Dexter memasuki The Coffee Craved, sebuah coffeeshop langganannya dimana pemiliknya adalah Putra, teman SMU-nya dulu.
Ia sudah mengenal para barista dan waitress, bahkan telah memiliki spot tersendiri yang khusus disediakan Putra hanya untuk Dexter.Cukup lama juga ia tidak ke sini. Terakhir kalinya adalah waktu Dexter sedang kesal karena Jelita lebih memilih mengobati luka Kevin daripada pergi dengannya, dan ia hanya bisa duduk di sini sambil mengawasi GPS ponsel Jelita yang masih tidak bergerak dari pantai waktu itu.Sayang sekali temannya Putra hari ini tidak bisa datang dan menemani Dexter di cofeeshop, sehingga ia pun memutuskan untuk menikmati secangkir espresso sendirian sambil mengamati grafik pergerakan saham serta melakukan financial analysis.Ya, Dexter memang berbohong tadi saat mengatakan kepada ibunya bahwa ia hendak bertemu teman. Sebenarnya Dexter hanya memberikan waktu kepada Heaven untuk ngobrol santai dengan Jelita.Ia tahu kalau ibunya menyayangi Jelita dan sudah menganggap gadis itu seperti anak sendiri, karena memang ada beberapa kemiripan Jelita dengan Destiny--adik Dexter yang telah meninggal.Jelita Kanaya.Tanpa sadar, Dexter malah mengetik nama itu di kolom nama saham yang hendak ia beli.Beberapa detik kemudian, ia pun tersadar dan merasa sangat konyol. "Hah? Apa yang kulakukan? Dasar bodoh!" gumannya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Dexter sedang menekan tombol delete, saat sebuah suara halus menyapanya."Who is Jelita Kanaya?"Dexter pun tersentak, dan menoleh pada seorang wanita cantik berambut coklat seleher dengan mata sehijau zamrud. Blus merah yang ia kenakan memiliki belahan dada yang sangat rendah, menonjolkan dua bukit indah yang membuat pandangan terpaku di sana.Begitu pun dengan rok mikro mini yang hanya membalut bagian atas pahanya, membiarkan kaki jenjang dengan kulit yang mulus terpampang nyata.Wanita itu tersenyum manis, lalu dengan perlahan ia menarik kursi di samping Dexter untuk duduk di sana."Ternyata kamu masih suka ke sini, ya?" ucapnya lembut dengan menatap lekat binar mata caramel milik Dexter.Lelaki ini memang selalu terlihat luar biasa tampan, namun kali ini ia terlihat menakjubkan dengan jaket kulit hitam yang melapisi kaus putih bersihnya serta celana jeans santai yang membalut pas kakinya yang panjang.Rahang tegasnya dihiasi sedikit cambang yang mungkin lupa ia cukur pagi ini, ditambah dengan rambut caramel yang lebat dan sedikit acak-acakan itu justru menambah aura maskulin yang terpancar dari tubuhnya."Apa yang kamu lakukan di sini?" tukas sinis Dexter, mengabaikan pertanyaan wanita itu sebelumnya. "Sudah kukatakan untuk jangan pernah menggangguku lagi!""I miss you, Dex. Really miss you," ucap sendu wanita itu. "And I know that you miss me too... am i right?"Dexter mendengus tak percaya. "Don't be so confident, Wiona! It's disgusting," celanya sebelum menutup laptop dan beranjak berdiri.Wiona pun buru-buru menahan tangan Dexter. "Please, Dex. Jangan pergi. Nggak ada salahnya kan kalau kita ngobrol-ngobrol santai?" desahnya dengan suara mendayu.Dulu, Dexter akan langsung terhanyut oleh suara lembut merayu dan binar mata hijau cerah itu. Tapi sekarang tidak. Ia tidak akan kembali tergoda pada Wiona dan rayuan berbisanya."It's over between us. Dan aku juga sudah berulang kali menegaskan, kalau aku tidak pernah ingin melihat wajahmu lagi. Jadi jangan mempermalukan dirimu sendiri lagi, Wiona." Lalu dengan kasar Dexter menepiskan tangan Wiona dari tangannya, dan beranjak menuju pintu keluar coffeeshop dengan wajah tertekuk gusar."Dexter!" Wiona ikut berdiri hendak mengejar Dexter. "Tunggu. Aku ingin bicara..."PRAANG!!!!"Nona!! Apa Anda baik-baik saja?!" teriak seorang waitres dengan suaranya yang keras.Dexter yang sedang memegang handle pintu