Home / Thriller / The Secret / 5. Penginapan di Kebun Jagung bagian tiga

Share

5. Penginapan di Kebun Jagung bagian tiga

Author: Wintersnow
last update Last Updated: 2021-05-28 08:12:35

Kurebahkan diri di atas kasur yang agak keras itu sambil melihat benda pemberian Bu Minah yang tidak ku ketahui maksudnya.

Akhirnya benda itu kumasukkan ke dalam tas dan memutuskan untuk tidur. Perjalanan hari ini cukup melelahkan.

Tapi, aku jadi tertarik untuk mencari sesuatu di Booble, salah satu mesin pencari informasi secara daring. Kedua ibu jariku secara fasih mengetikkan nama penginapan ini pada layar ponsel.

Seperti yang dikatakan orang, desa ini memang terkenal karena memiliki tur wisata hantu. Ku kerjapkan mata beberapa kali untuk memastikan diri bahwa aku tidak salah baca.

Banyak juga anak-anak muda yang menginap di tempat ini hanya untuk menguji nyali. Tempat ini biasanya ramai saat tanggal atau hari tertentu seperti malam Jumat legi maupun malam satu di bulan Suro. Aku juga sering melihat wajah Bu Minah sebagai narasumber.

Tiba-tiba terdengar suara mobil yang berhenti. Aku bangun dan melongokkan diri ke luar jendela.

Sebuah mobil Jeep bewarna putih berhenti dan dua pasang anak lelaki serta perempuan turun dari sana. Dari penampilannya dan pembawaannya, yang kupikir cukup norak, mereka sepertinya belum genap berumur dua puluh.

Suara cekikikan mereka terdengar berisik sampai ke kamarku. Aku curiga kalau tiap kamar di penginapan ini sama sekali tidak kedap suara.

Aku sedikit teringat pada masa kuliahku. Penuh semangat, sukacita dan idealisme. Sebelum semuanya dihancurkan dengan tumpukan tugas, riset yang berkepanjangan juga drama-drama emosional yang sekarang terasa tidak penting.

Aku bukan seorang penyendiri yang tak memiliki teman. Tapi, sifatku yang bicara serta bertingkah seenaknya sendiri adalah salah satu alasan kenapa jumlah temanku bisa dihitung dengan satu tangan.

Berkali-kali berpacaran dengan berbagai macam lelaki malah tak membuatku mengenal makna cinta. Niat untuk berkencan-pun surut saat aku mulai bekerja.

Lebih dari separuh hariku habis di kantor dan rumah tak lebih sekedar tempat menumpang tidur.

Aku menikmati hal itu.

Berbeda dengan idealisme yang dulu kubanggakan, menjadi budak korporat dan terjebak pada rutinitas yang berulang ternyata tidak membosankan. Terlebih, aku juga digaji dengan baik.

Menjadi ikan mati yang terbawa arus tidak seburuk yang kupikirkan.

Maaf kalau aku akan mengatakan hal paling klise dalam novel atau film roman picisan. Tapi, hidupku benar-benar berubah saat mengenal Gilang.

Kupikir hubungan kami tidak akan berlanjut setelah kencan pertama. Jujur saja, aku memang tertarik pada fisiknya yang kuanggap ideal. Ia tampan dan manis.

Tapi, pertemuan-pertemuan kami terus berlanjut karena baru kusadari untuk pertama kalinya ada yang betah mendengar celotehku.

Gilang begitu pendiam dan tipe pendengar yang baik. Ia menyetujui beberapa pendapatku dan tidak mendebat ketika pandangan  kami berseberangan.

Sampai dua tahun yang lalu, sifatnya perlahan berubah mengikutiku dan kami jadi sering bertengkar. Pertengkaran-pertengkaran yang membuatnya kabur meskipun esok harinya ia kembali dengan senyum lebar.

Pernikahan adalah salah satu hal yang kami inginkan. Gilang sering melamarku. Bukan satu atau dua kali. Melainkan delapan kali. 

Dengan total delapan cincin, delapan kali menyewa venue di tempat yang berbeda serta delapan kali ia berlutut memintaku menjadi isterinya.

Selalu ada masalah terjadi setelah atau selama acara lamaran berlangsung. Kalau bukan aku atau Gilang yang kecelakaan, pasti ada masalah dengan venue acara. 

