Accueil / Lainnya / The Secret Of Justice / BAB 3 – MENULIS KEBENARAN

Share

BAB 3 – MENULIS KEBENARAN

Auteur: Nuna Grey
last update Dernière mise à jour: 2025-03-24 14:07:56

Cassandra mendorong pintu kaca kantor The New York Tribune dan melangkah masuk dengan cepat. Redaksi masih ramai meski malam sudah mulai larut. Suara ketikan cepat dari rekan-rekannya bercampur dengan dering telepon dan diskusi singkat antar reporter yang berlalu-lalang. Tapi Cassandra tak memedulikan semua itu. Pikirannya masih tertuju pada kasus Thomas Gallagher—dan ekspresi frustasi Alexander Carter saat persidangan tadi.

Ia melempar tasnya ke meja, menyalakan laptop, lalu mulai mengetik dengan cepat.

**“Ketika hukum berpihak pada yang berkuasa, siapa yang melindungi mereka yang tak punya suara? Thomas Gallagher hanya seorang pria biasa, seorang petani kecil yang tanahnya diambil begitu saja oleh korporasi raksasa yang berlindung di balik celah hukum. Hari ini, pengadilan menolak tuntutannya—bukan karena kurangnya bukti, tetapi karena sistem yang lebih mengutamakan keuntungan daripada keadilan.

Ini bukan hanya tentang Thomas. Ini tentang kita semua. Tentang bagaimana mereka yang punya uang dan kekuasaan bisa membelokkan hukum sesuka hati. Tentang bagaimana kita, masyarakat biasa, selalu menjadi korban dalam permainan yang sudah diatur sejak awal.

Tapi diam bukan pilihan. Jika hukum tak bisa melindungi kita, maka kita yang harus bersuara. Kita yang harus melawan ketidakadilan ini dengan cara kita sendiri. Karena jika kita membiarkan ini terjadi tanpa perlawanan, siapa yang akan jadi korban berikutnya?”**

Cassandra berhenti sejenak, membaca kembali tulisannya. Ada amarah di sana, ada dorongan yang kuat untuk menggerakkan pembacanya. Ia tidak hanya ingin orang-orang membaca berita ini—ia ingin mereka merasakan kemarahan yang sama, menyadari betapa rusaknya sistem ini, dan akhirnya. . . bertindak.

Ia menyisipkan kutipan dari wawancara dengan Thomas, menambahkan fakta-fakta yang tidak bisa dibantah, dan menguraikan bagaimana kasus ini bukan satu-satunya. Ada banyak Thomas Gallagher lain di luar sana, hanya saja suara mereka tidak pernah terdengar.

Saat ia hampir selesai, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Natalie Carter, mentornya sekaligus jurnalis senior di The New York Tribune.

"Artikelmu bagus, tapi hati-hati dengan kata-katamu, Cassie. Kau tahu siapa yang kita hadapi."

Cassandra tersenyum kecil, tapi tak mengubah satu kata pun dalam naskahnya.

Dia tahu siapa yang mereka hadapi.

Tapi dia juga tahu, seseorang harus memulai perlawanan ini.

Cassandra menyelesaikan ketikan terakhirnya, menekan tombol save, lalu dengan cepat mencetak naskah itu. Ia meraih kertas hasil cetakan dan berjalan menuju meja Natalie Carter, mentornya di The New York Tribune.

Natalie, seorang wanita berusia empat puluhan dengan rambut cokelat yang mulai beruban, tengah duduk dengan kening berkerut, membaca artikel di layar monitornya. Saat Cassandra meletakkan naskah di mejanya, Natalie hanya melirik sekilas sebelum menghela napas panjang.

"Kau benar-benar mau menerbitkan ini?" tanyanya, suaranya datar tapi penuh makna.

Cassandra menyilangkan tangan di dadanya. "Tentu saja. Ini berita yang harus dibaca semua orang."

Natalie mengambil naskah itu, membacanya sekilas, lalu meletakkannya kembali dengan ekspresi khawatir. "Cassie, aku tahu kau ingin mengungkap kebenaran, tapi kau juga harus tahu batasnya. Kau bukan hanya menulis berita biasa. Kau menyerang sistem. Dan mereka tidak akan tinggal diam."

Cassandra mendesah. "Jika kita terus takut, kita tidak akan pernah bisa mengubah apa pun, Nat. Ini bukan pertama kalinya kita menghadapi sesuatu seperti ini."

Natalie menatapnya tajam. "Dan berapa banyak yang harus membayar harga untuk itu? Kau tahu apa yang terjadi pada jurnalis yang terlalu jauh masuk ke dalam permainan ini. Banyak yang dipecat, diancam, bahkan ada yang menghilang tanpa jejak."

Cassandra menegang. Ia tahu maksud Natalie. Sudah banyak wartawan yang berusaha mengungkap kebenaran hanya untuk akhirnya dibungkam. Tapi itu tidak membuatnya gentar.

