“Akh segarnya,” kata Aga mengeringkan rambutnya dengan handuk.
“Makan malam ya?” tanya pada dirinya seolah enggan untuk makan malam bersama.Aga mau tidak mau harus melakukannya. Jika tidak dia akan dicoret namanya dalam deretan nama pewaris. Ya walaupun hanya ada Aga dan Mos.
“Makan malam saja walaupun suasana hati sedang tidak ingin makan,” ucapnya meletakkan handuk di kamar mandi.
Crekkk.
Aga berjalan menuju ruang makan. Dia yakin semua sudah berkumpul di ruang makan.
“Se-lamat malam,” sapa Aga terkejut karena melihat Kakek Aga tidak ada di kursinya.
“Ada apa Ga?” tanya Mama Lud.“Kakek ke mana?”“Kakek ke rumah Paman Bimo.”“O.”Hidangan makan malam tersedia di meja makan, tentu Mama Lud yang memasaknya. Aga menyukai masakan dan apa saja yang dibuat oleh beliau. Ruang makan dengan 10 kursi dengan meja panjang menjadi saksi kesunyian pada makan
Aga menyadari jika Papa As menatapnya.“Tidak papa, Pa. Aku baik-baik saja,” kata Aga mencoba menenangkan Papa As.“Terima kasih, Ga. Kamu berusaha menenangkan Papa.”“Tenang saja. Semua akan baik-baik saja. Papa hanya cukup percaya pada Aga akan melakukan yang terbaik.”“Iya, Papa percaya denganmu. Habiskan makananmu.”“Pa, Aga sudah kenyang menghabiskan segelas jus.” Aga melihat Papa As terheran.“Kakak ini doyan apa lapar?” tanya Alex memecah keheningan dengan leluconnya.“Dua-duanya.” Aga menjawab menahan tawa.“Papa sudah selesai makannya.” Papa As memberitahu. Aga melihat Papa As berdiri dan menggeser kursi. Dia melihat papanya berjalan ke luar dari ruang makan. Setelah itu tidak bisa melihat lagi bayangannya. Entah pergi ke ruang kerja atau ke kamar beliau.“Terima kasih, Ga. Kamu buat Papamu senang.” Mama Lud mengucapkan terima kasih lagi.“Iya, Ma. Aga akan melakuk
Aga mengucek mata untuk memastikan apa yang dilihat benar atau salah. Dia melihat lagi jika angkanya memang benar adanya.“Wow. Ini benar angka-angkanya. Wah orang itu benar-benar melakukannya. Sial, orang ini benar-benar ya.” Aga mengepal kedua tangannya seolah ingin memukul. Aga naik pitam karena masalah ini bukanlah masalah biasa. Masalah yang menyangkut uang perusahaan. Dia tahu bahwa Mos juga memiliki saham di perusahaan, tetapi bukan berarti bisa seenaknya memakai uang perusahaan.“Apakah hal seperti ini aku harus beritahu Papa?” tanya Aga bingung.“Tidak perlulah. Nanti Papa akan menanyakan dari mana data yang kuperoleh. Bisa-bisa gagal rencanaku gara-gara aku menggali lubang sendiri.”“Lalu ini data laporan keuangan siapa lagi. Wah-wah mereka benar-benar melakukan di saat perusahaan sedang terombang-ambing. Tidakkah mereka melihat perusahaan sedang tidak baik-baik saja.” Aga menggerutu
“Mas Aga mau pergi menemui Pak Aga?” tanya Ben memastikan bosnya akan pergi.“Iya, Ben. Aku pergi dahulu. Kamu bisa pergi dengan pekerja pabrik yang lain.”“Iya, Mas Aga. Tenang saja. Silakan kalau buru-buru, Mas Aga.”“Aku pergi dahulu, Ben,” pamitnya. Aga berjalan cepat ke luar dari pabrik ke tempat mobilnya berada. Dia ingin menemui Kakek Aga di kantor. Jika beliau tidak memberitahu di mana berarti berada di kantor. Jarak antara pabrik dan kantor tidak jauh hanya lahannya saja yang luas sehingga akan terlihat sangat jauh. Hanya sekitar lima belas menit jarak antara pabrik dan kantor. Aga sampai di kantor dengan mobi yang dikendarainya. Satpam yang berdiri di samping mobilnya membukakan pintu mobil.“Terima kasih,” ucap Aga. Hanya dibalas dengan anggukan oleh Satpam. Aga mempercepat langkahnya untuk mengejar lift yang terbuka walaupun ada list tersendiri untuk VVI
