Sepasang laki-laki dan perempuan sedang duduk di teras depan sebuah rumah kontrakan. Mereka sangat berharap pemilik kontrakan segera membukakan pintu, karena keduanya sudah tidak tahan menjadi sasaran empuk nyamuk-nyamuk yang tengah dilanda kelaparan.
“Aduh!” Vikha memukul lengannya sendiri yang digigit nyamuk tanpa izin. “Tris, Shanon ke mana ya? Sudah hampir setengah jam kita berada di sini, tapi ia belum juga membukakan pintu.” Gadis berambut lurus itu mulai menanyakan keberadaan pemilik rumah kepada sahabatnya yang juga tengah sibuk menghalau nyamuk menjamah tubuhnya sendiri.
“Coba kamu ketuk lagi pintunya, siapa tahu Shanon sudah tidur,” pinta Tristan Danendra, laki-laki berkacamata yang juga merupakan sahabat Shanon.
“Hei, apa yang kalian lakukan di rumahku?” Shanon berseru setelah memasuki halaman tempat tinggalnya sambil mengendarai sepeda motornya ketika ia melihat ada tamu yang sedang menunggunya.
“Akhirnya penderitaan kita gara-gara kawanan nyamuk ini berakhir sudah, Tris,” ucap Vikha lega saat melihat pemilik rumah telah menampakkan batang hidungnya.
“Cepat buka pintunya, Sha. Tangan dan kakiku hampir habis dijadikan santapan empuk nyamuk-nyamuk garang ini,” titah Tristan berlebihan.
“Sekali-kali berilah mereka makan agar kalian mendapat pahala,” balas Shanon setelah berdiri di antara kedua sahabatnya. Ia mulai memasukkan anak kunci agar pintunya terbuka.
“Sha, aku minta lotion anti nyamuk punyamu ya,” pinta Vikha setelah pintu terbuka dan langsung melesat ke kamar Shanon untuk mencari keberadaan lotion yang dimaksud. Bahkan, sang pemilik kamar belum memberikan tanggapannya.
“Percuma saja, Kha,” seru Tristan yang lebih memilih masuk ke kamar mandi, di samping dapur.
“Lebih baik pakai aloe vera gel saja untuk mengurangi gatalnya, Kha,” Shanon menyarankan kepada Vikha setelah menutup kembali pintu rumahnya.
Rumah yang dikontrak Shanon cukup besar. Selain kamar tidurnya luas dan dilengkapi dengan kamar mandi dalam, di kontrakannya juga terdapat dapur, ruang tamu serta kamar mandi luar. Kedua sahabat Shanon pun sangat betah bersantai di kontrakannya, terutama saat malam minggu seperti sekarang.
“Kamu dari mana, Sha?” Pertanyaan Tristan sontak saja membuat Shanon kaget. Dengan sigap ia berdiri di samping Shanon dan menangkap cangkir yang hendak lepas dari tangan sahabatnya tersebut.
“Ish! Kamu ini buat aku kaget saja,” tegur Shanon kesal. Ia pun kembali melanjutkan kegiatannya yang ingin membuat teh hangat untuk kedua sahabatnya tersebut.
“Siapa juga yang membuatmu kaget, Sha? Kamu saja yang mengambil cangkir-cangkir itu sambil melamun,” Tristan berkilah dan tidak mau disalahkan. “Matamu sembap. Kenapa? Menangisi kabar pernikahan Richard lagi?” tebaknya sambil memerhatikan wajah Shanon dari samping.
Melihat Shanon langsung menunduk setelah mendengar pertanyaannya, tanpa meminta izin terlebih dulu Tristan merangkul pundak sahabatnya tersebut. Ia membalikkan tubuh Shanon, kemudian memeluknya dengan erat. Tanpa dijawab pun, ia sudah mengetahui jawabannya.
“Aku bisa mengerti perasaanmu. Aku rela meminjamkan dadaku saat ini sebagai tempatmu mengeluarkan semua kesedihanmu,” ucap Tristan menenangkan sambil mengusap kepala belakang Shanon dengan lembut.
