Sesuai rencana yang telah dibuat kemarin malam, hari ini sebelum matahari menyapa bumi, Tristan dan kedua sahabatnya sudah dalam perjalanan menuju bagian timur pulau Bali. Tepatnya di kabupaten Karangasem. Bukan tanpa alasan Tristan dan kedua sahabatnya sepakat melakukan perjalanan saat langit masih gelap. Hal itu dikarenakan ketiganya belum pernah mengunjungi destinasi yang dituju dan cenderung memakan waktu lumayan lama, walau sebenarnya Tristan telah mendapat sedikit informasi mengenai letak wilayah tersebut dari teman kantornya. Ide untuk mengunjungi tempat itu berasal dari Vikha yang sangat penasaran dengan unggahan beberapa temannya di media sosial mengenai keindahan sebuah taman bunga yang terlihat layaknya hamparan salju. Untuk menghilangkan rasa penasarannya akan tempat tersebut, Vikha mendesak Tristan dan Shanon agar mau mewujudkan keinginannya itu.
“Sha, coba lihat ini. Bukankah tempatnya sangat bagus?” Vikha menunjukkan unggahan salah satu temannya di i*******m miliknya kepada Shanon. Unggahan mengenai tempat yang akan mereka kunjungi.
Shanon mengangguk setelah melihat obyek di dalam unggahan yang diberitahukan Vikha. “Iya, Kha. Bagus sekali. Oh ya, bukannya itu Bunga Kasna?” tanyanya setelah mengenali jenis bunga yang dilihatnya.
Vikha langsung membenarkan dengan anggukan. “Oleh karena itu dulunya tempat tersebut diberi nama Padang Bunga Kasna oleh pengunjung. Namun, kini tempat tersebut sudah berubah nama menjadi Taman Edelweiss. Kata temanku, dulu kalau ingin ke tempat itu sebaiknya sebelum bunga dipanen untuk sarana kelengkapan hari raya Galungan,” jelasnya dengan penuh antusias.
“Berarti dulunya tempat itu tidak setiap saat bisa dikunjungi untuk melihat keindahan Bunga Kasna ya?” tanya Shanon sambil mengernyit.
“Sepertinya begitu, Sha. Kata temanku tempat itu sebenarnya hanya kebun milik penduduk setempat yang dari dulu memang ditanami Bunga Kasna. Mungkin karena kebun tersebut awalnya sering dijadikan spot swafoto, dan hasilnya diunggah ke jejaring media sosial, sehingga mengundang penasaran banyak orang untuk datang ke sana,” Vikha kembali menjelaskan sebatas yang didengarnya. “Katanya juga, dulu bunga itu tumbuh liar di sela bebatuan Gunung Agung. Berhubung bunga tersebut digunakan untuk keperluan keagamaan oleh umat Hindu di daerah sana, maka masyarakat sekitar pun membudidayakannya,” imbuhnya.
Shanon manggut-manggut saat mendengarkan dengan serius penjelasan Vikha yang dirasa cukup masuk akal. “Untungnya sekarang tempat tersebut sudah resmi menjadi salah satu destinasti wisata baru dan dibuka untuk umum,” timpalnya. “Ngomong-ngomong, tepatnya tempat tersebut ada di daerah mana ya, Kha? Aku jadi semakin penasaran dengan tempat tersebut,” tanyanya ingin tahu.
“Katanya di Kecamatan Rendang, tepatnya di Desa Besakih,” jawab Vikha seadanya. “Tris, kamu tahu desa itu?” tanyanya kepada Tristan yang dari tadi hanya menjadi pendengar setia dan fokus mengemudikan mobil.
“Aku tahu desa itu, tapi tidak dengan tempat yang kamu maksud, Kha. Kamu bisa mencarinya melalui g****e maps atau nanti langsung bertanya dengan warga di sekitar sana saja untuk lebih jelasnya, biar kita tidak nyasar,” jawab Tristan. “Ngomong-ngomong, kenapa salah satu dari kalian tidak ada yang duduk di sebelahku? Kalian memang berniat menjadikanku sopir pribadi ya?” tuduhnya menyelidik.
Vikha dan Shanon kompak tertawa mendengar tuduhan Tristan. “Sha, kamu saja yang duduk di depan menemani sopir pribadi kita,” suruh Vikha. Ia kembali tertawa saat melihat tatapan protes Tristan dari spion mobil.
“Sha, ayo duduk di sampingku dan ajak aku mengobrol biar tidak mengantuk,” pinta Tristan dan pura-pura menguap. Ia juga telah menepikan mobilnya sebelum memasuki tanjakan di wilayah Bukit Jambul.
