Beranda / Romansa / The Seductive Revenge / 17. Call Me Dexter

Share

17. Call Me Dexter

Penulis: Black Aurora
last update Terakhir Diperbarui: 2024-03-03 22:35:06

Bel istirahat siang berbunyi.

Dan seperti biasa, Jelita tidak ikut ke kantin karena Dexter telah membekalinya makanan dari rumah yang dimasak oleh Bi Ani, asisten rumah tangga di rumah Dexter.

Lelaki itu hanya ingin memastikan bahwa Jelita hanya akan memakan makanan yang bergizi dan sehat.

Kevin mendatangi kelas Jelita dan melihat Zikri yang masih duduk santai di kursinya, di samping Jelita.

"Kamu nggak ke kantin, Zik?" sapa Kevin sambil melirik ke arah bekal makanan Jelita yang terlihat lezat.

Zikri menggeleng. "Nanti juga akan ada yang memberiku makanan," tukasnya santai sambil melipat kedua tangannya menumpu di belakang kepala.

Zikri memang disukai banyak cewek di sekolah. Dia kaya dan tampan, sehingga banyak yang ingin menjadi pacarnya.

Dan benar saja, tidak berapa lama kemudian dua orang cewek dari kelas lain masuk ke dalam kelas mereka, dengan malu-malu memberikan bekal makanan bento ala Jepang dan minuman boba untuk Zikri.

Zikri sengaja memberikan senyum manis terbaiknya dan mengucapkan terima kasih, membuat duo fans-nya itu pun berlalu dengan wajah yang berseri-seri.

"Dasar playboy!" umpat Kevin sambil melengos.

Jelita hanya tersenyum kecil melihat Kevin yang sepertinya iri dengan Zikri. "Vin, ayo sini makan sama aku saja. Bekalku terlalu banyak, nggak bakalan habis kalau dimakan sendirian," ajaknya sambil memberikan sendoknya kepada Kevin yang serta-merta langsung sumringah.

Tiba-tiba Zikri merebut sendok itu dari tangan Jelita sebelum Kevin sempat meraihnya.

'Berbagi makanan dengan Jelita pasti menyenangkan,' pikirnya.

Zikri pun menyodorkan bekal yang tadi ia terima dari fans-nya kepada Kevin. "Nih, buat kamu aja. Aku nggak suka bento," tukasnya cepat sambil menyuapkan makanan Jelita ke dalam mulutnya.

Jelita mendelik kepada Zikri. "Siapa yang nawarin kamu sih?" sungutnya jengkel. "Lagian itu pedes loh. Aku dan Kevin kan satu selera sukanya yang pedes. Kamu tahan nggak?"

Kevin pun terbahak puas melihat kulit wajah Zikri yang putih tiba-tiba menjadi semerah tomat karena kepedesan. "Sukurin! Rasakan pedasnya ayam cabe judes kesukaan Jelita! Hahaa!!"

Jelita membuka tutup botol air mineral dan mengangsurkannya kepada Zikri yang terlihat menderita. Sambil terbatuk-batuk, anak lelaki itu pun buru-buru minum seperti orang yang kehausan.

"Panas!" seru Zikri sambil membuka baju seragamnya, membiarkan kaus putih lengan pendek yang mulai basah oleh keringatnya terlihat.

"Makanya jangan asal comot," cetus Jelita sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Mana aku tahu kalau kamu sukanya makan makanan yang bukan diperuntukkan bagi manusia?" cetus Zikri kesal.

Sialan! Padahal tadinya ia ingin kelihatan mesra satu bekal berdua dengan Jelita!

"Kamu aja yang cemen! Pedes segini aja nggak kuat," cemooh Kevin sambil mengulurkan bekal yang tadi diberikan Zikri padanya. "Nih. Ambil lagi bento-nya!"

Meskipun enggan melepaskan kesempatan bisa makan satu tempat bekal dengan Jelita, Zikri terpaksa menerima kembali bento-nya dengan berat hati. Dari pada dia nggak makan siang?

"Nanti jadi ke toko dan panti, nggak?" tanya Kevin pada Jelita yang sama-sama menikmati bekal nasi ayam cabe judes dan telor dadar.

Jelita mengangguk. "Jadi sih... tapi Kak Dexter yang mau mengantarku, Vin," tukas Jelita memberitahu.

Kevin menghela napas. Sebenarnya ia sudah yakin kalau pacar tajirnya Jelita itu tidak akan rela jika kekasihnya bersama lelaki lain, melihat betapa posesifnya dia waktu mereka bertemu di pantai waktu itu.

"Mau kemana sih, Ta?" tanya Zikri ikut menimbrung penasaran.

