Beranda / Fantasi / The Seven Phoenix Shards / Siapa pun Bisa Menjadi Pengkhianat

Share

Siapa pun Bisa Menjadi Pengkhianat

Penulis: Nona_El
last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-16 22:03:49

Sejak saat itu, aku melanjutkan perjalanan bersama Ratu Alea. Meskipun, aku tidak tahu, apakah dia punya rencana jahat atau tidak? Lima bulan sudah kami berdua memecahkan banyak misteri. Akhirnya, setengah surat ibu sudah dapat diterjemahkan.

"Tersatunya tujuh kristal ... tingkatan tertinggi tidak akan mampu mengalahkannya. Jahat tidak selamanya jahat, dan baik tidak selamanya baik. Satu pesan terakhirku, tolong, jangan pernah berkorban nyawa lagi!" Tanganku menutup lembaran surat yang nampak usang itu, lalu menatap putus asa pada deru ombak.

Dulu, aku sangat menginginkan kebahagiaan, dan kebebasan untuk melihat dunia luar. Namun, ayah selalu melarang dengan berbagai alasan.

"Di luar sana tidak menerima orang lemah," ujarnya saat itu.

Aku membatin, "Sekarang aku baru mengerti, ternyata dunia ini teramat menyakitkan untukku."

"Kita telah sampai di Autofalor. Bersiaplah turun dari kapal, Pangeran!" Suara Ratu Alea menyadarkanku dari lamunan. Aku melirik wanita yang telah memakai jubahnya itu. Dia terlihat selalu lebih bersemangat, daripada aku yang sering mengeluh.

Menurut pengakuan paus naruhal—pemegang kekuasaan air tingkat tinggi yang kami kalahkan, pecahan ketiga ada pada cincin Raja Nathan—penguasa Kerajaan Autofalor—cabang wilayah Darkiles. Kami menginap sehari sebelum pesta Vjernost—perayaan tahunan memperingati hari pernikahannya dengan Ratu Zahra, dimulai.

Pada malam saat pesta itu tiba, kami menyamar menjadi tamu undangan, dan berhasil menyelinap masuk ke istana. Satu per satu samurai kerajaan kusingkirkan. Kemudian, Ratu Alea mengumpulkan mayat mereka di gudang istana. Rencana awal kami berjalan lancar.

Ratu Zahra adalah seorang wanita muda yang sangat cantik. Sedangkan, Raja Nathan merupakan kebalikannya. Mereka menebar senyum pada semua orang, berjalan beriringan menaiki anak tangga.

"Di dunia ini, lelaki seperti Raja Nathan sangatlah langka. Cintanya yang tulus pada Ratu Zahra, membuatnya rela melakukan apa pun untuk istrinya itu. Sungguh beruntung menjadi pujaan hatinya, ya?" Ratu Alea memuji. Matanya terus melihat ke arah sepasang suami istri itu. Kelihatannya dia iri dengan kemesraan mereka.

Nona Alea diangkat menjadi ratu tanpa seorang raja—pendamping hidup, yang mendampingi posisi tahtanya. Hal seperti itu sudah menjadi suatu keputusan tersendiri, di Middleside. Awalnya, aku juga tidak percaya, tetapi itulah salah satu fakta unik di wilayah itu.

"Tidak ada pria yang benar-benar tulus. Jadi, berhentilah mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin 'kau dapatkan. Ayo, kita mulai pesta yang sebenarnya!" Aku tersenyum licik pada Ratu Alea. Dia membalas kodeku dengan sebuah anggukan. Kemudian, kami pun menjauh dari pesta yang meriah itu.

Ratu Alea menyamar menjadi Ratu Zahra dengan magic peniru, dan berhasil mengambil cincin dari Raja Nathan. Sebelumnya, aku telah menyekap Ratu Zahra di kamarnya. Starategi kami berjalan sukses. Tidak lama setelahnya, kami berhasil melarikan diri lewat gerbang belakang, lalu memasuki Hutan Ilusi—wilayah barat Autofalor.

"Konon katanya siapa pun yang masuk, tidak akan pernah kembali. Apa Anda tidak takut, Pangeran?" tanya Ratu Alea seakan penuh keraguan.

"Percayalah, tidak akan terjadi apa-apa, Yang Mulia!" ucapku dengan percaya diri.

Bap!

Tubuhku tersungkur ke tanah, aku mengaduh kesakitan. "Duh, Nona, apa yang ...." Bibirku terasa kelu untuk mengucapkan kata selanjutnya, tatkala melihat perut gadis itu telah terkena panah.