Shanon mulai terisak. Ia mengeluarkan tangisnya tanpa sungkan di dada Tristan. Bahkan, sampai membuatnya sesenggukan. Ia mengeratkan pelukannya pada pinggang Tristan tanpa memedulikan Vikha yang tengah melihatnya seusai mengoleskan aloe vera gel miliknya.
Saat Tristan merasa ada yang memerhatikan mereka, ia menoleh ke samping dan mendapati Vikha tengah berdiri dengan ekspresi sedih melihat keadaan Shanon. Tanpa mengeluarkan suara, ia memberi isyarat kepada Vikha agar mengambil alih kegiatan Shanon yang ingin membuat teh hangat. Setelah Vikha mengerti isyarat pemberiannya, Tristan pun membawa wanita yang saat ini tengah rapuh tersebut ke ruang tamu.
***
Ketiga sahabat tersebut tengah duduk di lantai yang beralaskan karpet berbulu. Tiga cangkir teh hangat pun sudah terhidang di atas nampan disertai sekotak besar donat mini kesukaan mereka. Televisi yang sedari tadi menyala dan menyuguhkan acara ternyata tidak dihiraukan oleh ketiganya. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing, terutama Shanon. Mata wanita itu masih sesekali mengeluarkan cairan bening dan pandangannya kosong menatap ke sembarang obyek. Tristan dan Vikha saling tatap serta mengendikkan bahu saat melihat sahabatnya yang masih dirundung kesedihan tersebut.
“Apakah donat-donat lezat ini tidak ada yang mau menikmatinya? Jika tidak, biar aku saja yang menghabiskannya.” Vikha mencoba memecah keheningan untuk mengambil alih perhatian Shanon.
“Enak saja kamu mau menikmatinya sendirian. Lagi pula donat-donat itu dibeli menggunakan uangku sendiri, tanpa donasi sedikit pun darimu,” balas Tristan tidak terima. Ia mengambil sebuah donat yang bagian atasnya dibubuhi pasta cokelat.
Perdebatan Tristan dan Vikha yang didengarnya, secara otomatis menyadarkan Shanon dari lamunannya. Ia hanya mengulas senyum tipis saat melihat tingkah kedua sahabatnya yang kini mulai berlomba menghabiskan donat-donat lezat di hadapannya. Ia meraih cangkirnya dan mulai menghirup aroma melati pada tehnya. Aroma yang bisa menenangkan pikirannya dan membuat kesedihannya perlahan menguap, apalagi ditambah kehadiran dua orang sahabatnya.
“Sha, buka mulutmu,” instruksi Tristan. Setelah Shanon menurutinya, ia langsung memasukkan donat mini ke mulut sahabatnya itu.
“Cukup. Aku sudah kenyang,” tolak Vikha saat Tristan melakukan hal yang sama seperti kepada Shanon. “Oh ya, mumpung besok dan lusa libur, bagaimana kalau kita pergi jalan-jalan?” tanyanya kepada Shanon yang tengah sibuk mengunyah donat pemberian Tristan.
“Ide yang bagus,” Tristan meresponsnya dengan cepat setelah menyeruput tehnya.
“Aku tidak bertanya padamu, Pak!” Vikha mendengkus karena pertanyaan yang di alamatkannya kepada Shanon malah dijawab oleh Tristan.
“Sama saja,” tanggap Tristan tak peduli. “Memangnya nanti kalian pergi tidak akan mengikutsertakan aku?” imbuhnya sambil menatap Vikha penuh selidik.
Mendengar pertanyaan Tristan, Vikha malah menanggapinya dengan cengiran. “Tentu saja kamu harus ikut. Jika kamu tidak ikut, nanti siapa yang akan menjadi sopir kami?” ucapnya sambil menaikturunkan kedua alisnya.
Tristan mendengkus. “Aku bukan sopir pribadi kalian. Enak saja,” sanggahnya kesal.
“Sudah, sudah,” tegur Shanon. Akhirnya ia tergelitik untuk menengahi tingkah kedua sahabatnya. “Kalian ini sungguh kekanakan sekali,” ejeknya sambil terkekeh.
“Memangnya daerah mana yang ingin kamu kunjungi, Kha?” tanya Tristan kepada Vikha setelah mengindahkan teguran Shanon.