"Ada deh. Kepo banget kamu," sahut Jelita sambil memanyunkan bibirnya.

"Biar aku saja yang antar. Mau kemana juga, hayoklah!" tawar Zikri.

"Makasih, Zik. Tapi jujur lebih baik aku naik motor dengan Kevin daripada naik mobil mewahmu," tandas Jelita pedas.

"Cih. Bukannya kamu juga bolak-balik naik mobil mewah bersama Dexter?" sindir Zikri. "Mengakulah, Jelita. Dexter itu bukan Kakak Asuhmu, kan? Siapa sih dia itu bagimu?"

"Hei. Nggak usah kepo. Urus saja urusanmu sendiri," tegur Kevin mengingatkan sambil menatap tajam Zikri.

Zikri pun hanya mendengus mendengarnya. Dalam hati ia berjanji akan mencari tahu apa hubungan antara Jelita dan Dexter Green yang sebenarnya.

***

Sesuai rencana, Dexter mengantarkan Jelita ke toko kue Cheese & Us tempatnya bekerja dulu untuk menyerahkan surat pengunduran diri kepada Pak Andrew, Manager toko.

Kedatangan Jelita juga membuat Tania menjerit bahagia. Ia kangen sekali dengan temannya itu.

Dexter ikut memperkenalkan diri kepada Tania dan Pak Andre sebagai calon tunangan Jelita, yang tentu saja membuat semua orang bengong.

Saat Dexter dan Pak Andrew berbincang-bincang, Tania menarik tangan Jelita ke bagian gudang yang sepi untuk menginterogasinya.

"JELITAAA!! Seriuss ini kamu mau tunangaaan??!!!" Tania tak dapat menahan teriakan histerisnya sambil menaruh tangannya di pipi.

"Sama Dexter Green pulaa?? DEXTER GREEN??! Oh My God! Kenapa aku yang rasanya mau pingsan?!" Tania masih saja jejeritan seperti orang gila.

"Ssst... Kak Tania, jangan bilang siapa-siapa dulu ya? Baru Kevin, Kak Tania dan Pak Andrew saja yang tahu," ucap Jelita sambil celingukan menoleh ke kanan dan kiri.

"Loh, memangnya kenapa?"

"Uhm... nanti deh aku cerita lagi. Yang pasti ini rahasia." Jelita tidak ingin sampai teman-teman sekolahnya tahu, karena dia terlanjur mengatakan bahwa Dexter Green adalah Kakak Asuhnya.

Pasti teman-temannya makin mem-bully Jelita jika tiba-tiba mereka mengetahui Dexter bertunangan dengannya.

Uh. Jelita jadi merinding. Mungkin dia akan dianggap telah menggoda Dexter.

Apalagi jika berita ini sampai bocor ke media. Ia benar-benar tidak siap menghadapinya. Dexter Green bukan orang biasa, sementara dirinya cuma rakyat jelata.

Jelita masih takut menghadapi komentar miring tentang dirinya yang anak yatim piatu dan telah diusir dari Panti Asuhan.

Tania menatap Jelita penuh tanda tanya. Meskipun ia merasa ada yang aneh, tapi ia juga berusaha untuk mengerti dan memaklumi.

"Lalu kapan pesta pertunangan kalian? Kamu harus mengundangku, oke? Aku akan sangat marah kalau tidak!"

"Siaap laksanakan, kakak seniorku yang cantik!" goda Jelita dengan gaya memberi hormat. Mereka pun tertawa bersama sembari kembali asyik bercerita.

***

Jelita dan Dexter telah sampai di Panti Asuhan Cinta Kasih, dan Jelita belum pernah merasa segugup ini.

Dexter bahkan bisa merasakan kekhawatiran calon tunangannya itu. Ia menggenggam erat tangan Jelita saat mereka turun dari mobil untuk berjalan masuk ke halaman panti yang tidak terlalu luas itu.

Tangan kiri Dexter menggandeng Jelita, sementara tangan kanannya membawa beberapa paperbag besar yang berisi mainan, boneka, buku, baju, peralatan menulis dan snacks untuk adik-adik asuh Jelita di panti.

Beberapa anak kecil berteriak memanggil nama Jelita, dan berlarian menyongsong gadis itu serta memeluknya erat.

Betapa Jelita merindukan mereka, adik-adiknya yang biasa ia temui tiap hari, namun kini tidak lagi.

Dexter melepaskan genggaman tangannya, membiarkan Jelita melampiaskan rasa kangen dengan adik-adik pantinya.

Mereka juga terlihat bahagia saat mendapatkan hadiah dari Dexter, dan berebut untuk menyalami dan memeluk lelaki itu sebagai ucapan terima kasih.

