Gorden dibuka lebar memberikan penerangan penuh pada kamar lelaki yang mendapat gilaran pertama pemeriksanaan.
“Wah ... benar-benar seorang Manager, kayaknya terakhir gue tinggalin kamar lo nggak serapi ini deh.” Tiara tidak habis pikir jika kamar laki-laki bisa begitu rapi.
“Ya lo jorok! Habis pakai kamar orang tuh dibersihin lagi. Handuk basah dicampur cucian baju, selimut dilipat tapi kasurnya nggak digibrasin dulu. Gue nggak mau minjemin kamar gue lagi!”
Brak!
Tiara dan Ilham terkejut dan menoleh ke arah sumber suara. Bayu yang berdiri di dekat meja belajar dengan wajah datarnya hanya melihat telapak tangan yang memerah.
“Ada apa dengannya?” bisik Tiara yang seketika merasa seram.
Ilham mengendikkan bahunya, ia hanya mengamati tingkah Bayu yang aneh itu.
Keheningan hampir membunuh semua yang ada di kamar. Suasana menjadi tegang saat tidak ada yang berani mengeluarkan suara.
“Ehm! Sepertinya baik-baik aja di sini, ya
Zoo nggak janji lagi bisa update kapan. Maaf jika updatenya lama, karena setiap karya dan penulis memiliki kesulitannya sendiri. Terima kasih sudah membaca novel ini dan dukungan semuanya Jaga kesehatan dan selalu bahagia. Happy Reading~
“Apa maksudnya Ilham bertanggungjawab atas Tiara? Apa hubungan kalian?” Pertanyaan itu mengejutkan Ilham dan Tiara. Lampu hijau yang terang-terangan Bayu nyalakan seperti petir di siang bolong. “Nggak ada urusannya juga kan sama lo? Anggap saja seperti ini, dari kecil Emak gue selalu nitip gue ke Ilham, karena sekarang ada lo jadi bagi-bagi tugas gitu. Lo patroli keseharian gue dan Ilham jadi satpam waktu belajar gue.” Tiara menjelaskan sekenanya. Ilham maju saat melihat Bayu tidak mempercayai perkataan Tiara. “Kita omongin ini di tempat lainnya aja, agak sensitif kalau Tiara dengar. Sekarang ikuti keinginan Tiara saja dulu, mohon mengertilah.” Ilham berbisik untuk menarik rasa penasaran Bayu. Ia juga mengedipkan satu matanya pada Tiara memberi kode, jika ia yang akan mengurusnya. “Udah ayo kita lanjut makan-makannya. Bayu, bantuin gue bawain piring-piring ini.” Dengan tanggap Tiara mencairkan keadaan. Walau sedikit tegang dan canggun
Gedung falkutas kedokteran, Ilham mencari Bayu, ia bertanya kebanyak orang di sana namun tidak melihatnya. Tidak biasanya Bayu belum ada di kampus satu jam sebelum kelas dimulai. Ilham yang sudah menyerah akan kembali ke gedung falkutasnya, tidak sengaja melihat lelaki jakun berjalan dengan buku ditangannya di seberang jalan. Sangat mudah dikanali si kutu buku yang terlihat keren itu. “Bayu!” panggil Ilham berteriak. “Bay! Bayu!” Nampaknya lelaki jakun itu tidak mendengarnya, saat dilihat lebih teliti Bayu menggunakan earphone di telinganya. Jarak yang semakin jauh membuat Ilham mau- tidak mau lari. “Hei!” Ilham memanggilnya lagi sambil menepuk pundak Bayu. Melihat Ilham yang membungkuk dengan napas tersegal-segal membuat Bayu mengerutkan keningnya, lalu melepas earphonenya. “Ada apa?” “Hah hah ... tunggu, kasih gu-e napas.” Bayu tidak mengatakan apapun seakan bebar-benar memberi waktu. Padahal
Keringat merembas piyama. Napas yang tersegal mendominasi suara. Pandangan kosong menggiring ingatan pada potongan-potongan cerita yang terlihat jelas membuat bulu kuduh Tiara merinding. “Apa itu? Kenapa begitu nyata?” Tiara mencoba berpikir logis untuk menutupi rasa takutnya. Namun, di dalam diri Tiara merasa sesuatu yang memilukan setiap isi mimpinya terngiyang. Tangannya yang menyentuh dada terasa sakit, kesedihan seakan ditahan untuk membohongi diri sendiri. “Astro ... Ah! Apa aku benar-benar sudah gila?” *** “Hm, jadi begitu ....” Saat ini seorang psikolog dengan papan tulisnya mendengarkan keluhan Tiara. Mimpi yang katanya terasa nyata. “Maaf sebelumnya jika lancang, apa Penulis Tiran mengalami halusinasi?” “Tidak, tapi ....” Tiara menggantungkan jawabannya. “Tapi?” “Sebelum season kedua di-publish saya merasa ada yang meneror. Dokter, mungkin saat itu saya berhalusinasi.” Mencoret-coret p
