Share

5. Penginapan di Kebun Jagung bagian tiga

Kurebahkan diri di atas kasur yang agak keras itu sambil melihat benda pemberian Bu Minah yang tidak ku ketahui maksudnya.

Akhirnya benda itu kumasukkan ke dalam tas dan memutuskan untuk tidur. Perjalanan hari ini cukup melelahkan.

Tapi, aku jadi tertarik untuk mencari sesuatu di Booble, salah satu mesin pencari informasi secara daring. Kedua ibu jariku secara fasih mengetikkan nama penginapan ini pada layar ponsel.

Seperti yang dikatakan orang, desa ini memang terkenal karena memiliki tur wisata hantu. Ku kerjapkan mata beberapa kali untuk memastikan diri bahwa aku tidak salah baca.

Banyak juga anak-anak muda yang menginap di tempat ini hanya untuk menguji nyali. Tempat ini biasanya ramai saat tanggal atau hari tertentu seperti malam Jumat legi maupun malam satu di bulan Suro. Aku juga sering melihat wajah Bu Minah sebagai narasumber.

Tiba-tiba terdengar suara mobil yang berhenti. Aku bangun dan melongokkan diri ke luar jendela.

Sebuah mobil Jeep bewarna putih berhenti dan dua pasang anak lelaki serta perempuan turun dari sana. Dari penampilannya dan pembawaannya, yang kupikir cukup norak, mereka sepertinya belum genap berumur dua puluh.

Suara cekikikan mereka terdengar berisik sampai ke kamarku. Aku curiga kalau tiap kamar di penginapan ini sama sekali tidak kedap suara.

Aku sedikit teringat pada masa kuliahku. Penuh semangat, sukacita dan idealisme. Sebelum semuanya dihancurkan dengan tumpukan tugas, riset yang berkepanjangan juga drama-drama emosional yang sekarang terasa tidak penting.

Aku bukan seorang penyendiri yang tak memiliki teman. Tapi, sifatku yang bicara serta bertingkah seenaknya sendiri adalah salah satu alasan kenapa jumlah temanku bisa dihitung dengan satu tangan.

Berkali-kali berpacaran dengan berbagai macam lelaki malah tak membuatku mengenal makna cinta. Niat untuk berkencan-pun surut saat aku mulai bekerja.

Lebih dari separuh hariku habis di kantor dan rumah tak lebih sekedar tempat menumpang tidur.

Aku menikmati hal itu.

Berbeda dengan idealisme yang dulu kubanggakan, menjadi budak korporat dan terjebak pada rutinitas yang berulang ternyata tidak membosankan. Terlebih, aku juga digaji dengan baik.

Menjadi ikan mati yang terbawa arus tidak seburuk yang kupikirkan.

Maaf kalau aku akan mengatakan hal paling klise dalam novel atau film roman picisan. Tapi, hidupku benar-benar berubah saat mengenal Gilang.

Kupikir hubungan kami tidak akan berlanjut setelah kencan pertama. Jujur saja, aku memang tertarik pada fisiknya yang kuanggap ideal. Ia tampan dan manis.

Tapi, pertemuan-pertemuan kami terus berlanjut karena baru kusadari untuk pertama kalinya ada yang betah mendengar celotehku.

Gilang begitu pendiam dan tipe pendengar yang baik. Ia menyetujui beberapa pendapatku dan tidak mendebat ketika pandangan  kami berseberangan.

Sampai dua tahun yang lalu, sifatnya perlahan berubah mengikutiku dan kami jadi sering bertengkar. Pertengkaran-pertengkaran yang membuatnya kabur meskipun esok harinya ia kembali dengan senyum lebar.

Pernikahan adalah salah satu hal yang kami inginkan. Gilang sering melamarku. Bukan satu atau dua kali. Melainkan delapan kali. 

Dengan total delapan cincin, delapan kali menyewa venue di tempat yang berbeda serta delapan kali ia berlutut memintaku menjadi isterinya.

Selalu ada masalah terjadi setelah atau selama acara lamaran berlangsung. Kalau bukan aku atau Gilang yang kecelakaan, pasti ada masalah dengan venue acara. 

Selalu seperti itu.

Gilang, yang agak konvensional, berpendapat mungkin karena kami berdua tidak mendapat restu dari orang tua, yang sengaja tidak kami undang.

Tentu saja kupatahkan argumen itu. Bagaimana bisa restu orang tua memiliki efek sedahsyat itu? Menciptakan masa kecil atau keadaan yang berbahagia saja tak mampu.

Malahan aku curiga bahwa semuanya akan bertambah kacau hanya dengan kehadiran mereka.

Lagipula aku sudah lama sekali tidak berhubungan dengan kedua orang tuaku. Aku kabur dari rumah setelah lulus SMA dan pergi ke rumah bibiku di Jakarta.