"Kalau kita berhenti sekarang, siapa yang akan melanjutkan?" katanya dengan nada menantang. "Aku tidak akan membiarkan mereka menang hanya karena kita takut."

Natalie mengusap wajahnya, frustasi. "Cassie, setidaknya biarkan aku mengedit beberapa bagian. Jangan terlalu eksplisit menantang mereka."

Cassandra menggeleng. "Tidak. Aku ingin ini keluar apa adanya. Orang-orang harus tahu apa yang terjadi."

Natalie menatapnya lama sebelum akhirnya menghela napas panjang. Ia tahu Cassandra keras kepala. Tidak peduli seberapa besar risikonya, gadis itu tidak akan mundur.

"Baiklah," katanya akhirnya. "Tapi jika sesuatu terjadi, jangan bilang aku tidak memperingatkanmu."

Cassandra tersenyum kecil, mengambil kembali naskahnya, dan berjalan menuju ruang editor.

Dia tahu apa yang dia hadapi. Tapi dia juga tahu, kebenaran harus disuarakan—apa pun risikonya.

Pagi itu, kota New York dipenuhi dengan riuhnya perbincangan. Di kafetaria, stasiun kereta, dan kantor-kantor, semua orang membicarakan satu hal—berita utama yang diterbitkan oleh The New York Tribune.

Artikel itu menyuarakan ketidakadilan yang terjadi di ruang sidang kemarin. Nama Thomas Gallagher disebut sebagai korban sistem yang korup, seorang pria biasa yang tanahnya dirampas oleh perusahaan besar tanpa konsekuensi. Tulisan Cassandra tidak hanya menggambarkan Thomas sebagai korban, tetapi juga memperlihatkan bagaimana hukum telah berpihak pada mereka yang berkuasa.

Di ruangannya, Alexander Carter duduk di belakang meja kayu besar, matanya terpaku pada layar laptopnya. Artikel itu terbuka di depan matanya, setiap kata terasa seperti pukulan yang mengarah padanya langsung.

*"Seorang pria yang memperjuangkan haknya justru kehilangan segalanya. Pengadilan, yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan, kini tak lebih dari alat permainan bagi mereka yang memiliki uang dan pengaruh."

Alex menarik napas panjang, ekspresinya sulit ditebak. Ada kemarahan, ada frustrasi, tapi yang paling jelas adalah rasa tidak nyaman yang merayap di dalam dirinya.

Pintu kantornya terbuka, dan salah satu rekannya, Matthew Whitaker, masuk sambil membawa secangkir kopi.

"Sudah baca berita pagi ini?" tanya Matthew sambil menaruh kopinya di meja Alex.

Alex mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. "Tentu saja. Sepertinya Cassandra Sinclair benar-benar tahu bagaimana membuat kehebohan."

Matthew tertawa kecil. "Jujur saja, dia punya nyali. Tidak banyak jurnalis yang berani menulis seberani itu. Kau tahu apa yang akan terjadi jika dia terus menyerang perusahaan besar?"

Alex menutup laptopnya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. "Dia akan menjadi target."

Matthew mengangguk. "Dan mungkin bukan hanya dia. Artikel ini bisa membuat keadaan semakin buruk bagi klienmu. Kau pikir, perusahaan itu akan diam saja setelah citra mereka dihancurkan di media?"

Alex mengusap wajahnya, merasa semakin frustrasi. Dia tidak peduli pada perusahaan itu, tetapi dia peduli pada Thomas Gallagher. Pria itu sudah cukup menderita—dan sekarang, dengan berita ini tersebar luas, bisa saja dia menghadapi ancaman yang lebih besar.

"Aku harus bicara dengan Thomas," kata Alex akhirnya. "Aku tidak mau dia jadi korban dua kali."

Matthew menatapnya dengan ekspresi penasaran. "Dan Cassandra? Kau juga ingin bicara dengannya?"

Alex terdiam sejenak sebelum menghela napas. "Aku tidak tahu. Tapi satu hal yang pasti. . . Dia baru saja menarik perhatian orang-orang yang seharusnya tidak dia ganggu."

Matthew menyandarkan diri pada meja Alex, menyesap kopinya pelan sebelum berbicara lagi.

"Kau terdengar khawatir, Alex. Sejak kapan kau peduli pada seorang jurnalis?" tanyanya dengan nada menggoda.

Alex mendengus pelan. "Aku tidak peduli padanya. Aku peduli pada dampak yang dia buat. Kau tahu bagaimana orang-orang di balik perusahaan itu bekerja. Mereka tidak akan membiarkan hal ini berlalu begitu saja."

Matthew mengangguk setuju. "Dan jika Cassandra terus menggali lebih dalam, dia bisa saja menemukan sesuatu yang lebih buruk. Sesuatu yang seharusnya tetap terkubur."