Karena kasihan, Shanon pun menuruti permintaan Tristan dan ia langsung pindah ke depan. “Kha, selain Taman Edelweiss, tidak ada destinasi lain yang baru di dekat sana?” tanyanya setelah duduk di samping Tristan.
“Ada, namanya Taman Jinja,” jawab Vikha sambil terus sibuk dengan ponselnya.
“Aku ingatkan kepada kalian agar tidak merusak tanaman tersebut. Jangan memetik asal bunga-bunga yang ada di sana walau kalian sangat menyukainya. Kedatangan kita ke sana untuk menikmati keindahan yang ada, bukan malah menghancurkannya dengan alasan baru pertama kali melihat jenis bunga tersebut,” Tristan mengingatkan kedua sahabatnya dengan tegas sekaligus penuh penekanan, tapi tetap menggunakan nada bicara yang bersahabat.
“Siap, Pak,” jawab Shanon dan Vikha serempak.
“Oh ya, sepulangnya dari kontrakan Shanon, aku menghubungi Arya yang ternyata tengah berada di kampung halamannya. Ia juga bersedia mengantar ke tempat tersebut, setelah aku memberitahukan tentang rencana kita,” beri tahu Tristan.
“Yang benar, Tris?” Vikha memastikan. “Oh iya, bukannya kampung halaman Arya di Desa Rendang? Aku yakin ia pasti sangat tahu mengenai letak tempat yang akan kita kunjungi,” ucapnya pada diri sendiri setelah menyadari asal salah satu rekan kerjanya.
“Berarti nanti kita ke rumah Arya dulu ya, Tris?” tanya Shanon yang kini telah duduk menyamping agar bisa leluasa melihat ke bangku belakang.
Tristan mengangguk. “Kata Arya, kita ke Taman Edelweiss lebih disarankan menggunakan sepeda motor. Selain jalannya sempit, medannya juga menanjak,” Tristan menyampaikan informasi yang didapatnya dari Arya.
“Tris, kamu tahu rumah Arya?” Vikha kembali bertanya.
Tristan menggeleng. “Aku diminta menghubunginya setelah tiba di pertigaan Desa Rendang dan menyuruh kita menunggunya di sana. Ia akan menjemput kita,” jawabnya seperti yang diberitahukan oleh Arya kemarin.
“Baiklah, semoga cuaca hari ini tetap cerah agar aku bisa puas menikmati keindahan bunga-bunga cantik itu,” ujar Vikha yang disetujui kedua sahabatnya.
***
Sesuai kesepakatannya, Tristan menghubungi Arya setelah ia dan kedua sahabatnya tiba di tempat yang dimaksud. Setelah hampir sepuluh menit menunggu, akhirnya yang dinanti pun datang dan menyapa ketiganya dengan senyum khasnya.
“Pagi sekali kalian sudah sampai di sini? Memangnya kalian berangkat dari jam berapa?” tanya Arya setelah berjabat tangan dengan Tristan, Shanon, dan Vikha.
“Kurang lebih jam setengah enam,” jawab Vikha mewakili kedua sahabatnya. “Awalnya untuk berjaga-jaga kalau nanti nyasar, makanya kita memutuskan berangkat jam segitu,” sambungnya saat melihat Arya terkejut.
“Ayo ke rumahku dulu, sekalian kita sarapan bersama. Rumahku tidak jauh dari sini,” ajak Arya setelah merasa cukup berbasa-basi. “Tris, kamu ikuti aku ya,” pintanya pada Tristan.
Benar yang dikatakan Arya mengenai jarak rumahnya dengan tempat ketiganya menunggu, ternyata cukup dekat. Meski sempat menangkap keheranan saat melihat tatapan tetangga di dekat rumah Arya, tapi ketiganya hanya tersenyum ramah sebagai tanggapannya. Kehidupan di desa sangat berbeda jauh dengan suasana di perkotaan, apalagi di sini udaranya sangat sejuk mengingat berada di daerah pegunungan. Arya mengenalkan ketiga temannya kepada keluarganya yang hanya terdiri dari ibu, sedangkan kedua adiknya tengah berada di pasar. Usai berbincang sebentar, ibu Arya meninggalkan putranya dan temannya mengobrol, karena beliau ingin menyiapkan sarapan.
“Silakan diminum,” ujar Arya setelah menaruh nampan berisi secangkir kopi dan tiga cangkir teh hangat yang diberikan sang ibu. “Maaf ya, kalian sarapannya hanya dengan teh hangat dan ditemani jajanan pasar,” sambungnya kembali sambil terkekeh.