Dan sampai sekarang, aku sama sekali tak mendengar kabar apapun dari mereka.

Aku mendapatkan beasiswa penuh dan Bibi, yang masih lajang, mendukungku sampai lulus.

Sayangnya, Bibi meninggal, karena sakit, saat aku baru saja wisuda.

Aku menjual rumah yang diwariskannya dan pindah kost di dekat tempat kerjaku. Uang hasil penjualan rumah itu masih utuh dalam tabungan rahasiaku.

Kalau seandainya Bibi masih hidup, beliau adalah orang yang akan kumintai restu.

Suara gaduh datang dari sebelah kamarku. Kedua anak perempuan itu cekikikan sambil mengatakan sesuatu dalam bahasa Jawa.

Aku memejamkan mataku dan mulai tertidur.


Aku terbangun saat mendengar suara pintu diketuk dari luar. Kupaksakan diri untuk bangkit dan membukanya. Murni, si perusak tidur siangku, tersenyum dan menawarkan makan malam. 

Kujawab bahwa aku tidak lapar tapi akan turun ke ruang makan untuk mencari kudapan.

Ia tersenyum dan mengatakan akan menungguku di bawah. Aku menutup pintu dan pergi ke kamar mandi. 

Tentu saja tidak ada shower box disini. Kamar mandi berupa bak mandi dari ubin putih, kloset jongkok warna biru dan sebuah gayung merah. Ada peralatan mandi seperti sabun dan pasta gigi. 

Airnya begitu dingin saat menyentuh kulitku. Membuat seluruh inderaku terbangun.

Begitu selesai kututup gorden jendela dan keluar dari kamar.

Dua orang anak laki-laki yang tadi kulihat, mengetuk pintu kamar di sebelahku. Penampilan keduanya seperti remaja tanggung bergaya gothic. Berpakaian serba hitam dan aku melihat tindik di hidung salah satu anak itu.

Aku turun dari tangga dan menemui Bu Minah sedang mengelap meja di ruang makan.

"Mau makan apa, Mbak?" Tanyanya ramah. Ada sesuatu yang mencegahku untuk menanyakan mengenai bunga dan gunting itu.

"Pingin cemilan aja sih, Bu. Saya enggak begitu lapar."

"Kebetulan Murni tadi masak gorengan. Langsung ambil ke meja kasir saja,"

Aku mengangguk. Baru saja berjalan selama tiga langkah, terdengar suara teriakan dari lantai atas.

Bu Minah langsung pergi dan meninggalkan lap di mejanya. Aku ikut berlari menyusulnya.

Suara teriakan itu kembali terdengar, kali ini lebih lantang dari sebelumnya, dan seorang laki-laki, yang seumuran denganku, sudah berada di depan pintu dan memutar sebuah kunci di kenopnya.

Saat pintu berhasil terbuka, aku melihat pemandangan yang tak lazim. Anakyang bertindik di hidung, terkapar di lantai sambil meronta seolah sedang kesakitan. Teman laki-lakinya memegangi tubuhnya sambil meneriakkan namanya dengan panik.

Sedangkan pandangan kedua gadis itu seolah terhipnotis dan mereka terpaku begitu saja.

"Waduh, arek-arek iki! Tono, panggil Mbah Garong sekarang!"

Lelaki itu mengangguk dan berlari meninggalkan ruangan. Bu Mina masuk ke dalam kamar mandi dan kembali membawa segayung air. 

Ia mengucapkan sesuatu yang tidak kukenal dan meminum air dalam gayung sebelum menyemburkannya ke wajah anak malang itu.

"Mbak Delilah, tolong tekan jempol kaki kirinya, ya. Sekeras mungkin."

Aku menurutinya dan merasa aneh saat menyentuh kaki yang sedingin es itu. Kutekan jempol kaki yang lebih terasa seperti beton. Bagaimana bisa kaki manusia bisa terasa seperti itu?

Kupikir semuanya berakhir saat anak laki-laki itu berhenti mengejang. Perlahan ia bangun dan duduk. Matanya hitam gelap dan nampak kosong. Ia memandangku lekat-lekat.

Teman lelakinya menghembuskan nafas lega sedangkan Bu Minah masih terlihat tegang.

"Kowe lapo mrene?" Suara anak laki-laki itu terdengar lebih dalam dan serak dari remaja kebanyakan.

"Apa?" Tanyaku bingung karena tak mengerti apa yang dikatakannya.

"Kowe ora pantes ngidek lemah ndek kene," Anak laki-laki itu kemudian menggeram padaku. "Mati! Mati! Mati!"

Aku berani bersumpah bahwa mata anak itu berubah semerah darah sebelum ia meloncat untuk mencekik leherku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status