Share

Bertemu Kembali

Author: Nona_El
last update Last Updated: 2022-06-16 22:03:13

"Tolong, angkat aku menjadi muridmu, Tuan Lian!" Aku berlutut pada pertapa tua di depanku.

Aku membaca selebaran tentang Tuan Lian—guru magic legendaris dari Middleside, di tiang Kota Wateras. Penduduk di sana seringkali membicarakan kehebatannya. Aku pun berniat untuk mempelajari kekuatan magic (kemampuan mengendalikan sihir), agar bisa mengalahkan Kaisar Harvey.

"Jika bukan karena wajahmu yang tampan, aku tidak akan mau menjadi gurumu, Bocah ingusan!" Pria tua dengan rambut putih sepunggung itu berdiri, lalu menghujamkan sebuah pedang, yang memiliki simbol berwarna merah—pertanda diterimanya menjadi seorang murid, di hadapanku.

"Dih, guru yang aneh! Huh, di dunia ini seakan selalu mengedepankan fisik, dibandingkan hal lain!" ucapku menggerutu di dalam hati.

Penduduk Wateras bilang, masuk perguruan itu sangatlah susah, karena Tuan Lian hanya akan memilih orang-orang hebat. Namun ternyata, jauh lebih mudah dari yang kubayangkan. Aku bersyukur bisa diterima menjadi muridnya tanpa seleksi. Walaupun, lolos lewat jalur ketampanan.

Setahun berlalu. Aku telah mahir dalam mengendalikan teknik magic tingkat tinggi, meregenerasi luka, dan teleportasi. Kekuatan physicalku juga semakin bertambah kuat. Aku begitu bangga dengan kemajuan yang telah kucapai.

Suatu hari, Tuan Lian memintaku untuk menemuinya, sebelum fajar menyingsing. Nona Azura—asisten sekaligus tangan kanan Tuan Lian, mendampingiku ke kuil utama—tempat suci yang hanya boleh dimasuki, jika mendapatkan izin oleh pemiliknya.

"Aku yakin, ini adalah akhir dari perjuanganmu, Achilio," kata Tuan Lian, memulai percakapan.

Aku sontak terkejut, setelah mendengar ucapannya. "A apa? A akhir perjuanganku?"

"Ya, sudah saatnya 'kau melanjutkan perjalanan berat selanjutnya, Guardian. Di masa yang akan datang, pasti akan lebih banyak lika-liku. Semoga segala hal yang kamu lakukan, tidak melenceng dari aturan Aksa."

"Ba baik, Guru!" Aku sangat senang, karena sudah tiba saatnya untuk bebas. Ya, tidak ada lagi yang namanya latihan berkala, ataupun materi-materi lainnya.

"Ada satu hal lagi yang perlu kusampaikan padamu, Pangeran Achilio. Tulisan Ratu Felicia hampir seluruhnya menggunakan bahasa Darkness. Aku tidak bisa menerjemahkannya, karena isi surat itu hanya bisa dibaca oleh pure devil." Tuan Lian bangkit dari duduknya, lalu berjalan ke arahku—yang berdiri di depannya. "Tapi, aku tau di mana letak pecahan kedua berada," lanjutnya.

"Di mana pecahan itu, Sensei?" tanyaku dengan penuh semangat.

"Ada pada Nyonya Suzuya yang tinggal di gerbang pertama Amorgold. Bawalah ini padanya, katakan bahwa, aku memberinya salam," titahnya sembari memberikan sebuah gulungan pesan.

Aku terharu, dan spontan memeluknya erat. Tidak kusangka, guru yang pemarah itu ternyata adalah orang yang sangat baik.

*

Hati terasa berat untuk meninggalkan mereka, juga segala kenangan di sana. Namun, ketika Nona Azura memberitahukan bahwa, Middleside telah ditaklukkan oleh Kaisar Harvey, membuatku harus pergi melanjutkan perjalanan ke Amorgold—kerajaan yang terletak di sebelah kiri wilayah Middleside.

Hari ke-tiga berkelana, aku menemukan kediaman Nyonya Suzuya. Hal yang mudah, karena namanya tertulis pada sebuah bar di kaki Gunung Zu—dekat tugu perbatasan antara Middleside dan Amorgold.

Saat masuk, monster dari yang buruk rupa hingga yang biasa saja, memenuhi bar kecil itu. Bau wine begitu menyengat, aku menutup hidung untuk mengurangi sesak.

Bruk!

"Ma maaf, Nona. Aku tidak melihatmu tadi." Aku tidak sengaja menabrak wanita bergaun ungu, dan menjatuhkan gelas wine-nya ke lantai.