keluar pun tak pelak menoleh juga untuk melihat apa yang terjadi. Dan seketika matanya terbelalak, saat melihat Wiona yang duduk bertumpu di meja sambil meringis dan mengernyit kesakitan. Pahanya terlihat merah melepuh dan basah terkena tumpahan kopi panas.Sepertinya Wiona menabrak waitres yang sedang membawa pesanan kopi panas saat tadi wanita itu hendak mengejar Dexter.Dengan langkah lebar, Dexter berjalan cepat menuju Wiona dan langsung menggendongnya."Kita ke rumah sakit sekarang," ucapnya datar sambil menghujam mata hijau itu dengan netra caramel berkilaunya. Dexter segera membawa Wiona keluar dari coffeeshop dan masuk ke dalam mobil, dengan sedikit mengebut ia pun berlalu dari situ.***Jelita terdiam dan termangu. Ada semburat nyeri dan perih di hatinya setelah mendengar semua penjelasan Heaven mengenai Wiona, wanita yang membuat Dexter kacau-balau."Jelita, Mom mohon... meskipun Wiona telah membuatnya porak-poranda, tapi jangan pernah menyerah pada Dexter ya? Karena hanya kamu satu-satunya perempuan yang pernah dibawanya ke rumah, Sayang. Dia pasti memiliki perasaan yang begitu mendalam padamu," ungkap Heaven sambil menggenggam erat tangan Jelita, seakan takut jika gadis itu akan menjauh dan pergi.Jelita menghela napas pelan. Kenyataan ini cukup berat baginya, bagi jiwanya yang masih labil dan belum dewasa. Dexter dan masa lalunya bersama Wiona itu terlalu sulit untuk bisa ia pahami.Tadinya Jelita mengira bahwa hubungannya dengan Dexter selama ini terlalu vulgar, asusila, jelas-jelas menentang norma dan agama, meskipun dilandasi oleh rasa saling cinta.Namun apa yang terjadi dengan Dexter dan Wiona bahkan jauh lebih dahsyat dari itu."Aku... ingin istirahat dulu, Mom. Boleh, kan?"Heaven menghela napas pelan. "Baiklah, Sayang. Tapi Mom minta, tolong jangan memutuskan apa pun tanpa berdiskusi dulu dengan Dexter, oke?" pinta wanita itu sambil mengelus lembut kepala Jelita dengan penuh kasih. "Mom benar-benar menyayangimu, Jelita. Maafkan Mom karena harus menceritakan masa lalu Dexter yang kelam dan membuatmu gelisah.""It's okay, Mom. Aku hanya sedikit lelah saja." Jelita memberikan senyum termanisnya kepada Heaven sebelum ia beranjak berdiri dan berjalan masuk kembali ke dalam rumah.Langkahnya begitu gontai saat masuk ke dalam lift, dan seketika ia pun menyandarkan tubuhnya ke dinding lift saat kotak besi itu berjalan naik ke lantai empat, menuju kamarnya. Kepalanya mendadak terasa pusing dan berdenyut.Jelita merebahkan diri saat perkataan Heaven tadi kembali terngiang di pikirannya...***"...Wiona adalah guru les Dexter saat ia masih kelas SMA. Wiona sendiri telah berusia dua puluh dua tahun dan baru saja lulus kuliah. Sambil menunggu panggilan kerja, ia memberikan les untuk anak SMU. Dia adalah adik sepupu Lisa, sekretaris William di kantornya...""...Lalu entah bagaimana dan entah siapa yang memulai, Dexter dan Wiona pun diam-diam menjalin hubungan yang jauh lebih intim dari seorang mentor les dan muridnya...""Dan bukan hanya sekedar intim, tapi Wiona juga mengajarinya hal-hal tabu yang belum saatnya diketahui Dexter yang masih berusia lima belas tahun saat itu," tutur Heaven sambil menahan tangis."Wiona telah membuat Dexter menjadi kecanduan seks dengan kekerasan...""Saat kami mengetahuinya, William langsung mengusir Wiona dan mengancam untuk memenjarakan perempuan itu. Tapi Dexter memohon agar William tidak mengajukan tuntutan apa pun, dengan janji bahwa dia tidak akan berhubungan lagi dengan Wiona.""Masa-masa itu sangat sulit, Jelita. Beberapa kali aku bahkan harus menyelundupkan perempuan malam sebagai pelampiasan nafsu Dexter, hanya agar dia bisa tidur dengan lelap! Dia masih lima belas tahun dan kecanduan seks!" Heaven berucap dengan suaranya yang goyah dan bergetar."Dexter tidak cuma berhubungan, tapi