“Bagaimana kalau kita berkunjung ke bagian timurnya pulau Bali?” Vikha menyampaikan idenya.
Tristan menanggapinya dengan anggukan kepala. “Aku dengar sekarang di sana banyak destinasi baru,” timpalnya. “Bagaimana menurutmu, Sha?” ia meminta pendapat Shanon.
“Aku ikut kalian saja, yang penting acaranya menyenangkan,” balas Shanon seadanya. “Selain itu tempatnya juga harus jelas ya, Kha,” imbuhnya mengingatkan Vikha.
Mendengar kalimat terakhir Shanon, Tristan dan Vikha kompak tertawa. Perkataan Shanon mengingatkan mereka terhadap acaranya yang pernah kacau sekaligus berantakan karena Vikha salah mendengarkan informasi yang diberikan oleh temannya. Alhasil, tujuan perjalanan mereka menjadi tidak jelas, apalagi waktu itu juga bumi sedang diguyur hujan deras.
“Trauma ya, Sha? Keliling-keliling tidak jelas,” Tristan menimpali. Ia terkekeh melihat Shanon yang menanggapi ucapannya dengan anggukan kepala.
Bukannya merasa kesal karena diingatkan kembali akan kesalahannya, Vikha malah semakin tertawa melihat tanggapan Shanon. “Kekacauan perjalanan kita bulan kemarin murni karena kesalahanku. Aku terlalu antusias karena mendapat arisan, sehingga membuatku menjadi tidak konsentrasi saat mendengar informasi yang temanku berikan,” akunya jujur.
“Sudah kuduga,” cibir Tristan dan Shanon bersamaan.
Vikha semakin terbahak mendengar Tristan dan Shanon kompak mencibirnya. “Kali ini aku jamin tempatnya jelas, jadi kalian tidak perlu khawatir. Terutama kamu, Sha,” ucapnya meyakinkan sambil terkekeh. “Aku juga sudah banyak mendapatkan informasi tentang destinasi yang akan kita kunjungi nanti. Bahkan, bukan hanya dari satu orang, melainkan beberapa teman yang juga sudah pernah datang ke sana,” imbuhnya.
“Kamu yakin informasinya berasal dari sumber yang akurat dan tepercaya?” Tristan kembali memastikan dengan nada menggoda.
Dengan penuh keyakinan Vikha mengangguk. “Aku jamin acara jalan-jalan kita kali ini pasti seru dan sangat menyenangkan. Bahkan, bisa membantumu melupakan kesedihan dari laki-laki bajingan itu, Sha.” Ia memeluk Shanon sebagai bentuk kepeduliannya.
Shanon tersenyum dan membalas pelukan Vikha. “Terima kasih banyak, Kha,” ucapnya dengan penuh keharuan. Ia juga mengangguk samar kepada Tristan yang ikut mengusap puncak kepalanya dari belakang tubuh Vikha.
Sesuai rencana yang telah dibuat kemarin malam, hari ini sebelum matahari menyapa bumi, Tristan dan kedua sahabatnya sudah dalam perjalanan menuju bagian timur pulau Bali. Tepatnya di kabupaten Karangasem. Bukan tanpa alasan Tristan dan kedua sahabatnya sepakat melakukan perjalanan saat langit masih gelap. Hal itu dikarenakan ketiganya belum pernah mengunjungi destinasi yang dituju dan cenderung memakan waktu lumayan lama, walau sebenarnya Tristan telah mendapat sedikit informasi mengenai letak wilayah tersebut dari teman kantornya. Ide untuk mengunjungi tempat itu berasal dari Vikha yang sangat penasaran dengan unggahan beberapa temannya di media sosial mengenai keindahan sebuah taman bunga yang terlihat layaknya hamparan salju. Untuk menghilangkan rasa penasarannya akan tempat tersebut, Vikha mendesak Tristan dan Shanon agar mau mewujudkan keinginannya itu. “Sha, coba lihat ini. Bukankah tempatnya sangat bagus?” Vikha menunjukkan unggahan salah satu temannya di i*******m miliknya ke