"Dasar tidak sopan!" Wanita itu tampak berkacak pinggang. Raut wajahnya berubah menjadi merah padam. "Karena kecerobohanmu, cipratan minuman itu mengenai gaun mahalku! Kamu harus ganti rugi!"

"Maaf, tapi aku benar-benar tidak sengaja, Nona. Selain itu, aku tidak memiliki uang untuk menebus kesalahanku." Aku berkata jujur sambil menundukkan kepala.

Kami terlibat perdebatan panjang, sampai akhirnya pesta terhenti, ketika jubahku terbuka. Aku melihat semua orang di sana, mengarahkan senjata ke arahku.

"Pangeran Sean, kamu ternyata masih hidup. Aku merasa sangat bahagia, karena dapat melihat wajah tampanmu lagi." Wanita bermata ungu di sampingku tiba-tiba memelukku. "Kukira kamu benar-benar mati di malam pengorbanan itu," sambungnya.

Tanganku melepaskan dekapannya dengan lembut. "Ma ... maaf. Tapi, aku bukan Sean. Anda mungkin salah orang, Nona."

Debuk!

Monster dengan lima tanduk di kepalanya, telah memukul keras dinding di sebelahku. Tubuhku gemetar. Jantung terasa berpacu sangat kencang. Ketakutan seakan menjalar ke seluruh tubuh. Aku benar-benar merasa seperti santapan makan siang, bagi mereka.

"Apakah 'kau adalah Pangeran Achilio yang menjadi buronan Darkiles? Jika iya, maka bersiaplah untuk mati!" Monster itu menempelkan ujung kapaknya, di bawah daguku. "Memanfaatkan wajah yang sama dengan Sean, tidak akan meloloskanmu dari maut, Achilio!"

Oh, sial! Aku mati langkah. Di saat aku telah pasrah dengan kematian, tiba-tiba asap hitam menutupi ruangan itu. Monster di depanku, seketika jatuh tak berdaya ke lantai. Samar-samar, aku melihat semuanya telah terbujur kaku, hanya dalam waktu yang singkat.

Aku hampir tak percaya dengan apa yang kulihat. Bagaimana bisa Ratu Alea hidup kembali? Kenapa dia menolongku?

Ratu dari Middleside itu telah menyelamatkan, dan membawaku ke tepi sungai—seberang bar. Saat aku menoleh, bar itu telah meledak hingga hancur takbersisa. Asap tebal mengepul di bawah Gunung Zu, seakan-akan ia baru meletus.

"Terima kasih, My Lord. Berkat pertolonganmu, aku bisa bebas dari kendali Luna, yang selalu mengambil alih tubuhku di luar kesadaran," ucap Ratu Alea seraya mengambil sesuatu dari dalam air.

"Apakah Zay bersamamu, Nona?" Aku menatapnya penuh harap. Namun, dia hanya menjawabnya dengan sebuah gelengan. Entahlah, wajahnya terlihat kebingungan dengan pertanyaanku. Apakah dia benar-benar tidak mengingat peristiwa, di malam tragis itu?

Aku mencoba untuk menahan genangan air mata agar tidak jatuh. Saat itu, mataku mungkin memerah. Sungguh, aku hanya ingin temanku itu kembali. Setelah menghela napas panjang, aku kembali bertanya, "Bagaimana kamu bisa mengetahui keberadaanku, Nona?"

"Entahlah, aku hanya mengikuti naluri, hingga menghantarkanku padamu. Anda pasti sedang mencari Nyonya Suzuya, kan?" Dia mengembangkan seulas senyum yang sepertinya tulus.

Aku mengernyit, lalu memandang wanita seputih salju itu, dengan keterkejutan di wajahku. "Dari mana kamu bisa tau? Kamu bisa baca pikiranku, ya?"

"Karena Nyonya Suzuya memberontak dalam pemerintahan Kaisar Harvey, dia telah dihukum mati dua hari yang lalu. Sebelum kematiannya, burung scocbill miliknya memberikan pesan padaku. Berdasarkan isi surat itu, dia memintaku untuk memberikanmu ini." Ratu Alea meletakkan sebuah pecahan kristal phoenix, di telapak tanganku.

Tanpa pikir panjang, aku langsung menyimpan kristal itu di dalam tas, yang telah tersegel kekuatan suci. "Aku akan memberikan nyawa Kaisar Harvey, sebagai tanda balas budi pada Nyonya Suzuya. Sebelumnya, terima kasih atas bantuanmu tadi, Ratu Alea."