Alex menatap rekannya dengan ekspresi serius. "Ya. . . dan jika itu terjadi, aku tidak yakin dia siap menghadapi konsekuensinya."

Matthew tersenyum samar, menatap temannya dengan penuh arti. "Kau bisa saja tidak menyukainya, Alex. Tapi aku bisa melihatnya—kau ingin melindunginya."

Alex tidak menjawab. Dia hanya memandang keluar jendela, ke arah hiruk-pikuk kota yang terus bergerak tanpa henti.

Di luar sana, Cassandra Sinclair mungkin sedang menikmati momen kemenangannya. Tapi Alex tahu, perang baru saja dimulai.

 

 

 

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • The Secret Of Justice   Bab 7 – BAYANGAN

    Cassandra menatap layar laptopnya sambil menyesap kopi yang sudah dingin. Berkas-berkas kasus Lily masih terbuka, tetapi pikirannya terus melayang pada ancaman yang ia terima.Ponselnya tiba-tiba bergetar. Nama yang muncul di layar membuatnya mendesah panjang.Elias Rowe.Cassandra menekan tombol jawab. "Jika kau menelepon hanya untuk menggangguku, aku akan memblokirmu sekarang juga.""Cassie, kau sungguh kejam. Aku menelepon karena rindu, tapi kau malah mengancamku," Elias merajuk, terdengar dramatis seperti biasa."Elias, kalau kau rindu, aku bisa mengirimmu sekotak batu bata supaya kau bisa membenturkan kepalamu sendiri.""Astaga, betapa manisnya kau."Cassandra memutar matanya. "Katakan saja apa maumu, Elias.""Baiklah, baiklah," suara Elias berubah sedikit lebih serius. "Aku ingin kau membuka laptopmu dan periksa folder baru yang muncul di desktopmu."Cassandra mengernyit dan segera mengecek layar laptopnya. Benar saja, ada folder baru berjudul "For My Favorite Pain in the Ass."

  • The Secret Of Justice   BAB 6 - PERINGATAN

    Suasana kantor The New York Tribune terasa lengang saat malam semakin larut. Hanya suara ketikan keyboard yang memenuhi ruangan. Cassandra duduk di depan laptopnya, matanya fokus menelusuri berkas-berkas kasus Lily, gadis yang berani melaporkan pelecehan tetapi diabaikan oleh sistem.Ponselnya bergetar, memecah keheningan. Tanpa melihat layar, Cassandra meraihnya dan mengangkat panggilan itu."Halo?"Tidak ada suara di seberang. Hanya napas berat, panjang, seperti seseorang yang sedang mengawasi."Cassandra," suara berat itu akhirnya terdengar. Dingin. Terukur. "Kau masih belum belajar, ya?"Cassandra menegang sesaat, tetapi tidak menunjukkan tanda ketakutan. "Kalau kau ingin aku takut, kau harus mencoba lebih keras."Orang itu tertawa kecil, tawa tanpa emosi. "Kau berani bicara seperti itu setelah apa yang terjadi pada Gallagher? Kau ingin jadi korban berikutnya?"Cassandra mengangkat alis, meski ia tahu pria itu tidak bisa melihatnya. "Ancaman yang sama lagi? Kalian benar-benar keha

  • The Secret Of Justice   BAB 5 – KONSEKUENSI SEBUAH KEBENARAN

    Cassandra melangkah santai memasuki lobi The New York Tribune, senyumnya mengembang saat matanya menangkap sosok pria yang tampak gelisah menunggu di dekat resepsionis. Alexander Carter. Pengacara itu berdiri dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku jasnya, rahangnya mengeras seolah menahan emosi.Ia bahkan tidak perlu menebak alasan pria itu datang. Sudah jelas.Dengan tawa kecil, Cassandra berjalan mendekat, tatapannya penuh percaya diri. "Kau terlihat tidak sabar, Alexander. Apa aku harus merasa tersanjung?"Alexander langsung menoleh, matanya tajam menatap Cassandra. Meski nada suaranya tetap tenang, Cassandra bisa merasakan kemarahan yang tertahan di balik kata-katanya."Kita perlu bicara," ucapnya singkat.Cassandra mengangkat alis, masih mempertahankan senyumnya. "Tentu. Kau ingin wawancara eksklusif?"Alexander mendengus, jelas tidak terhibur. "Jangan bercanda, Cassandra. Ini bukan soal permainan kata-kata di media."Cassandra melipat tangan di depan dadanya. "Lalu apa? Ji

