Share

4. Penginapan di Kebun Jagung bagian kedua

Murni datang di saat waktu yang kurang tepat. Ia membawa troli tiga tingkat yang terbuat dari alumunium kecil yang mengangkut  sebakul besar nasi, satu panci berukuran sedang berisi sayur asem, beberapa potong tempe goreng dan semangkuk kecil sambal terasi.

Rak keduanya berisi setumpuk piring beserta alat makannya, tiga buah gelas belimbing, dan sebuah kendi besar, dari tanah liat, yang kuduga berisi air putih. Rak ketiganya dibiarkan kosong begitu saja.

"Silahkan, Mbak." Begitu katanya sambil menaruh piring dan sendok di hadapanku.

"Ayo, Mbak. Sayur asem buatan Murni dijamin enak dan seger. Cocok untuk menu makan siang."

"Terima kasih, Bu. Tapi, saya penasaran mengenai kutukan yang ibu katakan." Kataku sambil menyendokkan nasi ke piring. 

Murni yang mendudukkan diri di sebelah ibunya, menggelengkan kepalanya,"Oalah, Bu. Kok selalu cerita yang bukan-bukan sih? Mbak Delilah ini calon istrinya Gilang, lho."

"Justru karena calon isteri, dia yo harus tau, lho." Jawab Bu Minah sebelum mengunyah makanannya.

"Tapi, seharusnya Gilang yang cerita, Bu. Aku ndak mau kalau kita ini dianggap lancang."

"Halah, halah. Sudah kamu diam saja,  Nduk. Biar ibu yang selesaikan semuanya."

 

Melihat sifat keras kepala milik ibunya membuat Murni menghela nafas pasrah dan kembali fokus kepada makananya.

Bu Minah kemudian mulai bercerita padaku yang sudah tak sabar. "Jadi gini, Mbak. Keluarganya Gilang itu memang yang paling kaya di desa ini.  Cuma, mereka memang bernasib sial. Beberapa anggota keluarga mereka banyak yang meninggal di usia muda. "

"Lalu apa hubungannya dengan Gilang?"

Murni tiba-tiba melirik ibunya dengan pandangan seperti sedang mengantisipasi sesuatu. 

Bu Minah berdehem sebelum berkata, "Ya karena kutukan itu menular, Mbak. Bisa menantu, cucu, saudara ipar sampai pembantu di rumah itu. Pokoknya semua orang yang berhubungan dengan keluarga Raharjodiningrat pasti kena getahnya. Makanya orang-orang yang takut mulai menyebarkan gosip kalau rumah itu adalah sarang setan." 

"Aku melongo mendengar cerita yang tak masuk akal tersebut, "Jadi, alasan Gilang kesana..,"

"Ya untuk memutuskan diri sepenuhnya dari keluarga gila itu!"

"Ibu, jangan begitu." Kata Murni sambil menuangkan air putih dari kendi cokelat itu ke dalam gelas ibunya. 

"Memangnya keluarga waras mana yang memperlakukan anaknya seperti itu? Ndak boleh begini, ndak boleh begitu. Anak sekarang mana bisa diatur macam begitu?"

Aku masih tak mengerti tapi urung mengatakan sesuatu saat melihat wajah kesal Bu Minah.

 

Wanita itu segera menghabiskan isi gelasnya sebelum kembali melanjutkan ceritanya, "Kutukan mati muda itu konon bisa dipatahkan dengan pernikahan sedarah, Mbak. Gilang sendiri hampir saja dinikahkan sama sepupunya. Untungnya dia langsung kabur ke Jakarta. Cuma ya, mungkin Gilang sudah paham kalau kabur saja enggak cukup."

Jantungku seolah diremas oleh tangan dingin. Bagaimana bisa hanya dengan satu kalimat saja, membuat duniaku berjungkir balik?

"Saya sebenarnya juga kurang paham dengan maksud Gilang untuk memutuskan diri dari ikatan keluarganya. Mungkin dia ingin meminta restu untuk menikahi Mbak Delilah." Katanya lagi.

"Tapi apa kutukan itu benar adanya, Bu? Saya masih belum sepenuhnya percaya."

Bu Minah tersenyum sambil memegang tanganku, "Tenang saja, Mbak. Kutukan seberat apapun akan kalah dengan kuasa Tuhan. Percaya saja, Gilang pasti akan berusaha yang terbaik."

Ada sesuatu yang terasa mencekik leherku. Sesak meski di sisi lain aku merasa terkhianati karena ia sama sekali tak pernah menceritakan hal ini kepadaku. 

Tapi mungkin Gilang tahu mengenai reaksiku yang anti dengan hal semacam ini sehingga memutuskan untuk memendamnya sendiri.

"Tolong jangan menyalahkan diri sendiri, Mbak," kata Murni dengan nada agak hati-hati seolah ia tahu benar isi hatiku. "Semua laki-laki itu memiliki sifat yang sok kuat. Malu kalau kelemahannya diketahui pasangannya."