juga menyiksa para wanita itu. Aku harus mengeluarkan uang tutup mulut ekstra dan uang berobat karena kondisi mereka yang berdarah-darah atau lebam saat keluar dari kamar Dexter..."Setelah menarik napas, Heaven pun melanjutkan ceritanya. "Dexter terpaksa home schooling sambil konsultasi dengan psikiater. Dan syukurlah, dua tahun kemudian dia dinyatakan sembuh dan bisa kembali melanjutkan pendidikan di sekolah umum...""Dexter bahkan sempat beberapa kali berpacaran secara nomal dengan teman sekolahnya. Tapi tiba-tiba saja Wiona datang kembali. Aku begitu percaya dengan kesembuhan Dexter hingga abai mengawasinya waktu itu.""Maka kejadian yang sama pun terulang. Dexter dan Wiona diam-diam kembali menjalin hubungan. Meskipun Dexter sudah tujuh belas tahun, tapi Wiona tetap saja pengaruh buruk bagi anak kami. William benar-benar murka waktu itu karena Dexter malah membela wanita iblis itu.""Dexter pun pergi dari rumah, meninggalkan kami, orang tuanya, demi untuk hidup bersama wanita yang telah merusak hidup dan masa depannya..."***Sampai di situ Jelita sudah mulai merasakan pusing yang cukup hebat, sehingga ia tidak terlalu fokus dengan cerita Heaven selanjutnya.Samar-samar yang didengarnya adalah Dexter yang sadar akan kekeliruannya dan kembali ke rumah, meski ia masih berjuang untuk tidak terobsesi pada Wiona lagi. Jalan untuk lepas dari Wiona sepertinya penuh liku dan diwarnai dengan putus-sambung hubungan mereka yang tidak mendapatkan restu keluarga Dexter.Tapi entahlah, Jelita tidak terlalu jelas mendengar Heaven karena ia sudah terlalu pusing.Yang pasti, sekarang beberapa pertanyaan atas beberapa kejanggalan yang ia perhatikan sedikit terjawabSeperti keanehan saat Heaven yang seringkali bertanya kepada Dexter apakah ia menyakiti Jelita, Dexter yang awalnya suka menyakitinya saat bercinta, dan juga panggilan telepon waktu itu dari Wiona kepada Dexter yang membuat lelaki itu seperti gelagapan.Apa jangan-jangan, mereka berdua kembali menjalin hubungan?Uh. Nyeri sekali.Jelita mendekap perutnya yang tiba-tiba terasa sakit. Sepertinya dia memang harus mencoba untuk tidur, siapa tahu nyeri di perutnya hilang.***Hari sudah siang, dan Jelita belum juga terlihat keluar dari kamarnya. Heaven memutuskan untuk naik ke lantai empat tempat kamarnya berada untuk menanyakan kondisi tubuhnya sekalian untuk mengajak makan siang.Saat pintu lift terbuka, Heaven melihat Jelita yang masih tidur di ranjang dengan selimut menutupi seluruh tubuhnya."Are you okay, Jelita?" Heaven berjalan mendekati ranjang sambil mengernyit heran karena Jelita yang masih diam saja. Apa dia tidur?"Hey, Jelita... what's..." seketika ucapan Heaven terhenti saat ia membuka selimut Jelita, menampakkan tubuh penuh keringat dan ringisan sakit dari bibirnya. Matanya terpejam rapat, sementara posisi tubuhnya meringkuk seperti janin di dalam rahim."Jelita! Oh My God! Sayang, ada apa denganmu!" seru Heaven panik. Ia buru-buru menelepon Bi Ani dan drivernya untuk naik ke lantai empat dan membawa Jelita ke mobil. Ia harus dibawa ke rumah sakit sekarang juga.***"Sudah kubilang, aku baik-baik saja."Dexter menatap tajam wanita yang terbaring di ranjang rumah sakit itu dengan nyalang, dan memaki dalam hati. Kenapa ia masih saja terlibat dengan Wiona??Tapi Dexter tidak mungkin membiarkan seseorang yang ia kenal mengalami kesusahan. Mana mungkin ia membiarkan Wiona yang kakinya tersiram kopi panas begitu saja, bukan?Bagaimana pun kacaunya hubungan mereka di masa lalu, toh tetap saja ada masa-masa Dexter merasa bahagia dengannya.Lelaki itu pun menarik napas panjang. "Aku pergi dulu. Sebaiknya kamu menelepon seseorang untuk menjagamu selama masa perawatan di rumah sakit," ujar Dexter dengan kaku. Saat ia beranjak berdiri, Wiona menahannya."Dexter, bisakah kamu menungguku