Share

18. Secret

Author: Black Aurora
last update Last Updated: 2024-03-05 00:27:18

"Dexter, stop..."

Jelita merasa melayang dan mendesah dengan penuh hasrat, namun di saat yang bersamaan ia sadar kalau ini tidak benar.

Mereka sedang bermesraan di pinggir jalan raya yang penuh dengan lalu lalang kendaraan!

Meskipun kaca Maserati ini sangat gelap, tetap saja bercinta di mobil sangat berisiko ketahuan dan pelakunya pun pasti akan dipermalukan.

Jelita menjambak kuat rambut caramel lebat milik Dexter yang sedang berada di dadanya, membuat kepala lelaki itu sedikit menjauh dari bukit lembut milik Jelita yang terpampang terbuka dan sedang ia manjakan tadi.

"Stop, please. Ini di jalan raya," pinta Jelita dengan napas yang masih terengah akibat belaian lidah Dexter yang liar menjelajahi dadanya.

Dexter tidak bisa menyembunyikan senyum lebarnya melihat wajah Jelita yang merona. Ia mengecup singkat dua puncak pink basah yang menggemaskan itu sebelum mengangkat pinggang Jelita dan meletakkan tubuhnya kembali ke kursi penumpang di sampingnya.

"Kamu benar, Sayang. Lagipula kita tidak bisa bebas bergerak di sini. Hmm... aku juga suka sekali jambakanmu tadi," ucap Dexter sambil melemparkan kerlingan nakal pada Jelita.

"Maaf, sakit ya?" tanya Jelita sambil meringis. Tangannya bergerak ke arah kancing baju seragamnya.

Dexter menahan tangan Jelita. "Tidak, jangan dikancing," larangnya. "Biarkan saja terbuka seperti itu. Seksi. Aku suka."

Jelita mendelik mendengar permintaan Dexter yang nyeleneh itu. "Kalau dilihat orang lain, gimana?"

"Jangan khawatir. Kaca mobil ini super gelap kok, nggak akan terlihat dari luar."

Jelita sebenarnya tahu itu. Tapi ia enggan dan rikuh membiarkan bagian sensitifnya terekspos di dalam mobil yang sedang melaju kencang di jalan raya. Rasanya aneh.

Dexter pun mulai menjalankan setirnya dengan bersemangat. Sesekali ia melirik ke arah dada Jelita yang cantik dan menantang itu sambil mengulum senyum puas.

Sangat menyenangkan menyetir dengan disuguhi pemandangan indah seperti ini. Jelita benar-benar seksi sekali.

***

Hari telah menjelang malam saat Jelita dan Dexter sampai di rumah. Dengan perlahan, Dexter mengancingkan baju Jelita yang masih terbuka, karena gadis itu telah tertidur di mobil setengah jam yang lalu.

Lelaki itu menggendong Jelita keluar dari mobil menuju lift ke kamar mereka di lantai empat, setelah sebelumnya mengatakan kepada Bi Ani asisten rumah tanggak untuk membawakan makan malam mereka ke kamar saja.

Sesampainya di kamar, Dexter membuka semua baju Jelita dan menggantinya dengan piyama lembut berwarna pink.

Jangan ditanya kepada Dexter sesulit apa menanggalkan baju seorang gadis yang menggairahkan tanpa melakukan apapun pada tubuhnya.

Kepalanya saja sampai berdenyut nyeri menahan nafsu yang menggelegak untuk menerkam Jelita.

Dexter cukup bangga dengan dirinya karena berhasil menggantikan baju kekasihnya tanpa sedikit pun membuat Jelita terbangun, meskipun dirinya yang malah jadi banjir keringat.

Sambil tertawa pelan, ia pun beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri sekaligus untuk meredam hasratnya kepada Jelita.

***

"Bagaimana jika minggu depan?"

Jelita membelalakkan mata mendengar tawaran Dexter yang berencana menggelar pesta pertunangan mereka. "Minggu depan? Tapi apa tidak terlalu mendadak?"

Hari Sabtu pagi ini Jelita libur sekolah, maka mereka berdua memutuskan untuk bermalas-malasan di tempat tidur sebelum mandi dan sarapan sambil berdiskusi mengenai penentuan tanggal pertunangan.

"Aku mengenal EO yang sangat profesional. Bahkan ia bisa dengan mudah menyelenggarakan acara dalam beberapa jam saja," tukas Dexter santai. "Lagipula, acara ini hanya akan mengundang keluarga dan beberapa teman dekat, Jelita. Tidak akan ada wartawan dan media sesuai keinginanmu."

