Kaluna yang tadinya membayangkan akan menunggu sampel dengan santai diruang tunggu akhirnya ikut kelabakan saat Gama menemukan ada kesalahan packaging pada novel yang yang akan diluncurkan minggu depan itu. Seharusnya pembatas buku yang dicetak adalah versi kedua karena ada kesalahan hak cipta pada vector yang diinginkan penulis pada pembatas buku yang pertama. Dengan cepat Gama menyuruh siapapun orang yang ada disana untuk membantunya mengambil semua bookmark yang sudah tertata rapi didalam buku untuk dikeluarkan dan diganti dengan yang baru- termasuk Kaluna yang memang ada disana.
Sekarang ada tumpukan besar buku-buku berjumlah dua ratus novel yang harus mereka buka satu persatu. Tentunya ini akan memakan waktu yang sangat lama. Untung saja tanggal perilisannya masih jauh sehingga masih ada waktu untuk memperbaikinya.
Kaluna memutuskan untuk pamit sebentar guna memesan beberapa makanan untuk semua orang karena ini sudah lewat jam makan siang. Untung saja setiap karyawan yang pergi ke percetakan akan dibekali dengan kartu debit perusahaan sehingga semua biaya yang dikeluarkan akan ditanggung kantor. Hal ini membuat Kaluna senang karena uang jatah makan siangnya bisa Ia gunakan untuk makan malam nanti.
Setelah memastikan pesanannya telah diterima oleh ojek online, Ia pun kembali ketempat Gama berada. Kaluna menghela nafas sejenak karena mungkin hari ini Ia akan pulang larut lagi padahal tadi pagi dirinya berjanji pada Evan akan pulang lebih sore untuk membantu adiknya itu berkemas.
***
Sembari menenteng beberapa plastik berlogo sebuah warung masakan padang, Kaluna masuk kedalam kantor milik Tono untuk menata makanan yang sudah Ia beli. Tanpa sengaja ia menemukan sebuah kertas buram yang sudah digambari dengan gambar yang cantik. Kaluna tak tahu ini milik siapa, tapi yang pasti sosok siluet perempuan dalam gambar ini entah kenapa terasa sangat menyedihkan. Punggung perempuan ini terlihat ringkih dari belakang dengan rambut panjangnya yang tergerai.
Kaluna menatap sebuah tanda dipojok kanan bawah, sebuah sign berbentuk huruf D tergambar jelas disana. Entah kenapa kertas yang terlihat usang itu bisa nampak lebih berharga setelah ditorehkan gambar yang indah.
“Gak mungkin punya mas Tono kan,” monolog Kaluna.
Tak ingin ambil pusing, Kaluna segera keluar memanggil orang-orang yang ada di area packaging. Semuanya masih sibuk mengeluarkan bookmark dari bukunya serta mengganti dengan yang baru. Andai saja waktu itu Kaluna tidak ceroboh dengan mengirimkan dua jenis desain tanpa di cek dulu, mungkin hal seperti ini tidak akan terjadi.
“Mas, yuk makan dulu nanti dilanjut,” ucap Kaluna.
Semua orang pun bersorak karena memang ini sudah lewat jam makan siang dan berada disini dengan tumpukkan buku yang masih lama selesainya sangat menguras tenaga walaupun mereka sedari tadi terduduk.
“Mas Tono, ini punya siapa?” tanya Kaluna sambil menunjukkan gambar sketsa kertas buram yang tadi Ia temukan.
“Oh, itu mungkin punya mas-mas yang kemarin nyetak bukunya disini,” jawab Tono yang sedang menikmati nasi padangnya.
“Saya bawa boleh gak sih? Gambarnya bagus,” pinta Kaluna.
“Boleh mbak, mas nya emang suka gambar di kertas-kertas gak kepake gitu. Bawa aja mbak, buat kenang-kenangan,” ucap Tono.
Kaluna tak lupa berterima kasih dan meminta tolong Tono untuk menyampaikan pada sang pemilik gambar bahwa Kaluna sangat suka dengan gambarnya.
Sepulang dari percetakan dan juga tempat kerjanya yang kedua, Kaluna lagi-lagi pulang dengan badan pegal semua. Evan yang melihat hal itu membiarkan kakak perempuannya beristirahat dan tidak jadi meminta bantuan untuk mengemasi barang.
Makan malam yang Evan siapkan juga tidak disentuh Kaluna, artinya kakaknya memang sedang kelelahan dan sebagai adik yang pengertian Ia hanya cukup diam dan tidak mengganggu sang kakak.
