Lorong luar ruang sidang terasa berat dengan keheningan yang mencekam. Thomas Gallagher duduk di bangku panjang, bahunya merosot, matanya masih menatap kosong ke lantai. Kekalahan yang baru saja ia alami membuatnya kehilangan segalanya—tanahnya, rumahnya, dan keyakinannya terhadap keadilan.
Alexander Carter berdiri di sampingnya, berusaha memberikan penghiburan meskipun ia tahu kata-kata tidak akan cukup. Kliennya telah menjadi korban permainan kotor, dan ia tidak bisa melakukan apa pun untuk menghentikannya. Tiba-tiba, langkah kaki terdengar mendekat. Seseorang dengan penuh percaya diri berjalan ke arah mereka. “Tuan Gallagher?” Suara seorang wanita membuat Alexander mendongak. Seorang wanita muda berdiri di depan mereka, mengenakan blazer hitam yang pas dengan tubuhnya, dipadukan dengan jeans gelap yang memberikan kesan santai namun profesional. Rambut cokelat keemasannya tergerai dengan rapi, dan sorot matanya tajam, penuh determinasi. “Saya Cassandra Sinclair, jurnalis dari The New York Tribune,” katanya dengan nada tenang namun langsung. “Saya ingin berbicara dengan Anda mengenai putusan sidang hari ini.” Thomas mengangkat wajahnya, ekspresi lelahnya berubah menjadi kebingungan. “Saya. . .saya tidak tahu apakah ini waktu yang tepat, Nona.” Alexander segera melangkah ke depan, berdiri di antara Thomas dan wanita itu. Matanya menyipit, menilai Cassandra dari kepala hingga kaki. “Maaf, Nona. . . Sinclair, bukan? Klien saya sudah cukup terganggu hari ini. Saya rasa ini bukan saatnya untuk wawancara.” Cassandra tidak bergeming. Ia menatap Alexander dengan tatapan yang sama tajamnya. “Publik berhak tahu bagaimana sistem hukum kita telah gagal melindungi orang-orang seperti Tuan Gallagher. Anda sendiri melihatnya, bukan? Hukum tidak berpihak pada mereka yang lemah.” Alexander menghela napas, rahangnya mengeras. “Dan Anda pikir menulis sebuah artikel bisa mengubah semuanya?” “Mungkin tidak dalam semalam,” jawab Cassandra dengan nada menantang. “Tapi setidaknya itu akan membuka mata banyak orang. Jika kita terus diam, mereka akan semakin merasa berkuasa.” Alexander terkekeh kecil, meskipun tanpa humor. “Anda jurnalis, saya pengacara. Percayalah, saya tahu betapa kotornya permainan ini lebih dari siapa pun.” Cassandra menyilangkan tangan di dadanya, seolah tak terpengaruh oleh sikap dingin Alexander. “Dan Anda masih memilih untuk menyerah?” Sorot mata Alexander berubah. Ia bukan tipe pria yang menyerah, tapi ia juga bukan seseorang yang percaya pada idealisme buta. Ia tahu permainan ini jauh lebih besar dari sekadar satu artikel berita. Thomas yang sejak tadi diam akhirnya menghela napas. “Jika ini bisa membuat publik tahu apa yang terjadi. . . maka saya akan berbicara.” Alexander menoleh padanya. “Tuan Gallagher, Anda tidak harus. . .” “Tidak, Nak,” potong Thomas. “Saya sudah kehilangan segalanya. Jika saya bisa melakukan sesuatu untuk mencegah orang lain mengalami hal yang sama. . . maka saya akan melakukannya.” Cassandra tersenyum tipis sebelum mengeluarkan alat rekam dari sakunya. “Terima kasih, Tuan Gallagher. Saya janji, kisah Anda tidak akan tenggelam.” Alexander tetap diam, menatap Cassandra dengan lebih seksama. Ada sesuatu dalam dirinya—keteguhan, keberanian, atau mungkin juga keberanian yang terlalu berisiko. Cassandra menyalakan alat rekamnya, lalu menatap Thomas dengan penuh perhatian. “Tuan Gallagher, bisakah Anda ceritakan bagaimana awal mula kasus ini?” Pria tua itu tampak ragu, matanya melirik sekilas ke arah Alexander, seolah meminta persetujuan. Namun, Alexander tetap diam, hanya