Share

03. Tarikan dan Dorongan

Delapan tahun kemudian.

Kaluna berjalan menyusuri gang kecil yang temaram karena penerangan yang ada hanya dari sebuah lampu di ujung jalan. Langkahnya pelan karena seharian ini semua tenaganya sudah terkuras habis. Ia bekerja di dua tempat yang berbeda dalam sehari dan hari ini kedua bos nya lagi-lagi membuatnya melakukan pekerjaan yang tidak masuk akal.

Rasa letihnya seketika berkurang saat Ia melihat sang adik sedang duduk di teras kontrakan mereka dengan sebuah buku dipangkuannya. Hati Kaluna menghangat, disaat dunia tidak menerima nya dengan baik hanya sang adik yang menunggunya untuk kembali pulang . Ia bekerja keras selama ini berbekal harapan agar adiknya bisa bahagia seperti anak seumurannya. Cukup Kaluna saja yang merasakan semua kepahitan ini, tapi dalam masa depan adiknya nanti Ia tak ingin ada cerita yang sama untuk sang adik.

Disaat Kaluna selalu hilang harapan dan menyerah pada dirinya sendiri, Ia bersyukur ada Evano disampingnya. Adiknya itu adalah anugerah Tuhan paling indah dalam hidupnya. Alasan seorang Kaluna bertahan hidup dan berkerja segitu kerasnya hanya untuk seorang Evano.

“Kenapa nunggu di luar?” tanya Kaluna sembari memberikan sebuah kantung plastik berwarna hitam dengan bau semerbak khas asap bakaran dan saus kacang.

“Mbak kok tumben pulang semalam ini, aku khawatir,” ucap Evan.

Kaluna urung masuk kedalam rumah dan memilih duduk disamping sang adik. Diambilnya buku pelajaran fisika yang dulu sangat Ia benci.

“Tadi ada pekerjaan yang belum selesai, kamu gimana sekolahnya?”

Evan menatap kearah atas, menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Raut wajahnya terlihat jelas jika Ia sedang memikirkan sesuatu namun sebisa mungkin bersikap biasa saja. Tapi sayangnya berapa kalipun Evan mencoba menutupi semuanya, Ia tetap tak bisa membohongi kakak perempuan yang sudah tujuh belas tahun mengurusnya. Mulai dari gerak tubuh, nada bicara, bahkan sorot mata saja Kaluna bisa menebak apa yang terjadi pada sang adik.

Namun kali ini Kaluna diam. Ia tak bertanya tentang sesuatu yang mengusik pikiran adiknya sekarang. Ia sedang menungu sang adik untuk mulai bercerita terlebih dahulu.

“Ya gitu, besok ada pelajaran fisika. Aku lagi baca-baca lagi materinya,” jawab Evan.

 “Kamu tau gak apa yang membuat benda bisa bergerak?” tanya Kaluna tiba-tiba.

“ Karena adanya tarikan dan dorongan,” jawab Evan.

Tentu saja Ia tahu, ini materi dasar fisika yang Ia pelajari saat kelas sepuluh. Dan ini adalah kalimat pertama yang Ia dengar dari gurunya kala itu, mana mungkin Evan lupa.

“Iya, sebuah benda itu akan bergerak kalau ada sebuah tarikan dan dorongan ke benda itu-“

“Mbak gak lagi ngajakin kuis kan?” potong Evan yang membuat Kaluna langsung tertawa akibat celetukan sang adik.

"Enggak lah!”

“Oke lanjutin mbak.”

“Sama kayak mbak, mbak kerja tiap hari karena kita harus bertahan hidup itu dorongan terbesar dan itu juga yang memaksa mbak tiap hari harus bangun pagi dan pulang malem gini. Tapi ada juga yang narik mbak biar mbak semangat kerjanya dan gak hanya pasrah sama keadaan.”

“Aku?” potong Evan lagi.

Kaluna tersenyum dan mengangguk.

“Kamu pede tapi kamu bener. Mbak cuma punya kamu sekarang, kamu bukan beban tapi semangat mbak untuk terus berjuang. Kamu satu-satunya yang bisa bikin mbak gak pasrah sama keadaan. Impian mbak itu kamu Van jadi, kalau ada yang ganggu dikepala kamu bisa bilang ke mbak.”

Evan ikut tersenyum, sepintar apapun dirinya menyembunyikan sesuatu tetap saja kakaknya seakan tahu semuanya. Ia hanya mengangguk dan tersenyum. Senyumnya cerah hingga sudut matanya ikut menyipit. Tangannya menarik tangan sang kakak untuk dibawa masuk kedalam kontrakan kecil mereka.

Evan mendudukkan Kaluna di karpet tipis yang biasanya mereka jadikan tempat bersantai. Ia berjalan kearah dapur guna mengambil piring dan nasi yang telah matang sedari tadi. Tak lupa mengeluarkan sebungkus sate ayam extra bumbu kacang yang berlebihan yang tadi telah di beli oleh Kaluna.