Keesokan paginya setelah mengantar sang adik, Kaluna tak langsung kembali kekantornya melainkan mengunjungi salah satu café didekat sana. Salah satu penulis yang terikat kontrak dengan penerbitannya meminta untuk bertemu membahas desain sampul buku. Awalnya Kaluna malas sekali bertemu langsung dengan para penulis, Ia lebih suka memberikan contoh sampulnya kepada Gama atau para editor sebagai perantara dibanding harus bertemu langsung.
Akhirnya Kaluna memilih sebuah café yang tidak terlalu besar dan cukup sepi pengunjung namun hal lain yang membuatnya tertarik adalah nama café tersebut yang mirip dengan namanya, Naluna Café.
“Ice Americano nya satu sama matcha latte nya satu ya mas,” ucap Kaluna.
Setelah memesan minumannya pada meja kasir, Kalun segera mencari tempat duduk yang terlihat nyaman untuk digunakan meeting. Tak lupa Ia juga mengeluarkan laptopnya dan mengerjakan beberapa desain sembari menunggu tamu nya datang.
Saat mengeluarkan laptopnya, Kaluna tak sengaja menjatuhkan sebuah kertas buram. Kertas buram yang sama dengan gambar punggung perempuan yang Ia temukan dikantor percetakan. Baru saja ingin mengambil kertas tersebut namun sebuah tangan mengulurkan kertas itu padanya.
“Makasih mas,” ucap Kaluna.
Laki-laki yang mengenakan apron barista tersebut hanya mengangguk kecil dan berlalu namun tatap matanya terus menatap pada kertas yang kini ada ditangan Kaluna. Sedangkan Kaluna sendiri tak sadar jika sedari tadi dirinya diperhatikan.
“Untung gak kotor,” monolog Kaluna.
Satu jam berlalu dan meeting pun selesai. Seperti tebakan Kaluna tadi, penulis yang Ia temui minta untuk dibuatkan desain yang sesuai dengan keinginannya karena ini buku pertama. Kaluna tak bisa menolak dan melakukan sesuai dengan yang sang penulis inginkan namun tak lupa mempertimbangkan keinginan pasar sehingga sampulnya terlihat lebih menarik.
Bukannya kembali ke kantor, Kaluna justru masih asik berdiam diri dan menyesap cangkir matcha latte keduanya.
“Kamu Kaluna kan?” tanya seorang perempuan asing.
Kaluna menatap perempuan itu dengan bingung karena tidak merasa mengenal sosok didepannya ini. Wanita dengan dress selutut berwarna biru dan juga senyum yang sangat cerah itu memastikan sekali lagi bahwa yang dipanggilnya adalah Kaluna kenalannya.
“Bener kan? Kaluna kan? Kamu gak ingat aku kah?” cecar wanita itu dengan pertanyaan beruntut.
Kaluna makin bingung, karena kini otaknya tak dapat memproses siapa wanita asing ini dan mengapa Dia tau namanya.
“Siapa ya?” tanya Kaluna pelan.
“ Aku Anna, temen SD kamu!” seru wanita itu.
Kaluna terkesiap. Wajahnya yang tadinya bingung kini menjadi pias. Salah satu orang dalam masa lalunya yang sangat ingin Ia lupakan tiba-tiba datang disaat Kaluna sudah mulai nyaman dengan kehidupannya yang baru.
“Maaf, saya memang Kaluna tapi sepertinya anda salah orang,” elak Kaluna.
Ia segera membereskan barang-barangnya dengan buru-buru namun wanita bernama Anna itu segera menarik lengan Kaluna untuk kembali duduk.
“Gak mungkin aku lupa, kamu Kaluna. Luna ketua kelas pas SD, kita dulu sahabatan,” ujar Anna.
Karena terburu-buru, Kaluna sampai tak sengaja menumpahkan minumannya dan membuat gelas tersebut pecah. Pekikan tertahan Kaluna membuat seisi café kini menatap kearah keduanya. Baru saja Ia hendak membersihkan pecahan gelas tersebut, sebuah tangan menahan Kaluna.
“Biar saya saja mbak, mbaknya bisa pindah dulu di meja sebelah,” ujar seorang barista yang tadi membantu Kaluna.
“Maaf ya mas, nanti biar saya ganti,” sesal Kaluna.
Anna masih berupaya untuk mengingatkan Kaluna akan siapa dirinya karena menurutnya mereka berdua dulu adalah teman yang cukup dekat sehingga Anna masih mengingat wajah Kaluna dengan sangat jelas meskipun sudah bertahun-tahun berlalu.
