Aku menghabiskan waktu selama tiga hari dua malam di rumah sakit untuk menyembuhkan luka-lukaku. Untung tidak ada satu pun bagian dari tubuhku yang mengalami patah tulang. Hanya memar saja.
Semua biaya rumah sakit sudah dilunasi Ibu. Dan hari ini, hari ketiga, aku sudah diijinkan pulang oleh Dokter Erwin, dokter yang merawatku. Ada satu pesan dari Dokter Erwin yang terus terngiang di telingaku. "Saatnya kamu menunjukkan siapa kamu sebenarnya, agar kamu bisa melindungi orang-orang yang kamu sayangi. Jadikan ini sebagai awal baru hidupmu".
Aku berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Berjalan disamping wanita cantik yang sudah melahirkanku. Sesaat kurasakan tangan lembutnya menepuk punggungku pelan. Tepukan yang mengalirkan rasa nyaman dan hangat dalam diriku. Aku menundukkan kepalaku. Tanpa sadar, diujung pelupuk kedua mataku, sudah terbentuk beberapa kristal bening yang siap jatuh membasahi pipiku.
Wanita cantik itu menghentikan langkahnya. Reflek akupun melakukan hal yang sama. Ia memutar tubuhnya, menghadap ke arahku. Berjalan mendekat kemudian memeluk erat. Tangis yang kutahan sejak tempo hari, saat aku tergeletak tak berdaya setelah dianiaya sedemikian rupa, pecah sudah. Aku menangis dalam pelukan hangat bidadari tanpa sayapku. Kulepas semua rasa sesak yang menghimpitku, rasa kesal dan benci yang mengumpul jadi satu.
Aku memeluk erat tubuhnya. Kutenggelamkan wajahku dalam dekapan lembutnya. Cukup lama aku menumpah ruahkan semua perasaan dalam hatiku. Ia terus mengelus punggungku. Sesekali menepuk lembut, memberikan ku ketenangan dan kenyamanan yang luar biasa mampu menghapus semua kesedihanku.
Aku mengangkat wajahku. Menatap wajahnya yang terseyum. Senyum yang begitu menyejukkan jiwaku yang gersang. Ia mengusap cairan bening yang tersisa di wajahku seraya berkata,"Tidak apa-apa..tidak apa-apa..kamu tetap jagoan Ibu". Kembali ia memeluk erat tubuhku sejenak, lalu melepaskannya dan kembali berjalan menyusuri lorong rumah sakit menuju ke parkiran kendaraan roda empat. Aku kembali berjalan mengikutinya dari belakang.
Tiga puluh menit waktu tempuh dari rumah sakit menuju rumahku. Pak Hadi, sopir keluargaku, yang sudah mengabdi selama 20 tahun hidupnya membantuku keluar dari mobil. Aku berjalan pelan memasuki rumah. Ketika sampai di teras, terdengar langkah setengah berlari di belakangku.
"Den... Tunggu..." terdengar suara Pak Hadi. Aku menghentikan langkah kakiku, kemudian memutar badanku menghadap ke arahnya. Tampak Pak Hadi berusaha mengatur nafasnya kembali setelah meletakkan kursi roda yang tadi dipanggul di pundaknya. Aku menunggunya dengan sabar.
"Den.. Aden pakai kursi roda ini ya..Maaf, tadi saya lupa mengeluarkannya dari bagasi. Kata Pak Dokter, Den Satya pakai kursi roda ini dulu, biar luka yang di lutut cepat kering dan sembuh. Kalau tidak pakai kursi roda, lukanya akan terbuka lagi, jadi lama sembuhnya," jelas Pak Hadi sambil membuka kursi roda, kemudian mempersilahkan diriku untuk duduk diatasnya.
Karena kursi roda ini otomatis, maka aku tidak perlu bantuan orang lain untuk mendorongku kemana aku mau. Dan saat ini yang ingin aku lakukan hanyalah berbaring diatas kasur empukku, tanpa selang infus terpasang di salah satu anggota badanku.
Aku telah sampai di kamarku dan dengan pelan aku mencoba berdiri, lalu berjalan mendekati kasur empuk di kamarku. Aku menghempaskan tubuhku seraya menghela nafas lega. Akhirnya aku bisa merasakan keempukan kasurku lagi tanpa selang infus terpasang ditanganku. Kupejamkan mataku. Niat hatinya hanya memejamkan barang sekian detik, tanpa kusadari, jiwaku telah melayang entah kemana. Ya, aku terlelap dengan sukses.