"Ke ... kenapa kamu melindungiku, Nona? Bertahanlah, aku akan mencari bantuan!" Namun, saat aku hendak berdiri, lenganku dicekal wanita bergaun hitam itu. Mata kami saling beradu pandang. Jantungku berdetak keras—berbeda dari sebelumnya.

"Perasaan apa ini? Kenapa aku merasa ... seperti pernah mencintainya?" pikirku dalam hati.

"Aku selalu menunggu untuk dicintai olehmu, Sean. Orang baik yang tertutup kebencian akan berubah jahat. Sebenarnya ...." Kepalanya jatuh di bahuku, sebelum selesai mengucapkan kalimat itu.

Bulir-bulir air mata turun membasahi pipiku. "Nona Aleaaa! Aku mohon bangunlah ... aku tidak ingin kehilangan lagi!" Aku mencabut pelan panah yang masih menancap di perutnya, dengan tangan bergetar.

"Kamu seperti orang bodoh yang menangis, hanya karena seorang wanita," ejek pria yang memakai setelan hitam di depanku. Ia muncul secara tiba-tiba, dan sangat cepat.

Karena refleks, aku bangkit dan memeluknya erat. Namun, tiba-tiba kurasakan sesuatu yang dingin di punggungku.

"Ke ... kenapa kamu melakukan ini padaku, Zay?" Bibirku bergetar, tatkala merasakan pedih yang luar biasa.

"Hahaha. Aku tidak akan pernah membiarkanmu hidup, Sean! Kamu memang pantas mati daripada mendapatkannya." Zay menarik pedangnya, lalu membiarkan tubuhku terjatuh lemas ke tanah. "Selamat tinggal, Musuhku."

"Kamu melakukan hal yang sia-sia!" ucapku dengan lantang. Meskipun, aku merasakan darah semakin deras, di belakang punggung.

"Apa maksudmu!?" Zay menoleh. Matanya berubah menjadi semerah darah.

"Kita lihat saja, 'kau atau aku yang akan ke Neraka lebih dulu!?" Aku tersenyum smirk ke arahnya. Zay sontak mundur beberapa langkah, dan menatap seakan penuh ketakutan.

Jleb!

*

Tempat itu di penuhi dengan pohon pinus yang rimbun. Bunga sepatu merah muda tumbuh di sekitar pohon-pohon itu. Kemudian, cahaya merah keemasan menerangi sekeliling tubuhku. Setelah cahaya itu menghilang, muncul seekor burung phoenix yang telah berdiri di depanku.

"Penyebab kematiannya bukanlah kelahiranmu, Achilio. Bola kristal kematian bukanlah sebuah kutukan turun-temurun. Ada sesuatu yang bisa mematahkannya." Beberapa saat kemudian, burung dengan sayapnya yang membentang indah itu, masuk ke pedangku.

"Jadi, siapa yang membunuh ibuku? Tunggu! Jangan pergi!" Aku berteriak sekerasnya, tatkala phoenix itu lenyap.

Akan tetapi, mulutku mulai membisu, setelah aku tahu burung itu mungkin tidak akan datang lagi. Lagi pula, dalam sejarah Sorcgard, phoenix hanya muncul sekali sepanjang hidup orang yang melihatnya.

Kutatap sedih pada pedang di tangan kananku. Benda itu adalah hal berharga, karena satu-satunya yang tersisa dari ibu. Rasa sakit itu begitu membekas setiap kali aku melihatnya.

Aku terbelenggu dalam rindu yang tak berkesudahan. Aku terus berjalan, tanpa tau di mana kami akan bertemu di kehidupan selanjutnya. Semua rasa itu tercampur aduk; perihnya menahan derita seorang diri, termasuk keinginan bertemu, dan memeluk erat raga yang telah tiada.

Beberapa saat setelah merenungi diri, aku memutuskan untuk pergi ke sebuah bukit, yang dipenuhi dengan bunga dandelion. Tempat itu sama dengan latar lukisan milik ayah di istana. Ya, semuanya sama, mulai dari jembatan, awan, bahkan taman itu sendiri.

Ketika aku hampir mencapai puncak bukit, ayah menghampiri dengan membawa kepalanya yang terputus.

"Lawanmu yang sebenarnya adalah dirimu sendiri, Nak. Suatu hari kamu akan mengerti, bahwa aku sangat menyayangimu, Putraku."