sebentar di sini? Cukup satu jam... atau setengah jam juga nggak apa-apa. Please?" ucap Wiona dengan tatapan penuh permohonan.Dexter pun terdiam. Sebagian hati kecilnya ingin mencekik wanita di depannya ini untuk perbuatannya yang membuat hatinya porak-poranda. Tapi sebagian lagi ia merasa bahwa akan selalu ada nama Wiona terselip di hatinya, meskipun sekarang lebih didominasi oleh nama Jelita.Jelita. Ya, Jelita.Dexter kini sudah memiliki Jelita yang jutaan kali jauh lebih baik dari Wiona. Dan Dexter tidak boleh membiarkan Wiona kembali menguasainya seperti dulu. Ia sudah lebih dewasa sekarang, bukan anak kecil yang selalu dibodohi oleh Wiona.Dengan perlahan, Dexter melepaskan tangan Wiona dari lengannya. "Goodbye, Wiona. I hope we will never see each other again," ucap Dexter dengan tatapan dingin menusuk sanubari Wiona yang hanya bisa terpaku.Dexter sedang berlalu keluar dari kamar rawat Wiona, saat ponselnya berdering.Ia pun buru-buru mengangkatnya setelah melihat ibunya yang menelepon."Mom? Ada apa?""Dex, Jelita masuk IGD karena serangan maag... kamu kemana saja kok belum pulang juga??" suara Heaven yang terdengar cemas dan panik.Dexter tercekat. Jelita-nya sakit? Bagaimana mungkin? Bukankah tadi pagi gadis itu baik-baik saja?"Jelita di IGD?? Di rumah sakit apa, Mom? Aku segera ke sana sekarang!""Kami di Southern CMVB Hospital, segeralah kemari Dex!" ucap Heaven sebelum memutuskan sambungan telepon.Dexter terperangah. Wait. Jelita berada di Southern CMVB Hospital?Dexter pun segera berlari menuju ruang IGD, karena ia juga sedang berada di tempat yang sama.***"Ya, aku di sana, Sayang. Saat Anaya lahir, aku memanjat dinding rumah sakit dan duduk dengan cemas di ruang sebelah. Mendengar semua rintihan kesakitanmu, dan mendengar tangisan pertama anak perempuan kita." *** Sehabis Dexter dan Jelita bertemu dan bercinta semalaman, paginya lelaki itu langsung menemui anak-anak serta seluruh keluarganya. Tentu saja mereka semua sangat kaget, namun juga terharu dan menangis penuh rasa bahagia melihat Dexter bisa kembali berkumpul bersama mereka. Bahkan sejak saat itu Axel, Aireen, Ellard dan Ellena selalu ingin tidur di kamar orang tuanya, bersempit-sempitan dalam satu ranjang master bed. Jelita hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala dan tersenyum melihat kelakuan anak-anaknya yang seperti tidak mau berpisah lagi dengan Daddy mereka. Seperti juga malam ini. Meskipun malam ini sudah malam ke-lima kembalinya Dexter ke rumah, empat anak mereka itu masih saja rela tidur bersempit-sempit di ranjang Jelita dan Dexter. Untung saja ranjang itu
Jelita menatap dengan segenap penuh kerinduan pada manik karamel yang selalu membuatnya terbuai, tenggelam dalam kedalamannya yang seakan tak berdasar itu. Ada begitu banyak pertanyaan yang berkecamuk di dalam hati Jelita, namun entah mengapa kali ini seolah bibirnya terkunci.Hanya desah tercekat yang lolos dari bibirnya ketika Dexter menggores bibirnya di leher Jelita yang seharum bunga. Kesepuluh jemari wanita itu telah terbenam di dalam kelebatan rambut Dexter yang sedikit lebih panjang dari biasanya, wajahnya mendongak dengan kedua mata yang terpejam rapat.Lelaki itu menyesap kuat lehernya bagaikan vampir kehausan yang membutuhkan darah segar agar ia tetap hidup. Rasa sakit itu begitu nyata, begitu nikmat dirasakan oleh Jelita. Untuk kali ini, ia benar-benar tak keberatan jika Dexter menyakitinya. Jelita justru ingin disakiti, ia bahkan tidak akan menolak jika Dexter ingin membawanya ke dalam Love Room dan membelenggunya dengan rantai besi lalu menyiksanya seperti Dexter di