“Pantes aja polisi gak bisa menemukan kamu dan keluargamu disana,” cetus Anna membuat Kaluna mematung ditempat Ia berdiri.
“Maaf, sudah saya bilang anda salah orang!” jerit Kaluna.
Ia menatap Anna dengan nanar. Tangannya mengepal menahan sesuatu agar tidak meledak. Jeritan Kaluna membuat semua orang terkejut tak terkecuali sang barista yang baru saja keluar dari dapur setelah membuang pecahan gelas.
“Anda jangan sok akrab dengan saya, saya sudah lama tinggal disini dan saya gak kenal anda. Jadi tolong sekali biarkan saya menikmati waktu dengan tenang, anda bukan orang pertama yang sok mengenal saya, dan saya sudah muak,” terang Kaluna.
Anna terkesiap, wajahnya yang tadi terlihat ceria tiba-tiba murung penuh penyesalan. Tak ingin menambah keributan, Anna segera meminta maaf dan pergi setelah mendapatkan pesanannya meninggalkan Kaluna yang terduduk dengan nafas memburu.
Kaluna berusaha mengatur nafasnya. Bayangan masa lalu nya yang dari dulu ingin Ia lupakan tiba-tiba kembali datang kepermukaan. Bayang-bayang orang tuanya yang bersembunyi didalam rumah mereka, ejekan teman-temannya dulu dan caci maki yang Ia terima dari tetangganya membuat Kaluna kembali menyelam kemasa-masa paling menyedihkan dalam hidupnya.
Bukan tanpa alasan mengapa Ayah dan Ibu nya memutuskan untuk pindah ke kota ini dan memulai kehidupan yang baru. Bukan tanpa alasan semua kemewahan yang dulu Kaluna rasakan tiba-tiba lenyap.
Kaluna anak penipu.
Kaluna makan uang haram.
Kaluna anak koruptor.
Kata-kata itu yang selalu Ia dengar saat tinggal di kota lamanya. Teman-temannya semua menjauh, tetangganya mencibir dan keluarga besarnya tidak pernah menganggap Ayah, Ibu Kaluna dan Evan lagi.
Kaluna pikir semua sudah selesai saat mereka pergi jauh dari kota itu. Namun siapa sangka Ia harus bertemu dengan Anna di kota ini. Anna, teman masa kecil yang sangat dekat dengan keluarganya.
Masih dengan perasaan campur aduk dan takut, Kaluna duduk dengan tenang namun tangannya terus gemetar. Ia bisa saja kembali ke kantor sekarang, namun Kaluna tak yakin dia bisa berjalan dengan tegap sekarang.
Disaat Kaluna terjebak dalam pemikirannya, secangkir kopi dingin tersaji rapih dihadapan Kaluna. Barista yang baik hati itu kini menatap Kaluna tanpa ekspresi.
“Saya gak pesan mas,” ucap Kaluna.
“Free service dari saya, mbak nya gak usah bayar,” ujar sang barista.
“Terima kasih,” cicit Kaluna.
Keduanya kembali terdiam masih dengan sang barista yang berdiri di samping Kaluna. Kaluna tentu saja bingung mengapa mas-mas dihadapannya ini tidak segera pergi. Namun setelah Ia lihat lagi, si barista sedang melihat kertas buram yang tak sengaja ketumpahan matcha latte nya tadi.
“Yah basah!” keluh Kaluna.
“Gambaran mbak?” tanya Barista tersebut.
“Bukan mas, tapi saya suka banget sama gambarnya. Gak sengaja kemarin lihat di kantor temen saya,” Jelas Kaluna yang tanpa disadari siapapun Si Barista tersenyum kecil.
Barista itu mengangguk kecil.
“Saya punya kenalan yang gambarannya bagus dan juga suka gambar di kertas buram,” tutur sang Barista.
“Seriusan mas?” tanya Kaluna.
“Kapan-kapan kalau mbak nya kesini lagi, saya kenalin,” ujar Si Barista.
Kaluna mengangguk antusias.
“Saya bakal rajin kesini kalau gitu,” jawab Kaluna membuat keduanya tertawa.
“Delvin,” ucap Si Barista memperkenalkan dirinya sembari mengulurkan tangan.
Kaluna dengan ramah menerima uluran tangan tersebut.
“Kaluna,” balasnya.
Kaluna tak tau apa yang akan terjadi, firasatnya mengatakan akan banyak hal besar terjadi setelah pertemuannya dengan Anna, namun Kaluna harap semua nya hanya pikiran jeleknya. Bisakah masa depan berjalan sesuai rencananya?