“Ini sudah lebih dari cukup, Ar,” balas Tristan sambil meraih cangkir tehnya yang asapnya masih mengepul. “Ini salah satu jajanan pasar kesukaanku,” Tristan menambahkan sambil mengambil kotak mika kecil yang berisi kue klepon.
Shanon dan Vikha mengikuti jejak Tristan mengambil cangkir teh serta kue klepon yang tersaji di nampan. “Enak,” Shanon memberikan komentarnya dan diangguki Vikha.
“Oh ya, ibumu ke mana?” tanya Vikha di sela-sela kegiatannya mengunyah.
“Ke pasar. Beliau harus melanjutkan jualannya,” jawab Arya setelah meminum kopi pahit kesukaannya. “Ibuku berjualan kue basah di pasar. Kemarin aku bilang jika ada rekan kerjaku yang akan berkunjung di pagi hari, jadi beliau menyisihkan kue buatannya di rumah untuk dihidangkan kepada kalian,” jelasnya saat ketiga pasang mata temannya menatapnya serius.
“Pantas saja kuenya enak, ternyata dibuat oleh ibumu sendiri,” Tristan memuji.
“Terima kasih atas pujianmu untuk ibuku, Tris. Ibuku pasti sangat senang mengetahui ada laki-laki tampan yang memuji kue buatannya,” Arya menanggapi sambil terkekeh.
Shanon dan Vikha tertawa. “Hati-hati nanti atap rumahmu jebol karena ada yang sedang kegirangan dibilang tampan, Ar,” Shanon menimpalinya dan mengedipkan sebelah matanya kepada Tristan.
“Aku memang tampan,” Tristan membalasnya dengan penuh percaya diri.
Shanon, Vikha, dan Arya kembali tertawa setelah mendengar tanggapan Tristan yang penuh percaya diri. Sambil mengobrol santai keempatnya melanjutkan sarapan sederhana mereka, sebelum siap menuju hamparan bunga Kasna.
Shanon akhirnya menghela napas lega. Dari posisinya ia melihat kehadiran Tristan yang kini sedang berjalan santai ke arahnya. Tanpa membuang waktu Shanon langsung mendorong Richard agar tubuhnya terbebas dari impitan laki-laki tersebut. Ia mengusap bergantian pergelangan tangannya yang terasa kebas karena dipegang cukup erat oleh Richard.“Hai, Richard,” sapa Tristan tanpa memperlihatkan emosi yang telah menyelimuti hati dan pikirannya. “Sudah lama kita tidak bertemu. Bagaimana kabarmu sekeluarga?” tanyanya berbasa-basi.“Untuk apa kamu datang kemari?” Richard mengabaikan pertanyaan basa-basi yang Tristan lontarkan. Sambil memasukkan sebelah tangannya ke saku celana yang dipakainya, ia menatap Tristan tak bersahabat.Bibir Tristan menyunggingkan senyum tipis. Walau tangannya sudah sangat gatal ingin menghajar laki-laki yang kini sedang menatapnya dengan angkuh, tapi ia berusaha keras untuk tetap bersikap tenang. Ia tetap melangkahkan kakinya dengan santai menuju tempat Shanon berdiri.