Aku mendorongnya dengan sekuat tenaga. "Enyahlah, Orang jahat!" Namun, ayah tiba-tiba menghilang. Dia hampir membuatku jatuh dari ketinggian.

Tidak lama setelahnya, ibu muncul seraya menggenggam erat jemariku. "Jangan pernah mengucapkan kata 'benci' pada siapa pun, Achilio! Kamu akan menepati janjimu, kan?" Ketika selesai mengucapkan kalimat itu, ibu juga ikut menghilang.

"Mereka telah mati, dan tidak mungkin hidup lagi." Aku mundur beberapa langkah. Detak jantung terasa semakin kencang. "Apakah aku sedang terjebak dalam halusinasiku sendiri?"

"Iblis tidak akan bisa menjadi seorang guardian!'' Sebuah pisau tertancap, menembus dadaku. Mulutku memuntahkan darah yang terus-menerus mengalir.

Sosok itu yang entah dari mana asalnya, muncul secara tiba-tiba. Serangannya yang tidak terduga, membuat nyawaku di ambang kematian. Pandanganku kabur, dan perlahan-lahan berubah gelap.

Gar!

Suara petir yang begitu keras, membuat mataku membuka lebar. Huh! Ternyata semuanya hanya mimpi. Aku menghela napas lega, lalu sesekali melirik ke luar gua untuk memastikan keadaan.

Siapa pemilik suara yang sama denganku itu? Kenapa ia ingin membunuhku? Siapa ia sebenarnya? Malam itu, terlalu banyak pertanyaan yang memenuhi pikiran, sehingga membuatku tidak bisa tidur.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • The Seven Phoenix Shards    Semoga Bahagia!

    Aku tersenyum manis, terpesona pada keahlian memasaknya. "Bagaimana kalo kita jalan-jalan minggu depan?" tawarku pada wanita yang sibuk menghitung takaran gula, di depan sana."Tumben ngajak jalan." Eunoia–yang mengenakan daster merah muda, tampak sibuk menyiapkan secangkir kopi hangat untukku. Toples kopi terlihat berantakan karenanya. Ya, namanya juga baru belajar masak, makanya seperti itu. Aku cukup memaklumi kondisinya–latar belakang sebagai orang kaya membuatnya manja.Kami berada di dapur berukuran luas, berdesain ala-ala restoran mahal. Sepertinya arsitek yang kurental tidak lagi memikirkan desainnya. Mereka selalu membuat ruangan luas di rumahku, dan itu bukan yang pertama kalinya. Untunglah, aku hanya perlu membayar, dan menikmati hasilnya. Lagian, menasehati mereka hanya membuang tenaga."Kamu nggak sibuk, kan? Lagian, jalan-jalannya di hari Minggu kok. Apa iya, kamu nggak bisa juga?" Aku menghentikan suapan nasi ke mulut. "Refreshing dong sekali-sekali juga." "Iya, boleh

  • The Seven Phoenix Shards    Reuni Para Pahlawan

    Sebuah meja makan yang di atasnya terdapat berbagai macam hidangan, tampak menggiurkan perut kosongku. Aku berdiri di antara orang-orang yang sibuk dengan santapannya. Memperhatikan mereka dengan tajam, sepertinya membuat Degree meningkatkan kewaspadaannya.Lampu kristal yang tergantung, di atas langit-langit ruangan interior klasik, terlihat begitu indah. Ada dua jenis kursi, yaitu sofa dengan bantalan empuk, dan kursi kayu berdesain batik. Lantai yang terbuat dari keramik mahal, membuat bibirku tak berhenti mengucapkan ketakjuban.Pandanganku berpindah ke sana kemari. Ya, ada seseorang yang ingin sekali kutemui. Sudah lama rasanya, semenjak peristiwa kehancuran alter ego. Rasa rindu ingin bertemu, dan bercengkerama memang ingin kulakukan, setelah lepas dari kesibukan menjadi seorang kepala negara.Masa jabatan yang baru setahun kujalani, dan masih terlalu cepat untuk lengser. Lagi pula, penduduk sudah memilih, dan mengembankan tugas penting itu padaku. Suatu amanah harus dilakukan,