Tok. Tok. Tok.
Samar. Kudengar suara ketukan di depan kamarku. Ternyata, aku tertidur cukup lama. Aku mencoba membuka mataku, sambil memanggil kembali sukmaku yang melayang entah kemana saja. Kulihat ibu membawa nampan berisi makanan, segelas air putih serta beberapa jenis obat yang harus aku habiskan.
"Ayo makan yang banyak, biar bisa ikut main basket lagi,' ujar ibuku, memompa kembali semangatku yang sempat meredup.
Aku mengambil nampan yang diletakkan di atas meja, yang terletak di samping tempat tidurku, mulai melahap habis semua makanan yang ada di nampan, termasuk meminum obat yang sudah disiapkan ibu untukku.
Ibu lalu membawa keluar nampan yang berisi piring kotor dan gelas kosong, dari kamar.
Aku lantas beranjak dari dudukku dan menarik kursi roda agar mendekat ke arahku, lalu berpindah duduk di atasnya. Aku kemudian mengikuti ibu yang sudah berjalan keluar dari kamarku. Sesampainya di meja makan, aku melihat ibu berjalan keluar.
"Ibu mau kemana?" tanyaku menatapnya, ingin tahu.
"Ibu mau main jualan-jualanan. Kenapa? Mau ikut?" goda ibu usil sambil menaik-turunkan kedua alisnya.
Aku tertawa lepas. Ibu sungguh tahu cara menghilangkan kesedihanku, meski hanya sesaat, tapi itu cukup bagiku. Aku mengarahkan kursi roda mengikuti ibu dari belakang. Toko kami terletak disamping garasi.
Tak berapa lama, terdengar suara langkah kaki memasuki toko kami. Tampak sosok gadis kecil, berjalan mendekat ke arah etalase.
"Selamat Pagi... Beliiii," Suara nyaring gadis kecil itu menggema.
"Halo anak cantik," sapa ibu dari balik etalase. Gadis kecil itu berjingkat kaget,
" Tante, Hira dikasih uang sama mamah 5 ribu tapi hanya boleh jajan 3 ribu. Kata mamah tidak boleh permen, nanti gigi Hira sakit. Bisa Tante pilihkan Hira jajan yang tidak bikin gigi sakit?" tanyanya polos dengan suara imutnya
"Bisa Cantik, tunggu dulu ya, tante ambilkan," jawab ibu.
Beberapa menit kemudian. "Ini ya Cantik," ujar ibu sambil menyerahkan kresek berisi jajan kepada gadis kecil yang bernama Hira itu.
"Kok banyak sekali Tante?" teriaknya saat menerima plastik kresek itu
"Nggak apa-apa, itu semua buat Hira. Jangan lupa makan yang banyak ya.. Salam untuk mama," ujar ibu sambil tersenyum menatap manik hitam legam gadis kecil itu.
"Terimakasih ya Tante...da da.." pamitnya sambil melambaikan tangannya, lalu berjalan meninggalkan toko sambil bernyanyi riang.
Aku mengntip dari sela-sela tumpukan tissu di etalase, dengan sedikit mencodongkan badanku ke depan. Setiap gerak, ucap dan senyum yang tercetak di wajahnya, terekam erat di memori otakku.
Tiba-tiba aku tersentak. Bukankah gadis itu adalah gadis yang kemarin menangis histeris saat melihatku babak belur tempo hari, gumamku dalam hati. Jika bukan karena teriakannya aku tidak tahu apa yang terjadi padaku saat itu. Dapatkah aku selamat seperti sekarang atau justru aku sudah berada di alam lain.
Hira.
Gadis cantik manis yang dikirim Tuhan untuk membuatku bangkit, memberi semangat hidup yang sempat hilang, sejak kepergian orang yang sangat aku hormati dan sayangi.
Gadis yang kelak menjadi sumber cahaya dalam gelap hidupku.
Gadis yang akan menjadi satu-satunya alasanku hidup, berjuang melawan ketakutanku.
Gadis, yang hanya dengannya aku ingin menghabiskan masa tua bersama, melalui suka dan duka bersama.
Namanya Hira.
Dewi penolongku.
