Share

The Secret Admire's Love
The Secret Admire's Love
Penulis: Lavender My Name

Awal Pertemuan

Bugh. Bugh. Bugh. Seorang bocah laki-laki, berusia sekitar 14 tahunan, menjadi bulan-bulanan sekelompok remaja pengangguran di sudut jalanan yang harus ia lalui setiap pulang sekolah. Dan hari ini adalah hari naas baginya, karena bertemu dengan sekelompok remaja yang memang terkenal sering membuat onar di lingkungan sekitar daerah tersebut.

Tubuhnya yang kecil, membuatnya terlihat tak berdaya dan menjadi sasaran empuk ketika remaja-remaja itu gagal memeras orang lain. Kekesalan mereka, mereka tumpahkan pada seorang bocah yang sebenarnya berusia tidak jauh dari mereka. 

Ketika tubuh kecil itu sudah tidak bergerak barulah mereka menghentikan pukulan-pukulan itu, dan meninggalkannya begitu saja. Wajah bocah itu sudah tidak berbentuk lagi, lebam di sana sini, darah mengucur di kedua sudut bibirnya. Pelipis kanan dan kiri pun sobek meninggalkan bekas yang juga mengeluarkan darah segar. Pakaian seragam sekolahnya sudah tidak berwarna putih lagi melainkan coklat merah kehitaman.

Setelah tidak terdengar lagi suara para pembuat onar tersebut, bocah remaja malang itu, mencoba membuka matanya, tubuhnya yang terbaring dengan posisi tengkurap, terasa lemas, tak bertenaga. Rasa perih ia rasakan di sekujur tubuhnya. Ingin ia menangis, tetapi ia ingat akan pesan almarhum ayahnya, jangan menangis, bersyukurlah ketika kau tertimpa kemalangan, itu artinya engkau sangat dekat dengan keberuntungan. Yang kau butuhkan hanyalah sedikit lagi kesabaran, maka, ketika  kau sudah bersabar, tunggulah, akan ada keajaiban yang akan datang kepadamu, tanpa disangka-sangka. Hanya itu yang ia pegang setiap kali kejadian ini menimpanya. Ia terus berusaha bersabar, berharap keberuntungan seperti yang almarhum ayahnya katakan akan segera datang menghampirinya. 

Ia mencoba bangkit, dengan mencari sesuatu yang bisa ia jadikan pegangan untuk menopang dirinya saat mencoba untuk berdiri. Ia tidak menemukan apapun selain pohon mangga yang terletak sekitar 10 langkah dari tempatnya tergeletak. Ia merangkak perlahan untuk mencapai pohon mangga itu, sambil sesekali meringis menahan sakit karena luka di lutut dan siku tangannya bergesekan dengan jalan.  Sesampainya di depan pohon itu, ia mencoba menegakkan badan dari posisi merangkaknya, lalu dengan berpegangan pada pohon itu, ia berusaha berdiri pelan. sangat pelan mengingat luka di lutut kanannya  cukup parah. 

Setelah berusaha cukup lama, bocah remaja itu akhirnya dapat berdiri, tidak sempurna karena luka di lututnya tidak mampu membuatnya berdiri tegak, tapi cukuplah untuk dirinya berjalan meski harus berjalan dengan tertatih. Ia berjalan terseok-seok dengan menjadikan apapun yang ia temui, entah itu pohon atau pagar atau tembok, untuk ia jadikan pegangan saat berjalan.

Bocah remaja malang itu adalah aku. Satya. Anak yatim yang selalu menjadi sasaran empuk para pemuda pembuat onar di daerah tempat tinggalku. Tubuhku yang kurus kecil, membuat ku terlihat semakin lemah sehingga mudah ditindas mereka yang berbadan lebih besar dan kekar. 

Saat aku  masih berkonsentrasi bagaimana caranya berjalan dengan benar, terdengar jeritan seorang gadis kecil yang entah sejak kapan berdiri tak jauh dari tempatku berdiri.

"Papah....!" teriak gadis kecil itu memanggil papahnya, yang saat itu tidak terlihat berdiri di dekatnya. Tak juga datang, ia kembali berteriak memanggil papahnya kembali, hingga pada akhirnya datanglah seorang pria bertubuh tegap, tampan lagi berkharisma dengan masih memakai kemeja lengkap dengan dasinya. Gadis kecil itu menunjuk ke arah bocah remaja yang tengah berdiri linglung dengan luka disekujur tubuh dan wajahnya.

Pria dewasa itu mengikuti arah yang ditunjukkan oleh gadis kecilnya, dan ia terkejut mendapati pemandangan di hadapannya. Gadis itu berlari mendahului pria yang ia panggil sebagai papahnya itu. Berlari sambil menangis. Berlari menuju ke arahku, bocah remaja yang babak belur wajah dan sekujur tubuhnya.