"Lita?"

Jelita tahu satu-satunya orang yang memanggilnya dengan nama itu, dia adalah Bu Dira. Wanita itu berdiri di depan pintu rumah panti, menatap Jelita dengan mata berkaca-kaca.

Jelita pun berlari ke arah ibu asuhnya, menubruk tubuhnya serta memeluknya sambil terisak. "Buuu... Lita kangen sama ibuu...," ucapnya di antara tangis kencangnya.

Mereka pun saling berpelukan erat dalam isak tangis, untuk memaafkan dan melupakan.

Bu Dira melepaskan pelukan mereka, dan mengusap lembut pipi Jelita yang telah basah oleh air mata.

"Maafkan Ibu, Lita... maaf... apa waktu itu kamu kesakitan? Ibu sudah jahat sama kamu..." ungkapnya penuh penyesalan.

"Kamu baik-baik saja, kan? Apa makan dan tidurmu baik?"

Jelita mengangguk, tak sanggup menjawab pertanyaan penuh perhatian itu yang membuat hatinya seketika menghangat.

Ia pun kembali memeluk tubuh ringkih dan pucat Bi Dira. Wanita itu terlihat kurang sehat, dan itu semakin membuat Jelita merasa bersalah karena baru mengetahuinya.

Ia terlalu takut untuk datang, dan sekarang ia menyesal karena takut.

Kemudian Jelita mengenalkan Dexter kepada Bu Dira, yang disambut dengan seulas senyum teduh dari bibir wanita itu.

Bu Dira kemudian mengusap-usap punggung tangan Dexter, ia mengucapkan terima kasih karena Dexter yang menolong Jelita saat ia nengusirnya waktu itu.

"Bu Dira sakit apa?" tanya Jelita saat mereka bertiga telah masuk ke ruang tamu dan duduk di sofa. Jelita dan Bu Dira duduk di sofa panjang, sedangkan Dexter duduk di sofa single.

Wanita itu tersenyum dan mengusap lembut kepala Jelita. "Ibu baik-baik saja, Lita. Cuma sedikit kecapean saja," sahutnya.

Entah kenapa, Jelita merasa wanita di depannya ini sedang berbohong. Namun ia diam saja dan terus bercakap-cakap dengannya.

Kira-kira satu jam kemudian, Jelita pun pamit untuk pulang. Sambil bergandengan tangan dengan Bu Dira, mereka berjalan beriringan ke pintu keluar.

Jelita kaget ketika melihat Dexter yang sedang bermain bola bersama anak-anak di halaman depan panti. Ia tercengang melihat tawa anak-anak yang bermain bersamanya, serta senyum cemerlang lelaki yang juga kekasihnya itu.

Seketika hatinya pun kembali menghangat.

"Dia lelaki yang hebat, Lita. Orang yang bisa bermain dan tersenyum tulus dengan anak yatim piatu pastilah orang yang berhati lembut," ucap Bu Dira, membuyarkan lamunan Jelita yang sedang terpesona dengan pemandangan di depannya.

Ya, Bu Dira benar. Jelita merasa sangat beruntung karena bertemu dengan Dexter, lelaki yang telah menjungkir-balikkan dunianya sekaligus menyayanginya.

Saat berada di dalam mobil, Jelita menatap lekat-lekat Dexter yang sedang menyetir.

"Kenapa?" tanya Dexter heran ketika menyadari Jelita sedang memandanginya.

Sembari menggelengkan kepala, Jelita tersenyum manis. "Nothing. It's just..."

"Just what?"

"Just want to say, I love you so much, Kak Dexter."

Dexter menginjak rem serta membanting setir, lalu menepikan mobilnya ke bahu jalan. Setelah menyalakan lampu hazard, ia pun menatap Jelita yang terlihat seperti menahan tawa.

"Hei, barusan aku mendengar pernyataan cinta terfenomenal abad ini, tapi kenapa malah kamu ketawa?" sergahnya sambil mengernyit.

"Ngapain sampai berhentiin mobil segala sih? Kaget?" tanya Jelita dengan mata hitamnya yang masih dipenuhi sinar tawa.

"Aku harus berhenti karena menyetir dengan keadaan jantung seperti ini sangat berbahaya," tukas Dexter sambil meraih tangan Jelita dan menempelkan telapak tangan gadis itu di dada bidangnya.

"Kamu bisa merasakannya?"

Wajah Jelita seketika memerah saat ia merasakan jantung Dexter yang berdegup begitu kencang dan cepat.