“Makan dulu, baru nanti adek yang ngomong,” ucap Evan sembari menyendokkan saus kacang yang banyak keatas piring sang kakak.

Selesai keduanya mengisi perut, Kaluna meminta waktu sebentar untuk mengganti bajunya dengan baju rumahan agar lebih nyaman. Sedangkan Evan menunggu kakaknya sembari menikmati tayangan televisi yang sebenarnya ia sendiri tak paham tentang apa. Mereka punya tv hanya karena ibu pemilik kontrakan meninggalkannya disini sebab beliau sudah membeli tv baru dan sayang jika harus dibuang. Akhirnya kedua kakak adik ini menerima dengan senang hati walaupun jarang sekali tv tersebut menyala. Karena Kaluna tidak akan sempat melihat tv sedangkan Evan memilih untuk menghabiskan waktunya didalam kamar sampai sang kakak pulang.

“Oke, jadi gimana?” tanya Kaluna.

Kaluna mendudukkan dirinya menghadap sang adik yang sedang asik dengan camilan kacang atom nya.

“Aku kira lupa,” ucap Evan.

“Enak aja!” seru Kaluna membuat adiknya tertawa.

Evan meletakkan kaleng biskuit berisi kacang atom tersebut lalu ikut-ikutan menghadap sang kakak. Keduanya kini duduk lesehan sambil berhadap-hadapan.

“Jadi gini, sebenernya gak penting sih-"

“Kalo gak penting kamu pasti gak mungkin kepikiran sampe kepala kamu penuh gitu,” cibir Kaluna.

“Otak aku transparan banget buat mbak,” keluh Evan.

Kaluna hanya bisa tertawa mendengar tanggapan sang adik.

“Kamu bisa bohongin semua orang di dunia ini tapi bukan mbak orangnya,” ucap Kaluna dengan percaya diri.

“Jadi gini mbak, aku lusa ada olimpiade di Jakarta dan pasti harus nginep sekitar dua atau tiga hari an-“ jeda Evan.

“Terus?”

“Boleh?” tanya Evan.

Kaluna lagi-lagi tertawa melihat tingkah sang adik. Ia tak menyangka jika anak berumur tujuh belas tahun bisa sepolos ini.

“Kamu itu udah gede, masa gak dibolehin- apalagi ini buat olimpiade. Ya boleh lah! Kamu camping aja mbak bolehin apalagi olimpiade Van, kamu nih bikin mbak deg-deg an aja.”

“Tapi mbak, mbak gak papa aku tinggal sendiri?”

Kaluna menghela nafasnya dan menatap geli sang adik. Selalu seperti ini, sama dengan Kaluna yang punya trigger tersendiri saat bertemu orang asing, maka adiknya ini punya masalah lain. Evan dari dulu sangat takut jika harus jauh dari kakaknya apalagi di luar kota. Dari kecil keduanya selalu bersama, walaupun Ia sudah sebesar ini tapi ketakutannya tetap sama. Lagi-lagi kenangan masa kecil menghantui keduanya.

“Mbak disini kok, gak akan kemana-mana. Kamu tenang aja, fokus aja sama olimpiade nya dan selalu hubungin mbak dimanapun kamu berada, kayak biasanya,” ucap Kaluna.

Evan mengangguk pelan lalu menidurkan kepalanya pada pangkuan Kaluna. Kedua kakak beradik itu terdiam kembali dengan pikiran mereka masing-masing. Jika mereka tak saling menguatkan, maka tak ada siapapun lagi yang dapat menguatkan keduanya. Kaluna hanya punya Evan begitu pula sebaliknya.

Jika bukan Kaluna yang memberanikan diri maka adiknya juga tak akan berani, jika bukan Evan yang selalu menyemangati Kaluna maka tak akan ada yang dikuatkan. Mereka saling terikat karena pada dasarnya mereka satu. Jika satunya sedih maka yang lain juga merasakan yang sama. Kaluna ada sebagai sosok yang tegar untuk Evan yang selalu memberi kehangatan.

***

Kaluna berkutat dengan tumpukan desain sampul beberapa buku yang Ia kerjakan. Bulan ini tak banyak yang bisa Ia kerjakan karena Gama hanya memberinya tiga judul dengan empat versi sampel, namun karena beberapa hari ini Kaluna dibuat apes oleh Bu Dian maka tetap saja pekerjaannya terasa sama sulitnya. Kemarin saja Kaluna harus merombak beberapa desain sampul karena atasannya itu tak puas dengan hasilnya ditambah Ia harus merevisi beberapa desain bookmark karena ada beberapa penulis yang meminta untuk diganti warna dasarnya belum juga tugas yang lain yang memang masih Ia kerajakan.