Selalu seperti itu.

Gilang, yang agak konvensional, berpendapat mungkin karena kami berdua tidak mendapat restu dari orang tua, yang sengaja tidak kami undang.

Tentu saja kupatahkan argumen itu. Bagaimana bisa restu orang tua memiliki efek sedahsyat itu? Menciptakan masa kecil atau keadaan yang berbahagia saja tak mampu.

Malahan aku curiga bahwa semuanya akan bertambah kacau hanya dengan kehadiran mereka.

Lagipula aku sudah lama sekali tidak berhubungan dengan kedua orang tuaku. Aku kabur dari rumah setelah lulus SMA dan pergi ke rumah bibiku di Jakarta.

Dan sampai sekarang, aku sama sekali tak mendengar kabar apapun dari mereka.

Aku mendapatkan beasiswa penuh dan Bibi, yang masih lajang, mendukungku sampai lulus.

Sayangnya, Bibi meninggal, karena sakit, saat aku baru saja wisuda.

Aku menjual rumah yang diwariskannya dan pindah kost di dekat tempat kerjaku. Uang hasil penjualan rumah itu masih utuh dalam tabungan rahasiaku.

Kalau seandainya Bibi masih hidup, beliau adalah orang yang akan kumintai restu.

Suara gaduh datang dari sebelah kamarku. Kedua anak perempuan itu cekikikan sambil mengatakan sesuatu dalam bahasa Jawa.

Aku memejamkan mataku dan mulai tertidur.


Aku terbangun saat mendengar suara pintu diketuk dari luar. Kupaksakan diri untuk bangkit dan membukanya. Murni, si perusak tidur siangku, tersenyum dan menawarkan makan malam. 

Kujawab bahwa aku tidak lapar tapi akan turun ke ruang makan untuk mencari kudapan.

Ia tersenyum dan mengatakan akan menungguku di bawah. Aku menutup pintu dan pergi ke kamar mandi. 

Tentu saja tidak ada shower box disini. Kamar mandi berupa bak mandi dari ubin putih, kloset jongkok warna biru dan sebuah gayung merah. Ada peralatan mandi seperti sabun dan pasta gigi. 

Airnya begitu dingin saat menyentuh kulitku. Membuat seluruh inderaku terbangun.

Begitu selesai kututup gorden jendela dan keluar dari kamar.

Dua orang anak laki-laki yang tadi kulihat, mengetuk pintu kamar di sebelahku. Penampilan keduanya seperti remaja tanggung bergaya gothic. Berpakaian serba hitam dan aku melihat tindik di hidung salah satu anak itu.

Aku turun dari tangga dan menemui Bu Minah sedang mengelap meja di ruang makan.

"Mau makan apa, Mbak?" Tanyanya ramah. Ada sesuatu yang mencegahku untuk menanyakan mengenai bunga dan gunting itu.

"Pingin cemilan aja sih, Bu. Saya enggak begitu lapar."

"Kebetulan Murni tadi masak gorengan. Langsung ambil ke meja kasir saja,"

Aku mengangguk. Baru saja berjalan selama tiga langkah, terdengar suara teriakan dari lantai atas.

Bu Minah langsung pergi dan meninggalkan lap di mejanya. Aku ikut berlari menyusulnya.

Suara teriakan itu kembali terdengar, kali ini lebih lantang dari sebelumnya, dan seorang laki-laki, yang seumuran denganku, sudah berada di depan pintu dan memutar sebuah kunci di kenopnya.

Saat pintu berhasil terbuka, aku melihat pemandangan yang tak lazim. Anakyang bertindik di hidung, terkapar di lantai sambil meronta seolah sedang kesakitan. Teman laki-lakinya memegangi tubuhnya sambil meneriakkan namanya dengan panik.

Sedangkan pandangan kedua gadis itu seolah terhipnotis dan mereka terpaku begitu saja.

"Waduh, arek-arek iki! Tono, panggil Mbah Garong sekarang!"

Lelaki itu mengangguk dan berlari meninggalkan ruangan. Bu Mina masuk ke dalam kamar mandi dan kembali membawa segayung air. 

Ia mengucapkan sesuatu yang tidak kukenal dan meminum air dalam gayung sebelum menyemburkannya ke wajah anak malang itu.