Seperti yang sudah direncanakan, keempatnya akan mengunjungi obyek wisata Taman Edelweiss dan Taman Jinja menggunakan sepeda motor. Arya akan membonceng Vikha dengan motornya sendiri, sedangkan Shanon dan Tristan berboncengan menggunakan sepeda motor milik sepupu Arya yang belum dipakai. “Ar, apakah kita tidak perlu menggunakan helm?” tanya Shanon sebelum motor yang dikemudikan Tristan melaju. “Tidak usah, Sha. Jaraknya lumayan dekat dari sini,” jawab Arya santai. “Siap?” tanyanya pada Vikha yang sudah nyaman dengan posisi duduknya. Shanon menanggapi jawaban Arya dengan anggukan. “Tris, jangan ngebut ya,” Shanon mengingatkan Tristan. “Kamu tenang saja, Sha. Kita pasti selamat sampai tempat tujuan,” balas Tristan sambil terkekeh. “Oh ya, jangan lupa pegangan yang erat, Sha. Aku tidak keberatan jika kamu mau menjadikan pinggangku sebagai pegangan saat berboncengan,” imbuhnya menggoda dan spontan membuat Shanon yang duduk di belakangnya memukul pundaknya cukup keras. “Cepat jalan, ja
Sebelum Tristan, Shanon, dan Vikha bertolak ke vila, Arya mengajak mereka bersantap siang di salah satu rumah makan sederhana yang ada di pinggir jalan. Arya sengaja mengajak ketiganya ke rumah makan yang memang menyediakan beberapa menu khas Bali bagian timur. Setelah tadi mata ketiga temannya dimanjakan oleh pemandangan Taman Edelweiss dan Taman Jinja yang memesona, kini giliran nasi sela, sate lilit ikan tuna serta olahan ikan tuna lainnya yang akan memanjakan lidah mereka. Bahkan, Shanon dan Vikha tidak sungkan-sungkan menambah porsi makannya agar kebutuhan perut keduanya terpenuhi. Arya dan Tristan hanya menggelengkan kepala melihat kelahapan dua gadis cantik yang tengah asyik bersantap siang tersebut. Tidak sampai di situ, Vikha dan Shanon pun sepakat membeli beberapa tusuk sate lilit serta pepes telengis untuk dinikmatinya menuju vila. Tentu saja hal itu membuat Arya dan Tristan tidak habis pikir terhadap kelakuan dua sahabatnya tersebut yang ternyata tidak jaga image dalam urus
Menemukan lokasi Virgin Beach atau penduduk setempat lebih mengenalnya dengan sebutan Pantai Bias Putih, ternyata tidak semudah mencari obyek wisata lain karena terkendala akses jalan menuju tempat tersebut. Padahal pantai tersebut letaknya cukup dekat dengan Candidasa, tepatnya di Desa Bugbug. Sesuai namanya, pantai ini belum terlalu banyak didatangi wisatawan domestik maupun internasional, mungkin dikarenakan lokasinya yang tersembunyi dan jauh dari lalu-lalang kendaraan. Namun perlu diketahui bahwa, pemandangan laut di Virgin Beach sangatlah indah. Selain lembutnya pasir putih saat diinjak, air lautnya pun sangat jernih. “Nama Pantai Bias Putih yang diberikan warga sekitar untuk tempat ini mungkin dikarenakan warna pasirnya ya, Sha?” Vikha merentangkan kedua tangannya, berharap udara segar memenuhi setiap ruas tubuhnya. “Bisa jadi, Kha, sedangkan dinamai Virgin Beach kemungkinan karena pantainya belum banyak diketahui oleh wisatawan domestik atau internasional. Letaknya pun cender
Kecanggungan dirasakan Shanon terhadap Tristan saat mereka sedang menikmati sarapan bersama. Ia merasa malu ketika mengingat dirinya ketiduran dalam dekapan laki-laki yang kini duduk tenang di hadapannya. Ia tidak memungkiri mendapat kenyamanan saat lengan-lengan kekar milik Tristan mendekap tubuhnya. Kemarin Tristan membangunkannya saat tengah malam dan menyuruhnya melanjutkan tidur di kamar bersama Vikha. Meski terkejut menyadari dirinya ketiduran, tapi Shanon masih sempat mengucapkan rasa terima kasih kepada Tristan yang telah bersedia dan sukarela meminjamkan dadanya. Berbeda halnya dengan Tristan yang berusaha terlihat biasa saja, seolah tidak pernah terjadi apa-apa kemarin malam bersama Shanon. Padahal, ia juga tengah didera rasa canggung sama seperti Shanon, mengingat kedekatan mereka kemarin malam. Bahkan, kini ia tidak berani menatap Shanon yang duduk tepat di depannya berlama-lama. “Sebelum meninggalkan vila, alangkah baiknya kita periksa kembali barang bawaan masing-masing