menatap Cassandra dengan sorot tajam yang sulit ditebak. Thomas menarik napas panjang sebelum akhirnya berbicara. “Saya sudah tinggal di tanah itu lebih dari tiga puluh tahun. Itu bukan sekadar rumah, tapi warisan keluarga saya. Lalu, tiba-tiba ada dokumen yang mengatakan bahwa saya telah menjualnya. . . padahal saya tidak pernah menandatangani apa pun.” Cassandra mengangguk, mencatat sesuatu di buku kecilnya. “Dan kapan Anda mulai menyadari ada yang tidak beres?” Thomas mengusap wajahnya yang lelah. “Saat saya mendapat surat penggusuran. Saya pikir pasti ada kesalahan. Tapi ketika saya menghubungi pihak berwenang, mereka bilang semua dokumen sah di mata hukum.” Ia menggeleng, tawa getir lolos dari bibirnya. “Hukum. . .” katanya pelan, lalu menoleh lagi ke arah Alexander. “Hukum tidak berpihak pada orang seperti saya.” Cassandra melirik Alexander sesaat sebelum kembali fokus pada Thomas. “Tapi ada bukti bahwa dokumen itu dipalsukan. Anda punya saksi yang menguatkan, bukan?” Thomas mengangguk. “Ya, Robert Parker. Dia bekerja di sana dulu. Dia tahu semuanya.” “Tapi hakim tetap menolak bukti itu.” Cassandra menekankan kalimatnya, sorot matanya berkilat tajam. Thomas menghela napas berat. “Ya. Karena mereka yang kita hadapi punya lebih banyak kekuasaan.” Hening sejenak. Lorong pengadilan yang tadinya dipenuhi orang-orang kini mulai sepi, hanya menyisakan mereka bertiga. Cassandra mencatat beberapa hal sebelum menatap Thomas lagi. “Tuan Gallagher, apakah Anda berencana untuk mengajukan banding?” Thomas terdiam, kali ini menoleh ke arah Alexander, seolah menunggu jawaban darinya. Alexander akhirnya bergerak. Ia menyandarkan tubuhnya ke dinding, menatap Cassandra dengan ekspresi datar. “Banding membutuhkan dana besar, dan lawan kami memiliki cukup uang untuk membuat prosesnya berlarut-larut hingga bertahun-tahun.” Cassandra tak mengalihkan pandangannya. “Tapi bukan berarti tidak mungkin, kan?” Alexander mendengus pelan. “Dalam dunia hukum, ‘mungkin’ dan ‘menang’ adalah dua hal yang sangat berbeda.” Cassandra mengangkat alis. “Jadi, Anda benar-benar akan membiarkan mereka menang begitu saja?” Sorot mata Alexander berubah tajam, tapi Cassandra tetap tenang. Keduanya saling menatap dalam diam, seolah mengukur satu sama lain. Thomas, yang merasa terjebak di antara dua orang dengan energi kuat ini, akhirnya berdeham pelan. “Saya ingin memperjuangkan ini. . . tapi saya tidak punya sumber daya.” Cassandra tersenyum tipis. “Mungkin saya bisa membantu.” Alexander menyipitkan mata. “Bagaimana?” “Dengan menulis kisah ini.” Cassandra menatapnya penuh keyakinan. “Jika kasus ini mendapat perhatian publik, tekanan akan semakin besar. Mereka tidak bisa lagi menyembunyikan permainan kotor mereka.” Alexander menatapnya lama. Ia tahu bagaimana media bekerja—kadang bisa menjadi alat keadilan, tapi sering kali justru menjadi alat propaganda. “Dan Anda pikir artikel Anda bisa mengubah semuanya?” tanyanya skeptis. Cassandra mengangkat bahu. “Setidaknya, itu akan membuat mereka berpikir dua kali sebelum bertindak lebih jauh.” Hening kembali menyelimuti mereka. Thomas tampak sedikit berharap, sementara Alexander masih menimbang-nimbang. Akhirnya, Alexander mendesah. “Lakukan sesukamu, Nona Sinclair. Tapi jangan berharap saya akan ikut terlibat.” Cassandra tersenyum kecil, seolah menganggap itu sebagai tantangan. “Kita lihat saja nanti.” Tanpa mengatakan apa-apa lagi, ia mematikan alat rekamnya, lalu menyimpan bukunya. “Terima kasih atas waktunya, Tuan Gallagher.” Thomas mengangguk pelan, sementara Alexander tetap diam, memperhatikan