Jelita tersenyum. Ia lega sekali karena Dexter mengabulkan keinginannya, dan Heaven juga tidak merasa keberatan dengan hal itu.

Sementara William--ayah Dexter--sampai sekarang ia belum pernah bertemu sama sekali, namun sepertinya calon papa mertua Jelita itu juga tidak keberatan.

"Oh, shit!!"

Jelita tersadar dari lamunannya saat mendengar Dexter mengumpat kesal sambil menatap ponsel di tangannya. "Mom mengirim pesan jika hari ini dia akan berkunjung untuk sarapan bersama," erang Dexter muram.

Padahal ia bermaksud menghabiskan Sabtu ini dengan berolahraga di kasur dan jalan-jalan santai dengan Jelita.

"Sejak Mom mengenalmu, tiba-tiba saja ia lebih sering kemari. Sepertinya ia benar-benar menyukaimu, Sayang." Dexter mengecup lembut puncak kepala Jelita.

"No wonder. Sangat mudah untuk menyukai seseorang yang semenakjubkan dirimu."

"Gombal, ih!" seru Jelita sambil terkikik geli. Akhir-akhir ini hatinya begitu berbunga-bunga.

Ia mendapatkan curahan cinta yang begitu besar dari Dexter serta perhatian dari Heaven yang selama ini tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Jujur ada perasaan takut yang terbersit di hati Jelita. Takut jika ini semua ternyata hanya mimpi, dan ia pun akan terbangun di pagi hari dalam rasa perih dan sendiri.

Jelita terkejut saat Dexter tiba-tiba menindih tubuhnya sambil tersenyum lebar ala devil. "Dexter, tante mau ke sini, kan? Kita harus mandi dan... hmmpp!!!" Jelita tidak bisa melanjutkan ucapannya karena Dexter telah membungkam mulutnya dengan lumatan-lumatan ganas.

Dexter juga melancarkan serangan ke balik celana piyama pink Jelita, jemarinya merayap dan bergerilya liar di lembah hangat gadis itu hingga membuat Jelita mendongak, memejamkan mata dan mendesah, lalu menjeritkan nama kekasihnya.

Dexter tersenyum puas karena berhasil membuat Jelita terseret gairah yang dengan sengaja dihembuskannya. Lelaki itu tidak peduli lagi sekalipun ibunya datang dan ikut menyaksikan mereka bermesraan.

Dexter harus menyalurkan hasratnya sekarang jika hari ini ia masih ingin berpikir jernih.

Ia menggigit pelan bibir Jelita yang telah bengkak akibat perbuatannya. Ia akan melebur bersama Jelita, mendesah bersama, dan menyambut datangnya puncak kenikmatan bersama.

***

Heaven kesal sekali karena telah lama menunggu Dexter dan Jelita untuk sarapan bersama di ruang makan. Waktu telah menunjukkan pukul sembilan, baginya itu sangat terlambat untuk sarapan. Dan ia yakin pasti Dexter yang membuatnya menunggu selama itu.

"Akhirnya kalian turun juga," sungut wanita itu saat melihat Dexter dan Jelita yang keluar dari lift sambil bergandengan.

Jelita langsung berlari kecil menyambut Heaven dan mencium tangan wanita itu dengan khidmat. "Maaf sudah membuat tante menunggu," sesalnya sambil melirik Dexter yang terlihat berjalan santai.

Pandangan Heaven seketika melembut saat menatap Jelita yang mencium tangan dan memeluknya hangat. Rasanya seperti memiliki Destiny--anak perempuannya yang telah meninggal--kembali ke hadapannya.

"Apa kabar, Jelita? Dexter tidak berbuat kasar padamu, kan?"

"Mom, apa bagimu aku ini seorang penjahat? Kenapa Mom selalu saja memastikan kalau aku tidak mengasari Jelita?" tukas Dexter tersinggung.

Ia telah duduk di meja makan di seberang Heaven dan menatap ibunya dengan cemberut. "Dan Jelita, tolong duduklah di sampingku!" protesnya kesal saat melihat gadisnya malah memilih untuk duduk di samping ibunya.

"Jangan, di sini saja," cegah Heaven saat melihat Jelita hendak berdiri untuk pindah duduk di samping Dexter.

"Kita kan jarang bertemu. Tak ada salahnya untuk duduk berdampingan seperti ini. Jangan terlalu memonopoli Jelita, Dexter!" ucap Heaven sambil mendelik kepada anaknya.

Jika saja duduk mereka berdekatan, pasti wanita itu sudah menggeplak kepala anaknya yang menyebalkan itu.