Ia ingin menarik tangannya dari dada Dexter, namun lelaki itu menguncinya gerakannya. Dexter-lah yang berdebar, tapi entah kenapa malah Jelita yang merasa malu.

"Kak Dexter..."

"Mulai sekarang, panggil aku Dexter."

"Ha?"

"Say it, Jelita," ulang Dexter dengan mata caramel yang berkilau menatap Jelita. "I want to hear you say my name. Say it."

Jelita menelan ludah dengan susah payah. Tenggorokannya mendadak tercekat karena ditatap begitu lembut oleh kekasihnya.

"Um... D-Dexter..."

Tatapan Dexter mengunci pada bibir Jelita yang penuh dan menggoda. "Say iit again."

Jelita pun mengumpulkan napas di dadanya sebelum ia kembali berucap. "Dexter..."

Sekonyong-konyong Dexter melepaskan seat belt-nya dan langsung menerjang bibir Jelita yang sedari tadi membuatnya pusing karena bergairah.

Ia melumatnya dengan keras dan menuntut, penuh dengan euforia karena pengakuan cinta dari Jelita yang begitu menggemaskan sekaligus mendebarkan itu.

"I love you too, Sayang," bisik Dexter di sela-sela kecupan panasnya. Ia menjulurkan tangan untuk melepaskan seat belt Jelita, lalu mengangkat tubuh gadis itu serta mendudukkan ke atas pangkuannya.

"Dexter..." lirih tercekat gadis itu saat Dexter memperdalam ciumannya di leher lembut beraroma white musk milik Jelita, dan terkesiap pelan saat lelaki itu menggigit pelan kulit lehernya.

"Kamu membuatku gila dan ingin memakanmu, Jelita," ucapnya sambil membuka kancing baju seragam gadis itu.

"Dan aku akan melahapmu sekarang."

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • The Seductive Revenge   154. End Of The Journey

    "Ya, aku di sana, Sayang. Saat Anaya lahir, aku memanjat dinding rumah sakit dan duduk dengan cemas di ruang sebelah. Mendengar semua rintihan kesakitanmu, dan mendengar tangisan pertama anak perempuan kita." *** Sehabis Dexter dan Jelita bertemu dan bercinta semalaman, paginya lelaki itu langsung menemui anak-anak serta seluruh keluarganya. Tentu saja mereka semua sangat kaget, namun juga terharu dan menangis penuh rasa bahagia melihat Dexter bisa kembali berkumpul bersama mereka. Bahkan sejak saat itu Axel, Aireen, Ellard dan Ellena selalu ingin tidur di kamar orang tuanya, bersempit-sempitan dalam satu ranjang master bed. Jelita hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala dan tersenyum melihat kelakuan anak-anaknya yang seperti tidak mau berpisah lagi dengan Daddy mereka. Seperti juga malam ini. Meskipun malam ini sudah malam ke-lima kembalinya Dexter ke rumah, empat anak mereka itu masih saja rela tidur bersempit-sempit di ranjang Jelita dan Dexter. Untung saja ranjang itu

  • The Seductive Revenge   153. The Unity Of Love

    Jelita menatap dengan segenap penuh kerinduan pada manik karamel yang selalu membuatnya terbuai, tenggelam dalam kedalamannya yang seakan tak berdasar itu. Ada begitu banyak pertanyaan yang berkecamuk di dalam hati Jelita, namun entah mengapa kali ini seolah bibirnya terkunci.Hanya desah tercekat yang lolos dari bibirnya ketika Dexter menggores bibirnya di leher Jelita yang seharum bunga. Kesepuluh jemari wanita itu telah terbenam di dalam kelebatan rambut Dexter yang sedikit lebih panjang dari biasanya, wajahnya mendongak dengan kedua mata yang terpejam rapat.Lelaki itu menyesap kuat lehernya bagaikan vampir kehausan yang membutuhkan darah segar agar ia tetap hidup. Rasa sakit itu begitu nyata, begitu nikmat dirasakan oleh Jelita. Untuk kali ini, ia benar-benar tak keberatan jika Dexter menyakitinya. Jelita justru ingin disakiti, ia bahkan tidak akan menolak jika Dexter ingin membawanya ke dalam Love Room dan membelenggunya dengan rantai besi lalu menyiksanya seperti Dexter di