“Ya ampun La, aku gak usah ditemenin juga gak kenapa-napa,” ujar Kaluna yang sedang menuangkan soto ayam kuah bening yang tadi Ia beli kedalam mangkok.Sepulang dari kantor Lila mengatakan bahwa dirinya akan menginap. Lila tahu jika hari ini dan tiga hari kedepan Kaluna sendirian di rumah karena Evan pergi olimpiade untuk itu sekitar jam tujuh malam setelah Kaluna sampai dirumah, Lila datang dengan rantang makanan buatan sang ayah. Malam ini makanan di rumah Kaluna melimpah.“Aku takut kamu gak keurus,” cicit Lila.“Enak aja! Aku mandiri tau,” elak Kaluna.Lila hanya bergumam kecil mencibir Kaluna yang sok mandiri walaupun kenyataannya memang benar adanya. Mana bisa menyebut seorang Kaluna tidak mandiri padahal selama bertahun-tahun hidupnya hanya berdua dengan sang adik.Kaluna masuk kekamar guna mengganti baju nya dengan piama. Lila yang sudah selesai menata makan malam mereka akhirnya berteriak karena bosan.
Kaluna menatap cafe tersebut dari seberang jalan. Jalannya terhenti tiba-tiba dan rasa ragunya mulai menyerang. Karena sudah kepalang pusing dengan keinginan salah satu penulisnya, akhirnya dengan sedikit keberanian Ia memutuskan kembali ke Cafe Naluna sesuai usulan Lila. Namun saat sudah sampai disini, Kaluna malah enggan melanjutkan langkahnya.“Mau nyebrang mbak?” tanya seorang laki-laki tinggi menjulang dengan aksen bicaranya yang sedikit unik, seperti ada aksen yang berbeda dengan orang daerah sini.“I-iya mas,” gagap Kaluna.“Hayuk, saya juga mau nyebrang,” ajak laki-laki itu.Kaluna akhirnya hanya bisa menghela nafasnya, pasrah. Mungkin dirinya memang harus merecoki orang asing lagi. Tanpa disangka-sangka laki-laki yang tadi menyebrang dengannya juga ikut masuk ke cafe tersebut. Bahkan Kaluna bisa melihat Delvin menyapa laki-laki tersebut dengan akrab.Kaluna menghela nafasnya. Dengan langkah pelan Ia menu
Kaluna berusaha mengeringkan ujung lengan kemejanya yang tadi tidak sengaja terkena kopi milik Lila saat keduanya makan siang di Cafe Kreatif. Untung saja hari ini Ia tak memakai kemeja putih.Kaluna terseyum sopan saat melihat Joan -editor- keluar dari bilik toilet."Udah makan siang Na?" tanya Joan."Udah ce," jawab Kaluna singkat.Mata Joan menyipit kala melihat tangan Kaluna."Tangan kamu kenapa?" tanya Joan.Kaluna segera membenarkan lengan bajunya yang tergulung."Gak kok ce," ujar Kaluna.Joan sibuk memperbaiki penampilannya sedangkan Kaluna masih mengeringkan lengan bajunya."Kamu tuh kalau aku liat-liat gak pernah pakek kemeja lengan pendek ya Na?" tanya Joan tiba-tiba.Kaluna menenggak ludah dengan susah payah. Joan dikenal sebagai seorang yang perfeksionis dengan penampilan dan fashion seseorang. Dia bahkan bisa mengomentari pakaian anak magang selama satu jam j
"Ibu," panggil Kaluna.Kaluna melihat sosok Ibunya tengah berdiri beberapa meter di depannya. Keduanya kini berada di sebuah danau yang tak asing. Danau yang sama dimana dulu keluarga mereka sering berkunjung. Namun kini ada yang berbeda, Kaluna sadar semua ini hanya khayalannya saja, mana mungkin Ibunya sekarang ada didepannya. Pasti ini mimpi."Kaluna gak kangen Ibu?" tanya Ibu Kaluna.Kaluna mengangguk pelan tapi raut wajahnya masih jelas terlihat bingung."Kaluna kangen Ibu sama Ayah," jawab Kaluna.Lalu sedetik kemudian hatinya terasa lebih ringan, Kaluna tiba-tiba merasa tenang entah karena apa."Ibu sama Ayah gak pernah tinggalin Luna sama Evan," terang Sang Ibu.Kaluna tersenyum, ingin rasanya segera berlari menuju Sang Ibu namun anehnya Ia sama sekali tak bisa melangkahkan kakinya. Ia terus memanggil Ibunya namun Sang Ibu justru pergi menjauhi Kaluna menuju ke sebuah cahaya. Sebisa mungkin Kaluna berte