Cassandra saat ia berbalik dan melangkah pergi. Ada sesuatu tentang wanita itu—sesuatu yang mengganggunya. Cassandra baru saja berbalik ketika suara Alexander menghentikannya. "Jangan terlalu percaya diri, Nona Sinclair." Nada suaranya tenang, tapi mengandung sindiran halus. "Media sering kali lebih suka menjual sensasi daripada kebenaran." Cassandra menoleh, menatapnya dengan mata penuh determinasi. "Dan pengacara sering kali lebih peduli pada kemenangan daripada keadilan." Alexander menekan rahangnya, tapi tak segera membalas. Cassandra tersenyum kecil, seolah puas melihat reaksinya. "Saya tidak di sini untuk menjual sensasi, Tuan Carter. Saya di sini untuk mengungkap kebenaran. Mau Anda percaya atau tidak, itu urusan Anda." Alexander mengangkat alis. "Kita lihat saja seberapa jauh idealisme itu bisa bertahan." Cassandra menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya berbalik pergi, meninggalkan Alexander yang masih berdiri diam, matanya mengamati punggung wanita itu dengan sorot penuh pertimbangan. Ia tak yakin apakah Cassandra Sinclair adalah sekutu atau justru ancaman baru dalam pertempurannya melawan ketidakadilan.Alexander berdiri diam beberapa saat di depan layar utama, memperhatikan peta digital yang terus bergerak mengikuti posisi Cassandra secara real-time. Di sampingnya, Elias duduk santai di kursi putar, tangan kanan memainkan pena elektronik sementara tangan kirinya sesekali menggeser tampilan monitor.“Kadang aku heran,” gumam Alexander pelan, “bagaimana dia bisa tetap hidup sejauh ini, dengan semua ancaman, semua langkah nekatnya. Seolah tak ada rasa takut sedikit pun.”Elias mengangkat alisnya, lalu menjawab enteng, “Karena dia memang keras kepala. Keras kepala kelas satu. Kalau ada kejuaraan nasional untuk jurnalis paling nekat, dia menang tanpa lawan.”Alexander menghela napas. “Dan aku semakin yakin ... tak ada yang benar-benar bisa mengendalikannya.”Elias tak langsung menjawab. Dia hanya tertawa kecil—pelan, hampir seperti bisikan. “Mengendalikan Cassie? Mustahil. Bahkan sistem keamanan CIA pun mungkin menyerah duluan.”“Lalu bagaimana kau bisa tenang, sementara dia berkeliaran
“Maaf, wahai pekerja keras negara. Sebelum kalian menyelamatkan dunia dari balik meja kantor masing-masing, izinkan aku menghentikan langkah heroik kalian barang lima menit.”Suara Elias terdengar dari atas tangga, diiringi derap langkah buru-buru dan—entah bagaimana—dentingan sandal jepit yang hampir lepas dari kaki. Rambutnya berantakan, hoodie-nya terbalik, dan ekspresinya seperti ilmuwan yang baru menemukan planet baru setelah tiga malam tanpa tidur.Cassandra yang hendak membuka pintu menoleh dengan tatapan lelah. Alexander sedang merapikan dasinya, berhenti sejenak dan menghela napas panjang.Sebuah suara melayang dari speaker kecil di dapur. Tenang, datar, tapi penuh sindiran.“Kalau ini soal teori konspirasi alien lagi, kuharap kalian abaikan saja.”Elias menoleh ke arah sudut ruangan, ke arah proyektor hologram kecil tempat suara itu berasal. “Lyra, sayang, hari ini bukan soal alien. Ini serius.”“Kau juga bilang begitu waktu membobol sistem keamanan NASA cuma karena penasara