Kedua lelaki itu masih terus melakukan baku hantam, tak berhenti saling melancarkan serangan serta pukulan yang mematikan untuk membuat lawannya tak berkutik. Ruangan besar yang biasanya digunakan untuk pertemuan para anggota Black Wolf itu pun kini tak berbentuk lagi. Meja lonjong panjang dari kayu jati itu telah terbelah, setelah Dexter melemparkan tubuh Kairo ke atasnya. Potongan-potongan kayu itu pun mereka jadikan senjata yang cukup berbahaya karena ujung-ujung patahannya yang runcing.Dexter telah merasakannya, karenq Kairo menusuk kakinya dengan kayu runcing iti ketika ia lengah.Dua puluh kursi yang berada di sana pun menjadi sasaran untuk dijadikan senjata. Pertempuran itu benar-benar sengit. Kairo melemparkan kursi terakhir yang masih utuh kepada Dexter yang sedang terjengkang setelah sebelumnya terkena tendangan, namun untung saja di detik terakhir dia masih sempat menghindar.Dengan sisa-sisa tenaganya, Dexter menerjang tubuh Kairo dan menjatuhkannya ke lantai, lalu b
Rasanya setiap sendi di kaki Jelita mau lepas dari engselnya, tapi ia abaikan semua rasa sakit itu dan terus saja berlari, untuk mengejar sesosok tinggi yang ia rindukan dan telah berada jauh di depannya.Aaahhh, sial... sekarang lelaki itu malah menghilang!!Dengan napas yang tersengal, Jelita berhenti di depan pintu sebuah cafe untuk bersandar sejenak di tiang putih besarnya. Berlari dengan heels 5 senti sambil membawa tas dan dokumen tebal benar-benar sebuah perjuangan.Ditambah lagi sudah sebulan terakhir ini dia juga jarang berolahraga. Lengkaplah sudah.Sambil mengatur napasnya yang berantakan, Jelita mengamati spot terakhir dimana Dexter terakhir terlihat. Atau mungkin, orang yang sangat mirip dengan Dexter Green, suaminya yang telah meninggal dua tahun yang lalu. Tidak, itu pasti Dexter. Jelita sangat yakin lelaki yang barusan ia lihat adalah Dexter!Jelita tak tahu apa yang ia rasakan saat ini, karena hatinya serasa ditumbuhi bunga yang bermekaran namun juga sekaligus dina
Cuma ngingetin, ini novel yang 100% happy ending ya. Jadi... jangan kaget baca bab ini. Peace.***Tubuh Jelita membeku dengan tatapan kosongnya yang lurus terarah pada pusara penuh bunga di hadapannya. Tak ada satu pun isak tangis yang keluar dari bibir pucat itu, karena airmatanya telah mengering.Tubuh dan hatinya kini telah kebas, menebal dan mati rasa.Ini terjadi lagi. Untuk yang kedua kalinya.Apakah dirinya pembawa sial? Apakah dirinya memang tidak ditakdirkan untuk bahagia?Apakah dia tidak layak untuk mendapatkan cinta yang begitu besar dari seseorang yang luar biasa? Dulu Zikri, dan sekarang...Sekarang...Jelita mengangkat wajahnya yang pucat dan melihat Heaven yang berada di seberangnya. Wanita itu tengah tersedu dengan sangat pilu, sementara William terus memeluk dan berusaha menenangkan istrinya.Seketika Jelita pun merasa iba. Heaven telah kehilangan putrinya, dan kini kejadian itu pun terulang kembali. Dia kehilangan putranya.'Maafkan aku, Mom.' 'Putra tercinta
Jelita menatap lelaki paruh baya yang sedang terbaring diam itu dengan tatapan sendu. Matanya terpejam rapat, alat bantu napas menutup sebagian wajahnya dan beberapa infus terlihat menancap di tubuhnya. Ayahnya berada dalam kondisi koma. Pukulan keras yang beberapa kali menghantam kepalanya membuat otaknya mengalami trauma. Wajahnya penuh lebam dan luka, begitu pun sekujur tubuhnya. Robekan di sepanjang lengannya bahkan harus dioperasi karena merusak banyak syaraf-syaraf penting.Wanita itu pun kembali terisak pelan ketika mengingat penyiksaan keji kepada ayahnya itu. Seorang ayah yang baru ditemuinya setelah tiga puluh satu tahun hidupnya. Seorang ayah yang sempat ia benci ketika mengetahui kisahnya di masa lalu."Ayah, maafkan aku..." lirih Jelita sambil terus terisak. Ia mengunjungi Allan menggunakan kursi roda dengan diantarkan oleh suster jaga. Heaven pulang sebentar untuk melihat anak-anak Jelita di rumah, sekaligus membawa barang-barang yang diperlukan untuk rawat inap me