“Aku tidak asal tuduh, Kha,” Tristan menjawab tanpa mengalihkan perhatiannya pada jalanan di depannya. “Aku memang belum pernah menemani seorang perempuan menonton drama romantis. Namun, aku pernah melihat perempuan menangis tersedu-sedu saat menonton adegan romantis. Entah karena perempuan tersebut terharu atau iri melihat keromantisan yang terpampang di layar televisi,” imbuhnya. “Siapa perempuan itu, Tris? Pacarmu?” cecar Vikha penasaran. Ia merasa waspada jika ternyata sahabatnya ini telah menjalin hubungan serius dengan lawan jenis secara diam-diam, sama halnya seperti Shanon dulu. “Kakakku,” Tristan menjawabnya dengan santai dan tersenyum ke arah Vikha yang tertawa setelah mendengar jawabannya. Ia menyempatkan diri menatap Shanon yang tengah menundukkan kepala di belakang kemudi melalui spion di atasnya. “Tris, aku boleh buka ini?” Vikha menunjukkan snack berukuran jumbo yang berbahan dasar rumput laut kepada Tristan. “Silakan, Nona. Aku membawanya ke sini tujuannya memang un
Sepulangnya berlibur minggu lalu, ketiga sahabat itu telah kembali berkutat pada rutinitas dan tanggung jawabnya terhadap pekerjaan masing-masing. Sejak itu pula Vikha jarang bisa bertemu Tristan di kantor, walau sekadar ingin makan siang bersama, karena mereka memang berbeda divisi. Lain halnya dengan Shanon, sahabatnya itu dan Tristan bekerja di divisi yang sama. Pikiran Vikha sering terganggu saat mengingat celetukan yang dilontarkan Shanon di mobil waktu itu. Bukan hanya itu, penolakan Tristan secara tidak langsung atas celetukan tersebut juga kerap membuatnya sedih. Vikha mengurungkan niat ketika hendak menyandarkan punggungnya yang terasa kaku pada kursi kerjanya saat mendengar ponselnya bergetar. Setelah membaca pesan yang diterimanya, ia segera membalas ajakan makan siang dari Shanon. Ia bergegas merapikan meja kerjanya sambil menunggu Shanon menyambanginya untuk berangkat bersama menuju tempat makan siang. “Makan siang di mana, Kha?” tanya Rena, rekan kerja yang satu divisi
Setelah tiba di rumah kontrakannya, Shanon langsung mengajak Tristan ke ruang tamunya dan mempersilakan sahabatnya tersebut duduk di sofa. Selama perjalanan pulang, pikiran Shanon sibuk menimbang keinginannya untuk menceritakan luka batinnya kepada Tristan, hingga akhirnya ia yakin dengan keputusan yang akan diambilnya. “Sha, jika kamu belum siap ingin menceritakannya padaku, sebaiknya jangan dipaksakan,” Tristan memberi saran kepada Shanon yang terlihat kacau di depannya. Dengan jelas Tristan melihat sorot mata Shanon yang memancarkan berbagai macam gejolak emosi. Dengan cepat Shanon menggelengkan kepalanya. “Aku siap, Tris.” Selain merespons saran dari Tristan, tanggapannya tersebut juga untuk memantapkan keputusannya. “Aku sudah tidak kuat lagi untuk memendamnya seorang diri,” akunya sambil menatap sendu Tristan. “Baiklah. Jika keputusanmu tersebut bisa membuatmu merasa lebih baik, aku bersedia menjadi pendengar setiamu,” ucap Tristan penuh kelembutan. Ia sangat iba melihat kondi