"Mbak Delilah, tolong tekan jempol kaki kirinya, ya. Sekeras mungkin."

Aku menurutinya dan merasa aneh saat menyentuh kaki yang sedingin es itu. Kutekan jempol kaki yang lebih terasa seperti beton. Bagaimana bisa kaki manusia bisa terasa seperti itu?

Kupikir semuanya berakhir saat anak laki-laki itu berhenti mengejang. Perlahan ia bangun dan duduk. Matanya hitam gelap dan nampak kosong. Ia memandangku lekat-lekat.

Teman lelakinya menghembuskan nafas lega sedangkan Bu Minah masih terlihat tegang.

"Kowe lapo mrene?" Suara anak laki-laki itu terdengar lebih dalam dan serak dari remaja kebanyakan.

"Apa?" Tanyaku bingung karena tak mengerti apa yang dikatakannya.

"Kowe ora pantes ngidek lemah ndek kene," Anak laki-laki itu kemudian menggeram padaku. "Mati! Mati! Mati!"

Aku berani bersumpah bahwa mata anak itu berubah semerah darah sebelum ia meloncat untuk mencekik leherku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • The Secret   22. Keputusasaan

    Guru Gan menggerakkan bibirnya tanpa suara. Aku nyaris teringat dengan ikan yang megap-megap di udara. Tak jelas apa yang sedang dia katakan saat ini. Yang jelas, aku dan Kanha menunggunya dengan sabar, seraya memperhatikan ke sekeliling kamar Aruni.Bukan apa-apa. Hanya saja, mungkin saja masih ada makhluk lain yang bersemayam dalam benda-benda aneh yang biasanya diberikan penggemarnya. Aku memang tak bisa melihat aura gelap lagi. Tapi, tak ada salahnya untuk berjaga-jaga.“Oke. Sudah selesai.”“Apa semua aman?”Meski aku tak bisa melihat matanya yang tersembunyi di balik penutup, Guru Gan terlihat tak nyaman. Dugaanku semakin kuat saat mendengar helaan napasnya yang berat. Jelas, ia tak terlihat seceria biasanya, “Ada beberapa hal yang ingin kupastikan. Hmm, aneh.”“Jadi, apa yang harus kami lakukan sekarang?” tanya Kanha menyela.“Sebelum itu, kita turun dulu.”Guru Gan melangkah pergi, lalu kami berdua mengikuti dari belakang. Di bawah sana, Tante Dinar sedang menunggu dengan ra

  • The Secret   21. Teratai Biru yang mulai berulah

    Guru Gan melajukan kendaraannya dengan tenang, tapi tidak dengan Kanha yang terlihat begitu tergesa-gesa. Terdengar dia menggerutu, entah apa yang dia ucapkan.Karena aku juga tak yakin apakah itu adalah kata-kata yang ditujukan untukku atau mungkin, hanya halusinasiku semata. Mengingat, Kanha tak biasanya sepanik ini.Mobil melewati jalan raya yang cukup padat, lampu hijau baru saja berubah menjadi merah, lalu guru Gan langsung menginjak rem saat itu juga. Mendapati perjalanannya terganggu, Kanha menggerutu kesal.“Ah, sial! Kenapa harus lampu merah, sih?!”“Tenangkan dirimu, Kanha,” seru Guru Gan dengan ekspresi tengilnya.“Iya, tenanglah. Lagi pula, seharusnya aku yang seperti itu,” timpalku.“Kau tidak akan mengerti, Yas. Kanha memiliki memori kelam dengan kelompok Teratai Biru.”“Mengingatnya kembali saja sudah membuatku muak.”Kanha menunjukkan sosoknya yang tidak biasa. Dia yang biasanya terlihat tenang kali ini terlihat tergesa-gesa. Aku tak bermaksud mengorek luka lama, tapi