Akhirnya Jelita kembali duduk sambil melirik ke arah Dexter yang terlihat jengkel tapi tak bisa melakukan apa-apa. Untung saja sebelumnya mereka sudah bercinta dengan begitu panas, sehingga kekesalan Dexter sedikit terobati melihat perhatian Jelita yang sekarang tertuju hanya kepada ibunya.

Sudahlah. Sebaiknya ia mengalah saja. Toh nanti Jelita akan menjadi miliknya lagi yang bisa bebas ia perlakukan seperti apa pun saat ibunya pulang.

Awas saja. Tidak akan Dexter biarkan Jelita turun dari tempat tidur saat nanti tinggal mereka berdua saja tanpa Mom yang mengganggu mereka lagi.

Setelah selesai sarapan, Dexter pamit sebentar untuk bertemu dengan temannya.

"Jelita tidak perlu ikut, kan?" tanya wanita berambut pirang gelap itu dengan sorot penuh harap menatap Dexter.

"Ya. Aku sengaja membiarkan Mom bersama Jelita sampai puas. Mom ke sini hanya karena ingin bertemu dengan Jelita, kan?" sindir Dexter sambil mengenakan jaket kulit dan mengambil kunci mobilnya.

Heaven tersenyum manis kepada anaknya. Wanita itu mengantarkan Dexter menuju mobil sambil menggamit lengan anaknya. "Thanks, Dex. You are so thoughtful. Mom juga senang sekali akhirnya kamu bisa melupakan Wiona dan memilih Jelita."

Langkah Dexter mendadak terhenti mendengar ibunya menyebut nama terkutuk itu. Nama yang membuatnya sangat gusar.

"Don't say that name again, Mom," tukas Dexter dingin.

Heaven terdiam melihat ekspresi datar anaknya. "Apa... Jelita sudah tahu soal wanita itu?" tanya Heaven lagi. "Kamu akan bertunangan dengannya, jadi ada baiknya jujur soal wanita itu, Dex."

"Untuk apa?" sergah Dexter dengan nada yang tak kalah dinginnya dari sebelumnya. "Aku tidak sudi menyebutnya maupun mengingatnya lagi!"

Heaven menghela napas. Ia sekarang menyadari kalau Dexter ternyata masih menyimpan rasa sakit hati kepada Wiona, si wanita iblis yang telah mempermainkan anaknya.

Namun hal itu malah membuat Heaven makin khawatir. Entah kenapa, ibunya merasa bahwa jauh di sudut hatinya yang terdalam, anak lelakinya itu sepertinya masih menyimpan rasa untuk Wiona.

Tidak. Itu tidak boleh terjadi. Dexter tidak boleh tergoda kembali pada Wiona. Heaven akan melakukan apa pun agar Wiona tidak mendekati Dexter lagi.

Jelita sedang menerima telepon dari Bu Dira, sehingga ia tidak ikut mengantarkan Dexter. Beberapa menit kemudian gadis itu menyusul Heaven yang sedang duduk santai di gazebo di taman belakang rumah.

"Dexter sudah berangkat, Tante?" Jelita menyapanya sambil ikut duduk bersila di bawah kaki Heaven yang sedang duduk di kursi kayu.

Ia mengambil makanan ikan di dalam botol, dan melemparkannya ke kolam di bawah gazebo. Jelita tersenyum senang saat melihat puluhan ikan koi yang berkecipak ribut di air berebut makanan.

Heaven mengelus lembut kepala Jelita, membuat gadis itu mendongak dan tersenyum padanya. "Jangan panggil tante lagi. Cobalah memanggilku 'Mom', Jelita," pinta Heaven.

Mata bening hitam itu pun membola, membuat Heaven tersenyum kagum melihat manik yang berkilauan di sana.

"M-mom..." lidah Jelita terasa gatal menyebut istilah yang terasa begitu asing baginya. Mom... mama... ibu... selama ini yang dianggap ibu bagi Jelita hanya Bu Dira, dan ia juga harus berbagi ibu dengan belasan adiknya yang lain.

Dan saat Heaven memintanya untuk memanggilnya "Mom", sesuatu yang ada di dalam diri Jelita seperti terbangun, dan menangis.

"Mom..." ulang Jelita dengan mata berkaca-kaca sambil tersenyum kepada Heaven. "Itu adalah kata paling indah di dunia ini," ucapnya lirih, sebelum Heaven menarik tubuhnya dan memeluknya erat.