  • The Secret Of Justice   BAB 4 – ANCAMAN

    Cassandra masih duduk di ruangannya, jari-jarinya mengetuk meja dengan ritme pelan. Pikirannya masih tertuju pada berita yang baru saja dipublikasikan, membayangkan bagaimana reaksi orang-orang yang merasa terusik olehnya.Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Layar menunjukkan nomor yang tidak dikenal. Tanpa ragu, Cassandra mengangkatnya dan mendekatkan ke telinga."Cassandra," suara di seberang terdengar dalam dan berat, "kau telah melangkahi batas. Tarik beritamu sebelum kau menyesal."Cassandra mengangkat alisnya, tidak sedikit pun terkejut. Dia sudah menduga ini akan terjadi."Dan jika aku tidak mau?" tanyanya santai, menyandarkan tubuh ke kursinya.Hening sejenak. Kemudian suara itu berbicara lagi, lebih dingin dari sebelumnya. "Aku yakin kau tahu apa yang terjadi pada orang-orang yang terlalu banyak bicara."Cassandra tersenyum tipis. Ancaman ini terlalu klise. Dia sudah mendengarnya berkali-kali sebelumnya."Oh, jadi aku akan 'menghilang secara misterius' seperti mereka?" ucapnya den

  • The Secret Of Justice   BAB 3 – MENULIS KEBENARAN

    Cassandra mendorong pintu kaca kantor The New York Tribune dan melangkah masuk dengan cepat. Redaksi masih ramai meski malam sudah mulai larut. Suara ketikan cepat dari rekan-rekannya bercampur dengan dering telepon dan diskusi singkat antar reporter yang berlalu-lalang. Tapi Cassandra tak memedulikan semua itu. Pikirannya masih tertuju pada kasus Thomas Gallagher—dan ekspresi frustasi Alexander Carter saat persidangan tadi.Ia melempar tasnya ke meja, menyalakan laptop, lalu mulai mengetik dengan cepat.**“Ketika hukum berpihak pada yang berkuasa, siapa yang melindungi mereka yang tak punya suara? Thomas Gallagher hanya seorang pria biasa, seorang petani kecil yang tanahnya diambil begitu saja oleh korporasi raksasa yang berlindung di balik celah hukum. Hari ini, pengadilan menolak tuntutannya—bukan karena kurangnya bukti, tetapi karena sistem yang lebih mengutamakan keuntungan daripada keadilan.Ini bukan hanya tentang Thomas. Ini tentang kita semua. Tentang bagaimana mereka yang pu

  • The Secret Of Justice   BAB 2 – PERTEMUAN YANG TAK TERDUGA

    Lorong luar ruang sidang terasa berat dengan keheningan yang mencekam. Thomas Gallagher duduk di bangku panjang, bahunya merosot, matanya masih menatap kosong ke lantai. Kekalahan yang baru saja ia alami membuatnya kehilangan segalanya—tanahnya, rumahnya, dan keyakinannya terhadap keadilan.Alexander Carter berdiri di sampingnya, berusaha memberikan penghiburan meskipun ia tahu kata-kata tidak akan cukup. Kliennya telah menjadi korban permainan kotor, dan ia tidak bisa melakukan apa pun untuk menghentikannya.Tiba-tiba, langkah kaki terdengar mendekat. Seseorang dengan penuh percaya diri berjalan ke arah mereka.“Tuan Gallagher?”Suara seorang wanita membuat Alexander mendongak. Seorang wanita muda berdiri di depan mereka, mengenakan blazer hitam yang pas dengan tubuhnya, dipadukan dengan jeans gelap yang memberikan kesan santai namun profesional. Rambut cokelat keemasannya tergerai dengan rapi, dan sorot matanya tajam, penuh determinasi.“Saya Cassandra Sinclair, jurnalis dari The Ne

  • The Secret Of Justice   BAB 1 - RUANG PERSIDANGAN

    “Yang Mulia,” Alexander Carter berdiri tegap di balik meja pengacara. Setelan hitamnya rapi, dasinya terikat sempurna, namun sorot matanya tajam dan penuh determinasi. Suaranya bergema di dalam ruangan, tenang namun penuh penekanan. “Kasus ini bukan sekadar sengketa kepemilikan tanah. Ini adalah bukti nyata bagaimana hukum sering kali berpihak kepada mereka yang memiliki kekuatan dan uang, sementara rakyat kecil dipaksa menyerah tanpa perlawanan.” Ruang sidang dipenuhi atmosfer tegang. Deretan kursi dipenuhi oleh wartawan, pengamat hukum, dan beberapa orang yang memiliki kepentingan dalam kasus ini. Lampu-lampu kristal di langit-langit aula pengadilan memancarkan sinar redup yang terasa dingin, mencerminkan ketegangan yang menggantung di udara. Di bagian depan, ia menatap hakim dengan percaya diri sebelum kembali memfokuskan pandangannya pada berkas di tangannya. “Klien saya, Thomas Gallagher,” Alexander melirik ke arah seorang pria tua yang duduk dengan wajah penuh harapan, “tela

Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status