Seminggu sudah kejadian penganiayaan itu berlalu. Kini aku kembali masuk sekolah. Aku sekarang duduk di tingkat menengah pertama, kelas 2. Kali ini aku berangkat dengan sepeda. Iya, ibu membelikanku sepeda agar tidak perlu melewati jalan tikus yang selalu digunakan tempat nongkrong anak-anak yang tidak jelas identitasnya. Namun sejak kejadian yang aku alami jalan tersebut sepi. Tidak ada lagi anak-anak nongkrong yang sering kali memeras orang yang sedang melintasi jalan tersebut, atau pesta minum-minuman keras yang ujungya berakhir dengan kericuhan diantara mereka sendiri. Perangkat kerukunan warga bersama warga memutuskan untuk membangun pos keamanan yang dijaga oleh hansip dan warga dengan jadwal bergiliran. Hal ini untuk mencegah kejadian penganiayaan dan pemerasan berulang kembali. Aku mengayuh sepedaku. Saat hendak berbelok ke kanan, aku melihat seorang gadis kecil berjalan bersama seorang wanita yang usianya tidak jauh dari ibuku, sambil memanggul t
Pagi ini, aku berangkat agak lebih pagi dari biasanya, karena ada jam praktik di laboratorium fisika di jam ke 0. Ibu menyiapkan bekal 2 rangkap roti isi selai kacang kesukaanku serta air putih hangat seperti biasanya. Aku tidak begitu suka pergi ke kantin. Aku hanya akan ke sana bila diseret paksa oleh teman-temanku. Bukan tanpa alasan. Sekali lagi, aku tidak suka dengan keramaian. Satu-satunya keramaian yang aku suka hanya keramaian pada saat tim basketku melawan tim dari sekolah lain dalam suatu pertandingan. Kembali ke masalah kantin tadi. Karena kantin selalu penuh saat jam istirahat, maka sebisa mungkin aku menghindari kantin. Aku tidak suka dengan perhatian lebih yang diberikan oleh gadis-gadis labil di sekolahku, bila aku berada di kantin. Aku tidak seperti Aji, sang Ketua OSIS, yang justru terlihat santai bila didekati oleh kaum hawa. Sejak dulu. Sejak pertama kali aku menapakkan kakiku di sekolah ini, aku sudah membatasi diriku sendiri untuk tidak
Mobil SUV hitam mengkilat keluar dari rumah mewah yang berada 5 blok setelah rumahku. Aku kembali mengayuh sepedaku dengan kencang. Sesampainya di depan rumah, aku melihat Om Gunawan sudah menggendong Hira menuju ke mobil hitam itu. Tante Ratih membukakan pintu mobil baris kedua dan masuk terlebih dahulu untuk memangku Hira. Om Gunawan menepuk pundakku. Aku menatap tubuh Hira yang berada di pangkuan Tante Ratih. "Nanti Om kabari keadaan Hira," ucap Om Gunawan kembali menepuk pundakku. Aku hanya menganggukkan kepalaku tanpa bersuara sedikitpun. Mobil itu melesat menerjang panasnya terik matahari. Aku terduduk di serambi depan toko ibu. Saat dimana tubuh Hira berhasil aku tangkap dan kudekap erat, melintas kembali di kepalaku. Seandainya tadi aku tidak berada di sana. Seandainya tadi langsung pulang seperti biasa. Siapa yang akan menolongnya? Siapa yang akan menggendongnya pulang? Begitu banyak pengandaian dan pertanyaan yang kuciptakan. Aku menghela nafa
Empat hari sudah berlalu. Keadaan Hira semakin membaik. Om Gunawan bercerita Hira sempat menanyakan penolongnya, namun karena kesepakatan yang sudah dibuat, maka mereka merahasiakan identitasku, dan mengatakan bahwa yang menolong saat ia pingsan adalah teman baik papa yang saat itu kebetulan sedang melintas di jalan yang dilalui Hira. Aku sendiri tidak bisa menengok Hira setiap hari. Aku hanya bisa menengok Hira pada dua hari setelah malam saat aku menengoknya bersama ibu. Hari ketiga, aku latihan basket selama 2 hari berturut-turut dan saat ini aku sedang mempersiapkan diri bersama tim untuk mengikuti lomba matematika tingkat provinsi. Aku mengetahui perkembangan kesehatan Hira dari ibu yang menelpon atau terkadang ditelpon Om Gunawan. Besok Hira sudah bisa pulang, tapi belum diperbolehkan masuk sekolah. Paling tidak ia masih melanjutkan istirahat di rumah selama dua hari baru ia bisa kembali bersekolah. Aku saat ini sedang menjalani masa k