"Aku juga ingin membalaskan dendam atas kematian Nyonya Suzuya. Tolong, ajak aku bersamamu, Pangeran!" Ratu Alea menekuk punggungnya, dengan posisi tangan ke bawah. Aku melihat air matanya mengalir deras, membasahi tanah.

"Berdirilah! Wanita tidak boleh berlutut pada lelaki. Justru, kalianlah yang harusnya dihormati. Lagi pula, aku tidak akan menolak permintaanmu, Nona." Aku menggenggam erat jemarinya, lalu mengajaknya pergi dari sana.

Aku tidak bisa mengambil keputusan dengan tepat, saat itu. Entahlah, dua sisi yang saling bertolak belakang, membuatku ragu. Di satu sisi, aku tidak bisa mengambil resiko buruk, apabila meninggalkan seorang wanita sendirian di hutan. Sisi lainnya seakan berkata, "Di masa lalu, dia membunuh temanmu, dan hampir mencelakakan nyawamu. Seharusnya, tidak ada kata maaf lagi untuk orang jahat sepertinya."

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
My Wife
tiada cabaran, cuma perlu takut tanpa perlawanan semuanya menjadi mudah sebab ada yang menolongnya.perjalannya lurus tanpa hambatan.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • The Seven Phoenix Shards    Semoga Bahagia!

    Aku tersenyum manis, terpesona pada keahlian memasaknya. "Bagaimana kalo kita jalan-jalan minggu depan?" tawarku pada wanita yang sibuk menghitung takaran gula, di depan sana."Tumben ngajak jalan." Eunoia–yang mengenakan daster merah muda, tampak sibuk menyiapkan secangkir kopi hangat untukku. Toples kopi terlihat berantakan karenanya. Ya, namanya juga baru belajar masak, makanya seperti itu. Aku cukup memaklumi kondisinya–latar belakang sebagai orang kaya membuatnya manja.Kami berada di dapur berukuran luas, berdesain ala-ala restoran mahal. Sepertinya arsitek yang kurental tidak lagi memikirkan desainnya. Mereka selalu membuat ruangan luas di rumahku, dan itu bukan yang pertama kalinya. Untunglah, aku hanya perlu membayar, dan menikmati hasilnya. Lagian, menasehati mereka hanya membuang tenaga."Kamu nggak sibuk, kan? Lagian, jalan-jalannya di hari Minggu kok. Apa iya, kamu nggak bisa juga?" Aku menghentikan suapan nasi ke mulut. "Refreshing dong sekali-sekali juga." "Iya, boleh

  • The Seven Phoenix Shards    Reuni Para Pahlawan

    Sebuah meja makan yang di atasnya terdapat berbagai macam hidangan, tampak menggiurkan perut kosongku. Aku berdiri di antara orang-orang yang sibuk dengan santapannya. Memperhatikan mereka dengan tajam, sepertinya membuat Degree meningkatkan kewaspadaannya.Lampu kristal yang tergantung, di atas langit-langit ruangan interior klasik, terlihat begitu indah. Ada dua jenis kursi, yaitu sofa dengan bantalan empuk, dan kursi kayu berdesain batik. Lantai yang terbuat dari keramik mahal, membuat bibirku tak berhenti mengucapkan ketakjuban.Pandanganku berpindah ke sana kemari. Ya, ada seseorang yang ingin sekali kutemui. Sudah lama rasanya, semenjak peristiwa kehancuran alter ego. Rasa rindu ingin bertemu, dan bercengkerama memang ingin kulakukan, setelah lepas dari kesibukan menjadi seorang kepala negara.Masa jabatan yang baru setahun kujalani, dan masih terlalu cepat untuk lengser. Lagi pula, penduduk sudah memilih, dan mengembankan tugas penting itu padaku. Suatu amanah harus dilakukan,

  • The Seven Phoenix Shards    Kembalinya Kedamaian

    Apa yang telah berlalu, dijadikan sebagai pelajaran berharga. Aku menghirup udara segar Kota Scramble. Seluruh penduduk telah dibuat amnesia tentang kejadian di masa lalu. Biarlah, apa yang menjadi rahasia dunia, tetap seperti itu.Aku melepaskan jas hitam formal. Kemudian, meletakkannya di dekat meja kerja. Dokumen yang telah menumpuk seperti gunung kecil, kubiarkan saja. Menjadi pekerja keras, dan pemimpin Negara Erreala sungguh berat.Secangkir teh hangat dengan daun pandan yang dibentuk segi empat, kuminum perlahan. Menyeruput segelas teh adalah ketenangan yang sangat kurindukan. Di balik kaca, para karyawan muda tampak berlalu-lalang. Beberapa di antaranya saling bertegur sapa. Menu sarapan di pagi hari itu adalah telur dadar buatan Eunoia. Makanan yang dia buat sudah mampu menyaingi chef ternama, tetapi tidak dengan Sera.Hidup dengan bayangan masa lalu tidak akan habisnya. Aku mencoba untuk menjalani semuanya, tanpa adanya Aoi lagi. Kebisingan di istana kepresidenan sudah menj

