maaf saja untuk membuat Aga pulang. Pasti ada alasan lainnya?” tanya Aga penasaran.

     Aga menunggu Papa As mengatakan alasan yang sebenarnya mencari dan menghubungi Aga. Dia tahu sikap papanya tidak akan bersusah jika tidak ada hal penting yang diperjuangkan.

     Keduanya diam dan hanya terdengar suara televisi yang menyiarkan berita dan suara kereta api yang terdapat tidak jauh dari restoran.

“Ga,” panggil Papa As.

“Iya,” jawab Aga dengan nada kesal.

“Papa memohon padamu.”

“Tidak perlu memohon seperti ini, Pa. Katakan saja apa perlunya papa mencari Aga.” Aga mengatakan dengan tegas tanpa memandang jika papanya yang diajak bicara.

“Papa.”

“Iya, katakan saja. Ada apa dengan Papa?”

“Papa membutuhkan pewaris ada di pihak Papa.”

“Pewaris?” tanya Aga tertawa.

“Papa mencari Aga hanya untuk menjadi pewaris. Lalu setelah itu, Aga akan dijodohkan. Cara yang papa gunakan adalah cara lama yang dapat terbaca oleh Aga. Aga tidak mau pulang jika alasan yang papa berikan tidak masuk akal. Apa susahnya mengatakan yang sejujurnya? Tidak sulit, Pa. Papa saja yang membuatnya sulit.”

“Papa mengatakan yang sejujurnya,” kata Papa As meninggikan suaranya.

“Papa tidak perlu marah- marah. Sikap yang seharusnya adalah lembut bukan dengan marah karena papa memohon pada Aga untuk pulang. Aga tidak bermaksud untuk menggurui, tetapi sikap papa salah.” Aga mengatakan semua yang ada di dalam pikirannya.

     Aga sambil mendengar perkataan Papa As, dia melihat Cakra menatapnya dengan datar. Dia berpikir jika Papa As benar-benar mencarinya. Dilihat seberapa keras usahanya untuk mencarinya, tetapi dia masih memikirkan lagi untuk pulang. Dia harus bisa mendengar alasan yang tepat selain jadi pewaris.

"Urusan kita berdua tidak akan selesai-selesai. Jika Papa tidak mengatakan yang sebenarnya,” pinta Aga.

     Lagi-lagi, Papa As terdiam. Mungkin beliau menyusun kata untuk mengatakan pada Aga dan membujuknya supaya Aga tidak tersinggung.

“Pulang, Nak. Papa membutuhkanmu,” kata Papa As.

     Kali ini Aga yang terdiam mendengar papanya memohon dan terdengar tulus.

“Ga.”

“Iya.”

“Papa minta maaf padamu. Papa mengakui salah denagn sikap papa untuk dua tahun yang lalu. Papa tidak bermaksud mengusirmu dari rumah. Papa merasakan untuk sikap papa yang salah. Maaf, Ga.”

     Aga sedikit tersentuh dengan perkataan Papa As, tetapi dia masih tidak yakin jika perkataan beliau tulus dari hati yang paling dalam.

“Terima kasih, Pa. Papa sudah mau mengakui kesalahan yang Papa perbuat walaupun Aga tidak yakin dengan ketulusannya,” kata Aga mencoba menata perasaannya supaya tidak menangis karena tersentuh dengan perkataan beliau.

     Aga tahu tidak seharusnya dia emosi dengan beliau, tetapi mengingat kesalahan yang diperbuat tidak akan pernah berhenti mengumpat. Dia menyadari jika ini adalah permohonan seorang papa dengan anaknya.

“Papa mohon, Ga. Pulanglah. Papa membutuhkanmu. Papa juga merindukanmu.

     Aga tidak menjawab perkataan Papa As. Dia hanya bisa berharap apa yang dikatakan papanya tulus. Hal sederhana itu yang dia inginkan.

“Bagaimana kabar Mama dan Alex?” tanya Aga mengalihkan pembicaraan.

“Mereka berdua baik-baik saja. Mamamu juga merindukanmu. Setiap sore selalu menunggu di taman. Mamamu berharap kamu akan pulang. Alex juga setiap pagi, ketika bangun tidur selalu duduk di kamarmu sekitar satu jam.” Papa As memberitahu.

“Pulanglah, Ga,” pinta Papa As entah yang keberapa kalinya.

     Aga memikirkan lagi, dia harap dengan keputusannya kali ini akan menjadi masa depannya yang baik.

“Iya, Aga mau pulang. Jika terjadi sesuatu yang membuat Aga tidak nyaman. Aga akan pergi lagi.”

“Terima kasih, Ga.”

     Aga menutup panggilan telefon dan memberikan ponsel pada Cakra.

“Ayo, kita pulang,” kata Aga membuat Cakra tersenyum.

“Iya, Mas Aga.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status