Membaca kembali apa yang sudah ditulisnya, Tiara merasa begitu dekat dengan mimpinya itu. Saat ini Astro sedang berada di dunia Imajinasi dengan situasi yang mengancam nama baiknya di dunia Suku Dewa. “Apa yang gue bayangkan saat ini? Idekah? Tapi kenapa hati gue bertentangan dengan apa yang gue pikirkan?” Tiara merasa firasat buruk jika ia menulis apa yang ada di kepalanya. Cerita yang tidak adil untuk Astro. “Kanapa juga gue ambil pusing? Selama ini fine-fine aja, karena dia antagonisnya.” Tiara membiarkan dirinya menulis apa yang ada di kepalanya. Visualisasi kejadian terasa jelas membuat Tiara begitu mengekpresikannya walau itu hanya sekedar tulisan. Ctak! Berhenti di enter. Mata Tiara mengarah pada rak bukunya. Ia teringat saat terjatuh dari tempat tidur, sebuah buku jatuh sendiri dan Tiara mengembalkannya. Menyusuri setiap buku semua tersusun rapi- Tunggu! Di dalam mimpi Astro membereskan kekacauan yang
“Jadi ... lo percaya teori kayak gitu? Maksud gue, hal mustahil semacam tokoh novel yang memiliki kehidupan sungguhan yang nyata?” Sisca mengendikkan bahunya. “Gue lebih percaya kalau ada yang namanya dunia paralel. Ada dunia atau kehidupan lain di dunia ini, sama-sama hidup berdampingan dengan kita di bumi. Banyak misteri yang belum terungkap di dunia ini.” “Hm ... gue setuju, tapi gue nggak percaya.” Untuk sekedar pembicaraan random, Sisca merasa Tiara mencoba mengarahkannya ke hal yang lebih dalam. “Ya itu hak lo, tapi gue jadi penasaran apa yang membuat lo nggak percaya saat lo setuju dengan pernyataan gue?” “Artinya setiap penulis novel membuat kehidupan lain di dalam karyanya, dan bisa disebut sebagai Tuhan yang bisa menciptakan kehidupan pada karya tersebut.” “Jadi pembahasan lo ke arah sana ... Saat penulis merasa dirinya yang benar-benar menciptakan apa yang ditulisnya sebagai karya ciptanya dan mengaku dirinya Tuhan.
“Lo emang nggak tahu atau pura-pura nggak tahu? Lo pikir kemarin-kemarin lo jarang banget diganggu sama dia karena lo berhasil menghidarinya? Tiara itu seperti anjing pelacak yang bisa nemuin lo di mana aja, lo nggak merasa ada yang aneh?” Ucapan Ilham terus mengganggu pikiran Bayu. Apa lagi beberapa hari ini belum ada kabar dari Tiara. Semua fokusnya buyar dan berujung tidak dapat mengerjakan tugas laporan yang menumpuk. Biasanya Bayu tidak peduli dengan apa yang Tiara lakukan, tapi sekarang .... ‘Kok gue nggak tenang ya? Gue khawatir dia kenapa-napa.’ Khawatir? Kekhawatiran yang berbeda tanpa paksaan dari Ibunya Tiara. Ini menjadi istilah dan perasaan baru bagi Bayu untuk gadis itu. Tidak ingin berpikir panjang, Bayu mengambil jaket dan kunci mobil. Mungkin tindakan kali ini menjadi awal mula perubahan dalam hidupnya. *** Tiara mengacak rambutnya frustasi. Ia semakin tidak tenang dengan apa yang muncul dalam pikirannya. Astro mendapatkan tuduhan pemberontakan dari Suku Dewa sa
Baru saja Tiara berdiri ingin pergi, tangannya ditahan. “Temenin gue makan, lo belum jawab pas gue tanya kabar lo.” ‘Curang! Bayu sialan!’ Jantung Tiara berdetak kencang, ia tidak mengerti dengan sikap manis Bayu yang begitu tiba-tiba. “Gu-gue ... gue baik-baik aja. Sehat sentosa, adil, dan makmur. Lo nggak lihat gue makin gemuk sekarang?” Tiara gugup dan langsung melepas tangan Bayu yang masih memegang tangannya. Bahkan gadis itu sampai salah tinggah dan bicara melantur. Bayu hanya mengangguk. “Lalu, kenapa lo nggak telepon atau nemuin gue beberapa hari belakangan? Lo sakit?” “Hah?” “Iya, lo biasanya nggak jelas telepon gue atau tiba-tiba ada di depan gue dimanapun itu.” Tiara mengedip-ngedipkan matanya, sepertinya telinganya rusak atau Bayu sedang mempermainkannya? “Hahaha ... rindu itu emang berat. Yah, gue suka cara lo. Sangat gentle. Lakuin ini buat gue aja ya, Bay. Biar gue nggak makin banyak saingannya lagi.” Tiara menutup wajahnya, perasaannya tidak karuan. Mau ini adal
Pukul 3 AM di jam weker digital yang dilihatnya. Menoleh pada pintu kamar, sekarang Tiara ingat itu. Sumber satiap ia mendengar obrolan-obrolan yang menyeramkan di malam-malam teror yang dipikirnya hanya halusinasi saja. Kepalanya menengadah melihat langit-langit kamar, itu adalah sumber suara batu terjatuh sebelum ia bertemu dengan ‘Dia’. Melihat pada meja belajarnya, terdapat lelaki yang tertidur di sana. Tiara tersenyum melihat Bayu benar-benar menunggunya. Bangkit membawakan selimut, Tiara berjalan perlahan agar tidak membangunkan, lalu dihampar selimut itu pada punggung Bayu. Melihat laptopnya yang berpindah tempat di atas rak buku, Tiara menunduk, ingatannya telah pulih. ‘Kenapa gue bisa melupakannya?’ Berdasarkan tulisan yang dibuatnya, Astro ada dalam masalah besar sekarang. Hanya saja tidak mudah bagi Tiara untuk mengganti alur cerita tersebut, tidak ada ide yang membuatnya bisa menulis selain kemalangan untuk Astro. Rasa bersalah menyelimutinya, janji tanggung jawabnya ki