  • The Seven Phoenix Shards    Kembalinya Kedamaian

    Apa yang telah berlalu, dijadikan sebagai pelajaran berharga. Aku menghirup udara segar Kota Scramble. Seluruh penduduk telah dibuat amnesia tentang kejadian di masa lalu. Biarlah, apa yang menjadi rahasia dunia, tetap seperti itu.Aku melepaskan jas hitam formal. Kemudian, meletakkannya di dekat meja kerja. Dokumen yang telah menumpuk seperti gunung kecil, kubiarkan saja. Menjadi pekerja keras, dan pemimpin Negara Erreala sungguh berat.Secangkir teh hangat dengan daun pandan yang dibentuk segi empat, kuminum perlahan. Menyeruput segelas teh adalah ketenangan yang sangat kurindukan. Di balik kaca, para karyawan muda tampak berlalu-lalang. Beberapa di antaranya saling bertegur sapa. Menu sarapan di pagi hari itu adalah telur dadar buatan Eunoia. Makanan yang dia buat sudah mampu menyaingi chef ternama, tetapi tidak dengan Sera.Hidup dengan bayangan masa lalu tidak akan habisnya. Aku mencoba untuk menjalani semuanya, tanpa adanya Aoi lagi. Kebisingan di istana kepresidenan sudah menj

  • The Seven Phoenix Shards    Menghancurkan Alter Ego

    "ini demi kebaikan semua orang, dan untuk dunia yang akan kembali utuh. Tolong aku, Saudaraku! Aku berjanji akan memberikan peluang padamu." Aku berlari cepat ke arah Dewa Naga berkepala tujuh. "Tidak. Jangan lakukan hal sebodoh itu, Yang Mulia!"Pantulan bayangan hitam yang menyerupai Naga Neraka–dalam sejarah Sorcgard disebut alter ego negatif (kepribadian ganda bersifat jahat), mendekat, lalu melahap Dewa Ergonza. Aku gemetar, tetapi tetap melangkah maju.Pedang di tangan kanan, dan tameng pelindung di tangan kiri. Aku menendang cermin perjanjian itu dengan tendangan maut. Berharap akan menjadi lebih baik. Namun, malah sebaliknya. Ya, semuanya telah terlambat.Dinding kebaikan antara jiwa-jiwa orang hidup, dan mati tengah mengalami kehancuran. Semua catatan batas kematian berterbangan ke mana-mana. Bola-bola kristal kematian pecah. Kekacauan di ruangan tanpa atap itu membuat telingaku berdenging. Berisik sekali. Gendang telingaku rasanya ingin pecah. Di hadapan, Dewa Naga telah b

  • The Seven Phoenix Shards    Sebelas VS Satu Kekuatan OP

    Sebuah kerajaan yang dibangun bertingkat-tingkat tampak berantakan. Semua pasukan Aksa–para ksatria titisan anak Dewa, berkumpul memadati api pengorbanan. Kejadian serupa pernah terjadi juga di masa lalu. Entah apa yang membuat mereka se-naif itu.Aku memerintahkan Nona Filia, untuk mendaratkan pesawat lima belas meter dari pusat istana. Mengingat kegentingan tengah terjadi, aku membagi tim menjadi dua kelompok.Satu kelompok terbagi menjadi lima anggota, kecuali tim dua. Ya, Harvey tidak mungkin berpisah denganku. Mereka–anggota Tim D yang lainnya, takut Harvey malah berkhianat di tengah jalan. Oleh karena itulah, aku selaku kapten memutuskan sendiri pembagian tim.Benteng besar dengan tumpukan bebatuan dari permata, menjulang tinggi bak gunung terbesar di Scramble–Gunung Zu. Pintu gerbang yang telah terbuka, memungkinkan kami masuk, tanpa harus memecahkan sandi.Peradaban kuno masih terikat dengan dinding-dinding Kerajaan Aksa. Tiga patung besar di masa Azo telah dihancurkan. Dulu,

  • The Seven Phoenix Shards    Setelah Kepergiannya

    "Ya, bisa dibilang, aku dapat berubah wujud menjadi apa saja, dan menyamarkan identitasku sebagai Dewi Phoenix."Kalimat itu memenuhi alam pikiranku. Setelah Degree memberitahukan segalanya padaku, barulah kesadaran mencintai dengan tulus itu timbul. Penyesalan memang selalu di akhir, itulah yang mereka katakan padaku.Dia yang sudah pergi meninggalkan, mungkinkah 'kan kembali? Dewi Phoenix ingin mewujudkan dunia yang adil, dan penuh dengan kebahagiaan. Namun, akulah yang menghanguskan segala asanya itu.Abu yang sudah tertiup angin, melayang entah ke mana. Aku kehilangan belahan jiwa, yang selama ini tidak pernah mengecap kata, "dihargai". Mencintainya adalah keterlambatan yang paling disesalkan.Kusandarkan kepala ke sebuah dinding beton–penghalang antara daratan dan lautan, yang ada di dekat tempat terakhir kepergiannya. Aku lelah menghadapi segala hal, yang sebenarnya tidak ingin kulakukan. Kewajiban yang telah kuambil, terucap sumpah, hingga jiwa menjadi saksinya, berat. Kejadia