"Bolehkah aku menganggapmu anak dan bukan calon menantu, Jelita?" tanya Heaven setelah ia mengurai pelukan mereka. "Mungkin kamu sudah tahu dari Dexter soal Destiny--adiknya yang meninggal di usia 10 tahun, kan?"

Jelita mengangguk perlahan. Destiny yang meninggal karena penyakit kelainan katup jantung sejak lahir.

"Usianya pun tak jauh darimu jika ia masih hidup, tujuh belas tahun," tutur Heaven menerawang. "Kamu tahu? Kulitnya yang bening dan mata hitamnya mirip sekali denganmu. Sifatnya juga manis sama sepertimu. Aku... aku seperti melihat Destiny pada dirimu, Jelita," ucapnya dengan suara serak.

Jelita pun buru-buru memeluk Heaven yang jiwanya terlihat seperti akan hancur berantakan. Seorang ibu yang telah kehilangan anaknya, separuh jiwanya.

"Aku tidak tahu apakah aku pantas. Tapi jika Mom berkenan, maka anggaplah aku sebagai Destiny," bisik Jelita lembut.

"Berjanjilah apa pun yang terjadi, kamu akan tetap memanggilku Mom. Jangan pernah memanggilku dengan istilah yang lain, bagaimanapun akhirnya hubunganmu dengan Dexter. Entah itu berakhir baik atau... berbeda."

Jelita mengernyit. Berakhir berbeda? Apa maksudnya?

Heaven menghela napas berat dan menatap Jelita lekat. "Dengarkan baik-baik, Jelita. Ada satu hal yang harus kamu ketahui soal Dexter sebelum kalian bertunangan. Soal masa lalu Dexter... dengan seorang wanita bernama Wiona."

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • The Seductive Revenge   154. End Of The Journey

    "Ya, aku di sana, Sayang. Saat Anaya lahir, aku memanjat dinding rumah sakit dan duduk dengan cemas di ruang sebelah. Mendengar semua rintihan kesakitanmu, dan mendengar tangisan pertama anak perempuan kita." *** Sehabis Dexter dan Jelita bertemu dan bercinta semalaman, paginya lelaki itu langsung menemui anak-anak serta seluruh keluarganya. Tentu saja mereka semua sangat kaget, namun juga terharu dan menangis penuh rasa bahagia melihat Dexter bisa kembali berkumpul bersama mereka. Bahkan sejak saat itu Axel, Aireen, Ellard dan Ellena selalu ingin tidur di kamar orang tuanya, bersempit-sempitan dalam satu ranjang master bed. Jelita hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala dan tersenyum melihat kelakuan anak-anaknya yang seperti tidak mau berpisah lagi dengan Daddy mereka. Seperti juga malam ini. Meskipun malam ini sudah malam ke-lima kembalinya Dexter ke rumah, empat anak mereka itu masih saja rela tidur bersempit-sempit di ranjang Jelita dan Dexter. Untung saja ranjang itu

  • The Seductive Revenge   153. The Unity Of Love

    Jelita menatap dengan segenap penuh kerinduan pada manik karamel yang selalu membuatnya terbuai, tenggelam dalam kedalamannya yang seakan tak berdasar itu. Ada begitu banyak pertanyaan yang berkecamuk di dalam hati Jelita, namun entah mengapa kali ini seolah bibirnya terkunci.Hanya desah tercekat yang lolos dari bibirnya ketika Dexter menggores bibirnya di leher Jelita yang seharum bunga. Kesepuluh jemari wanita itu telah terbenam di dalam kelebatan rambut Dexter yang sedikit lebih panjang dari biasanya, wajahnya mendongak dengan kedua mata yang terpejam rapat.Lelaki itu menyesap kuat lehernya bagaikan vampir kehausan yang membutuhkan darah segar agar ia tetap hidup. Rasa sakit itu begitu nyata, begitu nikmat dirasakan oleh Jelita. Untuk kali ini, ia benar-benar tak keberatan jika Dexter menyakitinya. Jelita justru ingin disakiti, ia bahkan tidak akan menolak jika Dexter ingin membawanya ke dalam Love Room dan membelenggunya dengan rantai besi lalu menyiksanya seperti Dexter di