Kaluna memang bukan lulusan universitas dengan gelar dibelakang namanya namun sedari kecil Ia suka menggambar dan saat ia diduduk dibangku SMP, keterampilannya dalam mendesain sesuatu sudah bisa dikatakan mahir. Ia juga masih merasa tak pantas jika disandingkan oleh Gama yang seorang lulusan universitas terkenal karena dirinya hanya bermodalkan ijazah sekolah menengah atas dengan keterampilan menggambar dan mendesain yang sangat baik. Jika saja tiga tahun lalu Ia tak bertemu dengan orang baik yang mau menempatkan dirinya untuk bekerja di perusahaan penerbitan yang baru dirintis itu, mungkin Kaluna tak tahu sekarang ia harus kerja apa untuk mendapatkan gaji yang lumayan banyak ini sehingga bisa menyekolahkan sang adik. Mungkin Ia bisa saja kembali menjadi buruh pabrik ataupun pekerja serabutan.

“Na, aku tunggu dibawah lima menit lagi ya,” ucap Gama yang sedang merapikan mejanya.

Kaluna mengangguk dan ikut membereskan laptop hitam yang telah menemaninya selama bertahun-tahun. Laptop yang Ia beli dengan tabungannya selama enam bulan pertama bekerja di penerbitan ini.

Dengan menenteng dua cup kopi, Ia segera masuk kedalam mobil milik Gama. Keduanya hening dan sibuk dengan pemikirannya masing-masing. Gama adalah orang yang cenderung tenang dan tak banyak bicara namun bukan berarti dia manusia yang irit ngomong. Bahkan kata teman kantor mereka, Gama dan Kaluna adalah dua sosok yang mirip. Tenang namun cerewet.

“ Terakhir kali ikut ke percetakan kapan Na?” tanya Gama.

“ Dua bulan lalu kayaknya mas, kangen juga main ke percetakan,” jawab Kaluna.

“Kenapa gitu?”

“Kangen bau buku baru, emang sih pas sampe di kantor juga masih baru tapi beda aja gitu,” jelas Kaluna.

“Adikmu gimana kabarnya?”

“Baik mas, besok juga dia mau olimpiade ke Jakarta.”

“Masih ambil kerja percetakan banner?” tanya Gama.

Diantara semua teman kantornya, hanya tiga orang yang tahu kalau Kaluna mempunyai pekerjaan sampingan disebuah percetakan banner dan sablon didekat kontrakannya yaitu Gama, Lila dan orang baik pemilik kantor penerbitan tempatnya bekerja.

Ketiganya juga tak mempermasalahkan hal itu selama Kaluna bisa bekerja secara professional dan tidak mengganggu jam bekerjanya di kantor. Dan selama ini Kaluna dapat mengerjakan keduanya dengan baik, Ia akan bekerja di percetakan banner sepulang dari kantor penerbitan karena sejak awal memang Kaluna hanya berniat membantu di tempat itu.

“Masih mas, tapi akhir-akhir ini gak begitu banyak yang pesen soalnya bukan musim kampanye,” jawab Kaluna.

“Aku kadang masih gak percaya kalo kamu yang sekecil ini ternyata sosok yang kuat.”

Tentu saja perkataan Gama mengundang tawa kecil keluar dari bibir Kaluna. Ini bukan yang pertama kali ketua divisinya itu berujar demikian dan mendengar hal yang sama semakin membuat Kaluna juga tak percaya dengan dirinya sendiri.

“Kalau bukan saya yang banting tulang kerja sana dan kerja sini, mau siapa lagi mas yang bayarin sekolah Evan dan kebutuhan sehari-hari kami. Saya juga harus bayar kontrakan, habis ini Evan juga kuliah mas,” jelas Kaluna.

Gama mungkin hidup tiga tahun lebih dulu dibandingkan Kaluna namun pengalaman hidup yang Ia dapatkan selama ini tak sebanding dengan yang dirasakan oleh anak divisinya ini. Gama mengetahui apa yang terjadi pada perempuan yang sekarang duduk disebelahnya ini. Bagimana kerasnya kehidupan Kaluna sebelum datang di kantornya yang sekarang, dan juga sulitnya hidup tanpa orang tua, Gama tau itu semua.  

“Jangan sungkan sama aku Na, kalau butuh bantuan kamu bisa hubungi aku,” ucap Gama.

“Mas Gama tenang aja, kan mas selalu bilang kalau saya kuat. Bantuin nya kalau saya udah gak kuat aja mas,” canda Kaluna.

Gama tertawa kecil bahkan kini senyumannya tak luput dari tangkapan mata Kaluna. Selama bekerja disini, hanya Gama yang selalu paham bagaimana kesusahannya dan selalu membantu. Bagi Kaluna, sosok Gama adalah figure kakak yang terbaik yang Ia kenal.

Gama selalu mendorong Kaluna yang sedang lesu, manarik Kaluna yang sedang terjatuh. Memberi inspirasi dan  petunjuk saat dirinya mulai buta arah. Dan Kaluna sangat berterima kasih dengan adanya Gama membuat dirinya tak pernah takut untuk setiap hari kembali menghadap Bu Dian karena Ia tahu akan ada Gama yang menyemangatinya di balik meja. Satu hal yang selalu ada di benak Kaluna, akankah pertemanan keduanya akan bertahan selamanya atau hanya sebatas rekan kerja yang akan datang dan pergi?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status