  • The Seven Phoenix Shards    Permintaan Terakhir Aoi

    Perjuanganku selama ini tidak ada gunanya lagi. Aku menghancurkan semua benda yang ada di sekitar sana. Kemarahanku sudah tak bisa ditampung. Dalam satu kali semburan api, aku membakar seluruh sisi lapangan.Harvey mencoba menghentikan, tetapi kekuatanku jauh lebih besar. Hanya menggunakan satu persen magis, anak Dewa Naga itu tak kuasa menahannya. Portal pelindung tingkat tinggi yang dia bangun, kuhancurkan dengan satu kali pukulan.Magis sempurnaku telah bangkit kembali. Kekuatan keseimbangan alam yang bercampur, dengan kristal phoenix telah menguasai seluruh universe. Jentikan jariku bisa mengalahkan siapa pun. Aku tidak takut tewas, karena keabadian telah menjadi milik.Kehancuran akibat magis tingkat tinggiku, menghantarkan Tim Treize ke lokasi. Aku menerbangkan diri menggunakan sayap guardian. Kemudian, memasang garis pembatas, agar mereka tidak terlibat.Degree bersama Bibi Naya mencoba untuk menghancurkan dinding tebal itu. Namun, tentu saja tidak akan bisa. Kekuatan rendahan

  • The Seven Phoenix Shards    Kristal Phoenix

    Kristal phoenix berhasil ditemukan. Nenek itu sangat baik hati, karena menyerahkan benda itu padaku. Aku bersama dengan Calvin berhasil mempersingkat kultivasi sempurna, hanya dalam dua hari. Kemajuan yang sangat luar biasa, bukan?Keberangkatan kami menuju Kota Linear membutuhkan waktu sekitar lima jam. Perjalanan termakan lama, lantaran macet di ibu kota. Setelah diceramahi oleh Calvin, aku kembali sadar tentang satu hal, yaitu bukan tentang bagaimana menjadi seorang guardian sejati, tetapi proses perjuangan selama ini.Aku membuka layar ponsel. Pesan di SC tampak menumpuk. Ada sekitar lima ribu chat dari gabungan grub, dan chatting personal. Tidak. Bukan itu yang kucari. Beberapa hari sebelumnya, sebuah nomor yang tidak dikenal memberikanku pesan bertuliskan,"Temui aku sendirian, Azo. Mari selesaikan ini tanpa menggunakan kekuatan sedikit pun. Aku berjanji tidak akan bertarung dengan curang. Kali ini, jika aku menang, maka kau harus bersumpah untuk membunuh dirimu sendiri. Tapi ji

  • The Seven Phoenix Shards    Salah Orang

    Sudah tiga hari aku gelisah. Tubuhku panas dingin. Kepalaku ingin pecah dari tempurung tengkorak. Sebuah pedang yang menancap di atas televisi, tidak bisa ditarik. Berat."Sebenarnya, apa sih, isi kotak kayu itu? Kok pedangku nggak bisa menembusnya, ya?" gumamku seorang diri, sambil memutari televisi yang sudah gosong itu. Di malam sebelum kejadian itu, aku sibuk menonton acara kesayangan—film romantis. Film yang berjudul, "Onze hope for your enemy", karya sutradara terkenal di Linear, memang patut diberi rate seribu dari per sepuluh. Film yang bercerita tentang kehidupan asmara Ceyda–seorang gadis remaja broken home, menuai banyak respon positif dari fansnya. Pertemuan Ceyda dengan seorang pria dingin–Atan, adalah kisah paling unik sepanjang sejarah. Tisuku habis hanya untuk menyeka air mata yang jatuh, ketika menyaksikan film itu di layar televisi.Dua jam setelahnya, aku memutuskan untuk tidur. Lamaran pekerjaanku menjadi asisten lab telah disetujui Tuan Clay—kepala laboratorium

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status