  • The Secret   20. Sekte Teratai Biru

    “Dunia ini menjadi semakin tidak aman saja,” ucap Kanha sambil menggulirkan layar ponselnya. Ia menaruh nampan berisi makanan di mejaku begitu saja. “Pagi, Yas. Sudah dengar berita terbaru?”Kuhela nafas malas. Setelah perselisihanku dengan jenglot kemarin, aku tertidur pulas begitu menyentuh kasur dan baru terbangun saat jam sarapan tiba. Beruntung tidak ada kelas yang harus kuikuti. Tapi, badanku masih terasa lelah, “Ini masih terlalu pagi untuk mendengar hal buruk.”“Eh? Bagaimana bisa kau menyimpulkan begitu? Ini berita yang sedang panas, lho!”“Raut wajahmu telah memberitahuku segalanya.”“Tidak seru! Coba lihat ini dan katakan padaku apa pendapatmu,” katanya sambil menyodorkan ponselnya kepadaku. Headline berita tentang penculikan anak perempuann terpajang di layar. Kasus itu memang sedang marak diperbincangkan, “Sudah gila, ‘kan? Dia korban ke tiga dalam bulan ini s

  • The Secret   19. Hal yang lebih berbahaya

    Hampir saja aku terkekeh.Nada sombongnya itu benar-benar membuatku kesal akan ketidak berdayaanku. Aku selalu berpikir jika aku ini cukup kuat serta tangguh untuk melawan apapun.Tapi, kusadari bahwa aku hanya sendirian dan lawanku kali ini hanya menganggapku sebagai makanan pembuka yang dapat dimakan hanya dengan sekali gigitan.Benar-benar sialan.Kupaksakan diri untuk berdiri meski kakiku gemetar. Harus kuakui bahwa aku takut.Takut setengah mati.Namun, harga diriku menolak untuk menyerah. Jika aku mati sekarang, setidaknya aku harus sedikit melawan.Kuhela nafas panjang sebelum mulai mengingat ucapan Guru Gan mengenai cara memusatkan energi pada senjata. Karena aku tak memilikinya, terpaksa kugunakan kepalan tinjuku. Dibanding Kanha, kekuatan fisikku masih jauh dibawahnya. Tapi, itu jauh lebih baik daripada terus bertahan dari serangan.Jujur saja, aku sama sekali tak melihat adanya peluang untuk memenangkan pertandingan

  • The Secret   18. Pahitnya rasa keputusasaan

    “Benar ini tempatnya?” tanyaku sambil memasang tali masker kain itu ke balik daun telinga.Kelvin memakai kacamata berbingkai besar itu dengan santai. Tentu saja itu hanya kacamata biasa, tanpa minus. Tapi tetap saja berhasil membuatnya terlihat seperti anak baik-baik.Apalagi rambutnya sudah disisir ke belakang dan diolesi gel hingga tertata rapi, “Tidak salah lagi. Aku tahu dengan pasti darimana asalnya jenglot pembuat onar ini. Tapi, untuk pemiliknya... Itulah alasan aku meminta tolong padamu.”“Dari semua tempat yang mengerikan, jenglot ini malah berasal dari tempat ini?”“Jangan salah sangka, Yas. Tempat ini adalah neraka bagi beberapa orang. Berbagai emosi negatif yang lahir dari sini adalah santapan yang lezat bagi makhluk-makhluk itu. Tidakkah kau mencium aroma keputusasaan, kesengsaraan, kekhawatiran, sampai perasaan bingung dari para bocah tanggung?” tanyanya sambil menyeringai.Alis sebelah

  • The Secret   17. Permintaan Senior

    “Aku menolak.”Mama mengangkat kedua alisnya. Merasa heran karena ini adalah penolakan pertamaku selama ini, “Apa?”“Aku ingin tetap bersekolah di sini,” kedua tanganku terkepal karena teringat dengan sensasi menyenangkan saat bertarung dengan--, “Ah, iya! Aku bahkan belum mengalahkan makhluk itu, Ma! Jadi, aku tak bisa berhenti disini.”Guru Gan menggigit bibir bawahnya dan nampak seperti sedang menahan tawa. Sambil mengangguk-anggukan kepala, dia berkata, “Ah, kau… benar. Nanti akan kuantar kesana.”“Bisa kau pergi dari ini? Aku ingin bicara empat mata dengan anakku,” ujar Mama sambil mengibaskan tangannya.“Baiklah, sampai ketemu lagi, Yas.”Aku membalas lambaian tangan laki-laki itu sementara Mama tetap bersedekap dan nampak tak nyaman. Barulah ketika Guru Gan benar-benar pergi, Mama m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status