  • The Seductive Revenge   152. The Beloved Returns

    Kedua lelaki itu masih terus melakukan baku hantam, tak berhenti saling melancarkan serangan serta pukulan yang mematikan untuk membuat lawannya tak berkutik. Ruangan besar yang biasanya digunakan untuk pertemuan para anggota Black Wolf itu pun kini tak berbentuk lagi. Meja lonjong panjang dari kayu jati itu telah terbelah, setelah Dexter melemparkan tubuh Kairo ke atasnya. Potongan-potongan kayu itu pun mereka jadikan senjata yang cukup berbahaya karena ujung-ujung patahannya yang runcing.Dexter telah merasakannya, karenq Kairo menusuk kakinya dengan kayu runcing iti ketika ia lengah.Dua puluh kursi yang berada di sana pun menjadi sasaran untuk dijadikan senjata. Pertempuran itu benar-benar sengit. Kairo melemparkan kursi terakhir yang masih utuh kepada Dexter yang sedang terjengkang setelah sebelumnya terkena tendangan, namun untung saja di detik terakhir dia masih sempat menghindar.Dengan sisa-sisa tenaganya, Dexter menerjang tubuh Kairo dan menjatuhkannya ke lantai, lalu b

  • The Seductive Revenge   151. The Sight of You

    Rasanya setiap sendi di kaki Jelita mau lepas dari engselnya, tapi ia abaikan semua rasa sakit itu dan terus saja berlari, untuk mengejar sesosok tinggi yang ia rindukan dan telah berada jauh di depannya.Aaahhh, sial... sekarang lelaki itu malah menghilang!!Dengan napas yang tersengal, Jelita berhenti di depan pintu sebuah cafe untuk bersandar sejenak di tiang putih besarnya. Berlari dengan heels 5 senti sambil membawa tas dan dokumen tebal benar-benar sebuah perjuangan.Ditambah lagi sudah sebulan terakhir ini dia juga jarang berolahraga. Lengkaplah sudah.Sambil mengatur napasnya yang berantakan, Jelita mengamati spot terakhir dimana Dexter terakhir terlihat. Atau mungkin, orang yang sangat mirip dengan Dexter Green, suaminya yang telah meninggal dua tahun yang lalu. Tidak, itu pasti Dexter. Jelita sangat yakin lelaki yang barusan ia lihat adalah Dexter!Jelita tak tahu apa yang ia rasakan saat ini, karena hatinya serasa ditumbuhi bunga yang bermekaran namun juga sekaligus dina

  • The Seductive Revenge   150. The Unhealed Wounds

    Cuma ngingetin, ini novel yang 100% happy ending ya. Jadi... jangan kaget baca bab ini. Peace.***Tubuh Jelita membeku dengan tatapan kosongnya yang lurus terarah pada pusara penuh bunga di hadapannya. Tak ada satu pun isak tangis yang keluar dari bibir pucat itu, karena airmatanya telah mengering.Tubuh dan hatinya kini telah kebas, menebal dan mati rasa.Ini terjadi lagi. Untuk yang kedua kalinya.Apakah dirinya pembawa sial? Apakah dirinya memang tidak ditakdirkan untuk bahagia?Apakah dia tidak layak untuk mendapatkan cinta yang begitu besar dari seseorang yang luar biasa? Dulu Zikri, dan sekarang...Sekarang...Jelita mengangkat wajahnya yang pucat dan melihat Heaven yang berada di seberangnya. Wanita itu tengah tersedu dengan sangat pilu, sementara William terus memeluk dan berusaha menenangkan istrinya.Seketika Jelita pun merasa iba. Heaven telah kehilangan putrinya, dan kini kejadian itu pun terulang kembali. Dia kehilangan putranya.'Maafkan aku, Mom.' 'Putra tercinta

  • The Seductive Revenge   149. The Alpha Of Black Wolf

    Jelita menatap lelaki paruh baya yang sedang terbaring diam itu dengan tatapan sendu. Matanya terpejam rapat, alat bantu napas menutup sebagian wajahnya dan beberapa infus terlihat menancap di tubuhnya. Ayahnya berada dalam kondisi koma. Pukulan keras yang beberapa kali menghantam kepalanya membuat otaknya mengalami trauma. Wajahnya penuh lebam dan luka, begitu pun sekujur tubuhnya. Robekan di sepanjang lengannya bahkan harus dioperasi karena merusak banyak syaraf-syaraf penting.Wanita itu pun kembali terisak pelan ketika mengingat penyiksaan keji kepada ayahnya itu. Seorang ayah yang baru ditemuinya setelah tiga puluh satu tahun hidupnya. Seorang ayah yang sempat ia benci ketika mengetahui kisahnya di masa lalu."Ayah, maafkan aku..." lirih Jelita sambil terus terisak. Ia mengunjungi Allan menggunakan kursi roda dengan diantarkan oleh suster jaga. Heaven pulang sebentar untuk melihat anak-anak Jelita di rumah, sekaligus membawa barang-barang yang diperlukan untuk rawat inap me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status