Cassandra berbalik, berjalan menuju pintu. Namun sebelum membuka, ia sempat menoleh dan tersenyum kecil. “Jangan tidur terlalu malam. Kita lanjut besok.”Elias mengangkat dua jari seperti hormat. “Aye, Kapten Cassie.”Lampu di laboratorium meredup perlahan, menyisakan layar-layar biru yang masih menyala. Di antara kerlip cahaya data dan grafik pergerakan satelit, satu pesan kecil dari sistem Lyra menyala otomatis:“Satu simpul telah ditemukan. Tapi benang masih panjang.”Malam telah larut. Seluruh mansion Rowe tenggelam dalam keheningan, seakan seluruh dunia sedang menarik napas panjang untuk esok hari. Namun, di lantai dua mansion, tepat di balik dinding logam tersembunyi yang dulunya adalah markas rahasia masa kecil Elias dan Cassandra, cahaya biru dingin dari puluhan layar masih menyala terang.Laboratorium pribadi Elias Rowe tak ubahnya pusat kendali rahasia milik organisasi global. Dinding-dinding kaca pintar menampilkan aliran data real-time, grafik statistik, serta jaringan kea
Tak banyak yang tahu bahwa lantai dua mansion keluarga Rowe menyimpan ruang paling rahasia sekaligus paling canggih di seluruh bangunan itu. Dahulu, ruangan tersebut hanyalah loteng kosong yang dijadikan markas rahasia oleh Elias dan Cassandra kecil—tempat mereka bermain detektif, membangun benteng dari bantal, dan menyusun rencana-rencana konyol untuk “menghukum” para guru galak.Kini, tempat itu telah berevolusi menjadi sesuatu yang jauh lebih luar biasa.Laboratorium pribadi Elias tampak seperti hasil kawin silang antara pusat komando NASA dan sarang hacker berteknologi mutakhir. Seluruh dinding dipenuhi layar digital resolusi tinggi, menampilkan grafik, data terenkripsi, peta satelit, dan jejak-jejak sinyal yang terus dianalisis. Di satu sisi ruangan, rak-rak penuh perangkat elektronik eksperimental tertata rapi seolah museum teknologi masa depan. Bahkan aroma ruangannya pun steril, seperti ruang kontrol di dalam pesawat luar angkasa.Meja kerja Elias dipenuhi keyboard mekanik, ti
Cahaya dari layar komputer di Brooklyn masih membekas dalam benak mereka saat Elias, Cassandra, dan Alexander keluar dari gedung tua itu. Udara malam terasa lebih dingin, tapi pikiran mereka justru semakin panas oleh fakta mengerikan yang baru saja terkuak.“Jadi, anak-anak ‘populasi uji coba’ itu benar-benar nyata,” gumam Cassandra, matanya masih terpaku pada layar ponsel yang menampilkan dokumen-dokumen rahasia.Alexander mengangguk, “Dan semuanya tersembunyi di balik kedok lembaga pendidikan dan fasilitas medis yang seharusnya dipercaya. Sungguh kotor, kalau dipikir-pikir.”Elias menyengir, “Yah, dunia ini memang penuh kejutan... dan kebusukan. Tapi cukup ngobrol soal horor buat malam ini. Aku mau tunjukkan sesuatu yang lebih ‘menyenangkan’.”Alexander memandang curiga. “Menyenangkan? Maksudmu lab gila lain seperti tadi? Yang penuh kabel kusut dan bau asap?”Elias terkekeh, “Tidak, tidak. Labku ini bukan lab cerutu atau kantor pemadam kebakaran. Tunggu saja. Ini jauh lebih keren.”
Cahaya biru dari layar komputer menyinari wajah Elias Rowe yang untuk pertama kalinya terlihat serius lebih dari lima menit penuh. Rambutnya acak-acakan seperti habis bertarung dengan angin topan, dagunya dihiasi brewok tipis yang jelas-jelas bukan pilihan gaya, dan sorot matanya menusuk deretan kode yang terus berlari di layar seperti marathon tanpa garis akhir.Cassandra duduk di sisi meja, menyilangkan tangan sambil mengetukkan ujung sepatunya ke lantai. Di dekat jendela, Alexander berdiri bersandar ke dinding, satu tangan di saku, ekspresinya nyaris seperti orang yang menyesal hidup bersama dua manusia aneh di ruangan yang sama.“Berapa lama lagi kau mau menatap kode itu sampai kau berubah jadi Matrix?” tanya Cassandra akhirnya, nada suaranya setengah sabar, setengah mengantuk.Elias menghela napas panjang seperti baru ditampar realita. “Sebagian besar file ini terenkripsi dengan sistem militer. Tapi... aku kenal polanya.”Alexander mengangkat alis, mendekat dua langkah. “Kenal po