  • The Seven Phoenix Shards    Menghancurkan Alter Ego

    "ini demi kebaikan semua orang, dan untuk dunia yang akan kembali utuh. Tolong aku, Saudaraku! Aku berjanji akan memberikan peluang padamu." Aku berlari cepat ke arah Dewa Naga berkepala tujuh. "Tidak. Jangan lakukan hal sebodoh itu, Yang Mulia!"Pantulan bayangan hitam yang menyerupai Naga Neraka–dalam sejarah Sorcgard disebut alter ego negatif (kepribadian ganda bersifat jahat), mendekat, lalu melahap Dewa Ergonza. Aku gemetar, tetapi tetap melangkah maju.Pedang di tangan kanan, dan tameng pelindung di tangan kiri. Aku menendang cermin perjanjian itu dengan tendangan maut. Berharap akan menjadi lebih baik. Namun, malah sebaliknya. Ya, semuanya telah terlambat.Dinding kebaikan antara jiwa-jiwa orang hidup, dan mati tengah mengalami kehancuran. Semua catatan batas kematian berterbangan ke mana-mana. Bola-bola kristal kematian pecah. Kekacauan di ruangan tanpa atap itu membuat telingaku berdenging. Berisik sekali. Gendang telingaku rasanya ingin pecah. Di hadapan, Dewa Naga telah b

  • The Seven Phoenix Shards    Sebelas VS Satu Kekuatan OP

    Sebuah kerajaan yang dibangun bertingkat-tingkat tampak berantakan. Semua pasukan Aksa–para ksatria titisan anak Dewa, berkumpul memadati api pengorbanan. Kejadian serupa pernah terjadi juga di masa lalu. Entah apa yang membuat mereka se-naif itu.Aku memerintahkan Nona Filia, untuk mendaratkan pesawat lima belas meter dari pusat istana. Mengingat kegentingan tengah terjadi, aku membagi tim menjadi dua kelompok.Satu kelompok terbagi menjadi lima anggota, kecuali tim dua. Ya, Harvey tidak mungkin berpisah denganku. Mereka–anggota Tim D yang lainnya, takut Harvey malah berkhianat di tengah jalan. Oleh karena itulah, aku selaku kapten memutuskan sendiri pembagian tim.Benteng besar dengan tumpukan bebatuan dari permata, menjulang tinggi bak gunung terbesar di Scramble–Gunung Zu. Pintu gerbang yang telah terbuka, memungkinkan kami masuk, tanpa harus memecahkan sandi.Peradaban kuno masih terikat dengan dinding-dinding Kerajaan Aksa. Tiga patung besar di masa Azo telah dihancurkan. Dulu,

  • The Seven Phoenix Shards    Setelah Kepergiannya

    "Ya, bisa dibilang, aku dapat berubah wujud menjadi apa saja, dan menyamarkan identitasku sebagai Dewi Phoenix."Kalimat itu memenuhi alam pikiranku. Setelah Degree memberitahukan segalanya padaku, barulah kesadaran mencintai dengan tulus itu timbul. Penyesalan memang selalu di akhir, itulah yang mereka katakan padaku.Dia yang sudah pergi meninggalkan, mungkinkah 'kan kembali? Dewi Phoenix ingin mewujudkan dunia yang adil, dan penuh dengan kebahagiaan. Namun, akulah yang menghanguskan segala asanya itu.Abu yang sudah tertiup angin, melayang entah ke mana. Aku kehilangan belahan jiwa, yang selama ini tidak pernah mengecap kata, "dihargai". Mencintainya adalah keterlambatan yang paling disesalkan.Kusandarkan kepala ke sebuah dinding beton–penghalang antara daratan dan lautan, yang ada di dekat tempat terakhir kepergiannya. Aku lelah menghadapi segala hal, yang sebenarnya tidak ingin kulakukan. Kewajiban yang telah kuambil, terucap sumpah, hingga jiwa menjadi saksinya, berat. Kejadia

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status