"Murni benar, Mbak. Kalau begitu bagaimana kalau menginap saja di sini? Besok pagi, biar Tono yang mengantar ke sana."

"Saya ingin segera bertemu Gilang. Bukannya tidak mempercayai cerita Bu Minah, tapi saya ingin mendengarnya dari mulutnya sendiri."

Perempuan tua itu mengangguk maklum, "Iyo, Mbak. Saya tahu. Cuma Tono ini kalau agak sore saja lewat daerah situ, sudah enggak berani. Badannya saja yang besar, tapi nyalinya kecil seperti semut."

Murni hanya tersenyum mendengar ejekan mengenai suaminya itu.

"Di penginapan ini cuma kami bertiga saja, Mbak. Tono sudah saya anggap seperti anak sendiri. Jadi, kalau ada apa-apa sama dia, nanti saya juga yang kesulitan."

Aku memaksakan seulas senyum. Satu hari lagi terbuang tanpa bisa melihat wajah Gilang. Aku mulai frustasi tapi setidaknya ada sebuah petunjuk yang mendekatkan kami secara emosional.

Keluarga kami memang sama-sama bermasalah.

"Baiklah, Bu. Kalau bisa, saya mau menempati kamar yang ditinggali Gilang kemarin."

Murni mengangguk, "Baik, Mbak. Cuma kamar mandinya memang agak bermasalah. Nanti kalau perlu, pakai kamar mandi saya saja."

Bu Minah lalu berdiri dan menawarkan bantuan untuk menunjukkan kamar yang akan kutempati. Aku mengangguk dan berjalan mengekorinya.

Penginapan itu memiliki satu koridor yang panjang. Anak tangga ada di pojok koridor. Setiap koridor terdapat empat kamat yang berukuran cukup besar.

Kami naik tangga menuju lantai dua dan  berhenti di depan pintu kedua dari kanan. 

Bu Minah membuka pintu kamar dan menekan saklar untuk menyalakan lampu.

"Terima kasih, Bu." Kataku saat memasuki ruangan itu.

Ada sebuah ranjang besar dan dua buah lemari dengan pintu kaca di dalam kamar bertembok putih tersebut. 

Jendela kamar menghadap persis ke kebun jagung. Aku mengingatkan diri untuk menutupnya dengan gorden.

Persetan dengan pemandangan perdesaan. Tapi sejak tadi bayangan mengenai film horor di kebun jagung itu membuatku terngiang. Berani sumpah, aku bukanlah penakut. 

Bukannya pergi, tapi perempuan itu malah menutup pintu lalu berjalan mendekatiku. "Tadi karena ada Murni, ibu enggak berani bicara banyak. Dia paling ndak suka kalau keluarga temennya itu dijelek-jelekkan padahal Mbak ini 'kan perlu tahu segalanya."

"Tidak apa-apa, Bu. Saya sudah cukup mengerti mengenai kondisi keluarga Gilang."

Ia menggelengkan kepalanya, "Ada satu lagi yang belum Ibu ceritakan. Kalau seandainya keluarga Gilang meminta Mbak Delilah untuk menginap, langsung tolak saja. Begitu juga kalau ditawari makan atau minum. Kalau bisa begitu kesana, langsung ajak Gilang pulang ke Jakarta. Atau menginap di sini dulu juga, ndak apa-apa."

"Memangnya kenapa ya, Bu?"

"Ya, buat berjaga-jaga saja, Mbak. Siapa tau dicampuri sesuatu."

Aku nyaris tertawa kalau tidak melihat wajah seriusnya. Mungkin dipikirnya aku masih anak kecil, "Seperti obat tidur gitu ya, Bu?"

"Kalau cuma tidur sebentar ya ndak apa-apa. Tapi susah kalau tidur selamanya."

"Apa?!"

"Keluarganya Gilang itu paling ndak suka sama orang luar. Pergaulan mereka ya cuma sebatas di keluarganya saja. Sama sekali ndak pernah mau kumpul-kumpul sama warga sekitar."

"Selama saya bersama Gilang, semuanya akan aman."

"Selama Mbak bersama Tuhan, semuanya akan aman," koreksinya sambil tersenyum tipis. "Kalau seandainya Gilang tidak ada langsung pulang saja kesini. Nanti saya mintakan nomor telepon Tono untuk Mbak."

Aku merasa cukup tersentuh mendengar ucapannya yang separuh terdengar paranoid sedangkan sisanya hanya ada ketulusan.

"Jaga diri baik-baik, ya, Mbak."

Lalu dia mengenggam tanganku sebentar sebelum pergi sambil tersenyum hangat.

Aku membuka tanganku dan mendapati sebuah gunting serta sebuah plastik berisi bunga disana.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status