"Papah... Papah... Lihat kakak ini.... Hiks.... Hiks.... Huaaaah... Kakak... Mana yang sakit... Semua sakit.... Huaaah... Papah.... Cepat bawa kakak ini ke rumah sakit Papah... Ayo cepat Papah.... Lihat darahnya banyak sekali... Hiks... Hiks... Huaaah.." ucap gadis itu panik begitu ia melihat dari dekat kondisiku, bocah malang itu. Ia menjadi heboh dan panik sendiri. 

Pria itu lantas dengan cepat menggulung lengan kemejanya dan membopongku ke dalam gendongannya. Gadis itu mengiringi langkah papahnya dibelakang sambil terus terisak kecil. Entah karena rasa lapar yang sudah kurasakan sejak keluar dari gerbang sekolah atau karena banyaknya darah yang keluar dari luka-luka ditubuhku, aku merasa pandangan ku kian kabur, semua terlihat samar-samar, kemudian semua menjadi gelap. Yah, aku akhirnya pingsan dalam gendongan pria dewasa yang tidak aku kenal.

Sudah berapa lama aku pingsan, aku tidak tahu. Kini aku mencoba membuka mataku. Kabur. Tidak tampak warna apapun. Semua putih. Kucoba membuka mataku lebih lebar lagi dari sebelumnya. Masih sama. Putih. Hanya warna putih yang aku lihat. Aku mulai panik. Kulebarkan lagi bukaan mataku. Tetap sama. Hanya warna putih yang telihat.

Hatiku mencelos. Merinding. Lemas. Jantungku mulai berdetak tak beraturan. Apakah aku sudah mati? Betulkah aku sudah mati? Lalu, dimana ayahku? Mengapa tidak tampak sosok yang sangat aku hormati dan sayangi itu? Ayah? Ayah? Aku mulai menangis di dalam hati. Mengapa aku sendiri? Ibu... Ibu... Aku mulai mencari keberadaan wanita yang sangat aku sayangi...

Kulayangkan pandanganku ke segkala arah. Tidak ada apa-apa. Tidak ada siapa-siapa. Hanya tampak warna putih. Tidak ada yang lain. Kecemasan kian melandaku. Kurasakan keringat mulai keluar membasahi kening, pelipis dan tanganku. Tubuhku terasa lemas. 

Kucoba menoleh ke sebelah kananku. Tampak tiang infus menggelantung berikut selangnya yang kulihat perlahan terpasang di tangan kananku. Aku mengerjapkan mataku. Infus. Tiang, Selang. Berarti aku masih hidup, gumamku dalam hati. Aku masih hidup, gumamku sekali lagi. Lalu kuputar pandanganku ke sebelah kiriku. Terlihat seorang gadis kecil tertidur diatas pangkuan pria berkemeja biru laut, yang sedang terlibat percakapan lewat benda pipih yang menempel ditelinga kirinya.

Pria itu tanpa sengaja melihat kearahku, kemudian dengan cepat ia mengakhiri pembicaraannya. Dengan hati-hati, ia meletakkan gadis kecil itu di sofa yang ia duduki tadi. Pria itu lalu bergegas mendatangiku. Memegang tanganku, memeriksa nadi dileherku. Tangannya lalu menekan tombol putih yang terletak di dinding, di samping tempat tidurku.

Beberapa menit kemudian, datanglah dokter dan seorang perawat. Mereka memeriksaku. Mereka kemudian berbincang agak menjauh dari tempatku berbaring sedangkan perawat mengganti infusku yang sudah mulai menipis.

Tak berapa lama dokter dan perawat tersebut pergi. Tinggallah aku, pria penolongku dan gadis kecil yang masih tertidur itu. 

"Hai.." sapa pria itu setelah ia sampai di samping tempatku berbaring. Aku hanya diam sembari mengerjapkan mataku, yang kumaksudkan sebagai sapaan balikku terhadapnya.

"Namamu Satya? Putra Almarhum Bapak Raharja?" tanyanya lagi. 

Kini aku menganggukkan kepalaku. 

"Saya sudah mengirim kabar pada Bu Rasti.. Sebentar lagi beliau akan datang. Jadi kamu tidak perlu kuatir lagi. Istirahatlah dulu. Tenang dan tidak usah khawatir, ada kami yang akan menjagamu. Tidurlah lagi," tutur pria yang belum kuketahui namanya itu

Dan tidak tahu mengapa, setelah mendengar kata-katanya, aku kembali tertidur. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status