“Lama betul telefonnya,” kata Aga. Tiba-tiba, Aga melihat Deon masuk ke ruang kerja Kakek Aga membawa nampan yang berisi dua gelas cangkir.“Kakek minta dibuatkan?”“Iya, Mas Aga.”“Terima kasih.”“Beliau sedang menghubungi siapa?” tanya Deon.“Tidak tahu.”“Jadwal beliau hari ini tidak banyak sehingga ada di kantor pada jam ini.” Deon memberitahu tanpa Aga bertanya.“E, iya. Terima kasih teh hangatnya.” Aga melihat Deon berjalan ke luar dengan membawa nampan. Aga melihat satu-satunya orang yang masih bertahan bekerja di perusahaan dengan Kakek Aga sebagai bosnya hanya Deon. Aga memlihat beberapa kali Kakek Aga melihat ke arahnya. Aga hanya membalas dengan senyum. Dia juga tahu siapa yang dihubungi oleh Kakek Aga saat ini. Tidak lain dan tidak bukan adalah Mos, cucu yang dibanggakan. Aga hanya tersenyum jika mendengar dan dia sendiri yang mengatakannya. Semoga saja predikat cucu yan
Aga memilih untuk berjalan menaiki tangga. Dia perlu istirahat untuk melakukan aktivitas besok. Dia tidak ingin mengecewakan Kakek Aga yang sudah memberikan kepercayaan padanya. Crekkk.“Huft lelahnya hari ini,” kata Aga merogoh saku celana untuk mengambil ponsel dan meletakkannya di nakas.“Coba saja ada mesin waktu yang bisa membuatnya sempurna. Tanpa harus bekerja melelahkan seperti ini. Akh tidak mungkin.” Aga melihat jam dinding di kamar sudah menunjukkan pukul 10 malam sedangkan dia belum mandi.“Wow, sudah malam.” Aga berlari kecil menuju kamar mandi. Aga memilih untuk membersihkan diri sebelum tidur. Dia perlu tidur dalam keadaan tubuhnya segar.“Hah, selesai juga.” Aga memilih merebahkan tubuhnya di kasur yang empuk dengan rambut yang masih basah. Pendingin udara di kamarnya mampu menghipnotisnya menjadi ngantuk ditambah rasa kenya
Aga berdiri di depan Mos, tetapi dia berjalan menjauh dan memalingkan wajah pada Aga. Dia berpikir karena ada dia di sini. Aga melihat Mos tidak peduli dengan keberadaannya di pabrik. Dia berpikir mungkin Mos mendapatkan apa yang diinginkan lebih banyak sehingga tidak peduli dengan apa yang Aga dapatkan sekarang.“Jangan pedulikan Ga.” Kakek Aga menepuk pundak Aga.“E, iya Kek.”“Kamu harus kuatkan mentalmu untuk menghadapi hal-hal kecil seperti ini. Kamu tidak bisa berbelas kasih hanya karena Mos saudaramu.”“Iya, Kek. Namun, kami berdua menghabiskan masa kecil bersama.”“Tidak bisa kamu memiliki pemikiran seperti itu, Ga. Kamu akan terjebak dalam pemikiran. Kamu akan sulit maju dan lawanmu Mos akan selalu berada di depan. Kakek hanya mau mengingatkan. Tidak bisa kamu melawan Mos dengan perasaanmu.”“Iya, Kek. Terima kasih sudah memberitah
Aga tetap berlari mengejar Mos tanpa memanggil namanya. Napasnya terengah-engah sehingga dia perlu mengatur napas supaya tidak terlihat lemah di depan Mos karena akan semakin bangga dengan meremehkannya. Sepertinya Mos menyadari Aga mengikutinya. Mereka berdua berhadapan dengan tatapan yang berbeda. Aga melihat dengan tatapan kasih sayang layaknya sesama saudara, tetapi berbeda dengan Mos melihatnya dengan tatapan kebencian seperti seorang musuh yang akan menembaknya.“Apa yang kamu lakukan?” tanya Mos.Aga belum menjawab pertanyaan Mos justru sebaliknya dia tersenyum pada Mos.“Ada yang mau kamu katakan?” tanya Mos lagi. Aga meyakini jika Mos bisa berubah. Buktinya sekarang, Aga ada di depannya. Namun, Mos tidak mengejek atau marah-marah seperti biasanya. Satu perubahan kecil yang membuat Aga senang. Dia tahu pengaruh baik apa yang datang pada Mos.“Kamu yakin tidak ada yang mau kamu kat
“Mas Aga tidak papa?” tanya Ben yang cemas melihat bosnya berkeringat.“Tidak papa. Aku baik-baik saja. Antarkan aku pulang, Ben,” pinta Aga.“Iya, Mas Aga.” Ben memastikan bosnya baik-baik saja. Sepanjang perjalanan, Aga hanya terdiam. Dia menyadari jika Ben tidak fokus dalam mengendarai mobil.“Aku tidak papa, Ben. Kamu fokus saja menyetirnya.”“Iya, Mas Aga. Apa kita mau makan dahulu?”“Tidak perlu. Mama sudah memasak untukku. Kamu ikut makan bersama.”“Tidak, Mas Aga. Aku mau langsung pulang. Mas Aga yakin baik-baik saja?”“Iya. Aku baik-baik saja.”“Mas Aga cukup kuat untuk bertahan, tadi.”“Terlihat begitu?”“Iya, Mas Aga. Di sini, aku merasa cemas. Kalau sampai terjadi sesuatu dengan Mas Aga. Tahu sendiri Mos akan memukul Mas Aga.”“Terima kasih. Kamu sudah cemas denganku.”“Sudah seharusnya begitu.” Aga melihat Ben kembali fokus. Dia hanya tidak ingin membuat Ben cemas.&nb