Ibu mengantarku ke sekolah pagi ini. Hari ini aku akan berangkat mengikuti lomba matematika selama dua hari. Ibu memelukku erat sambil mengusap-usap lembut punggungku. Agak lama beliau memelukku, mungkin sambil merapal doa untukku. "Jangan lupa berdoa. Serahkan semua pada yang diatas. Ibu hanya ingin kamu pulang ke rumah dengan selamat," ucap Ibu. Dikecupnya dengan sayang keningku, dan kedua pipiku layaknya seorang bayi. Aku memang akan selalu menjadi bayi di mata dan hatinya. Bayi yang mulai tumbuh menjadi remaja labil, hehehe, kekehku dalam hati. Aku berjalan masuk ke ruang aula yang berada sebelum gedung tempat kelasku berada. Aku melangkah masuk dan menaruh tas ransel di atas meja yamg biasanya digunakan untuk menerima tamu. Aku memasang head set dan mulai memutar lagu kesayanganku, menunggu kedatangan guru dan teman-temanku yang lain. Tidak lama menunggu, satu per satu teman se-timku mulai berdatangan. Tim matematika yang dikirim
Hira masih sibuk memilih jajan yang akan ia bawa untuk bekal di sekolahnya besok. Sesaat sebelumnya ia memilih buku gambar yang terletak di etalase tempat ku duduk di belakangnya. Ia terus melihat ke arah etalase. Aku sempat terkejut karena ia menatap ke arah etalase sambil menyunggingkan senyum manisnya. Kukira ia mengetahui keberadaanku. Ternyata, aku salah. Senyum yang menghias wajahnya itu dikarenakan gambar sampul buku gambar yang ada di etalase adalah gambar kesukaannya. Snow White. Aku terkekeh dalam hati, menertawakan ke-pede-an ku yang kebablasan. Aku menggunakan kesempatan itu untuk masuk ke dalam rumah dengan langkah yang sedikit tergesa karena kuatir Hira akan mengetahui keberadaanku di toko. Di dalam ketergesaanku, aku teringat akan oleh-oleh yang aku belikan untuk Hira kemarin. Beruntung saat ini Hira sedang berbelanja di toko ibu, aku segera berlari mengambil bungkusan kecil itu yang masih berada di dalam tas ranselku. Aku
Kata-kata ibu barusan tidak bisa kumengerti sepenuhnya. Apa maksudnya saatnya aku kembali mengenal siapa diriku sebenarnya? Aku bertanya-tanya sendiri dalam hati. Pria blasteran di hadapanku hanya duduk diam seribu bahasa. Raut wajahnya angkuh dan dingin. Rahangnya seperti dipahat menjadi bentuk paling kaku yang pernah aku temui. Aku terus menelusuri semua yang ada pada dirinya. Wajah blasteran, bentuk wajah kaku, aura dingin dari dirinya berusaha mengintimidasiku. Jas yang ia pakai tampak bukan sembarang jas. Sangat jelas terlihat bila itu buatan penjahit profesional. Lama ku berdiam diri. Bermain dengan pikiran dan imajinasiku sendiri tentang pria dingin yang ada di depanku. Kupikir, dengan diamku yang begitu lama, ia akan mengajukan keberatan dan memecah kesunyian diantara kami dengan perintah atau petuah khas seorang asisten yang mengingatkan tuannya akan jadwal atau kegiatan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Asisten? Sebut saja pria yang bernama Erick
Tanpa terasa, setahun telah berlalu. Aku tetap berangkat sekolah seperti biasa, hanya saja kini aku diantar dan dijemput oleh Erick, asisten pribadiku. Latihan basketpun berjalan seperti biasanya, namun pada akhirnya, aku pun harus mengundurkan diri dari tim. Aku tidak lagi mengayuh sepeda sehingga tidak lagi bisa mengawasi Hira dari kejauhan, seperti yang biasa aku lakukan dulu. Kini, aku mengawasinya dari balik jendela mobil yang mengantar dan menjemputku. Ketika Hira sudah dijemput atau sudah tiba di rumahnya, barulah aku akan meminta Erick untuk melesat meninggalkan tempat itu Erick terus memberiku berbagai macam hal yang baru untukku. Aku tidak mengerti. Namun, aku mencoba memahami semampu yang aku bisa. Perlombaan basket yang seharusnya kuikuti, kubatalkan. Untuk sementara, aku mengundurkan diri dari tim. Keinginan untuk mengetahui kejadian sebenarnya yang menimpa ayah, membuatku menghentikan semua kegiatan yang biasa aku lakukan. Tapi, khusus untuk Hira, a