Bukannya mereda, semakin malam hujan kian menderas. Sebelum tidur Shanon membawakan bantal dan selimut untuk Tristan yang masih sibuk memainkan game di ponselnya. Tristan akan menggunakan sofa yang ada di ruang tengah untuk tidur. Baru saja Tristan membaringkan tubuhnya di atas sofa setelah usai bermain game, tiba-tiba ia merasa perutnya kembali mulas. Sejak mulai bermain game Tristan sudah beberapa kali ke kamar mandi yang ada di samping dapur. Awalnya ia hanya menganggap sakit perut biasa, tapi ternyata dugaannya keliru. Selain sakit, kini perutnya juga terasa panas dan perih. Hal tersebut diakibatkan karena saat makan malam tadi ia menghabiskan empat bungkus sambal.Setelah beberapa menit berada di dalam kamar mandi, akhirnya Tristan keluar sembari memegang perutnya. Ia menghapus keringat di keningnya sambil berjalan pelan menuju kamar Shanon untuk menanyakan obat sakit perut.“Sha,” Tristan memanggil Shanon seraya mengetuk pin
Tristan tidak mempunyai kesempatan untuk berbicara empat mata dengan Shanon, karena dua rekan kerja di divisinya sedang absen. Ia dan Shanon pun sama-sama sibuk mengambil alih pekerjaan milik kedua rekannya yang sedang absen tersebut. Bahkan, saat jam makan siang pun mereka lewati secara terpisah. Mereka berbicara atau berinteraksi hanya sebatas urusan yang menyangkut pekerjaan.Sambil menunggu layar komputer di depannya mati, Tristan menyandarkan punggungnya yang kaku pada kursi kebesarannya. Bahkan, kini ia telah melepas kacamatanya yang sangat berjasa membantu matanya bekerja. Ia juga menyempatkan diri untuk memejamkan matanya sejenak, agar otot-otot pada indra penglihatannya tersebut dapat beristirahat, meski hanya sebentar. Baginya hari ini benar-benar sangat melelahkan sekaligus mengesalkan. Bagaimana tidak, ia dan rekan-rekan di divisinya terpaksa harus lembur karena diminta menyiapkan laporan untuk rapat dadakan yang akan diadakan besok pagi. Akhirnya mereka pun pulang saat ja
Shanon terpaksa menolak ajakan Vikha berolahraga di lapangan Niti Mandala yang ada di Renon, sebab ia akan menggunakan waktu liburnya untuk mengunjungi sang ibu. Walau Vikha terlihat kecewa atas penolakannya, tapi sahabatnya tersebut memaklumi alasannya. Untung saja ketika Vikha mendatangi kontrakannya, ia masih bersiap-siap sebelum berangkat ke rumah sang ibu. Awalnya Shanon ingin berangkat kemarin sore, sepulangnya dari kantor, tapi karena Anita meminta diantar sekaligus ditemani ke rumah sakit menjenguk sepupunya, jadi niatnya pun terpaksa ditunda.Kedatangan Shanon membuat Nola yang baru saja menyelesaikan kegiatannya menyapu halaman rumah terkejut, pasalnya sang anak tidak mengabarkan terlebih dulu akan pulang. “Kenapa kamu tidak mengabari Mama terlebih dulu, Nak?” tanyanya setelah Shanon turun dari motor dan mencium punggung tangannya.“Aku sengaja memberi kejutan Mama,” jawab Shanon asal sambil menyengir. Ia memeluk wanita yang sangat dihormati dan dicintainya dengan penuh kasi
Nola sudah pulang dari rumah sakit, Shanon pun telah kembali bekerja seperti biasa. Untung saja dua hari izin tidak membuat pekerjaannya menumpuk, sehingga ia bisa bernapas lega. Shanon tersenyum canggung kepada Tristan yang baru saja memasuki ruangan, ketika ia mengalihkan tatapannya dari layar monitor.“Bagaimana keadaan ibumu?” tanya Tristan yang telah berada di samping meja kerja Shanon.“Baik,” Shanon menjawab sedikit canggung, tapi ia tetap menyunggingkan senyum.“Tidak ada luka serius?” Tristan kembali bertanya setelah duduk.Shanon menggeleng sembari memberanikan diri menatap Tristan sedikit lebih lama. “Terima kasih sudah peduli terhadap keadaan ibuku, Tris,” pintanya tulus.Tristan hanya menanggapi ucapan terima kasih Shanon dengan anggukan.Sikap Tristan yang terlihat enggan berlama-lama berinteraksi dengannya membuat Shanon mengembalikan tatapannya pada layar monitor di depannya. Ia tidak keberatan jika sekarang Tristan yang ingin menjaga jarak dengannya. Menurutnya sangat
Tristan datang ke kantor dengan tidak bersemangat karena kurang tidur akibat memikirkan keadaan Talitha yang hingga kini belum memberi kabar. Sebelum berangkat ke kantor Tristan sempat menghubungi ponsel sang kakak, sayangnya tidak ada respons. Ketika ia kembali ingin mencoba menghubungi sang kakak, suara Anita yang tengah menanyakan keberadaan seseorang langsung menarik minatnya. Walau bukan dirinya yang ditanya, tapi Tristan refleks menoleh ke meja kerja di sampingnya dan tidak melihat sang pemilik berada di sana seperti biasa.“Shanon hari ini izin, katanya ada urusan keluarga yang sangat mendadak,” Bu Utami, wanita tambun yang menjadi manager di divisi keuangan memberi informasi sekaligus menjawab keingintahuan Anita mengenai ketidakhadiran Shanon. “Shanon memberi kabar sebelum saya berangkat ke kantor,” sambungnya.Pemberitahuan Bu Utami membuat pikiran Tristan kini terpecah, antara memikirkan keadaan sang kakak dan rasa penasarannya terhadap urusan keluarga Shanon. Baru saja Tri