Kaluna menghela nafasnya kasar. Sekali lagi Ia harus menahan emosinya mendengar para editor bergosip tentang dirinya, dibelakangnya. Ia bisa saja membungkam semua orang dengan kebenaran namun kebenaran itu hanya akan membongkar rahasia seseorang, dan Kaluna tak mau jadi orang yang selancang itu.Gama yang mengetahui semua kebenaran itu hanya bisa menyemangati Kaluna, Ia juga tak mengerti kenapa gosip murahan seperti itu bisa menyebar dengan cepat dalam dua jam padahal masih di jam kerja."Na, tolong hasil akhir layoutnya Penulis Biru kirim ke email ya," ujar Gama."Iya Mas, ini baru selesai langsung aku kirim," ucap Kaluna.Lila hanya bisa menatap sahabatnya dengan sendu dari balik meja, Ia tak bisa meninggalkan mejanya karena mata Bu Dian masih melihat kearahnya. Atasannya itu sepertinya menaruh dendam terlebih pada Lila entah karena apa.Efek dari gosip itu ternyata membawa perubahan yang pesat, tak ada lagi sapaan m
Kaluna melangkahkan kakinya tanpa gentar saat memasuki kantor. Ia sebisa mungkin menutup telinga atas semua omongan teman kantornya yang kian menggila. Banyak rumor yang dibumbui dengan garam membuat kobaran api semakin membara, namun hal itu bukan berarti menghentikan langkahnya, Ia harus bekerja untuk adiknya. Mereka yang mencaci Kaluna juga tidak membayar gajinya, jadi untuk apa didengarkan. Kaluna juga tak bisa menutup mulut semua orang, Ia hanya perlu menutup telinganya.Kaluna melakukan pekerjaannya dengan baik hari ini bahkan mendapat pujian dari Gama dan Bu Dian, namun pada dasarnya semua mata sudah tertutup dengan rumor yang membuat Kaluna justru dibenci bukannya ikut diapresiasi.Kaluna melangkah pergi dari gedung kantornya dengan langkah gontai. Ia harus segera pulang untuk menemui Sang Adik yang tadi siang tiba tanpa ada yang menyambut. Tak lupa Kaluna juga mampir ke warung nasi padang untuk makan malam mereka berdua.Hari ini dan hari-ha
Kaluna berpisah dengan Evan, adiknya itu ijin bermain basket bersama teman-temannya yang kebetulan sedang ada disana sedangkan Kaluna tetap bersama Delvin yang mulai membagikan kertas dan krayon. Kaluna duduk manis disebelah Nara yang sedang memilih warna.Delvin mengatakan bahwa tema menggambar hari ini adalah pemandangan yang biasa mereka temui. Tak hanya anak-anak ini saja yang menggambar, Delvin juga memberikan selembar kertas buram kepada Kaluna."Aku juga?" tanya Kaluna."Biar adil," jawab Delvin.Kaluna menerima dengan senang hati dan menggambar sebuah meja beserta perlengkapan kantor yang memang Ia temui setiap hari. Pemandangan paling membosankan yang membuat Kaluna terkadang berpikir mengapa Ia bisa betah bekerja disana.Kaluna berkali-kali dibuat tertawa oleh tingkah lucu anak-anak disana. Ada yang berebut warna, ada yang saling meledek atau sedikit tidak terima karena gambarannya hampir sama. Kaluna terseny
Kaluna menatap lurus kearah perempuan yang ada dihadapannya ini. Ia akhirnya memutuskan untuk bertemu dengan Anna di Naluna Cafe. Sebenarnya Kaluna juga tak ingin secepat ini, tapi Ia juga perlu untuk hidup lebih tenang meskipun tak ada jaminan bahwa itu akan terwujud."Kamu beneran gak mau ketemu sama aku lagi?" tanya Anna yang membuat Kaluna menghembuskan nafas berat."Kalau aku gak mau ketemu kamu, kita gak akan ketemu sekarang," jelas Kaluna.Tak ada nada bersahabat lagi dari bibir Kaluna. Tak ada lagi sapaan riang dan juga tawa manis yang keluar. Kaluna menjadi sosok yang berbeda dihadapan Anna dan hal itu membuat sekali lagi Anna merasa dunianya memburuk."A-aku cuma mau ketemu kamu Lun, aku gak tau salah aku apa sampai kamu setakut itu ketemu sama aku," ucap Anna lirih."Kamu gak salah apa-apa, masalahnya ada di aku. Aku gak mau lagi berurusan dari orang-orang kota itu termasuk kamu sekalipun," cecar Kaluna.&nbs