  • The Seductive Revenge   152. The Beloved Returns

    Kedua lelaki itu masih terus melakukan baku hantam, tak berhenti saling melancarkan serangan serta pukulan yang mematikan untuk membuat lawannya tak berkutik. Ruangan besar yang biasanya digunakan untuk pertemuan para anggota Black Wolf itu pun kini tak berbentuk lagi. Meja lonjong panjang dari kayu jati itu telah terbelah, setelah Dexter melemparkan tubuh Kairo ke atasnya. Potongan-potongan kayu itu pun mereka jadikan senjata yang cukup berbahaya karena ujung-ujung patahannya yang runcing.Dexter telah merasakannya, karenq Kairo menusuk kakinya dengan kayu runcing iti ketika ia lengah.Dua puluh kursi yang berada di sana pun menjadi sasaran untuk dijadikan senjata. Pertempuran itu benar-benar sengit. Kairo melemparkan kursi terakhir yang masih utuh kepada Dexter yang sedang terjengkang setelah sebelumnya terkena tendangan, namun untung saja di detik terakhir dia masih sempat menghindar.Dengan sisa-sisa tenaganya, Dexter menerjang tubuh Kairo dan menjatuhkannya ke lantai, lalu b

  • The Seductive Revenge   151. The Sight of You

    Rasanya setiap sendi di kaki Jelita mau lepas dari engselnya, tapi ia abaikan semua rasa sakit itu dan terus saja berlari, untuk mengejar sesosok tinggi yang ia rindukan dan telah berada jauh di depannya.Aaahhh, sial... sekarang lelaki itu malah menghilang!!Dengan napas yang tersengal, Jelita berhenti di depan pintu sebuah cafe untuk bersandar sejenak di tiang putih besarnya. Berlari dengan heels 5 senti sambil membawa tas dan dokumen tebal benar-benar sebuah perjuangan.Ditambah lagi sudah sebulan terakhir ini dia juga jarang berolahraga. Lengkaplah sudah.Sambil mengatur napasnya yang berantakan, Jelita mengamati spot terakhir dimana Dexter terakhir terlihat. Atau mungkin, orang yang sangat mirip dengan Dexter Green, suaminya yang telah meninggal dua tahun yang lalu. Tidak, itu pasti Dexter. Jelita sangat yakin lelaki yang barusan ia lihat adalah Dexter!Jelita tak tahu apa yang ia rasakan saat ini, karena hatinya serasa ditumbuhi bunga yang bermekaran namun juga sekaligus dina

  • The Seductive Revenge   150. The Unhealed Wounds

    Cuma ngingetin, ini novel yang 100% happy ending ya. Jadi... jangan kaget baca bab ini. Peace.***Tubuh Jelita membeku dengan tatapan kosongnya yang lurus terarah pada pusara penuh bunga di hadapannya. Tak ada satu pun isak tangis yang keluar dari bibir pucat itu, karena airmatanya telah mengering.Tubuh dan hatinya kini telah kebas, menebal dan mati rasa.Ini terjadi lagi. Untuk yang kedua kalinya.Apakah dirinya pembawa sial? Apakah dirinya memang tidak ditakdirkan untuk bahagia?Apakah dia tidak layak untuk mendapatkan cinta yang begitu besar dari seseorang yang luar biasa? Dulu Zikri, dan sekarang...Sekarang...Jelita mengangkat wajahnya yang pucat dan melihat Heaven yang berada di seberangnya. Wanita itu tengah tersedu dengan sangat pilu, sementara William terus memeluk dan berusaha menenangkan istrinya.Seketika Jelita pun merasa iba. Heaven telah kehilangan putrinya, dan kini kejadian itu pun terulang kembali. Dia kehilangan putranya.'Maafkan aku, Mom.' 'Putra tercinta

  • The Seductive Revenge   149. The Alpha Of Black Wolf

    Jelita menatap lelaki paruh baya yang sedang terbaring diam itu dengan tatapan sendu. Matanya terpejam rapat, alat bantu napas menutup sebagian wajahnya dan beberapa infus terlihat menancap di tubuhnya. Ayahnya berada dalam kondisi koma. Pukulan keras yang beberapa kali menghantam kepalanya membuat otaknya mengalami trauma. Wajahnya penuh lebam dan luka, begitu pun sekujur tubuhnya. Robekan di sepanjang lengannya bahkan harus dioperasi karena merusak banyak syaraf-syaraf penting.Wanita itu pun kembali terisak pelan ketika mengingat penyiksaan keji kepada ayahnya itu. Seorang ayah yang baru ditemuinya setelah tiga puluh satu tahun hidupnya. Seorang ayah yang sempat ia benci ketika mengetahui kisahnya di masa lalu."Ayah, maafkan aku..." lirih Jelita sambil terus terisak. Ia mengunjungi Allan menggunakan kursi roda dengan diantarkan oleh suster jaga. Heaven pulang sebentar untuk melihat anak-anak Jelita di rumah, sekaligus membawa barang-barang yang diperlukan untuk rawat inap me

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status